Kalimat itu masih menggantung di udara, nyaris seperti gema yang pantulannya tidak kunjung lenyap. Dero menatap Atha dengan sorot mata yang sukar dijabarkan: bukan sekadar kaget, tapi seperti seseorang yang tiba-tiba sadar ada bom waktu berdetak di bawah tempat duduknya. Di tengah lorong minimarket yang dingin dan hening, hanya terdengar suara lemari pendingin berdengung pelan. Segalanya terasa lambat, seolah waktu sengaja memperpanjang detik agar Atha dan Dero bisa tenggelam lebih dalam dalam kebingungan masing-masing.
“Gimana... isi emailnya?” suara Dero akhirnya menyusul, kali ini lebih pelan. Bukan gertakan, bukan nada tuduhan—lebih mirip bisikan seseorang yang baru saja kehilangan kendali atas satu-satunya hal yang dia pikir bisa dia tebak.
Atha diam, meneguk salivanya yang terasa pahit. Ia sendiri belum tahu harus merasa apa—marah? Bingung? Atau justru takut kalau ternyata semua dugaannya selama ini salah sasaran? Ia menatap wajah Dero, mencari petunjuk, tapi tak menemukan ekspresi familiar. Tidak ada tanda-tanda bersalah, tapi juga tidak ada pembelaan diri. Hanya keterkejutan yang polos, dan itu malah bikin semuanya terasa jauh lebih rumit.
Tanpa berkata-kata, Atha merogoh saku celana jinsnya. Tangannya sedikit gemetar saat menarik keluar ponsel yang dari tadi terasa berat seperti batu. Layar dibuka, email dicari, dan dalam beberapa detik, ia sodorkan layar itu ke arah Dero. Ia tidak bilang apa-apa—cukup tatapan lurus, menantikan jawaban yang tidak bisa ia terka.
Dero menyambut ponsel itu dengan kedua tangan. Matanya menelusuri tulisan demi tulisan, alisnya pelan-pelan mengernyit seiring paragraf demi paragraf muncul di layar. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya, tapi gerak napasnya jadi lebih berat. Di akhir email, ia diam cukup lama, seolah tidak percaya pada apa yang baru saja ia baca. Lalu, ia menggeleng. Satu kali. Lalu dua kali. Matanya mengangkat dari layar, menatap Atha penuh pertanyaan.
“Ini…” Dero menyodorkan kembali ponsel itu, “...bukan dari gue.”
Atha mengernyit. “Serius?”
“Lu pikir gue yang nulis beginian?” tanya Dero pelan. Bukan dengan nada membela diri, tapi lebih kepada nada orang yang bahkan belum sepenuhnya memproses tuduhan yang dilontarkan padanya.
Atha menarik ponselnya kembali. Pandangannya berpindah dari layar ke wajah Dero. Dan untuk pertama kalinya hari itu, ia melihat sesuatu yang lain dari Dero—bukan dingin, bukan sinis, bukan sinar membenci. Tapi cemas. Genuin.
“Sumpah,” lanjut Dero, lebih pelan lagi. “Gue baru tahu sekarang.”
Atha mengalihkan pandangan. Ada rasa campur aduk yang sulit diberi nama. Ia merasa lega—karena Dero ternyata bukan dalangnya. Tapi juga kecewa—karena itu berarti masih ada orang lain yang bersembunyi di balik semua ini. Dan orang itu tahu terlalu banyak.
Ketegangan yang sempat mengisi udara kini perlahan mereda. Bukan karena masalahnya selesai, tapi karena batas antara kawan dan lawan tak lagi setipis prasangka. Dero dan Atha kini berdiri di tanah yang sama—tanah kehilangan dan kebingungan. Mereka tidak lagi saling menuding. Kini, mereka sama-sama bertanya: kalau bukan Dero, lalu siapa?
Minimarket masih sunyi. Tak ada suara pintu otomatis terbuka, tak ada langkah kaki pelanggan, tak ada dentingan mesin kasir. Yang ada hanya keheningan yang kental, seolah tempat itu tahu bahwa dua anak manusia di dalamnya tengah terjebak dalam percakapan yang lebih penting dari harga diskon atau stok mie instan.
Dero menoleh ke balik meja kasir. “Gue bentar ya,” katanya pada seorang pegawai lain—anak muda juga, mengenakan celemek merah yang lusuh, sedang duduk main HP.
Si pegawai cuma angguk malas tanpa tanya apa-apa.
Dero lalu memberi isyarat pada Atha, mengajak ke bangku besi di depan minimarket yang biasa dipakai orang buat nunggu ojol. Matahari sudah condong ke barat, sinarnya menyelinap lewat sela tenda oranye pudar, membentuk bayangan panjang di lantai keramik.
