Sore itu, langit di kampung nenek tak terlalu terang, tapi juga tidak kelabu. Seperti hati Atha yang perlahan menemukan bentuknya kembali—tidak bahagia sepenuhnya, tapi juga tidak hancur seperti dulu. Ia duduk di teras, mengenakan kaus abu-abu dan celana kain longgar. Secangkir teh manis mengepul ringan di sebelahnya.
Ponselnya bergetar sekali.
Satu notifikasi email masuk. Dari alamat yang belum pernah ia lihat sebelumnya, tapi jelas terverifikasi dan resmi.
[Subject: Pengumuman Seleksi Naskah – XIII-A]
Atha mengernyit. Ia membuka email itu pelan, seakan ragu apa ini benar-benar untuknya. Kalimat pembuka menyambutnya dengan formalitas hangat:
[Selamat! Naskah ‘XIII-A’ telah lolos tahap kurasi dan akan kami proses untuk penerbitan. Kami percaya kisah ini akan menyentuh banyak hati.]
Tangannya berhenti di tengah-tengah layar. Jantungnya berdetak cepat. Matanya menelusuri kembali isi email. Ada nama dia di dalamnya. Tapi juga sesuatu yang janggal.
Ia tak ingat pernah mengirimkan naskah ke mana pun. Terlebih, proyek XIII-A tak pernah selesai ia tulis.
Belum sempat pikirannya menautkan apa pun, satu email susulan muncul.
[Dari: anonym_crescendo13@***
Subject: “Jadi, halaman terakhir itu akhirnya terisi.”
Hai.
Jangan marah, ya.
Dero ceritain semuanya sama gue, dia juga bilang kalau lu lagi bikin proyek nulis buku self-improvement, kan? Keren, Tha. Gimana kabar lu? Gue di sini udah baik, dan kayaknya lu udah tau siapa gue, kan? Iya, gue Niko.
Waktu itu, gue ke rumah lu. Gue izin ke nyokap lu buat ambil barang gue ke kamar lu, ya gue pura-pura, supaya bisa ngambil draf XIII-A di tumpukan barang lu. Gue udah kayak maling, tapi gue gak nyentuh barang lu yang lain, gue cuma ambil draf lu aja kok.
Gue dan Dero bacain pelan-pelan. Gak nyangka segitu dalamnya lu nulis semua itu. Terlalu jujur. Terlalu sakit.
Tapi juga terlalu indah buat cuma lu simpan sendirian.
Jadi ya... gue lanjutin. Bareng Dero. Kami gak ganti isi apa pun yang udah lu tulis, cuma nyambungin, nyelesaiin, biar bisa dibaca orang.
Kalau lu gak suka, tinggal bilang ke penerbitnya. Tapi kalau lu rasa ini layak, anggap aja ini cara kami—dari dua orang brengsek yang gak bisa minta maaf dengan layak.
N & D]
Atha menutup email itu.
Lama.
Lalu ia mengangkat wajahnya ke langit yang mulai menghangat jingga. Dadanya tak sesak. Matanya tak basah. Tapi senyum tipis muncul di sudut bibirnya—bukan karena bahagia, bukan pula karena sedih. Lebih seperti... lega. Seperti akhirnya, luka itu benar-benar diberi ruang untuk sembuh.
Ia membuka kembali email dari redaksi. Membaca ulang setiap instruksi. Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia mengetik balasan. Ya, balasan untuk redaksi.
[Dengan ini, saya bersedia melanjutkan proses penerbitan naskah XIII-A.
Terima kasih.]
Dan kali ini, Atha tak menoleh ke belakang.
arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii
Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN