Hai..namaku Kanjeng Raden Karina Putri Agustina, teman-teman biasa memanggilku Ina dan sahabat-sahabatku memanggilku oma. Yupp ..oma, karena nama depanku seperti nama oma-oma. Tapi aku tak setua oma-oma,lho.. . Aku sekarang belajar di Universitas Luhur Budhi jurusan design. Aku seneng banget dengan yang namanya menggambar. Apapun yang ada di sekitarku pasti aku ukir dalam kumpulan buku tebalku yang biasa aku khususkan untuk menggambar hasil karyaku. Batu, air hujan, danau, bahkan nenek-nenek fitnes sudah pernah aku gambar. Eitt..kok nenek-nenek fitnes?? Bercanda-bercanda, maksudku nenek-nenek penjual pecel yang biasa berjualan di dekat kampusku.
Pagi itu, Aku memulai hariku seperti biasa..bangun pagi, mandi lantas berangkat menuju kampus. Ayahku sih pagi-pagi buta sudah pergi bekerja. Maklumlah..orang sibuk, sibuk ngelapin kaca perusahaan maksudnya..hehe. Pagi itu yang ada hanya ibu yang lagi menggoreng tempe.
“bu, Riri berangkat dulu ya..udah kesiangan soalnya..”
“iya Ri, kamu nggak makan dulu, ibu udah gorengin tempe nih buat sarapan kamu..”
“pengennya sih makan bu, tapi Riri udah kesiangan nih.. Riri berangkat dulu ya.. Assalamualaikumm..”
“walaikum salam...hati-hati nak..”
Aku pun langsung tancap gas menuju ke kampus. Di parkiran kampus, aku bertemu dengan sohibku, Dinda dan Fitri. Mereka sudah seperti tukang parkir. Kalau sepedaku belum ada di parkiran, mereka akan tetap menunggu aku sampai aku datang.
“whoyyy oma..habis pengajian ya, lama bener.”, Ucap Dinda
“iya, nih..pengajian di kamar mandi..haha.”, sahutku
Fitri menyahut : “makanya, kalau jadi cewek itu harus bangun pagi, terus masak, terus beresin rumah, terus dandan yang cantik, terus....
“terus..masuk kampus..udah, masuk yuk.”, Sahutku. Aku mengerti betul tabiat fitri, Dia seperti eyang yang sedang menasehati cucunya.Makanya dia aku panggil eyang.
Dalam perjalanan menuju ke dalam kampus, aku berpapasan dengan Raihan. Dia merupakan cowok yang selalu bisa membuatku tersenyum dan bahagia. Entah mengapa, mungkin karena jabatannya sebagai kapten basket, atau karena dia sangat tampan. Entahlah , Aku mulai menyukainya sejak aku masuk ke kampus ini.Dia adalah seniorku. Aku berkomitmen untuk tetap menjaga perasaanku ini padanya. Aku adalah salah satu cewek yang tidak punya nyali untuk ngungkapin perasaanku ini padanya. Saat aku berpapasan dengannya, dia hanya melemparkan senyum manis. Itupun sudah sangat cukup untuk membuatku bahagia. Rasanya aku mendapat suntikan semangat di pagi hari yang cerah, walau kenyatannya mendung..
Seusai jam kuliah selesai, Aku dan sahabat-sahabatku, Dinda dan Eyang biasanya makan nasi pecel dekat kampus. Waktu itu merupakan saat yang sangat memalukan, menbahagiakan campur jadi satu. Waktu Dinda dan Eyang hendak membayar nasi pecel, aku justru sibuk mengorak-arik isi tasku. Dompetku rupanya lupa Aku bawa. Raihan mendekatiku dan menawarkan bantuan. Aku sangat kaget, Aku tidak menyangka kalau Raihan ada di depan tempat dimana aku makan nasi pecel. Dia mengeluarkan jurus andalannya, yaitu senyumnya yang menawan sambil menawarkan bantuan, aku pun hanya tersenyum dan bilang :” tidak, tidak usah repot-repot”,dengan menampakkan gigiku yang ternyata ada cuilan sayur dan cabai yang menyangkut di sela-sela gigiku. Raihan hanya nampak menahan tawa, dan kemudian lekas menghampiri penjual nasi pecel untuk membayar apa yang aku makan di warung itu, pastinya dengan sedikit menahan tawa. Dinda dan Eyang yang rupanya mengetahui hal itu hanya tersenyum sambil menahan tawa. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka. Aku lekas keluar dari warung itu, dan bercermin di kaca spion, ternyata cuilan cabai itu nampak sangan jelas, warnanya merah. Tuhan ..betapa malunya aku pada saat itu.
Setiap kejadian yang menimpaku pasti aku gambar dan aku beri catatan dalam buku tebalku. Dia merupakan sahabat ke-3 ku setelah Dinda dan Eyang.
