Saat berangkat kuliah, langkah Ami refleks berhenti karena melihat motor Ron melewatinya. Meskipun Ron mengenakan helm, Ami sudah hafal motor, helm dan posturnya. Ami bersembunyi di balik pohon saat Ron tampak memperhatikan spion. Saat Ami ingin melihatnya lagi, sosok Ron sudah tak terlihat lagi. Ami pun melanjutkan perjalanannya menuju fakultasnya seraya melihat sekeliling–barangkali Ron akan muncul lagi. Dugaannya benar. Di halaman fakultasnya, dia dikejutkan dengan suara klakson dan sebuah motor yang berhenti mendadak di hadapannya. Aku terkejut setengah mati sampai memekik keras.
Ron membuka kaca helmnya seraya tertawa. “Nyariin gue kan, lo? Kenapa? Kangen? Udah mau ketemu gue? Udah nggak nangis lagi?”
Ami mengomel, “Kak Ron nggak usah ngagetin, bisa nggak sih?”
“Nggak bisa! Lo lucu soalnya.” Ron masih terkekeh. “Lagian lo aneh. Pas gue lewat, lo sembunyi. Pas gue udah nggak ada, lo nyariin. Lo malu-malu kucing?”
“Aku emang masih nggak mau ketemu Kak Ron!” ketus Ami.
Ekspresi Ron seketika berubah kecewa. Saat dia kembali menyalakan motor, Ami segera meraih tangannya.
“Bukan gitu maksud aku,” ujar Ami yang mulai merasa bersalah seperti biasa.
“Terus kenapa? Kasihan doang kan lo sama gue? Lepasin gue atau gue teriak dan ngasih tahu semua orang kalau lo pacar gue–”
Ami sontak melepaskan lengan Ron. Ron pun tersenyum sinis. “Segitu nggak sukanya lo sama gue?” Dia kecewa lagi.
“Bukan gitu–”
“Berarti lo suka kan sama gue?” tanya Ron segera. Kali ini dengan senyum usil yang mempesona.
Itu pertanyaan yang berbahaya. Jawaban apapun rasanya akan sangat berisiko apalagi Ron bukan orang yang mudah diajak berdiskusi. Ami akhirnya diam, tapi ternyata itu juga berisiko.
“Kan?” kata Ron. “Lo nggak bisa jawab, berarti lo emang suka gue. Ngaku nggak lo?” desaknya dengan senyum menyebalkan di wajah. “Mau gue tembak lagi? Lo maunya ditembak dimana? Di sini? Kapan? Besok? Sekarang? Udah bagus gue tembak di panggung malah ditinggal kabur. Atau lo maunya gue tembak pas kita lagi berdua aja? Lo malu di depan banyak orang? Gitu?”
“Sssstt …” Ami membungkam mulut Ron dengan jari telunjuknya–jari telunjuk yang benar-benar menempel di bibir Ron. “Kalau banyak tanya, aku jadi bingung mau jawab yang mana!”
Ron justru menangkap erat tangan Ami yang telah berani menyentuhnya. Ami berusaha menarik tangannya kembali, tapi genggaman Ron lebih kuat.
“Yakin?” tanya Ron. “Lo mau nggak gue culik lagi?”
Semakin runyam, Ami memutuskan menggunakan cara kejam agar bisa kabur. Ami menggigit tangan Ron yang menggenggam tangannya. Ron refleks memekik dan tidak punya pilihan lain selain melepaskan Ami. Dia ingin mengomel, tapi Ami sudah buru-buru menjauh.
Seraya berjalan pergi, Ami berseru kepada Ron, “Aku ada kuliah! Beneran! Aku nggak bohong!”
Ron tertawa melihat bekas gigitan Ami. Ami pun ia tertawai, “Hahaha … Lucu banget. Cantik, tapi nggigit. Gemesss …”
Ami memasuki gedung secepat mungkin. Hari ini, Ami benar-benar sangat mengharapkan kedamaian. Akhir-akhir ini dia selalu bahagia karena merasa dicintai, tapi dia juga lelah menghadapi keabsurdan mereka. Meskipun keanehan-keanehan turut muncul, tapi itu tidak mengubah fakta mimpi bahwa saat ini Ami tengah dikelilingi para pria yang jatuh cinta padanya.
Di jam kuliah yang membahas aliran surealisme, ketenangannya lagi-lagi terganggu. Bukan hanya Ami, tapi semua orang di kelasnya. Ada seorang mahasiswa yang tampak lebih muda darinya yang tiba-tiba mengetuk dan membuka pintu.
“Permisi, Bu dosen!”
Batin Ami: mahasiswa gila mana yang berani mengajak seorang dosen bicara di tengah kelas?
Mahasiswa itu berkata dengan lantang dan tanpa malu meskipun seluruh perhatian telah tertuju padanya. “Maaf mengganggu, Bu. Saya cuma mau ketemu kakak saya sebentar. Dia ganti nomor, tapi nggak ngabarin, padahal kemarin ayah kita meninggal.”
