Aluna baru saja tiba di rumah. Ia baru kembali dari warung Mang Ijal untuk mengambil barang dagangannya. Ditengah merapikan barang dagangan yang tersisa di dapur ponselnya bergetar, menampilkan notifikasi dari grup kelas. Ia langsung meraih ponselnya. Ia sudah tahu hal yang membuat ponselnya terus membunyikan notifikasi.
Kabar tentang Andra selalu update di grup kelasnya. Meskipun ia dan Andra tidak satu kelas, namun berita itu menjadi satu hal yang hangat belakangan ini. Setiap kali ada berita terkait tentang Andra, tangan Luna gemetar, ia masih tidak percaya dengan kabar Andra yang tertangkap oleh polisi.
Luna tidak ingin sedikitpun tertinggal informasi tentang Andra. Bukan untuk menjadikan bahan gopis bersama teman-temannya, melainkan di dalam hatinya tumbuh tekad untuk membalas budi Andra. Sebab sosok yang dulu membantunya keluar dari masalah, kini justru terjebak dalam masalah. Jika ada suatu cara menolong Andra, ia ingin menjadi sosok orang pertama yang melakukannya.
Usai membaca pesan dari grup, merapikan peralatan dagangan dan menaruh sisa dagangan di atas piring, Luna masuk ke dalam kamar. Mengganti pakaian sekolah dengan pakaian santai rumah. Sesudah itu ia pun merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Bayang-bayang Andra sungguh menghantuinya.
"Luna."
"Lun!"
Suara teriakan yang dipastikan itu adalah Arka—abangnya. Luna hanya bisa menarik napas panjang. Jujur ia sudah lelah dengan sikap abangnya yang selalu berteriak-teriak jika memanggil namanya. Merasa Luna tak langsung menanggapi dirinya Arka merasa kesal. Arka membuka pintu kamar Luna tanpa izin.
"Astagfirullah! Benar-benar lu ya! Gua manggil-manggil malah enak rebahan di kasur!"
Luna hanya memandang Arka. Menunggu ucapan selanjutnya dari Arka.
"Cepat bikinin gua minuman sama camilan. Temen gua mau dateng," perintah Arka tanpa mengucapkan kata tolong.
"Cepetan!" teriak Arka yang sudah mulai kesal dengan sikap Luna.
"Benar-benar lo ya!"
Arka menarik lengan baju Luna membangunkan paksa Luna yang sedang asik tiduran di atas kasur. Dengan perasaan kesal Luna menuruti perintah Arka berjalan menuju dapur melewati ruang tamu.
Luna berniat membuatkan es teh untuk tamu Arka. Saat hendak mengambil es batu dari kulkas mendadak pikiran Luna teringat akan seseorang ketika melewati ruang tamu. Karena di sana sudah ada tamu Arka yang sekilas ia lihat. Perlahan ia membuka tirai penutup ruang dapur supaya tidak terlihat dari ruang tamu.
Mata Luna membelalak melihat siapa seseorang yang sedang duduk di ruang tamu tersebut. Sosok yang sedang ramai menjadi buah bibir di sekolah selain Andra. Luna hendak mengambil foto, namun ponselnya tertinggal di dalam kamar.
"Aduh gimana ya?" tanya Luna kebingungan. Ia memikirkan cara supaya bisa kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya.
"Alesan apa sama Bang Arka ya? Kalo keluar kira-kira dia kenal ga ya kalo gua anak SMA Bhakti juga?"
Luna mengigit kuku pikiran dipenuhi kebingungan. Ia harus segera melakukan tindakan. Ia juga harus tahu apa yang dilakukan orang itu mengapa itu bisa berada di rumahnya? Dan berurusan dengan abangnya?
Berjalan mondar-mandir di sekitaran dapur. Akhir memikirkan satu cara yang paling masuk akal untuk bisa mengambil ponselnya yang berada di dalam kamar. Perlahan Luna berjalan menuju ke arah kamarnya.
"Mau ke mana lo?" tanya Arka tiba-tiba. "Minumannya mana?"
Luna menggaruk kepala. "Gulanya abis, bang. Ini Luna mau beli ke warung sebelah."
"Ya udah cepetan."
"Iya," jawab Luna. Bergegas ia masuk ke kamar mengambil ponsel dan uang untuk membeli gula pasir.
Sebelum keluar dari kamar, Luna sudah membuka kamera ponselnya. Berniat untuk memotret Vandra diam-diam ketika keluar dari kamar yang melewati ruang tamu. Saat keluar dari kamar perlahan Luna memotret Vandra. tangannya masih gemetar saat menekan ikon kamera. Ia berjalan sedikit lambat dari ruang tamu menuju pintu, memastikan wajah Vandra tertangkap jelas. Klik. Foto sudah terpotret.
Selanjutnya Luna bergegas menuju warung membeli gula, meskipun gula di rumah masih ada Luna terpaksa membelinya. Sambil menunggu penjual mengambilkan gula. Luna memeriksa foto yang baru saja ia dapatkan. Terlihat lumayan jelas wajah Vandra di sana.
Detik berikutnya, ia langsung membuka kontak Alea dan mengirimkan gambar itu. Luna mengetik dengan cepat. Alea adalah sepupu Andra sudah dipastikan ia akan peduli dengan Andra.