Mereka duduk. Tidak langsung bicara.
Dero menghembuskan napas panjang. Tangannya meremas ujung celana, lalu lepas. Ia terlihat seperti orang yang akan mengakui dosa yang bukan miliknya.
“Gue sama Niko dulu deket banget,” katanya akhirnya. Suaranya serak, tapi bukan karena sakit tenggorokan—lebih karena sesuatu yang sudah lama ditahan. “Dari dulu, dari SMP malah. Satu tongkrongan. Beda kepala, tapi satu frekuensi.”
Atha hanya mendengarkan. Ia tidak ingin menyela.
“Kami saling dorong, saling sok ide. Waktu dia bilang pengen bikin band, gue dukung. Gue yang bantu cari tempat latihan, nyari personil. Bahkan dulu gue yang ngurusin sosial media band-nya pas awal-awal. Gue bangga banget sama dia.”
Dero berhenti sejenak, menatap jalan raya yang lengang. Sebuah motor melintas, bunyinya seperti lalat yang kesasar.
“Tapi semua mulai berubah waktu kita masuk SMA. Khususnya waktu kita masuk sini. Kalian kelas 11 waktu itu, gue udah ada di kelas 13 ini, nama lu mulai sering disebut-sebut. Ranking tiga besar, masuk olimpiade, ketua kegiatan ini-itu, guru-guru sering muji. Mading sekolah isinya muka lu terus. Gue tahu dia mulai beda. Makin pendiam. Makin sensitif. Tapi gue pikir wajar, dia capek mungkin.”
Atha tetap diam. Ada satu bagian dari dirinya yang ingin menyangkal semua itu—mengatakan bahwa dia tak pernah bermaksud merebut perhatian siapa pun. Tapi bagian lainnya tahu: ini bukan soal niat, ini soal dampak.
“Niko itu... dia anak band. Dia punya prestasi juga. Di luar, band-nya pernah menang festival antar sekolah, pernah manggung di acara kota. Tapi di sekolah, semua kayak enggak ada yang peduli. Dia enggak pernah masuk mading. Guru-guru tetap anggap dia kayak ‘anak seni yang bandel.’”
Dero memejamkan mata, menunduk.
“Dan dia mulai bilang... lu menelan semua cahaya yang seharusnya adil buat semua orang.”
Atha merasa dada kirinya seperti ditekan dari dalam. Kalimat itu—puitis tapi menyakitkan. Ia tak tahu harus merasa bersalah atau marah.
“Gue enggak langsung percaya dia bakal sejahat itu. Tapi dari cerita-ceritanya, dia mulai... berubah. Dia ngumpulin info tentang lu. Dia tahu password kelas. Dia tahu file presensi. Dia tahu siapa aja yang bisa disuap buat nyebarin gosip. Dia mulai main data. Edit-edit. Skenario. Dan—lu tahu sendiri akhir ceritanya.”
Dero menghela napas, kali ini lebih panjang.
“Gue enggak ikut-ikutan. Dia ngajak gue, maksa gue malah. Tapi... gue tolak. Gue pikir itu cuma fase. Marah sesaat. Tapi ternyata dia serius. Dan setelah semuanya kejadian—setelah lu hancur—gue marah. Gue tonjok dia waktu itu. Kita ribut gede. Sejak itu gue enggak pernah ngomong lagi sama dia.”
Sore makin menua. Matahari memudar di balik awning, dan Atha belum juga bisa bicara. Cerita Dero terasa seperti pintu yang akhirnya dibuka—bukan demi pembelaan, tapi sebagai pengakuan atas luka yang sama-sama mereka pikul. Luka dari seseorang yang mereka kenal, yang mereka percaya, tapi ternyata menyimpan bara di balik senyum dan denting gitar.
Dero menyandarkan punggungnya ke dinding. Matanya menatap langit-langit toko.
“Gue benci lu karena lu lemah,” katanya, pelan, jujur, tapi tidak bernada menyalahkan. “Kalau lu kuat, Niko enggak akan bisa jatuhin lu. Persahabatan gue sama dia enggak akan rusak. Gue enggak akan ngerasa kayak sekarang... kayak orang bego yang cuma bisa nonton semuanya hancur.”
Kata-katanya mengendap di kepala Atha. Bukan karena kasar, tapi karena benar. Ia tak bisa membantah—karena sebagian dirinya tahu: ya, dia memang lemah saat itu.
Dan mungkin... masih.
Dero masih menatap langit-langit toko, tapi napasnya kini tak lagi berat. Lebih tenang, namun nadanya berubah—bukan getir, tapi lebih dingin, seperti seseorang yang sudah terlalu sering memutar ulang cerita di kepalanya sampai kelelahan untuk merasa marah lagi.