Esok harinya, aku paksakan untuk menemui Raihan dan megucapkan rasa terima kasihku. Malu banget sih rasanya. Apalagi aku menemuinya saat dia dan teman-temannya sedang latihan basket. Tapi Dinda dan Eyang menyemangatiku dari kejauhan. Aku yang tadinya selau ceria. Entah mengapa jika berhadapan dengan Raihan aku selau kaku dan sulit bicara.
“ehmm..permisi, boleh aku bicara sebentar dengan Raihan?”,ucapku
Raihan langsung menoleh ke arahku dengan mengumbar senyum manisnya.
“kamu..yang kemaren kan ?”,jawabnya
Tuhan ..ternyata dia masih ingat, berarti dia masih ingat tentang kejadian kemaren. Aku pengen lari..malu banget rasanya.
“i,i,iya..”,jawabku sambil tersenyum malu
“ada apa ?, jawab Raihan dengan lembut
“aku hanya ingin mengucapkan terima kasih dan ingin mengganti uang yang telah kamu gunakan untuk membiayai makanku kemaren.”,jawabku dengan malu.
“kamu lucu banget waktu kemaren..nggak usah dibayar, nggak papa kok?”, ucap Raihan
“tapi...aku nggak enak kalo nggak aku bayar, sama artinya aku punya utang sama kamu.”,jawabku malu
“Nggak kok, nggak papa. Kelucuan kamu kemaren itu udah cukup kok.”
Jawaban terakhir Raihan membuatku kehabisan kata-kata, sampai aku lupa mau bilang apa.
Beberapa menit kemudian Raihan berkata:
“jika hutangmu ingin lunas, jadikan aku sebagai......
Raihan kemudian memenggal perkataanya. Aku berharap ada kata pacar dalam kalimat terakhirnya.
“....sebagai teman terbaikmu yang bisa menghiburmu dikala kamu sedih.”,lanjut Raihan.
Raihan kemudian mengelus rambutku seperti mengelus kepala anak kucing yang lucu dan lekas melanjutkan latihannya. Belum sempat aku mengatakan” iya”, tapi,,tidak di suruh bilang “iya”, aku pasti mengatakan “iya” untuknya. Dinda dan Eyang meloncat kegirangan melihat Raihan memperlakukanku seperti itu. Aku lantas segera kembali ke tempat Dinda dan Eyang berada.
“apa-apaan kalian ini ! menjadikanku tikus percobaan ! aku malu tau' di depan Raihan !”, ujarku
“tapi kan dengan seperti itu, kamu bisa deket sama Raihan..”, sahut Dinda
Akupun hanya tersenyum malu dan bahagia. Dan lekas mengajak mereka pergi.
Waktu itu, kesalahanku adalah, aku lupa untuk tidak membeli obat di apotik. Aku malah menggambar awal pertemananku dengan Raihan di lapangan basket kampus. Alhasil , hidungku mengeluarkan darah, entah apa yang terjadi padaku. Aku sudah mengalaminya sejak aku duduk di bangku SMA. Aku tidak pernah membicarakan ini pada ke-2 orang tuaku. Membeli obat pun aku memakai uang tabunganku. Aku hanya tidak ingin merepotkan ayah dan ibu. Aku tahu, untuk membiayaiku kuliah saja, mereka rela pernah tidak makan. Aku menganggap ini hanya rasa sakit biasa. Tapi mengapa ini terjadi begitu lama. Ingin aku memeriksakan kondisiku ke dokter, tapi tabunganku rasanya belum cukup.
1 minggu kemudian aku baru memeriksakan kondisiku ke dokter. Aku khawatir jika ada sesuatu yang menimpa diriku. Dokter memberikan hasil yang sangat mengejutkanku. Aku mengidap penyakit Leukimia stadium akhir. Sontak itu merupakan hal terpahit dalam hidupku. Dokter menganjurkan aku agar aku melakukan kemoterapi secara berkala, tapi aku berfikir, biaya dari mana ?. Hari-hari ku aku jalani seperti biasa. Aku tetap tidak ingin memberitahukan ini pada ibu dan ayah. Ini justru akan menambah beban mereka. Aku cukup menyimpannya sendiri. Aku pasrahkan semua kepada Tuhan.
“Tuhan..jika waktu ku telah tiba, jagalah ibu dan ayahku, serta orang-orang yang aku sayangi.”
Itu merupakan sebaris do’a yang selalu aku panjatkan. Aku memutuskan untuk menyimpan penyakit ini sendiri. Sudah hampir 1 minggu aku menyimpan dan menahannya sendiri, rasanya hari itu merupakan hari yang sangat berat. Badanku lemah, tapi Aku paksakan untuk pergi ke kampus dan tidak ingin membuat ibu dan ayah curiga.
