Langkah kakinya tergesa seraya membuka pintu kamar. Atha melirik jam dinding di ruang tamu—jarum pendek sudah hampir menyentuh angka tujuh. Tanpa banyak bicara, dia langsung menuju meja makan, mengambil selembar roti panggang yang sudah diletakkan di piring kecil oleh ibunya.
Roti itu masih hangat. Mentega di atasnya belum benar-benar mencair, tapi Atha tidak peduli. Dia menggigit separuhnya sambil menyambar tas dari sandaran kursi. Sambil mengunyah, remaja itu sempat menoleh ke dapur.
“Berangkat dulu, ya, Bu,” ucapnya singkat.
Dari balik pintu dapur, terdengar suara air mengalir dan bunyi piring disusun. Ibunya membalas dengan sahutan kecil dan senyum tipis, lalu kembali sibuk dengan cucian piring. Tidak ada percakapan panjang pagi ini. Tapi itu biasa. Sedangkan, sang ayah sudah pergi ke pabrik sejak jam enam pagi tadi. Atha jarang sekali bertemu dengan ayahnya di jam-jam pagi.
Pintu depan dibuka. Udara pagi menyerbu begitu dia melangkah keluar rumah. Matahari belum terlalu tinggi, tapi cahaya hangatnya sudah mulai menyentuh ubin halaman depan. Atha berjalan ke motor yang terparkir di tempat biasa, di samping pot bunga besar milik ibunya. Dia membuka mengambil helm, dan langsung memakainya.
Dengan satu tangan, Atha menyalakan mesin motor. Suaranya cukup nyaring, menggema sebentar di antara rumah-rumah tetangga. Dia membiarkan mesin menyala sebentar, memanaskannya seperti biasa, sambil menghabiskan sisa roti di tangannya.
Embusan angin pagi menyapu pelipisnya. Satu dua pengendara sudah terlihat lewat di jalan depan rumah. Langit biru tanpa awan, menyiratkan bahwa hari ini kemungkinan akan cerah. Atha tidak sepenuhnya lega, tapi cukup untuk membuat dadanya tidak terlalu sesak.
Dia tidak yakin darimana datangnya perasaan itu. Mungkin karena semalam dia mendengarkan lagu Niko berulang kali sampai tertidur. Lagu yang sempat membuat tengkuknya merinding. Lagu yang rasanya jujur dan mentah. Ada sesuatu dari suara Niko yang menancap dan tersisa, bahkan hingga pagi ini.
Atha menaiki motornya dan mulai melaju ke jalan utama. Helm sudah terpasang erat, dan pandangannya lurus ke depan. Remaja itu melaju tidak terlalu cepat, menikmati sejuknya pagi dan jalanan yang belum terlalu ramai. Sesekali, dia menoleh ke spion, memandangi pantulan wajahnya yang terlihat lebih... tenang? Dia tidak tahu. Tapi jelas berbeda.
Sampai di sekolah, Atha memarkir motornya di tempat yang sama seperti kemarin. Pandangannya langsung tertuju ke tempat parkir di sebelah kanan, tempat di mana biasanya motor Niko terparkir. Namun kosong. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Niko hari ini.
Dia menghela napas, lalu berjalan masuk ke gedung sekolah, melewati beberapa siswa yang juga baru datang. Langkahnya menuju ke bagian ujung barat sekolah, di paling belakang terhalang gedung utama, ke kelas yang selama ini masih terasa asing baginya—Kelas 13.
Pintu kelas terbuka. Suasana di dalam tidak jauh berbeda dengan biasanya. Hening, tapi bukan hening yang nyaman. Orang-orang duduk menyendiri di tempat masing-masing, entah menatap ke luar jendela, menunduk pada ponsel, atau hanya diam dengan ekspresi datar.
Atha berjalan ke tempat duduknya, lalu menaruh tas dengan hati-hati. Dia duduk, membuka ponselnya secara refleks, berharap mungkin ada pesan dari Niko. Tidak ada notifikasi. Tapi dia langsung membuka WhatsApp dan mengetik pesan baru.
“Lu ke mana? Hari ini masuk gak?”
Balasannya datang cukup cepat.
“Gue izin hari ini, ada acara keluarga.”