“Lu tahu enggak, Tha—gue tuh sempet diem. Waktu pertama kali tahu dia nyusun rencana, gue diem aja. Enggak langsung marah, enggak langsung hadang. Mungkin karena gue masih berharap itu cuma omongan doang. Kayak semacam... ledakan emosi sementara. Dia ngomel, bilang lu anak emas guru, bilang semua orang di sekolah ini buta sama fakta, bilang sistem ini korup. Waktu itu gue masih mikir: ‘Ah, ini paling cuma fase dia ngambek aja. Ntar juga reda.’”
Ia menggeser duduk, memijit pelipisnya sendiri.
“Tapi makin lama, gue makin nyadar kalau ini bukan fase. Dia mulai nyusun semuanya dengan rapi. Dia punya catatan nilai lu dari semester ke semester. Dia tahu kebiasaan guru-guru. Dia tahu gimana caranya bikin jejak digital yang bisa ditelusuri balik ke orang lain. Dia tahu siapa aja yang bisa dia pakai—temen sekelas, alumni, bahkan anak-anak dari jurusan lain. Dan semua itu dia simpan, kayak... kayak peta perang. Gila banget, Tha. Gue ngerasa kayak lagi ngobrol sama orang yang enggak gue kenal lagi.”
Atha menelan ludah. Ada keringat dingin di punggungnya, meskipun udara sore makin sejuk.
“Waktu itu, gue masih belum sepenuhnya yakin dia bakal jalanin itu. Sampai satu malam, waktu dia nginep di rumah gue—ya gue memang sedeket itu sama Niko dulu, kan? Nah, malam itu dia buka laptopnya, dan gue lihat langsung dia udah nyiapin email—email pengakuan palsu, editan bukti-bukti, dan draft pengaduan. Semua itu diketik dengan bahasa yang rapi, penuh data, tapi penuh kebohongan. Bahkan dia nyimpen template HTML buat bikin email itu kelihatan kayak dikirim dari sistem sekolah.”
Dero berhenti. Ia menunduk lama sebelum melanjutkan. Suaranya pelan, tapi jelas.
“Gue bilang, ‘Lu becanda, kan?’ Tapi dia enggak ketawa. Dia malah bilang, ‘Kalau orang kayak Atha enggak jatuh, dunia ini enggak akan pernah adil.’”
Ia menggertakkan gigi, matanya basah tapi tak sampai menetes.
“Gue... pecah malam itu juga. Gue tonjok dia. Dia balas. Kita ribut gede, di kamar. Sampai gue lempar laptopnya ke tembok. Orang rumah gue sampai masuk kamar karena kira kita mau bunuh-bunuhan.”
Atha menatap Dero dengan campuran syok dan tidak percaya. Selama ini, semua rumor, semua tuduhan, semua kegagalan itu terasa datang dari ruang hampa. Tapi ternyata asal-usulnya begitu nyata. Seorang teman. Seorang sahabat. Bahkan seseorang yang pernah ia kagumi karena nyalinya di atas panggung.
Dero tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena pahit. “Lu tahu yang paling nyakitin? Setelah semua itu, dia bilang gue pengecut. Karena gue nolak bantu dia. Karena gue lebih milih ‘musuh’ daripada sahabat sendiri. Dia bilang gue munafik—bilang gue juga kesel sama lu, tapi pura-pura sok netral. Mungkin... dia enggak sepenuhnya salah.”
Ia menatap Atha lurus-lurus.
“Gue emang kesel sama lu, Tha. Tapi bukan karena lu salah. Gue kesel karena lu lemah. Karena lu pasrah. Karena lu enggak pernah nyoba buat ngelawan balik. Lu diem waktu orang-orang tuduh lu. Lu ngilang waktu semua gosip makin liar. Dan itu bikin semuanya makin gampang buat Niko. Lu jadi korban yang sempurna.”
Atha mengalihkan pandangan, tapi Dero tetap melanjutkan. Ini bukan lagi soal menyalahkan, ini adalah sisa-sisa luka yang akhirnya dibuka.
“Gue... sempet mikir: kalau aja Atha lebih kuat, mungkin Niko enggak akan sejauh itu. Mungkin dia bakal sadar. Mungkin persahabatan kita enggak akan hancur. Tapi ternyata hidup enggak sesimpel itu.”
Angin sore berembus pelan. Bunyi plastik kresek di sekitar minimarket berderak seperti gumaman pelan dari langit. Dero mengusap wajahnya, lalu berkata dengan suara yang lebih dalam.
“Lu tahu enggak, kenapa Niko bisa sampai seputus asa itu?”
Atha menggeleng pelan.
