“Enggak harus cepat, nanti juga ada waktunya.”
•••
Selamat membaca ....
Sebenarnya gue enggak begitu menantikan hari ini, sih. Riweh, gaduh, itu semua ganggu indera pendengaran gue. Terkhusus buat kaum perempuan, yang selalu tampil dengan cetar membahana itu kelihatan heboh di bawah panggung. Gue sampai geleng kepala lihatnya, ini mereka apa punya power cadangan, ya? Kayak kenapa energinya enggak habis-habis, sih?!
Sampai acara dimulai, gue lihat kaum hawa yang tadinya heboh tiba-tiba jadi sunyi karena nangis. Ya ... biasalah, mereka terbawa suasana ketika pimpinan sekolah memberikan kata sambutan sekaligus salam perpisahan. Huh, sejujurnya gue enggak suka drama kayak gini. Berlebihan.
Ya, walau begitu bukan berarti gue enggak menyimpan rasa sedih, ya. Kadang, kenangan sekolah yang tercipta tanpa rencana tuh, justru akan dirindukan di masa yang akan datang. Gue mengakui itu, bahkan sangat mengakui. Soalnya, selama tiga tahun di tempat ini, kayak enggak nyangka aja bisa ketemu dengan teman-teman yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Tadinya canggung, eh sekarang malah makin bergabung.
Oke, balik lagi ke acara. Gue perhatikan, kata sambutan itu masih gayung bersambut, bahkan perwakilan angkatan pun juga ikut. Kali ini, perwakilannya dari kelas Akuntansi. Gue udah nebak sih, kalau perempuan yang kasih kata sambutan pasti ada sesi meweknya. Dan bener aja, sepatah dua patah dia ngomong, sebagian guru udah terharu. Belum lagi tukang operatornya yang sengaja memperkeruh suasana dengan instrumen sedih, lengkap udah. Sesi mengandung bawang telah dimulai. Semuanya jadi baper, kan. Tapi, kecuali gue, sih.
Saat semua orang bersuka duka di hari terakhir sekolah, gue malah kepikiran hal lain. Selepas acara, berarti urusan gue di SMK ini selesai. Enggak ada tugas yang harus gue kerjain, enggak ada hukuman yang harus gue terima setiap pagi, dan tentunya enggak ada pemeriksaan dadakan yang menyita seluruh barang bawaan. Rasanya tuh lega banget.
Tiba-tiba pertanyaan muncul.
Gimana gue setelah ini?
Apa yang harus gue lakuin?
Apa ... gue diam aja di rumah, ya?
Atau ... gue kerja?
Memangnya mau kerja apa?
Apa ada yang mau menerima gue?
Pusing, akhirnya gue memukul kepala gue sendiri, kayak bego banget elah. Rasanya kayak stres karena semua pertanyaan itu berkumpul jadi satu di saat yang enggak tepat. Gue jadi teringat gimana teman-teman di kelas gue satu bulan yang lalu sibuk mempersiapkan diri.
Zayan, dia cerita sama gue mau lanjutin pendidikannya di perguruan tinggi dengan prodi yang sama, teknik mesin. Maka, jauh dari sebelum tahun baru tiba, anak tunggal itu keras pada dirinya sendiri untuk belajar menghadapi UTBK. Memang, sih, sehari-harinya dia tergolong anak yang berprestasi. Jadi, gue rasa keinginannya untuk melanjutkan, bisa aja dicapai dengan mudah.
Joko, anak ini adalah anak yang paling tengil di kelas, tetapi gue salut sama ini anak. Sebab, dia sudah memetakan hidupnya ingin seperti apa. Postur tubuhnya tinggi dan tegap, makanya setiap harinya Joko selalu berlatih olahraga fisik agar bisa lolos di penerimaan abdi negara. Gue bisa jadi saksinya, karena setiap sore Joko selalu agak gur untuk berlatih di lapangan Yonzipur TNI.