Atha menatap pesan itu beberapa detik. Singkat. Padat. Tapi tidak ada yang aneh, dan tidak ada alasan untuk curiga. Meski entah kenapa, dia merasa jawaban itu terlalu biasa. Tapi mungkin memang seharusnya begitu. Lagipula, Niko bukan tipe orang yang suka menjelaskan. Dan, ya, mereka baru kenal beberapa hari saja.
Dia menaruh ponselnya ke meja, lalu menoleh ke sekeliling. Semua masih sibuk dengan dunia masing-masing. Rasanya tidak ada yang peduli pada siapa pun di kelas itu.
Namun hari ini Atha tidak ingin pasif. Dia tidak mau terus-terusan jadi bayangan. Karena itu, meski ragu, dia menoleh ke arah satu orang yang dari kemarin paling mencolok setelah Rizal—Dero.
Dero duduk di dekat jendela. Satu telinganya disumpal headset putih, yang satunya lagi dibiarkan terbuka. Remaja cepak itu menatap layar ponsel dengan alis sedikit berkerut, jarinya sibuk mengetik sesuatu.
Atha menggeser duduknya sedikit, memastikan suara kursinya tidak terlalu mengganggu. Dia sekali lagi menatap Dero dari jauh selama beberapa detik, mempertimbangkan cara membuka percakapan tanpa terdengar aneh. Ujung-ujungnya, dia mengambil keputusan sederhana—mendekat saja dulu. Kalau terlalu banyak dipikirkan, dia tidak akan pernah berani.
Langkah Atha pelan saat dia menghampiri deretan kursi di dekat jendela. Dia tidak langsung menyapa, hanya duduk satu kursi meja lipat kosong di depan Dero, mencoba membaca situasi. Angin dari jendela yang sedikit terbuka membawa bau matahari pagi yang menyengat, bercampur dengan aroma lemari kayu dari dalam kelas.
Beberapa detik dibiarkan berlalu begitu saja, hingga akhirnya Atha bersuara pelan, “Bro, lu sering dengerin musik pake headset ya? Genrenya apa, kalo gue boleh tau?”
Dero menoleh sekilas, hanya sekilas. Satu alisnya terangkat, lalu kembali turun, seperti malas merespons. Dia kembali menekan layar ponsel sekali, lalu mendesah pelan. Headset di salah satu telinganya ditarik turun, lalu dia menatap Atha dengan tatapan datar.
“Ngapain sih?” ucapnya tanpa nada.
Atha kaget dengan responnya yang langsung tajam. Namun, dia mencoba tetap tenang. Mungkin Dero memang tipikal orang yang blak-blakan.
“Ya… cuma pengin ngobrol aja. Kan... sekelas juga,” jawab Atha, canggung.
Dero mengangkat dagunya sedikit, lalu memutar badannya, menghadap Atha secara penuh. Tapi bukannya lebih terbuka, sorot matanya justru terasa makin tajam.
“Gue kasih tau deh, biar gak salah paham,” katanya pelan, tapi terdengar jelas. “Lu gak usah sok akrab. Di sini gak ada yang butuh ‘teman’.”
Atha tidak menjawab. Mulutnya separuh terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar.
“Dan gak usah juga so-soan jadi juru damai atau jembatan atau apalah itu. Di kelas ini, semua orang udah tahu posisinya masing-masing. Lu baru dateng, yaudah duduk aja yang manis, jangan ganggu ritme,” lanjut Dero dengan sikap yang masih tenang tapi menusuk.
Si cepak es batu itu lalu memasang kembali headset-nya, dan membalik tubuhnya ke posisi semula. Pandangannya kembali ke layar ponsel, seolah-olah tidak pernah terjadi interaksi apa pun barusan.
Atha masih berdiri di tempat yang sama. Detik-detik hening lewat di antara mereka. Jantungnya berdetak pelan, namun terasa berat di dada. Dia tidak menyangka penolakan bisa datang secepat dan setajam itu. Bukan karena Dero marah, tapi justru karena sikap Dero yang datar dan tidak peduli.
Dan akhirnya berbalik badan dan kembali ke tempatnya tanpa sepatah kata. Duduk, menunduk, dan menatap meja gurun yang kosong. Tangannya mengepal pelan di bawah meja.
Gue kan cuma mau ngobrol, kok kayaknya salah banget, sih?
Tapi, meski terpukul, Atha menahan diri untuk tidak mundur sejauh dulu. Ia tahu dirinya sedang mencoba sesuatu. Dan mencoba itu berarti bersiap gagal.
