Ami dibangunkan oleh suara dering ponsel. Ami lekas membuka mata dan lagi-lagi mendapati dirinya telah berada di kamarnya. Jam dinding kamar telah menunjukan pukul delapan yang artinya, Ami bangun kesiangan. Ami segera meraih ponsel yang sejak tadi berbunyi pertanda panggilan dari sang ayah.
“Halo, ayah.”
“Cepat mandi! Siap-siap! Hari ini jadwalmu ke dokter gigi. Ayah sudah bilang padanya kalau kamu akan datang jam delapan. Silakan datang terlambat kalau memang ingin mempermalukan ayah. Ayah tahu kalau hari ini kamu kuliah siang. Pergi ke dokter gigi dulu sebelum ke kampus!”
Ami benci pergi ke dokter gigi tiap satu semester, tapi ayahnya sangat sensitif soal kesehatan karena profesinya adalah dokter. Ami segera bersiap karena akan lebih merepotkan kalau dia tidak menurut.
Ami berangkat terburu-buru. Saat melewati pintu Mimpi & Co., Ami memutuskan untuk mampir sejenak untuk menyepa.
“Selamat pagi, Pak Guska,” sapa Ami setelah membuka pintu.
Sayangnya, dia tidak menemukan keberadaan Pak Guska. Pikir Ami, Pak Guska mungkin sedang di bawah. Karena tidak punya waktu, Ami menutup pintu kembali karena harus buru-buru pergi ke dokter gigi dan berencana berkunjung lagi sepulang kuliah.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan dokter gigi dan melanjutkan aktivitas ke kampus, Ami nyaris menyapa Aidan yang berpapasan dengannya di lobi fakultas. Karena paginya terlalu sibuk, dia jadi lupa kalau mimpinya telah berakhir. Dadanya tiba-tiba sesak setelah mengingatnya. Ami memeriksa ponselnya dan nomor para mimpi sudah tidak lagi ditemukan. Dia kemudian menatap langit yang sudah biru. Tidak ada lagi periwinkle di dunia ini karena ini realita. Hari ini, Ami mengikuti kuliah dengan perasaan sakit hati yang tidak bisa ia sampaikan kepada siapapun.
Saat menuruni tangga selepas kuliah, Ami terkejut karena tiba-tiba terdorong oleh seseorang di belakangnya. Untungnya, Ami berpegangan erat-erat pada railing lalu melihat rombongan Rini yang melewatinya. Mereka mulai lagi, pikirnya.
“Mereka cuma kesal gara-gara ada yang negur mereka gara-gara ngedorong lo dari tangga,” kata seorang koordinator kelas yang selanjutnya melewati Ami begitu saja.
“Nina,” panggil Ami, untuk pertama kalinya memanggil nama koordinator kelasnya. “Lo yang negur?” tanya Ami setelah lawan bicaranya berhenti dan menoleh padanya.
Koordinator kelas bernama Nina itu menggeleng. “Kenapa gue harus bantu orang yang nggak mau gue bantu?” tanyanya menyindir.
“Sorry,” ucap Ami–terasa ringan tanpa beban dan menyadari bahwa ternyata beginilah perasaan meminta maaf yang sebenarnya. “Maaf karena gue pernah kasar ke lo.”
Setelah ucapan maaf itu, ekspresi Nina tampak berubah lebih hangat. “Katanya, presma yang negur mereka soalnya dia punya kerjasama sama biro konseling kampus dan sering ngadain kampanye edukasi anti-bullying.”
Ami tertegun. “Kak Pasha?”
“Siapa lagi? Kabarnya sih dia bareng sama mahasiswa fakultas kita yang jadi saksi pas Rini dorong lo sampai jatuh. Kayaknya sekarang lo nggak perlu takut lagi deh sama Rini. Mereka nggak bakal berkutik kalau presiden mahasiswa udah terlibat."
Mahasiswa fakultas seni rupa yang dekat dengan Pasha, siapa lagi jika bukan Aidan? Ami hampir tidak percaya dan mengira bahwa ini masih mimpi. Namun, ponselnya bergetar dan notifikasi pesan pemberitahuan dari Mimpi & Co. datang meyakinkannya.
Dari : Pesan otomatis Mimpi & Co.
Halo, pelanggan terpilih.
Mimpi Anda bersama kami telah berakhir. Terima kasih telah berjalan sejauh ini dalam dunia yang kami ciptakan khusus untuk Anda.
Segala kenangan, rasa, dan segalanya yang pernah Anda rasakan kini akan kembali ke tempat semestinya–dalam ingatan. Meski pintu telah tertutup, yakinlah bahwa apa yang Anda pelajari dari mimpi tak pernah sia-sia.