Ada satu lagi teman gue, namanya Tukir, anak ini lemotnya nauzubillah. Dia duduk sebangku sama gue saat di kelas, suka banget nanya-nanya bahkan hal random sekalipun. Akan tetapi, ketika dia mendapatkan jawaban selalu aja enggak paham. Buat orang-orang yang bantu jelasin ke dia kehilangan kesabaran. Namun, di balik itu ini anak bisa tembus kerja di salah satu PT cukup terkenal di kota ini. Kalian tahu kenapa? Sebab, ketika kami PKL semester kemarin, kinerja Tukir berhasil memikat hati pemilik perusahaan. Kegigihan dan keuletan dia dalam bekerja, membuatnya mudah untuk bergabung menjadi pegawai di sana. Enggak disangka, anak selemot ini pun udah punya arah jalan yang jelas.
Loh, gimana dengan gue?
Sebenarnya gue sudah pusing tujuh keliling. Rasanya enggak mungkin gue cuma diam di rumah aja. Apa kata orang nanti? Gue enggak mau sampai harus dicap bujang buntu. Huh, enak aja!
Berarti, kalau mau kerja, gue harus mempersiapkan CV, surat lamaran, dan pasti ada dokumen lain yang harus dilengkapi. Terus lowongannya ...?
“Woi, Bay! Lagi apa, sih?” Itu Joko.
Gue yang kembali sadar, akhirnya menjawab, “Enggak ada sih, cuma bosen aja nih acara lama banget selesainya. Gue dah gerah.”
“Ck elah, Bay, baru sejam juga. Gimana kalau berjam-jam? Udah pingsan kayaknya lo.”
Gue enggak memedulikan ucapan Joko, sudah biasa dicecarnya kayak itu. Gue justru kembali memperhatikan acara, kata sambutan udah selesai, dan sekarang waktunya persembahan dari berbagai perwakilan kelas untuk menghibur siswa kelas akhir. Gue terhibur, tetapi enggak banyak. Entah kenapa gue enggak begitu menikmati momen ini. Ketika gue melirik ke sekeliling, semua memasang wajah gembira. Seolah enggak ada beban yang jatuh ke pundaknya.
“Huh, kayaknya cuma gue sendiri yang gundah gulana kayak gini.” Gue ngomong sendiri.
Gue enggak tahu kalau ucapanku itu didengar oleh Zayan, sampai kemudian dia menyahut, “Mikir boleh, tapi enggak harus berlebihan juga kali, Bay.”
“Ngomong mah gampang, yang jalanin ini gimana? Lo enak udah jelas mau kemana abis ini, lah gue? Kayak enggak ada tujuan hidup. Untung aja bisa lulus sekolah.” Gue jawab dengan malas.
“Nanti juga ada waktunya, Bay. Enggak harus cepet, kok. Selagi lo masih ada kemauan, pasti ada aja jalannya nanti. Percaya deh sama gue.”
“Lo seyakin itu?” tanya gue ragu.
“Loh emang lo enggak yakin? Gimana orang mau yakin sama lo, kalau lo sendiri enggak yakin sama diri lo sendiri. Udah deh, nanti lagi mikirnya. Itu udah masuk sesi foto. Ke panggung, yok!”
“Ck elah, cepet banget. Perasaan tadi baru penampilan dari perwakilan kelas deh,” sahut gue enggak terima.
“Itu karena lo terlalu lama mikir, Abayomi! Udah deh cepetan ke panggung, entar Bu Nita marah, lho!”
“Iya-iya.”
•••
Akhirnya setelah rangkaian acara yang bikin gue gerah, selesai juga. Gue bisa tiduran di kasur dengan tenang. Namun, sebelum itu gue mau berselancar dulu di sosial media. Maklum, Kakak Abayomi ini memiliki cukup banyak penggemar. Walau sebenarnya gue agak risih, ya, ketika adik kelas banyak minta foto bareng sama gue. Namun, paling enggak ada kebanggaan sendiri kalau gue bisa dikenal sama mereka.
Satu per satu story udah gue repost. Enggak nyangka juga banyak yang DM cuma buat ngucapin salam perpisahan sama gue. Sebagai kakak kelas yang baik dan enggak sombong, gue balas semua pesan itu satu per satu.
