Pukul sebelas siang, Ami duduk di bangku perpustakaan menunggu kedatangan Pasha. Dia telah mengurungkan niat awalnya untuk menunggu sambil membaca buku karena dia ingin segera melambaikan tangan jika Pasha datang. Itulah yang Ami pikirkan selama berjalan kaki dari kelas sampai ke perpustakaan. Dia ingin memberanikan diri untuk menyapa orang lain lebih dulu.
Menunggu di perpustakaan tanpa membaca buku ternyata membosankan. Sesekali Ami akan duduk sambil melipat tangan di atas meja dan sambil mengayun-ayunkan kakinya yang tergolong pendek. Atau, Ami akan bersenandung kecil tanpa suara padahal sebenarnya benaknya sedang bernyanyi. Saat menyadari hujan ternyata turun, Ami segera beringsut ke kursi terdekat dengan jendela agar bisa memandang hujan lebih jelas.
Ami suka hujan. Dia mengamati titik-titik hujan yang memercik ke kaca jendela. Saat mengalir, titik-titik juhan itu menyatu dengan titik-titik hujan yang lain. Ami benar-benar menikmatinya. Ami kemudian mengamati sekelilingnya dan berpikir: Apakah Pasha terjebak hujan sehingga tak kunjung sampai?
Saat perhatian Ami berkeliling, dia menemukan seorang mahasiswa di meja depan yang duduk menghadapnya sambil membaca buku, tapi tatapan mahasiswa itu justru tertuju kepadanya. Tampak mencurigakan sampai Ami mengawasinya dan secara terang-terangan melihatnya. Menyadari sudah diawasi, sepasang mata mahasiswa itu kemudian tampak tersenyum karena menyipit–senyum bibirnya tersembunyi di balik buku yang menutupi separuh wajahnya. Saat buku akhirnya ditutup dan diturunkan, Ami baru menyadari kalau mahasiswa itu ternyata Pasha, seorang presiden mahasiswa yang sedang dia tunggu.
Pasha berpindah tempat duduk ke kursi di hadapan Ami. Dia melambai kecil untuk menyapa sambil tersenyum malu-malu–lesung pipit terbentuk indah di kedua pipinya karena senyum itu. Apa pria ini sedang salah tingkah? Sesuka itukah Pasha kepada Ami sampai dia merasa semalu itu? Mari kita lihat bagaimana mimpi Mimpi & Co. bekerja!
Ami bertanya lebih dulu, “Kak Pasha udah dari tadi? Kenapa nggak langsung nyamperin aku?”
Pasha menjawab malu-malu sambil menggaruk tengkuk. “Soalnya tadi kamu kelihatan lagi menikmati waktu banget. Aku jadi nggak berani ganggu. Terus aku liatin aja kamu dari jauh–ternyata cantik banget.”
Kalimat terakhir Pasha lekas membuat Ami merona. Ami tidak ingat kapan terakhir kalinya dia mendapat pujian.
“Ami udah makan?” tanya Pasha.
Ami melihat jam di layar ponselnya yang tergeletak di atas meja lalu berkata, “Sekarang bukannya terlalu awal buat makan siang ya, Kak? Masih jam sarapan nggak sih?”
“Iya juga, ya? Tapi Ami udah sarapan?”
Ami mengangguk. “Tadi di rumah aku sarapan sandwich. Tadinya mau bikin hot chocolate, tapi nggak jadi.”
“Kenapa nggak jadi?”
“Buru-buru mau ke kampus.”
“Oh. Ami suka sandwich sama hot chocolate? Temen aku juga ada loh yang bikin itu tiap hari. Dia punya kafe, by the way. Kalau boleh tahu, makanan favorit Ami apa?”
Ami menjawab sambil tersenyum malu, “Bakso.”
“Enak tuh. Aku juga suka kok sama yang berkuah, gurih, anget apalagi pedes.”
Ami mengangguk setuju, tapi dia tidak tahu harus membalas apa. Akhirnya, Pasha yang melempar pandangannya ke sekeliling ruangan dan terlihat seperti sedang mencari topik.
“Ngomong-ngomong, Ami suka baca buku?” tanya Pasha yang kembali menatap ke lawan bicara.
Ami mengangguk mantap. “Suka!”
“Paling suka buku apa?”
“Little Prince.”
“Punyanya Antoine de Saint-Exupery?”
“Aku nggak hafal nama penulisnya soalnya ribet, tapi kayaknya iya.”
“Tentang seorang pilot yang terdampar di Gurun Sahara terus ketemu pangeran cilik dari luar angkasa, kan?”
“Iya!” sahut Ami mantap. “Kak Pasha pernah baca juga?”
“Pernah dong. Tahu nggak kalau buku itu ada versi filmnya?”
“Udah nonton juga. Filmnya animasi, kan?”
“Berarti Ami suka nonton film juga dong?”
“Suka.”
“Kalau sama aku?” tanya Pasha tiba-tiba.
“Eh?” Ami terpaku.
“Kalau sama aku, mau?” ulang Pasha. “Ke bioskop? Nonton film bareng? Terus nanti pulangnya kita makan bakso. Mau?”