Di luar jendela, angin berembus pelan menggoyangkan tirai. Tapi di dalam kelas itu, udara tetap terasa dingin dan kaku, seolah waktu enggan bergerak.
Waktu bergulir tanpa ampun, seharian ini di sekolah Atha tidak mendapatkan hal apa-apa. Materi pembelajaran yang sudah sangat dia pahami, bahkan lebih mudah dari yang dipelajari sebelumnya. Beberapa kuis dari guru sejarah bisa Atha jawab semua dengan benar. Namun, semuanya sama, mereka tidak pernah memberikan apresiasi sedikitpun untuk siswa-siswa Kelas 13.
Sampai akhirnya bel yang menunjukkan jam terakhir pun berdering. Pak Narya datang lebih awal dari biasanya, lelaki paruh baya itu sudah berdiri di depan pintu dengan map cokelat dan gelas kopi stainless-nya yang selalu dibawa ke mana-mana.
“Ayo, duduk semua. Hari ini kita ada agenda penting,” ucapnya sambil masuk ke dalam ruangan, langkahnya mantap seperti biasa.
Atha memang dalam keadaan solid di tempatnya, dia hanya menggeser sedikit tubuhnya untuk membenarkan posisi duduk. Suasana kelas yang tadinya hampir tak bersuara kini berubah jadi lirih-lirih bisik. Beberapa masih melanjutkan obrolan setengah hati, sisanya menatap Pak Narya dengan mata datar.
“Langsung saja ya. Kita belum punya Ketua Murid untuk tahun ajaran ini,” ujar Pak Narya, membuka mapnya. “Dan karena kalian bukan anak kelas biasa, saya rasa kita harus langsung menunjuk orang yang paling paham ritme kelas ini.”
Beberapa kepala mulai berpaling ke arah Dero, termasuk Atha. Dero masih menyandarkan punggungnya ke kursi, satu kaki naik ke batang kaki kursi yang lain, dan lengan dilipat. Ekspresinya biasa saja, tapi Atha bisa melihat ada sedikit senyum yang tertahan di ujung bibirnya.
“Saya tunjuk Dero sebagai Ketua Murid Kelas 13,” kata Pak Narya, tegas.
Seketika ruangan jadi gaduh.
“Lho, Pak, ini gak ada pemilihan dulu?” seru Rizal dari bangku pojok belakang sebelah kanan. “Saya juga mau, Pak.”
Pak Narya mengangguk kecil, seolah memaklumi. “Rizal, kamu baru beberapa di kelas ini. Dero sudah dua tahun di sini, dia lebih paham alur, lebih paham jadwal, lebih paham... atmosfernya.”
“Tapi Pak, tetep aja... harusnya dikasih kesempatan buat semua. Gak cuma karena dia udah lama, terus langsung ditunjuk begitu,” Rizal membalas, suaranya naik satu oktaf.
Beberapa siswa lain mulai bersuara—entah mendukung, entah sekadar menambah kebisingan. Atha hanya mengamati semuanya dengan napas yang terasa agak berat. Di dalam hati, dia juga tidak setuju. Bukan karena Dero tidak pantas, tapi karena prosesnya terasa janggal. Seperti tidak ada ruang untuk suara orang lain.
Sementara itu, Dero hanya mengangkat satu alis, lalu duduk tegak.
“Gue gak masalah jadi Ketua, Pak,” katanya singkat. “Tapi gue gak bakal ngurusin urusan pribadi masing-masing. Gue bukan babysitter.”
Pak Narya malah tertawa. “Itu yang saya suka dari kamu, Dero. Tegas.”
Atha menunduk. Rasanya ingin tertawa, tapi lebih banyak getir yang terasa. Bukankah ketua seharusnya bisa jadi jembatan, bukan pagar?
“Sudah, sudah. Ini keputusan wali kelas. Kalian semua silakan lanjutkan kegiatan masing-masing. Dero, minggu depan mulai koordinasi buat tugas piket dan laporan mingguan.”
Suasana kelas tetap bising meski Pak Narya sudah duduk di meja guru. Beberapa masih ribut kecil, sebagian diam dan pasrah. Atha bersandar ke kursinya, menatap langit-langit kelas yang mulai kusam.
