"Pergi dari sini, aku gak sudi punya istri kayak kamu! Aku jijik!" Suara Albert menggema di rumah mewah di kawasan Jakarta Selatan.
Bocah berumur delapan tahun mengintip di balik pintu kamarnya, menyaksikan Mama terisak.
"Aku gak pernah berselingkuh! Aku gak kenal sama pengirim pesan itu," terang Mama dengan berderai air mata.
"Gak usah ngelak! Cepat kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumahku!"
Mama sesenggukan. Sementara itu, tiga bocah berusia sembilan, delapan, dan lima tahun kebingungan. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan pada tengah malam.
"Oke, aku akan pergi!" Mama langsung ke kamar anak-anaknya, tetapi Papa langu mencekalnya.
"Jangan pernah bawa anak-anakku!"
"Tapi mereka darah dagingku!"
"Memangnya kamu sanggup menafkahi mereka, hah?! Apalagi kamu berasal dari keluarga miskin! Kamu nggak akan bisa hidup tanpa uang dariku!"
"Kamu jangan sombong! Selama ini, aku yang membayar uang sekolah mereka, sedangkan gajimu hanya cukup untuk makan!" bentak Mama.
Papa terdiam.
"Kalau bukan karena orang tuamu, terutama ibumu, kau tidak akan pernah jadi apa-apa! Kau hanya anak mami yang manja!"
"Kurang ajar! Cepat pergi!" Papa makin mengamuk.
Mama tak punya pilihan lain sebelum terjadi kekerasan. Dia melesat pergi, meninggalkan rumah mewah tersebut.
"Mama!" Ketiga anak itu langsung berhamburan menuju pintu. "Mama jangan pergi!" Mereka meraung keras sambil menangis.
Namun, Papa langsung mengadang mereka dan buru-buru mengunci pintu rumah.
"Kalian nggak usah menangis! Dia bukan mama kalian lagi, paham?!"
Mereka menggeleng cepat. "Gak mau! Aku mau ikut Mama!"
"Mama, jangan tinggalkan kamu!"
"Cepat masuk kamar!" bentak Papa dengan mata nyalang.
Mama hanya sanggup memandangi mereka dari jauh melalui jendela. Air matanya mengalir deras.
Papa menyeret anak-anaknya ke kamar dan mengurung mereka tanpa memedulikan raungan putus asa ketiga anaknya.
Sementara itu, Mama segera menelepon ojek langganan dan minggat ke rumah sang ibu. Hatinya sangat hancur karena harus berpisah dengan anak-anaknya, diusir suami saat dia baru kehilangan sang ayah delapan bulan lalu.
Fiona, kakak tertua, berusaha menenangkan adik-adiknya. "T-Tenanglah, Mama pasti akan kembali," hiburnya di sela isak tangis.
Tangis mereka sedikit mereda, berusaha memercayai ucapan Kakak.
***
Hannah, ibu Albert, berada di mobil mewah Albert menuju rumah sang putra ketiganya untuk mengurus cucu-cucunya saat menantunya kabur bersama kekasihnya. Begitulah yang dikatakan Albert kemarin.
"Kamu harus menceraikan Vanny. Beraninya dia sudah mempermalukanmu dan keluarga besar kita," tegas Hannah.
Alber memandang jalan dingin. "Aku pasti melakukannya, Ma."
Tak lama kemudian, mereka sampai. Hannah langsung menjenguk cucu-cucu kesayangannya. Namun, mereka hanya melamun.
"Ayo, sayang. Kita makan," bujuk Helen. Namun, mereka hanya menggeleng pelan.
"Kalian gak boleh menolak permintaan Nenek! Cepat makan!" bentak Albert, membuat ketiganya ketakutan.
"Albert, diamlah. Biar Mama yang membujuk mereka."
Albert terpaksa mengalah dan pamit ke kantor lagi.
"Nenek bawa makan kesukaan kalian, lo. Masa kalian gak mau makan?" Suara Helen lembut khas seorang nenek.
"Aku cuma mau Mama, Nek," keluh Agnes putus asa. Sorot matanya yang selalu ceria meredup.
"Mama ke mana, Nek? Kenapa Mama belum pulang juga?" timpal si Bungsu. Matanya sayu.
Nenek menggeram murka dalam hati. Vanny benar-benar menjijikkan. Apakah wanita itu tidak memikirkan nasib anak-anaknya?
"Kalian gak perlu pikirin Mama lagi, Sayang. Yang penting kalian tetap bisa makan dan sehat. Kalian mau mainan, kan? Nanti Nenek belikan."
Dia sangat mencintai ketiga cucunya, karena mereka adalah anak-anak dari putra kesayangannya, Albert.
Namun, mereka kompak menggeleng pelan.
Nenek menghela napas berat. Dia benci pada menantunya.
***
Waktu berlalu begitu lambat. Kini, sudah delapan bulan Agnes, Fiona dan Yohan menjalani hidup tanpa sang mama. Mereka selalu menunggu sambil memandangi ke luar jendela, berharap Mama muncul di pagar.
Namun, itu tak pernah terjadi.
Yohan, yang baru kelas 1 SD, sering bersembunyi di meja sekolah sambil menangis. Bu Guru sering membujuknya dan memberikan harapan palsu agar Yohan kembali bersemangat.
"Nanti kalau Yohan pintar, Mama pasti jemput Yohan."
Awalnya, rayuan itu berhasil mengelabui bocah polos itu. Namun, waktu terus berlalu, dia makin menyadari kalau Mama tidak akan pernah menjemputnya.
Terpaksa, Bu Guru memanggil Albert selaku orang tua.
"Yohan makin tidak bersemangat belajar akhir-akhir ini. Dia selalu murung. Sepertinya, dia merindukan ibunya."
"Itu gak mungkin. Dia cuma malas aja," ketus Albert.
"Tapi, Pak—"
"Jangan sok tahu. Saya adalah ayah Yohan, bukan Anda! Jadi, saya lebih tahu sikap anak saya!"
Akhirnya, Bu Guru tak bisa berbuat banyak.
Demikian menimpa Agnes, putri kedua. Dia sering menangis di sela-sela pelajaran. Baginya, Dunia terasa hampa semenjak Mama diusir Papa.
"Apakah Mama melupakanku?"
Putri sulung pun sama. Dia jauh lebih pendiam daripads sebelumnya. Akibatnya, dia sering diganggu dan diolok-olokan siswa-siswi lain. Untungnya, guru sigap membelanya setelah tahu permasalahan yang sedang Fiona hadapi.
Di tengah kehampaan, Fiona, Agnes dan Yohan berdoa seperti yang sering diajarkan Papa dan Mama.
Keesokan harinya, mukjizat terjadi. Mama diam-diam menjemput mereka di sekolah masing-masing tanpa sepengetahuan sang suami.
Bu Guru juga ikut andil dalam hal itu, karena mengira Mama hanya akan membawa mereka jalan-jalan sebentar lalu mengembalikannya lagi.
Namun, saat itulah, Papa dan Nenek melihat cucunya untuk terakhir kali. Dengan kekuasaan dan kekayaan yang mereka miliki, mampukah Albert dan sang ibu menemukan dan merebut ketiga anak itu kembali?