Ajakan yang tiba-tiba itu membuat Ami terdiam. Dia menyayangkan ajakan itu yang sebenarnya hanya mimpi.
“Aku udah bilang kan kalau aku naksir kamu?” Pasha berterus terang, “Aku boleh nggak sih kalau minta kesempatan? Aku mau minta waktu kamu buat jalan sama aku biar kita tambah kenal satu sama lain. Soalnya kan nggak etis ya kalau langsung nembak? Walaupun aku pengennya gitu, tapi aku nggak mau kalau misalnya itu terkesan buru-buru buat kamu.”
Ami terdiam mendengar pernyataan langsung yang kedengarannya sangat serius itu. Bagaimana bisa ini semua hanyalah mimpi sedangkan Pasha secara nyata berada di hadapannya? Udara dingin dari hujan juga Ami rasakan dengan sangat jelas termasuk detak jantungnya saat ini yang tidak kalah berisik dari hujan. Ami sangat menyayangkannya dan ingin berteriak kepada semesta: Kenapa ini semua hanya mimpi? Tiba-tiba Ami ingin Pasha yang versi nyata.
“Ami, sebenarnya aku tuh tadi ada rapat kecil, tapi aku nyempetin waktu buat ketemu kamu–soalnya kamu bisanya sekarang,” kata Pasha. “Rapatnya santai kok, tapi tetep aja nggak enak kalau aku pergi lama-lama soalnya aku kan ketuanya. Kalau kamu nggak keberatan, tolong nanti kamu kasih aku jawaban lewat chat aja, ya? Kalau kamu mau, nanti aku bakal langsung nentuin waktu buat kita nge-date–eh, maaf–nonton film, maksudnya. Ami?” Pasha memanggil.
Ami menoleh dan menatap lemas. Pikiran Ami masih sibuk dengan ketidakterimaan atas kejadian pada waktu ini yang hanya merupakan manipulasi dari Mimpi & Co. Meskipun semua ini adalah mimpi yang Ami inginkan, tetap saja mimpi indah selalu diinginkan untuk menjadi nyata oleh setiap orang. Ami ingin menyesal, tapi tidak pantas menyesal. Ingin bersyukur, tapi hatinya tidak selapang itu. Saat ini juga Ami sangat ingin Pasha menjadi nyata. Di hadapannya, Pasha beranjak dari kursi dan berpamitan.
Hari setelah hujan, Ami berjalan melintasi jalanan yang basah. Dia melompati genangan air demi melindungi sneakers kesayangannya–lalu sebelum masuk ke Mimpi & Co., dia melihat sekitar. Setelah yakin bahwa sekitarnya sepi, Ami pun memutar gagang pintu dan masuk. Di dalam sana, Pak Guska ternyata sudah menunggu bersama dua cangkir cokelat panas di atas meja yang uapnya masih mengepul tebal.
Mereka duduk berhadapan dan Ami mulai menyampaikan apa yang mengganjal pada hari ini. Entah kenapa, menurutnya, Pasha terasa sangat nyata. Berbeda dengan Axel yang langsung menunjukkan tingkah gila, Pasha justru berlawanan–Pasha bersikap sangat hangat dan sama sekali tidak menunjukkan keanehan. Mendengar cerita Ami, Pak Guska merespon dengan sedikit canda.
“Toilet di mimpi juga bisa menipu, lho?”
Ami berseru tak terima, “Jangan samain Kak Pasha sama toilet!”
Pak Guska tertawa. “Persepsi kamu jangan di situ saja. Pernah nggak kamu bermimpi yang rasanya kayak beneran kejadian?”
Ami mengangguk terburu-buru.
Pak Guska melanjutkan, “Mimpi itu memang lebih sering menipu. Lucid dream itu cuma dialami sebagian kecil orang–sangat kecil. Sedangkan mayoritas orang itu tertipu oleh mimpinya sendiri. Saat bermimpi, mereka lebih sering nggak sadar kalau itu mimpi.”
Ami tidak bisa membantah karena dia mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari mayoritas orang yang dibicarakan Pak Guska. Dirinya seharusnya bisa menerima ini, kan? Hari ini Ami dibuat bahagia oleh seseorang yang ia pikir benar-benar pengagumnya. Wajar saja Ami merasa bahagia karena dia hampir tidak pernah merasakan rasanya dikagumi sehingga saat hal itu benar-benar terjadi, Ami jadi hilang kendali.
“Oke,” Ami mengangguk seolah-olah dirinya telah mengerti. Dia menatap Pak Guska dengan mata kecewa lalu berkata. “Ayo kita lihat dulu! Kak Pasha ngajak saya ke bioskop. Kalau nanti ada yang aneh, berarti dia salah satu dari mimpi saya. Gitu kan, konsepnya?”
Pak Guska tersenyum miring karena Ami tampaknya masih meragukan penjelasannya. Ami seolah-olah sedang menantang Mimpi & Co. padahal sebenarnya Ami yang sedang menantang dirinya sendiri–tanpa Ami menyadarinya. Pak Guska hanya merespon perkataan Ami dengan anggukan tanpa bicara.
[]