Dalam hati, Atha mencatat satu hal baru. Di tempat ini, bahkan yang paling berisik pun bisa diabaikan. Dan yang paling paham kadang bukan yang paling layak.
Pak Narya, selain sebagai walikelas Kelas 13, beliau juga merangkap sebagai guru Prakarya. Kelas pun dimulai dengan kondisi Pak Narya yang mengoceh sendirian di depan kelas, sedangkan yang lainnya sibuk seolah punya dunia pribadi. Bahkan Dero pun kini kembali di posisi ‘tidur’-nya.
Dua jam pelajaran pun habis. Atha memberi salam sendirian pada Pak Narya sebelum sang guru dengan gelas kesayangannya itu pergi meninggalkan kelas. Tas milik Atha masih di lantai, kancing baju atasnya terbuka belum dikancingkan, dan tangan menopang kepala yang berat. Cahaya sore masuk dari jendela, keemasan tapi menyilaukan, membuat siluet meja-meja di kelas tampak lebih suram daripada biasanya.
Atha membuka ponsel. Masih belum ada balasan dari Niko.
Chat terakhirnya barusan:
Dero jadi KM, btw. Hebat kan?
Tapi kelasnya ribut banget wkwk
Lu ke mana sih?
Tiga centang abu-abu. Sejak pagi tadi, belum berubah warna.
Atha menghela napas. Dia kembali scroll ke atas, membaca ulang pesan-pesannya sendiri—seperti sedang melihat catatan tentang dirinya yang berusaha menjangkau seseorang yang entah sedang di mana.
Tangannya terulur, mengambil roti sisa makanan tadi istirahat. Dia menggigitnya sedikit, lalu simpan lagi. Rasa lapar memang ada, tapi tidak cukup kuat untuk menutupi kekosongan lain yang terasa lebih mendesak.
Terdengar suara gesekan kursi, beberapa siswa mulai meninggalkan kelas. Namun Atha tidak langsung ikut pergi. Dia malah berdiri pelan, menghampiri jendela yang tadi membingkai sinar senja. Matanya menatap jauh ke luar, ke arah lapangan yang sudah sepi.
Bayangan Dero tadi siang masih melekat di benaknya. Kalimat ‘gue bukan babysitter’ terasa masih bergema, seakan mewakili seluruh semangat kelas ini yang dingin, tidak ingin terikat, dan menolak saling peduli.
Atha mengusap tengkuknya, sedikit berkeringat. Kipas di pojok ruangan hanya berputar lamban. Panasnya tidak membuat gerah, tapi juga tidak menawarkan kenyamanan. Sama seperti suasana kelas.
Ponselnya bergetar. Sekilas harapannya melonjak. Tapi ternyata hanya notifikasi dari grup kelas:
[KELAS 13]
Ada pengumuman dari Pak Narya soal jadwal piket baru, dan Dero sudah mengetik:
Jangan lupa, gue gak mau ngatur satu-satu.
Atha mematikan layar. Dia merasa ada yang mengganjal di dadanya, tapi tidak tahu apa. Semuanya terasa berlebihan hari ini—terlalu banyak hal yang tidak bisa dia jangkau, padahal dia ingin, sungguh ingin, membuat sedikit saja perbedaan. Sebenarnya tidak ada yang mengganggu dirinya secara langsung, tapi Atha merasa hari ini aneh saja.
Langkah kakinya pelan saat keluar kelas. Sepatu ketsnya menggesek lantai koridor. Saat sampai di depan gedung Kelas 12, Atha berhenti sebentar, lalu memutuskan untuk menaiki tangga di samping dan pergi ke atap sekolah. Sudah lama dia tidak ke sana—tempat paling sepi yang pernah dia tahu.
Dan ketika Atha tiba, angin sore langsung menyambutnya. Kota terlihat dari kejauhan: bising, berantakan, hidup. Tapi di tempat itu, Atha hanya diam. Duduk di sudut dengan tembok rendah dan menatap langit yang mulai berubah warna.
Ponselnya tetap diam.
Niko tetap hilang.
Dan Atha mulai bertanya-tanya—kalau satu-satunya orang yang mau membuka diri pun tiba-tiba menjauh, apakah dirinya masih punya alasan untuk bertahan membuka ruang?
arrghhhhh. aku bacanya ikut frustrasiiiiiii
Comment on chapter BAB 3: TIDAK LAYAK BERTAHAN