Loading...
Logo TinLit
Read Story - XIII-A
MENU
About Us  

-ooo-

Pagi di rumah nenek selalu sunyi. Tidak ada suara bel sekolah, tidak ada deru motor yang saling menyalip, tidak ada percakapan basa-basi yang menyakitkan. Hanya angin yang menggoyang kelopak-kelopak kamboja, dan suara burung gereja yang kadang hinggap di teralis jendela. Di rumah sederhana yang terletak di pinggiran kota kecil ini, Atha bangun setiap hari tanpa alarm. Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit kayu yang retak-retak di beberapa bagian, lalu menarik napas panjang seolah sedang mencoba menghidupkan dirinya dari dalam.

Ia kini tinggal di rumah neneknya. Bukan karena diusir, bukan pula karena marah. Ia sendiri yang meminta. Suatu malam, masih di ruang rumah sakit yang dingin, Atha menatap ibunya dan berbisik dengan suara serak, “Boleh enggak, aku tinggal sama Eyang dulu?”

Ibunya tak menjawab saat itu. Hanya menggenggam tangan Atha erat, lalu menangis diam-diam. Mereka semua tahu, Atha butuh ruang. Bukan hanya secara fisik—tapi jarak emosional yang cukup jauh dari semua yang pernah membuatnya hampir lenyap. Sekolah, teman-teman, kenangan di kamar, bahkan jalanan yang dilewatinya setiap hari. Semuanya terlalu banyak bicara, terlalu ramai, terlalu berisik di kepala yang belum pulih.

Kini, hari-harinya tenang. Atha tidak banyak bicara. Ia membantu menyapu halaman, menyiram tanaman, atau sekadar duduk berjam-jam di bangku belakang rumah sambil menatap langit. Setiap pagi, neneknya membawakan teh hangat dan roti bakar dengan selai kacang favoritnya. Atha tersenyum pelan, selalu mengucapkan terima kasih—meski suara itu kadang nyaris tak terdengar.

Tak ada ponsel yang terus bergetar, tak ada notifikasi dari grup kelas, tak ada wajah-wajah yang dulu ia pikir bisa dipercaya. Semua sudah ia tinggalkan. Kontak sudah dihapus. Grup sudah keluar. Bahkan, buku tahunan yang dulu ia simpan dengan penuh semangat, kini sudah disimpan jauh di lemari, terkunci.

Di suatu sore, Atha sempat mengingat kembali saat ia memutuskan pergi. Ia tidak marah, tidak histeris. Ia hanya duduk bersama kedua orang tuanya dan berkata, “Aku enggak kuat di sana. Aku cuma mau napas sebentar. Boleh, ya?”

Dan mereka mengerti. Mereka tahu, kalau mereka memaksanya bertahan, Atha mungkin benar-benar akan hancur. Maka mereka mengalah, melepasnya sementara, dengan harapan suatu hari anak mereka akan kembali dengan mata yang tak lagi basah setiap malam.

Di rumah ini, Atha tidak sedang sembuh sepenuhnya. Tapi setidaknya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bisa bernapas. Pelan-pelan. Tanpa beban. Tanpa kebohongan.

Tanpa Niko. Tanpa Dero.

Dan itu sudah cukup.

-ooo-

Ruangan itu selalu sama. Dinding putih gading, sofa lembut berwarna krem, rak penuh buku-buku bertema emosi manusia, dan aroma lavender yang samar tapi konstan. Atha duduk di sisi kanan ruangan, menyilangkan kaki di sofa yang kini mulai terasa akrab, meski awalnya ia hanya mematung di sana, berulang kali.

Di awal-awal sesi, ia tak banyak berkata-kata. Psikolognya, seorang perempuan muda bernama Bu Desya, tak pernah memaksa. Kadang sesi itu hanya diisi keheningan dan satu-dua kalimat, diakhiri dengan pelukan dari nenek yang setia menunggu di luar ruangan. Kadang Atha hanya menangis, tanpa tahu harus menjelaskan dari mana perih itu berasal. Tangis yang tidak meledak-ledak, tapi mengalir seperti air dari sumur yang tak pernah kering—sunyi, tapi dalam.

Minggu-minggu berlalu. Lalu menjadi bulan. Atha mulai belajar membuka pintu-pintu kecil di dalam dirinya. Ia bercerita, pelan-pelan, tentang sekolah yang dulu ia banggakan. Tentang sahabat yang ternyata bukan sahabat. Tentang pengkhianatan, tentang rasa malu, dan tentang bagaimana ia sempat berpikir tidak pantas hidup.

“Kadang aku ngerasa bodoh banget, Bu,” gumamnya suatu kali, menunduk. “Kenapa bisa sebuta itu sama orang?”

Bu Desya tersenyum kecil, mencatat sesuatu di bukunya. “Kadang, kita enggak buta. Kita cuma terlalu percaya. Dan itu bukan salah.”

Hari-hari terapi terus berlanjut. Atha belajar mengenali bentuk-bentuk luka yang selama ini ia pendam. Ia belajar bahwa tidak semua trauma bisa dilupakan, tapi semuanya bisa dihadapi, dengan cara yang tepat dan waktu yang cukup. Ia juga belajar bahwa dinding itu bukan hanya untuk bertahan, tapi juga melindungi. Dan tidak apa-apa kalau sesekali ia harus bersembunyi di baliknya.

Suatu sesi, setelah ia menceritakan mimpinya—tentang sekolah yang runtuh dan dirinya berdiri sendiri di tengah reruntuhan—Bu Desya menutup bukunya dan berkata, “Kamu punya ketahanan yang luar biasa, Atha. Bahkan di titik paling gelap, kamu masih bisa memilih hidup. Itu bukan hal kecil.”

Atha mengangguk pelan, matanya basah. Tapi kali ini, ada sesuatu yang baru. Bukan hanya air mata. Ada penerimaan.

Setiap terapi menjadi seperti serpihan mozaik yang mulai membentuk dirinya kembali. Bukan Atha yang dulu—tapi Atha yang baru. Atha yang tahu siapa yang ingin ia lindungi, dan siapa yang tak lagi layak ia beri ruang.

Dan meski belum sepenuhnya pulih, setidaknya kini ia bisa berdiri. Meskipun perlahan. Meskipun masih dengan sisa-sisa luka.

-ooo-

Ponselnya masih ponsel yang sama—retak di pojok kanan bawah, casing transparan yang mulai menguning, dan notifikasi yang nyaris tak pernah dibuka. Atha menaruhnya di atas meja kecil dekat jendela kamarnya, seringnya dalam mode senyap. Ia sudah tidak peduli lagi dengan dunia luar. Atau mungkin, ia belum siap mempedulikannya.

Tapi suara itu tetap datang. Sesekali. Di malam-malam yang dingin ketika hujan mengetuk atap rumah neneknya, ponselnya bergetar pelan.

[Dari: Dero

17 Maret, 21:04

Atha, ini gue… Gue tahu lu mungkin belum mau denger suara gue. Tapi… gue minta maaf. Gue salah banget.]

Atha hanya menatap layar ponselnya. Tidak tergesa-gesa menekan tombol play. Tidak ada rasa marah di wajahnya. Hanya lelah. Lelah mendengar nama itu kembali masuk ke ruang hidupnya yang sedang ia jaga rapat-rapat.

Ada juga email. Panjang, isinya seperti catatan yang ditulis berhari-hari.

“Gue nyesel, Ta. Lu nggak tahu berapa kali gue pengen balik waktu. Enggak buat ngelakuin hal heroik atau jadi penyelamat. Cuma buat bilang ke lu lebih awal: bahwa Niko salah. Bahwa gue juga salah karena diem. Gue takut nyakitin lu, tapi ternyata yang paling nyakitin justru sikap gue yang diam.”

Atha membacanya. Sampai habis. Bahkan dua kali. Tapi setelahnya, ia hanya menarik napas panjang dan mematikan layar. Tidak ada niat membalas. Tidak ada keinginan untuk membuka percakapan.

Ia tekan tombol home. Meja kembali sunyi. Ia kembali menatap jendela. Angin sore berembus pelan, membawa serta pesan-pesan yang ia biarkan menggantung di udara. Bukan karena dendam, bukan karena ingin menghukum. Tapi karena beberapa luka butuh waktu, dan tidak semua permintaan maaf harus dijawab segera.

Di rak buku kecil dekat kasur kayu itu, ada satu map bening yang warnanya sudah agak buram karena waktu. Di dalamnya, masih tersimpan lembaran-lembaran kertas ketikan. Beberapa berisi coretan bolpen, beberapa lain diberi stabilo. Judulnya masih tertulis jelas di sampul depan: XIII-A.

Atha mengambilnya perlahan. Tangannya tidak gemetar, tapi juga tidak sepenuh hati. Ia hanya ingin tahu, apakah masih tersisa sesuatu dari dirinya yang dulu. Yang pernah bermimpi, yang pernah percaya pada orang lain.

Halaman demi halaman ia buka. Di sana ada tulisan-tulisan tentang kehilangan, tentang semangat, tentang kegagalan dan pencarian. Semuanya ditulis dengan gaya bahasa remaja yang mencoba dewasa. Penuh luka, tapi juga ada harapan samar di sela-selanya.

Lembar terakhir masih kosong.

Dulu, Atha memang sengaja tidak menuliskannya. Waktu itu, ia bilang pada dirinya sendiri, “Nanti aja. Kalau semuanya sudah selesai.” Tapi sekarang, bahkan ketika semuanya sudah runtuh dan ia tidak kembali ke sekolah, ia tetap tidak menuliskan apa pun di halaman itu.

Bukan karena tidak tahu harus menulis apa.

Tapi karena akhirnya ia mengerti: tidak semua cerita harus ditutup rapat. Tidak semua perjalanan punya akhir yang rapi. Kadang, satu halaman kosong lebih jujur daripada ribuan kata.

Ia meletakkan kembali map itu. Duduk di tepi tempat tidur, menatap langit sore yang merembes jingga dari balik kaca jendela.

Hidupnya tidak seperti yang ia bayangkan. Ia tidak lulus. Tidak memakai seragam putih abu-abu terakhir kali. Tidak ada foto kelulusan. Tidak ada pesta perpisahan.

Tapi ia masih di sini. Masih bernapas. Masih punya satu hari lagi. Dan mungkin, untuk saat ini, itu cukup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • eagleon

    arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii

    Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN
  • eagleon

    orang-orang itu lucu, ya? pas seseorang masih di atas, sibuk ngejilat. giliran orangnya jatuh ke bawah, sibuk nginjek2.
    hadehhh

    Comment on chapter BAB 2: MUAK
Similar Tags
Maju Terus Pantang Kurus
1222      680     3     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Solita Residen
1865      947     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Kembang Sukmo
1883      725     4     
Horror
P.S: Buku 1 dari serial horror Kembang Sukmo. Edisi hardcover bisa Pre-Order di One Peach Bookstore via Shopee dan Tokopedia. Atau dm Instagram penulis @keefe_rd (++dapet gift pouch batik dan surat penulis). Tersedia juga di Google Play Books. Kunjungi blog penulis untuk informasi selengkapnya https://keeferd.wordpress.com/ Sinopsis: Teka-teki kelam dari masa lalu mulai menghantui Samara Nad...
Love Warning
1344      624     3     
Romance
Pacar1/pa·car/ n teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Meskipun tercantum dalam KBBI, nyatanya kata itu tidak pernah tertulis di Kamus Besar Bahasa Tasha. Dia tidak tahu kenapa hal itu seperti wajib dimiliki oleh para remaja. But, the more she looks at him, the more she's annoyed every time. Untungnya, dia bukan tipe cewek yang mudah baper alias...
Rinai Kesedihan
800      538     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
Trust Me
68      61     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Suara Kala
6948      2242     8     
Fantasy
"Kamu akan meninggal 30 hari lagi!" Anggap saja Ardy tipe cowok masokis karena menikmati hidupnya yang buruk. Pembulian secara verbal di sekolah, hidup tanpa afeksi dari orang tua, hingga pertengkaran yang selalu menyeret ketidak bergunaannya sebagai seorang anak. Untunglah ada Kana yang yang masih peduli padanya, meski cewek itu lebih sering marah-marah ketimbang menghibur. Da...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
1970      781     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
SEBUAH KEBAHAGIAAN
570      441     3     
Short Story
Segala hal berkahir dengan bahagia, kalau tidak bahagia maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Tetaplah bersabar dan berjuang. Dan inilah hari esok yang ditunggu itu. Sebuah kebahagiaan.
C L U E L E S S
751      542     5     
Short Story
Clueless about your talent? Well you are not alone!