Lun, ini penting. Liat foto yang gua kirimin. Dia ada di rumah gua sekarang, tamu abang gua. Gua gak tau dia mau apa di rumah gua.
Pesan terkirim.
Luna menerima gula yang ia beli dan memberikan uang gula kepada penjual.
"Terima kasih, bu."
"Iya sama-sama, neng."
Sesudah itu ketika Luna hendak berjalan kembali menuju rumah. Ponselnya kembali bergetar. Pesan balasan dari Alea.
Hah? Vandra itu? Dia bukannya di penjara? Kok bisa keluar duluan?
Luna berhenti sejenak untuk membalas pesan dari Alea. Ia pun juga bingung mengapa Vanda bisa di rumahnya.
Gua juga gak tau Al
Pesan terkirim. Tak lama Alea pun membalas kembali.
Lun, gua minta tolong lo mata-matain Vandra di sana. Rekam atau videoin Vandra. Segala pergerakan Vandra tolong rekam. Gua butuh bantuan lo
Lo besok bisa ke rumah gua, Lun? Gua besok ada transfusi darah soalnya.
Luna membalas pesan Alea.
Siap Lun. Ya udah lo tunggu kabar gua lagi ya.
Gua gak bisa chatingan lama sama lo. Soalnya gua lagi pura-pura keluar rumah ini.
Pesan terkirim.
Oke Luna
Luna memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia bergegas kembali ke rumah. Sebelum Vandra pergi dari rumahnya.
Assalamualaikum
Salam Luna sebelum masuk rumah.
Waalaikum salam
Arka dan Vandra menjawab bersama. Ketika Luna masuk bersamaan itu Vandra memberikan sebuah amplop putih tebal kepada Arka. Menambah kecurigaan Luna, tidak mau Vandra menyadari jika ia adalah siswa yang satu sekolah dengannya. Luna segera berjalan menuju dapur membuatkan es teh yang tertunda. Meletakkan camilan dagangannya ibu nya yang masih tersisa untuk dihidangan pada Vandra.
Setelah siap Luna bingung apakah ia harus keluar atau tidak. Karena takut jika Vandra menyadari ia adalah siswi SMA Bhakti. Tetapi, apa mungkin Vandra mengenalinya? Secara ia adalah siswi pindahan yang baru dua bulan di SMA Bhakti. Dengan kepasrahan Luna pun menuju ruang tamu untuk memberikan suguhan makanan pada Vandra.
Vandra mengamati Luna tatkala ia keluar dari dapur membawa makanan. Pembicaraan Arka dan Vandra pun terhenti. Jantung Luna berdetak kencang ia seperti membeku dengan tatapan tajam Vandra. Tangan Luna gemetar selagi meletakkan gelas berserta makanan.
"Santai aja. Jangan gemetar gitu liat orang ganteng," ujar Vandra tiba-tiba. Hal itu membuat Luna refleks menoleh ke arah Vandra. Tatapan mereka beradu, padahal Luna berusaha untuk tidak menatap Vandra.
"Adek lo?" tanya Vandra pada Arka. Arka hanya menjawab dengan anggukan kepala.
"Cakep juga. Sekolah di mana?" tanya Vandra kembali.
Luna tak menjawab sedikit terkejut akan respon Vandra yang tidak menyadari jika mereka satu sekolahan. Itu membuat Luna lega. Tetapi, disisi lain Luna pun bingung tidak mungkin ia menjawab jika ia bersekolah di SMA Bhakti.
"Oh sekolah di SMA Nusantara ya?" tebak Vandra, karena ia melihat foto Luna di ruang tamu yang mengenakan seragam SMA Nusantara sekolah lamanya dahulu. Dan almamater Luna yang masih tergeletak di ujung sofa.
"Iya di SMA Nusantara, kak," jawab Luna bohong. Beruntungnya Arka tidak mencampuri pertanyaan Vandra.
"Ya udah kak. Aku ke kamar dulu," pamit Luna.
"Iya. Makasih ya, suguhannya."
"Iya sama-sama, kak."
Luna buru-buru masuk ke dalam kamar dan mengunci kamar yang terletak di dekat ruang tamu. Ia sampai lupa akan tampan makanan yang seharusnya ia letakkan kembali ke dapur. Tangan Luna memegang dadanya merasakan detak jantungnya yang masih berdebar kencang tak beraturan. Ia menarik napas panjang berusaha menenangkan diri.
Dirasa sudah cukup tenang Luna menarik kursi dekat dengan pintu kamar. Ia menariki kursi untuk melihat Vandra dati balik celah ventelasi udara. Sekarang ia bingung bagaimana caranya supaya ia bisa mendengar percakapan yang dibahas antara Arka dan Vandra.
Luna masih duduk di kursi, mata nah mengintip dari celah ventilasi. Ia dapat melihat Arka dan Vandra duduk santai di sofa. Suara mereka terdengar samar, tapi beberapa kata bisa ia tangkap.
"Ada yang curiga?" tanya Vandra pelan.
"Gak ada semua aman," jawab Arka, nada serius.
Luna mengernyit bingung, ada yang aneh. Curiga tentang apa? Aman dari siapa? Pikir Luna.