“Karena dia enggak pernah punya rumah yang bisa bangga sama dia. Ibunya diva besar, ayahnya komposer yang udah keliling dunia. Tapi dia? Dia cuma anak SMA yang main band. Di rumah, prestasinya enggak pernah cukup. Bahkan waktu dia menang festival, ibunya cuma bilang, ‘Bagus, tapi jangan puas dulu. Kualitas vokalmu masih kurang.’ Lu bayangin itu, Tha. Dia lapar pengakuan. Dan waktu dia lihat lu punya semuanya—nilai, guru yang muji, orang tua yang support, nama baik—dia ngerasa... iri yang dalam banget. Dan iri itu berubah jadi obsesi. Obsesi buat ngeruntuhin orang yang punya semuanya.”
Sunyi.
Dero berdiri, menepuk-nepuk celananya, lalu menatap Atha sekali lagi.
“Dan sekarang... gue rasa dia pengen semua orang ngerasain keterpurukan yang sama kayak dia. Lu, gue, bahkan dirinya sendiri. Dia bukan cuma mau ngelawan sistem, Tha. Dia pengen ngebakar semuanya.”
Atha tidak langsung menjawab. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa benar-benar melihat. Kata-kata Dero terus berputar di kepalanya seperti gema dalam gua kosong—panjang, menyakitkan, dan tak kunjung usai. Ia tak tahu harus merasa apa duluan: marah, kecewa, takut, atau justru kosong seperti sekarang.
Dunia yang tadinya hitam-putih di pikirannya kini menjelma warna kelabu pekat. Ternyata yang menjatuhkan dia bukan orang asing. Ternyata yang menyulut kehancuran itu adalah sosok yang dulu berdiri di sampingnya di depan kelas, menyanyi dengan senyum yang terasa tulus. Ternyata semua luka ini bukan fitnah liar, tapi luka yang direncanakan—disusun, dirancang, dijalankan dengan kesadaran penuh.
Ia menarik napas, tapi dada justru terasa makin sesak.
Dero menyadari hening yang tidak biasa itu. Ia menunduk sedikit, lalu berkata pelan, seperti seseorang yang baru menyadari betapa dalam ia telah menyakiti.
“Gue... minta maaf, Tha. Buat semuanya. Buat sikap gue yang nyebelin, buat omongan gue yang mungkin nyakitin. Gue terlalu sibuk sama kecewa gue sendiri, sampai lupa kalau lu yang paling kena dampaknya.”
Atha tetap diam. Hanya kelopak matanya yang turun sedikit, seolah menyetujui sekaligus menolak dalam satu gerakan rapuh.
Dero melanjutkan, ragu-ragu. “Tapi... gue rasa kita enggak bisa diem gini terus. Kita harus ngobrol. Bertiga. Lu, gue, Niko. Kita... kita harus ngomong baik-baik, sebelum semuanya makin rusak.”
Masih tidak ada respons.
Beberapa detik kemudian, Atha berdiri. Gerakannya lambat, hampir seperti orang yang habis demam berat. Ia mengenakan helmnya tanpa bicara sepatah kata pun. Tangannya sedikit gemetar saat mengancingkan strap di bawah dagu.
Lalu, dengan suara pelan yang hampir tak terdengar, ia berkata,
“Gue balik dulu.”
Dero tak berusaha menahan. Hanya mengangguk pelan, mungkin mengerti bahwa tak semua orang siap menyambut kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu sudah duduk di hadapan mereka. Kadang, luka terlalu dalam untuk segera diajak berdamai.
Perjalanan pulang Atha terasa asing, seperti motor melaju di antara ruang-ruang kosong. Jalanan sore yang biasanya dipenuhi suara klakson dan tawa kini terdengar seperti gema kenangan yang gagal diselamatkan. Di lampu merah, ia tak sadar motornya berhenti lebih lama dari yang seharusnya. Beberapa pengendara di belakang membunyikan klakson pelan, membuatnya tersentak dan kembali menarik gas.
Sesampainya di rumah, ia tak menyapa siapa-siapa. Hanya membuka pintu, melepas helm, dan langsung menuju ruang tengah. Di sana, ibunya sedang duduk membaca koran, dengan ekspresi lelah khas seorang ibu yang diam-diam selalu cemas.
Atha berdiri beberapa detik di depannya. Lalu tiba-tiba, tanpa kata, ia menjatuhkan tubuhnya ke pelukan ibunya. Erat. Tanpa suara. Tapi air matanya menetes satu per satu, membasahi bahu ibunya yang tak bertanya apa-apa.
Tak ada yang perlu dijelaskan. Karena beberapa luka memang tak bisa diceritakan dengan bahasa.
Dan dalam diam itu, Atha akhirnya sadar—kadang, pulang bukan tentang tempat. Tapi tentang seseorang yang mau diam menemanimu menangis, bahkan saat kamu sendiri sudah tak tahu kenapa kamu begitu sedih.
arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii
Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN