Ma, Andra masuk rumah sakit. Kalau Mama gak sibuk boleh temanin Andra?
Pa, Andra masuk rumah sakit. Kalau Papa gak sibuk boleh temanin Andra?
Bang Aksa, Andra masuk rumah sakit. Kalau Bang Aksa gak sibuk boleh temanin Andra?
Andra mengirim pesan semua pesan itu secara bersamaan pada anggota keluarganya. Setelah itu ia masih menggenggam ponselnya memerhatikan layar ponsel berharap ada pesan balasan. Namun, hampir dua puluh menit ponselnya tidak menyala itu berarti tidak ada yang membalas pesannya.
Andra pun menghembus napas pasrah. Ia meletakkan ponselnya pada takas meja dekat tempat tidur rumah sakit. Ia meraih air mineral dan makanan jatah makan malam dari rumah sakit. Beberapa kali ia melihat dari sela-sela tirai orang-orang yang sedang sakit silih berganti ditemani anggota keluarganya. Mereka bergantian menjaga. Berbeda halnya dengan Andra tak ada satu pun anggota keluarganya yang menunggu ia hanya sendiri berteman sepi.
Ponsel Andra menyala, ia langsung sigap mengambil ponselnya berharap pesan balasan dari Papa, Mama atau Bang Aksa yang bersedia menemaninya.
Mama gak bisa. Mama harus urus adek kamu. Kalau Mama jaga kamu siapa yang urus adek kamu. Kamu bisa sendiri sudah besar harus mandiri.
Manik mata Andra tak berkedip melihat pesan balasan dari sang Mama. Andra memandang pesan itu, hatinya terasa sesak. Ia merasa seperti tidak dianggap, meski baru saja mengharapkan sedikit perhatian. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya mengapa ia harus selalu mandiri, bahkan saat seperti ini. Saat ia berada di rumah sakit, sendiri, jauh dari rumah dan orang-orang yang ia cintai.
Tidak lama setelahnya, pesan dari Papa masuk.
Papa gak bisa temanin, Andra. Lagi banyak kerjaan.
Andra terdiam sejenak, matanya mulai panas. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, ke jalanan yang ramai, sementara dirinya merasa terperangkap dalam dunia yang sunyi ini. Andra menyandarkan kepala ke bantal, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Sesaat, ia merasa bahwa kesepian adalah teman yang paling setia dalam hidupnya. Andra menghapus air mata yang hampir jatuh, lalu memutuskan untuk makan, meski rasanya tidak enak di tenggorokan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bisa melewati semua ini, meski tanpa keluarga di sampingnya.
***
Di rumah, Alea tampak gelisah. Ia duduk di dekat jendela, memandang keluar dengan wajah murung. Baru beberapa hari yang lalu, ia merasa lelah di rumah karena harus banyak beristirahat setelah transfusi darah, namun kali ini rasa bosan menghantui. Ia ingin sekali menemani Andra yang sedang sakit di rumah sakit.
"Bunda, Alea ikut jenguk Andra ya," pinta Alea.
"Kamu di rumah aja ya. Kan kata dokter kondisi kamu belum stabil harus banyak istirahat," jawab Dahlia menenangkan.
"Alea enggak mau Bunda," rengek Alea. "Alea gak mau di rumah sendirian. Bosen."
"Kemarin gak sekolah, sekarang gak sekolah juga. Di rumah gak ada orang juga Bunda. Please ya, Alea boleh ikut."
"Ga bisa Alea. Kemarin kata dokter apa? Kemarin pasca transfusi, kamu kan mengalami reaksi terhadap darah yg cukup berat. Jadi harus banyak istirahat ya."
Alea menghela napas. Ia bergeming sudah tidak bisa diharapkan untuk bisa ikut Bunda menjenguk Andra.
"Assalamualaikum."
Dahlia yang hendak pergi bertemu Aluna.
"Waalaikum salam. Eh Aluna udah datang?"
"Ia pesanan kue nya."
"Alea tolong ambil nanti bawa masuk ke dalam ya."
"Oh iya. Hari ini Aluna bisa kan temani Alea? Tante cuma sebentar kok perginya."
"Siap tante! Kan kemarin juga Luna juga udah bilang bisa tante."
Dahlia mengangguk mengerti. Ia mengusap pucuk rambut Aluna.
"Ya udah kalau gitu tante pamit ya. Alea, jangan lupa di rumah aja. Jangan pergi-pergi sama Aluna di rumah aja!" peringat Dahlia keras.
"Lun, tante titip Alea ya," kata Dahlia pada Aluna yang sedang menunggu di pintu.
"Siap tante!"
Setelah Dahlia pamit dan meninggalkan rumah, Alea langsung mengajak Luna masuk ke dalam kamarnya. Meski mereka belum lama saling mengenal, kedekatan di antara mereka tumbuh cepat. Luna adalah teman sebangku Alea setelah Arini—teman lamanya—pindah sekolah dua bulan lalu. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah saling nyaman dan akrab, seperti sahabat lama yang baru saja dipertemukan kembali.
"Waktu kemarin gua gak masuk ada tugas apa aja? Oh iya sama ada cataten gak?" tanya Alea sambil menyalakan televisi yang berada di dalam kamar.
"Ada Lun, lumayan banyak! Tapi beberapa udah gua kerjain lo kalo mau nyalin gak apa-apa."
"Seruis?" Luna mengangguk pasti.
"Diminum sama dimakan Lun."
"Iya siap," jawab Luna yang saat itu sedang tiduran di atas karpet bulu milik Alea.
"Al. Gua boleh nanya sesuatu gak?"
"Boleh apa?"
"Bunda lo mau ke mana emangnya? Tumben banget nitip lo ke gua."
Alea tertawa mendengar itu. "Gua berasa anak kecil ya dititipin?"
"Eh—" Aluna mengangaruk kepala. "Bukan gitu maksud gua."
"Iya, iya paham kok. Nyokap gua mau jenguk Andra dia lagi sakit di rawat di rumah sakit."
"Andra?"
"Iya. Lo kenal?" tanya Alea penasaran.
Luna terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. Sebab pertemuannya dengan Andra tidak cukup menyenangkan.
"Andra itu anak IPS wali kelasnya Bu Loli. Bu Loli yang itu lho yang ngajar Sejarah kalo di kelas IPA. Tapi kelas IPS beliau ngajar Geografi."
"Em—" Alea masih memikirkan kata yang tepat untuk lebih menjabarkan sosok Andra karena melihat respon Aluna yang sepertinya belum tahu sama sekali tentang Andra.
"Yang suka nyanyi di kantin sama teman-temannya. Dia biasa yang main gitar!"
Aluna berpura-pura menggeleng tidak mengenal Andra.
"Ah! Kapan-kapan deh gua kenalin dia," ujar Alea sambil tiduran di samping Luna.
"Dia pacar lo?" tanya Luna polos. Namun, dibalas tawa kencang Alea.
"Andra? Pacar gua? Enggak lah!"
"Dia sepupu gua, Lun."
"Oh, kirain."
"Dia sepupu gua, Lun," ucap Alea yang masih menggema ditelinga Luna.
Dunia rasanya begitu sempit setiap orang pasti mengenal orang yang kita kenal. Aluna menarik napas panjang, menatap tembok kamar Alea yang dihiasi foto-foto kecil dirinya. Di antaranya, ia melihat satu foto berbingkai yang belum sempat ia perhatikan. Ada Alea... dan seseorang di sebelahnya. Cowok, memakai seragam putih abu-abu. Gitar di tangannya. Yang dipastikan itu Andra.