“Ri,,apa kau baik-baik aja nak, ibu perhatikan sudah seminggu ini wajahmu nampak lesu dan pucat. Tapi kamu bilang ke ibu katanya kamu nggak kenapa-kenapa..”, tanya ibu
“iya nak, bicara sama ayah kalau kamu ada masalah..Insya Allah ayah dan ibu bisa bantu.”, sahut ayah.
“Riri nggak papa kok bu,yah,,Riri hanya sedikit kecape’an. Tapi Riri masih kuat kok untuk kuliah.”, jawabku dengan penuh senyum.
“Riri berangkat dulu ya..
Assalamualaikumm..
“walaikum salam..”, jawab ibu dan ayah cemas.
Tibanya di kampus aku disambut oleh 2 sahabatku, Dinda dan Eyang serta orang yang aku sayang di sepanjang sisa umurku, yaitu Raihan..
“hai oma..
oma, kita masuk kampus duluan ya..”,kata mereka yang ingin meninggalkan aku dan Raihan berdua.
“Ri,,aku pengen ngomong sesuatu ke kamu. Aku tunggu kamu di taman deket kampus jam 4 sore.”, ucap Raihan dengan penuh senyum.
Aku lantas membalasnya dengan senyum damai...
*Di taman*
“akhirnya kamu dateng juga Ri, Ri aku pengen ngomong sejujurnya ke kamu. Waktu 1 minggu aku rasa cukup untuk aku ngungkapin ini ke kamu, kamu adalah cewek yang berbeda, kamun polos, lucu dan selalu semangat. Aku suka dengan sikap kamu, mungkin ini yang telah membawa hati aku untuk bilang kalau aku suka dan sayang sama kamu. Semoga aku bisa menjadi pelengkap dalam hati kamu.”, ucap Raihan dengan serius.
Aku sedikit terkejut dengan ucapan Raihan..tapi aku tidak mungkin menerima Raihan. Memang ini yang aku harapkan selama ini. Tapi aku tidak pantas bisa menjadi pelengkap dalam kehidupan Raihan. Waktuku tinggal menghitung hari, aku tidak sanggup melihat orang yang aku sayangi meneteskan air mata dan menghapus senyum bahagianya.
“maaf Raihan, aku nggak bisa.”, jawabku
“Kenapa Ri, bukannya kamu juga punya perasaan yang sama? Apa perasaan kamu udah hilang ke aku ?”, sahut Raihan
“aku hanya menganggap kamu sebagai teman Raihan, nggak lebih ! aku sudah punya pacar, tolong jangan ganggu hidupku lagi !”, aku langsung berbalik arah, meninggalkan Raihan seorang diri. Hatiku sakit, tetesan air mata ini kelak akan menjadi yang terakhir.
2 hari berlalu, setelah Raihan mengungkapkan perasaannya padaku. Aku tidak berangkat ke kampus pagi itu. Aku berada pada sebuah tempat dimana aku berasa menjadi manusia yang terlahir kembali, dengan gaun putih ini, dengan senyum kebahagiaan. Tapi tak ada satu orang pun di sini. Tidak ada ibu, ayah, Dinda, Fitri (eyang) ataupun Raihan, yang ada hanyalah Aku dan TUHAN.
Dinda, Fitri (eyang), dan Raihan datang kerumah untuk menjemputku. Mungkin Raihan sudah bisa mengikhlaskan perasaannya.
“Riri,,bangun nak..kamu nggak ke kampus ?, ini teman-temanmu udah nunggu kamu.”
Tak ada jawaban yang terdengar. Ibu menggedor pintu yang tak terkunci. Ayah, Dinda, Fitri (eyang) dan Raihan menuju pintu kamarku. Mereka lantas memasuki kamar dan melihatiku tertidur nyenyak sambil memegang buku catatan tebalku dan Ibu membaca beberapa kalimat yang berisi :
Ibu,ayah..
Aku pamit, maaf kalau aku telah membuat ibu dan ayah khawatir.
Aku menyimpan apa yang aku rasakan ini sendiri..
Tuhan yang tahu apa yang aku rasakan..
Jika ibu membacanya, mungkin aku sudah tidak bersama ibu lagi
Aku sangat menyayangi ibu dan ayah..
Kalian adalah nafasku,,
Bahkan,,hingga nafas ini pun sudah tak ada lagi, kalian akan tetap menjadi nafas dan separuh dari hidupku.
Din, Fit..makasih ya, kalian sudah nemenin disaat nafas ini masih ada hingga nafas ini sudah tak ada lagi. Kalian adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki dalam hidupku.
Raihan , bohong kalau aku tidak mempunyai perasaan yang sama denganmu. Bahkan sampai waktuku telah tiba, rasa ini tetap tinggal dalam hatiku, dan akan selalu tersimpan untukmu.
Aku bisa melihat mereka..
Mereka menagis,,
Ibu ,,aku bahagia di sini, bersama Tuhan yang selalu menjagaku..