Ami membatin lagi: Oh, pantesan. Kurang ajar banget ganti nomor tanpa ngabarin padahal ayahnya meninggal. Dosen di kelasnya pun mengizinkan mahasiswa itu untuk menemui kakaknya sekadar untuk meminta nomor. Ami pun melihat mahasiswa sekelasnya karena penasaran dengan siapa yang dimaksud oleh mahasiswa itu. Saat Ami melihat sekeliling, Ami justru heran karena semua orang justru menatapnya. Saat Ami menatap ke depan, dia terkejut karena mahasiswa tadi ternyata menghampirinya dan menyodorkan ponselnya.
“Kasih nomor! Cepetan!”
Ami diam bak membeku. Apa-apaan ini?! Orang yang dimaksud mengganti nomor tanpa mengabari saat ayahnya meninggal itu … dirinya? Ami pun menduga, ini pasti Mimpi & Co. Ami berteriak kesal dalam hati: ALESAN MINTA NOMORNYA NGGAK LUCU BANGET!
Ami tidak berkutik karena saat ini dia menjadi pusat perhatian seluruh kelas termasuk dosen. Agar semuanya cepat selesai, Ami terpaksa memberikan nomornya kepada mimpi barunya. Ami merasa cukup tenang setelah mahasiswa itu akhirnya pergi. Namun setelah itu, ada nomor baru yang terus meneleponnya. Karena ponselnya terus bergetar, Ami memutuskan untuk mematikan ponselnya. Namun, hal itu juga memblokir pesan dari mimpi yang lain. Selepas kelas, Ami mendapati Aidan menunggu di koridor depan kelas.
“Aku tadi chat kamu, tapi nggak kekirim,” katanya.
“Sorry, Kak. HP-nya aku matiin.” Ami pun segera menyalakan kembali ponselnya.
“Mau ngobrol sambil jalan?” pinta Aidan yang menyadari beberapa orang memperhatikan.
Ami bersedia. Mereka menyusuri koridor dan menuruni tangga seraya berbasa-basi kecil. Aidan menanyakan mata kuliah yang Ami sukai dan Ami memberitahu kalau dia tertarik pada aliran surealisme–aliran yang sarat akan mimpi seolah menentang dunia nyata. Seperti kebetulan, Aidan ternyata juga menyukai genre itu. Mereka pun mulai membahas salah satu karya Salvador Dali berjudul The Persistence of Memory yang berupa lukisan jam-jam meleleh–yang sering diartikan sebagai waktu yang tidak berjalan secara linier, pengingat kehidupan yang sementara dan mengkritik realitas. Hal itu tiba-tiba mengingatkan Ami dengan mimpi yang tengah ia jalani–mimpi dari Mimpi & Co.
“Kayaknya aku udah di tahap canggung ke kamu deh, Ami,” kata Aidan seraya menghentikan langkahnya saat mereka melewati lobi fakultas.
“Kak Ai nggak kelihatan canggung kok. Lagian yang harusnya canggung kan aku?” balas Ami.
“Aku suka kamu. Aku tahu kalau aku udah confess waktu kita ketemu di minimarket beberapa hari lalu. Dan kamu tahu nggak? Respon kamu justru bikin aku makin suka. Kayak … cewek kayak kamu tuh cuma ada satu di dunia. Dan di dunia ini, yang langka emang banyak yang suka.”
Ami terdiam. Kedengarannya sangat tulus, tapi–sekali lagi–Ami harus menyadari kalau semua ini hanya mimpi. Ponsel di tangan Ami bergetar pertanda sebuah panggilan–Ami segera menolaknya.
Aidan berkata, “Kenapa ditolak, Ami? Angkat aja nggak apa-apa kok. Lagian aku ada kelas lagi habis ini. Aku pergi duluan, ya?”
Aidan pergi seketika. Ami ingin menahannya, tapi ponselnya kembali bergetar pertanda pesan. Bukan dari mimpi, tapi dari pemberi mimpi itu sendiri, Mimpi & Co.
Dari: Pesan otomatis Mimpi & Co.
Halo, Pelanggan Terpilih.
Kami ingin memberi kabar bahwa mimpi Anda telah berlangsung selama setengah bulan.
Status : Aktif (Hari ke-15)
Catatan : Paket mimpi yang Anda pilih (Paket Menangkap Bulan) memiliki batas waktu sebulan
Saran : Gunakan waktu sebaik mungkin untuk menyelami keinginan terdalam Anda
Selamat menikmati 15 hari yang tersisa. Terima kasih telah mempercayakan mimpi Anda kepada kami. Sampai jumpa di batas realita.
Salam hangat,
Mimpi & Co.
Setengah bulan ternyata telah berlalu. Untuk sesaat, Ami merasa hampa karena memikirkannya. Setengah bulan telah menjadi kenangan, dan setengah bulan sisanya … apakah untuk menyambut perpisahan? Dengan raut sedih, dia berjalan melewati trotoar jalan utama menuju gerbang.
“Taksi!” seru seseorang.
Seorang mahasiswa berlari belewati Ami menuju taksi yang kebetulan berhenti di hadapannya. Saat orang itu membuka pintu, Ami terkejut karena dirinya tiba-tiba ditarik agar ikut masuk. Ami belum sempat memberontak saat pintu tiba-tiba ditutup lalu mahasiswa yang menariknya berseru:
“Jalan, Pak!”
Ami yang masih ling-lung tiba-tiba panik saat taksi mulai berjalan dan dia merasa diculik lagi. Ami menoleh ke arah seseorang yang duduk di samping–yang saat ini tengah tertawa puas tanpa merasa bersalah.
Ami menuding, “Lo yang tadi nerobos kelas gue dan bilang kalau ayah gue udah meninggal?”
“Masih hidup emang?”
“Pakai nanya! Nggak ada sopan-sopannya!”
“Ya maaf. Cuma itu cara paling jitu biar bisa dapetin nomor lo, Kak. Tapi nggak guna juga sih soalnya lo gue telepon juga nggak diangkat.”
“Gue nggak suka ditelepon! Males! Nggak punya energi! Lagian lo siapa sih? Kenapa tiba-tiba mau nomor gue?”
Dengan semringah, Rian meraih tangan Ami dan menjabat tangan sepihak. “Kenalin, gue Rian, playboy paling ganteng seantero kampus.”
“Playboy? Lo bangga mainin cewek, gitu? Lo suka jadi cowok brengsek?”
“Ya enggak sih. Gue cuma kasihan sama mereka yang naksir gue. Gue kasih jadian sehari atau dua hari kan lumayan bikin mereka seneng? Buat mereka, jadi mantan gue tuh termasuk pencapaian besar.”
“Nggak! Gue nggak suka sama mindset lo. Sekarang turunin gue! Gue mau pulang!”
“Gini aja deh. Gue bakal berhenti jadi playboy kalau lo mau jadi pacar gue.”
“Turunin gue, nggak?! Gue mau dibawa kemana?”
“Oh iya lupa.” Rian berseru kepada supir, “Pak, supermarket, ya?”
Ami dibawa ke supermarket. Di tempat belanja yang seluas itu, Rian hanya beli sebotol susu pisang yang ia minum sendiri–dan Ami disuruh bayar. Ami mencoba memakluminya karena ini hanya mimpi. Dia terpaksa membayar karena Rian sudah terlanjur memberitahu petugas kasir lalu kabur terlebih dahulu. Begitu keluar dari supermarket, Ami menghampiri Rian yang berdiri di tepi jalan menunggu taksi seraya meminum susunya dengan sedotan.
“Makasih traktirannya,” ucap Rian setelah Ami tiba di sampingnya. Ami memandangnya dalam diam, lalu Rian tiba-tiba memuji, “Lo makin cantik kalau lagi sebel.”
Ami menghela napas dalam-dalam. “Lo mau nyulik gue kemana lagi habis ini?”
Rian menggeleng. “Udah ah. Lo kayak udah capek. Kita langsung balik kampus aja.”
“Ngapain?”
“Ngambil motor.”
Ami kesal tidak habis pikir. “Kalau lo bawa motor, terus kenapa kita kesini pakai taksi?”
Rian menjawab dengan polosnya, “Helm … nya … cuma … satu.”
Ami menghela napas lagi. “Lo semester berapa sih?”
Rian bergegas menjawab, “Satu. Fakultas teknik. Juniornya Ronin Fannan.” Dia memberi penekanan di kalimat terakhirnya.
Ami pura-pura tidak kenal saat nama Ron disebut. Dia hanya menanggapi singkat, “Oh.”
“Ron bukan pacar lo kan, Kak?” tanya Rian tiba-tiba.
Sepasang mata Ami melebar setelah mendengar pertanyaan itu.
Rian menambahkan, “Gue lihat lo ditembak di panggung pas dia lagi konser. Terus habis itu lo pingsan. Iya, kan?”
Ami menatap Rian lalu bertanya, “Lo … nonton?”
“Iya,” jawab Rian. “Tadinya mau ketemu dia sekalian, tapi udah males duluan soalnya dia ternyata suka sama lo. Akhirnya cuma temen gue yang nemuin dia di tenda belakang panggung.”
Aidan? Jangan-jangan waktu itu Rian datang bersama Aidan? Batin Ami berisik.
“Jawab gue!” desak Rian. “Lo pacaran nggak sama Ron? Kalau iya, putusin! Karena yang seharusnya jadi pacar lo tuh bukan dia, tapi gue!”
Apakah akan terjadi konflik antar-mimpi di Mimpi & Co.? Ami merasa tidak perlu khawatir karena ini hanya mimpi. Lagipula Rian maupun Ron tidak akan saling kenal jika berada dalam radar mimpinya.
[]