Jika Anda merasa kehilangan, ingatlah: mimpi tak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya beristirahat di tempat yang tenang untuk dirindukan.
Selamat menjalani realita.
Salam hangat,
Mimpi & Co.
Ami ingat bahwa Pak Guska pernah bilang bahwa setelah pesan terakhir, pintu Mimpi & Co. akan menutup. Maka, Ami buru-buru berlari menuju ke sana. Ami merasa sudah berlari secepat mungkin, tapi dia tetap terlambat. Pintu Mimpi & Co. yang berada di celah bangunan … telah hilang. Sudah tidak bisa disangkal lagi bahwa mimpi telah selesai. Dadanya tiba-tiba sesak lagi. Dia sedih karena tidak sempat menyampaikan kata-kata perpisahan kepada Pak Guska. Ami tidak punya pilihan selain merelakannya.
Tanpa disangka-sangka, dunia nyata Ami terasa lebih aman setelah menjalani mimpi. Ami jadi lebih mudah menerima seseorang yang hadir ke kehidupannya–karena sekarang dia tahu bahwa punya teman ternyata menyenangkan. Ami selalu ingat kata-kata Aidan bahwa: dia tidak perlu meminta izin siapapun untuk ada, memaafkan diri sendiri adalah bagian penting dari meminta maaf, dan kejujuran merupakan bentuk dari keberanian.
Lambat laun, Ami menjadi dekat dengan Nina dan pertemanan mereka tumbuh menjadi lebih hangat. Rini dan teman-temannya pun berhenti mengganggunya. Saat memikirkan bahwa Pasha dan Aidan yang membantunya, Ami jadi berspekulasi: Aidan adalah saksi mata yang melapor kepada Pasha. Ami jadi ingat pengakuan Aidan di malam terakhir mimpinya. Jika Aidan memang sudah memperhatikannya jauh sebelum Ami mengenal Mimpi & Co., kira-kira kapan Aidan akan datang mendekatinya? Ami terus menunggu, tapi Aidan tidak datang sampai akhir semester tiba.
Acara rutin tiap akhir semester di fakultas seni rupa adalah pameran karya mahasiswa. Ami menyumbang tiga lukisan untuk dipamerkan yang masing-masing berjudul: Pelangi Salju Musim Panas, Paus 52 di Angkasa Raya, dan Meteor Warna-warni–semuanya didominasi dengan warna ungu khas Mimpi & Co. Setiap ditanya terinspirasi dari mana, Ami akan menjawab: dari mimpi. Dari pameran itu, Ami mulai dikenal sebagai mahasiswi pelukis surealis karena karyanya cukup mengundang perhatian.
“Suka surealis, ya?”
Ami terkejut saat tiba-tiba ada yang bertanya. Ami baru datang untuk memeriksa lukisannya di ruang pameran lalu seseorang tiba-tiba menghampiri. Saat Ami menoleh, dia tertegun melihat seseorang di sampingnya. Aidan.
“Ini karya lo kan … Ami?”
Ami masih terdiam. Aidan bahkan tahu namanya. Ami ingat bahwa Aidan sempat berpesan padanya untuk jangan kabur saat dia datang.
Ami mengangguk. “Iya, Kak.”
Aidan mengangguk mengerti. “Sebenarnya dari kemarin gue nyari lo, tapi lo nggak di sini. Gue tertarik sama lukisan lo terutama lukisan pelangi yang bisa dipanjat sama anak-anak kecil. Boleh nggak kalau gue foto terus gue masukin platform gue? Nanti lo gue tag kok.”
Ami nyaris tertawa. Ingin sekali ia sampaikan bahwa mereka bukan anak-anak, tapi Ami menahan diri. Seraya menatap Aidan, dia mengangguk mengizinkan.
“Boleh, Kak.”
“Thanks, ya? Tapi sebelum itu … gue boleh minta nomor lo?” Aidan menyodorkan ponselnya. “Barangkali nanti kita bisa sharing-sharing, atau ngelukis bareng … di kafe … sambil ngopi …”
Ami memperhatikan Aidan yang menatapnya hangat–itu adalah tatapan yang ia rindukan. Saat itu Ami sadar bahwa beginilah alur yang seharusnya. Manusia bisa saja terlena pada sesuatu–mimpi, misalnya–dan meminta bantuan seseorang untuk meraihnya. Namun, manusia bukan apa-apa tanpa keberanian diri sendiri–dan tanpa mimpi. Ya. Kita semua perlu bermimpi untuk memantik gairah agar berkobar sehingga kita menjadi terang dan bisa menemukan jalan masa depan.
Hei kalian para pemimpi, semoga suatu hari nanti Mimpi & Co. menemukan kalian. Dan saat semua itu terjadi, maka selamat bermimpi …
TAMAT