Sampai satu pesan, bikin gue diem seketika. Gue enggak follow dia, tetapi kayaknya dia terus ikutin perkembangan sosial media gue, deh. Mana enggak ada foto profil lagi, jadi gue enggak bisa kenali dia.
Kenapa gue diem? Karena di DM, dia bilang gini:
Hai, Kak Abay! Selamat atas kelulusannya, ya. Aku seneng akhirnya Kakak enggak harus dihukum lagi pagi-pagi karena telat, hehe. Kalau udah lulus sekolah, jangan lagi dong kebiasaan buruknya dipakai. Malu tahu, Kak!
By the way, abis ini Kakak mau lanjut ke mana? Aku dengar, teman geng Kakak udah punya pilihannya masing-masing, ya. Kakak sendiri udah punya?
Apa yang harus gue jawab? Ya kali gue bakal jawab, Em, gue belum punya pilihan, masih mau bertapa dulu di Gua Hira.
“Kenapa dari banyaknya pertanyaan, harus nanya ini sih? Kayak enggak ada pertanyaan lain aja. Heran deh. Enggak tahu lo, gue udah gundah gulana dari pagi tadi?” Gue bicara sendiri sambil kesal.
Niatnya gue mau lanjut rebahan, tetapi suara emak gue menggema kuat di kamar gue.
“Abay! Ini pakaian kamu kenapa jatuh?!”
Teriakan emak, buat gue sadar sejenak. Segera gue ke halaman belakang, dan ternyata semua pakaian yang udah gue cuci pagi tadi jatuh semua ke tanah dan pastinya udah kotor lagi.
“Emak, kenapa bisa jatuh pakaiannya?” tanya gue masih shock.
“Ya elah ini anak malah nanya Emak, ya Emak enggak tahu lah. Makanya Emak panggil kamu tadi.” Emak menjawab dengan santai.
“Terus ini gimana?”
“Cuci lagi, lah!”
“Emak yang nyuciin, ya?”
“Enak aja! Cuci sendiri baju kamu! Udah besar juga, udah lulus sekolah. Belajar mandiri!” Emak gue mencibir.
Ya, mau enggak mau gue harus cuci ulang ini baju. Lagian ya, ada-ada aja pakai acara jatuh segala. Harusnya sore ini gue bisa leha-leha, eh malah nambah kerjaan, kan?
Selama gue nyuci baju di belakang, Emak sibuk di dapur. Biasalah, emak lagi masak pasti. Tahu kalau anaknya setelah ini bakal laper karena terkuras energi. Em, ngomong-ngomong masalah makanan, sejauh ini masakan Emak yang paling enak. Beneran, bahkan warung tegal aja masih kalah sama punya emak. Dulu, bahkan gue pernah ajakin emak buat bikin warung nasi aja di rumah. Lumayan juga kan untuk penghasilan emak. Akan tetapi, emak nolak. Alasannya, penghasilan dari jahitnya udah jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan di rumah. Saat itu, gue enggak maksa. Toh, yang jalani juga emak, jadi mana yang emak suka aja lah.
Tiba-tiba dari balik pintu dapur, emak cerita. “Bay, anaknya Ibu Jumini katanya mau daftar kerja ke luar kota. Dengar-dengar sih, kerjaan itu menjanjikan. Kamu ... enggak mau ikut daftar, Bay?”
Gue noleh ke arah emak. “Emang Emak mau Abay keluar kota? Emak sendirian loh di rumah. Lagian ya, Mak, di luar kota itu juga susah dapat kerjanya kalau enggak ada orang dalam.”
“Loh, emang harus kayak gitu?”
“Ya iyalah, Mak. Sekarang mah susah cari kerja, kadang kita yang enggak punya apa-apa bisa aja dilengserkan. Abay sering dengar cerita itu dari temen-temen Abay,” kata gue sambil nyuci baju.
Gue enggak tahu ya apa yang dipikiran Emak gue, karena tiba-tiba dia deketin gue terus usap kepala gue dengan hangat.
“Bay, Emak enggak nuntut apa-apa. Sekarang, kamu udah dewasa, udah bisa berpikir dan punya wawasan lebih luas dari Emak. Emak harap, kamu bisa manfaatkan itu dengan baik.”
•••
Bersambung ....