Sudah beberapa hari ini Jihan tidak melihat Natha, jangankan melihatnya mendapat pesan darinya saja tidak padahal biasanya lelaki itu selalu mengirimkan pesan selamat pagi, siang, sore maupun malam meski akhirnya Jihan tidak pernah membalasnya.
Kalau boleh jujur semenjak Natha dengan sengaja melibatkan diri di hidupnya, awalnya memang terasa menyebalkan, tapi lama-kelamaan Jihan terbiasa yang akhirnya merasa bersyukur atas keberadaannya.
Dan mungkin jika Natha menyerah karena ditolak olehnya mentah-mentah, Jihan tidak akan merasa kebahagiaan seperti dulu sebab hidupnya seperti bongkahan batu yang diberi nyawa, hidup tapi merasa tidak hidup yang akhirnya Jihan akan menyakiti dirinya sendiri lebih dalam lagi.
Kalau ada Natha, biasanya lelaki itu mengoceh banyak hal, biasanya selalu berusaha membuatnya tertawa, selalu mengajaknya ke tempat-tempat menyenangkan dan banyak lagi.
Tapi beberapa hari tanpanya terasa hampa dan jujur Jihan kesepian.
Karena keberadaan Natha tidak terlihat, Jihan menduga mungkin saja Natha sedang sakit? Jika memang begitu tidak ada salahnya Jihan mengkhawatirkannya.
Jihan yang duduk di gazebo taman kampus menghela napas sebentar, dia memang khawatir hanya saja gengsi menyertainya. Ada satu alasan yang membuat perasaan gengsinya ini tiba-tiba datang, seandainya Jihan menghubunginya pasti lelaki itu kepedean karena menganggap Jihan merindukannya.
Dan sekali lagi Jihan menghela napas sembari memejamkan mata, menentukan pilihan memang lah menyulitkan. Mungkin jika dirinya duduk di sini lebih lama seseorang yang ditunggu akan muncul? Ya, Jihan akan menunggu sambil mengamati keadaan di sekelilingnya.
Di taman kampus, tidak terlalu banyak orang yang duduk di gazebo yang lain. Orang-orang itu menyibukkan diri dengan laptop, ponsel, maupun mengobrol. Daripada menyibukkan diri seperti mereka, Jihan lebih menyukai seperti ini. Duduk di pinggir gazebo dengan kedua kaki yang sengaja di ayunkan, perempuan itu masih betah duduk di sini sembari memperhatikan orang-orang yang melewati taman karena siapa tahu saja Natha tiba-tiba lewat?
Terus menunggu dan masih menunggu, mungkin sudah lima belas menit waktu berlalu dan keberadaan Natha belum terlihat. Jihan tidak tahu harus menunggu berapa lama lagi.
Menunggu seseorang tanpa adanya kepastian seperti ini membuat Jihan kembali berpikir tentang dirinya yang memang harus menghubungi Natha. Biarlah lelaki itu kepedean, karena yang penting Jihan hanya ingin mengetahui keadaannya yang semoga baik-baik saja.
Ponselnya ada di dalam tas dan Jihan segera mengambilnya, nomor telepon Natha terpampang jelas di layar ponselnya meski jarinya sempat ragu menekan ikon telepon Jihan tetap melakukannya.
Sambungan telepon terhubung, tapi dari seberang sana belum terdengar suara Natha dan sekali lagi Jihan melakukannya, tapi Natha masih tidak mengangkat sambungan teleponnya.
Rasa sedikit kecewa tentunya muncul hingga membuat kedua sudut bibir itu melengkung ke bawah, padahal Jihan sudah membuang gengsinya tapi Natha tidak mengangkatnya, sesibuk itukah dia? Jika benar, maaf karena Jihan mengganggu.
Entah sudah berapa kali Jihan menghela napas karena suasana hatinya benar-benar berantakan. Khawatir, kecewa, dan bosan. Kalau saja tidak ada mata kuliah di jam tiga sore, detik ini juga dirinya akan pulang.
"Eiya, katanya mahasiswa sastra Jepang ada program pertukaran pelajar ya?"
Suara yang terdengar dari seorang perempuan berambut pendek yang duduk di gazebo sebelahnya membuat Jihan menoleh sebentar. Kalau tidak salah, Natha adalah mahasiswa sastra Jepang yang satu tingkat di atasnya. Dan kalau boleh egois, Jihan sama sekali tidak mengharapkan Natha ikut serta dalam pertukaran pelajar.
Jepang itu jauh, lalu jika Jihan merindukannya bagaimana? Segera dia menggelengkan kepala, alasan Jihan tidak mengharapkan Natha ikut pertukaran pelajar bukan karena takut merindukannya, tapi karena pasti Jihan akan kesepian pasalnya tidak ada seseorang yang akhir-akhir ini selalu ada untuknya.
"Iya, udah ditentuin juga siapa yang bakal berangkat. Tinggal tunggu tanggalnya aja."
"Duh, gue jadi pingin ke Jepang, pingin lihat sakura sambil makan takoyaki."
"Yuk, semangat belajarnya biar bisa cepat-cepat lulus, cepat dapat kerja, kumpulin uang yang banyak biar bisa lihat sakura di tempatnya aslinya."
Kemudian kedua perempuan itu tertawa membayangkan masa depan yang sepertinya akan menyenangkan.
Jihan hanya bisa terdiam, ada perasaan iri karena Jihan tidak memiliki teman. Selain Natha, Jihan juga ingin mengenal orang lain untuk menjadi temannya. Tapi Jihan tidak tahu bagaimana caranya, mengingat Natha yang terlebih dahulu mendekatinya.
Lalu mereka yang berbicara tentang Jepang dan Sakura, Jihan juga ingin melihat bunga berwarna merah muda yang bermekaran lalu berguguran dengan indah, kira-kira kapan ya keinginannya itu akan terwujud?
Khayalan serta impian kecil yang terbayang di kepala membuat bibirnya tersenyum, mungkin khayalan itu akan terwujud dan Jihan hanya perlu berdoa, berusaha sekaligus menunggu waktunya tiba.
Jika Jihan masih betah duduk di sini, lain halnya dengan dua perempuan yang berbicara tentang Jepang tadi, mereka pergi setelah membereskan barang-barang.
Embusan angin lewat menerpa wajahnya lalu bunga-bunga yang ada di pojok sana bergerak seakan melambaikan tangan menyuruh Jihan untuk datang. Segera dia beranjak dari duduknya karena menghampiri bunga-bunga di taman lebih menyenangkan dibanding menunggu di gazebo.
Bunga-bunga yang tumbuh di taman begitu indah dan anyelir kuning salah satunya, mereka tumbuh cukup baik karena di tanam di tempat yang teduh. Seingatnya ada beberapa mahasiswa jurusan Hortikultura yang mengurus hampir semua tanaman di sini.
"Hai, anyelir!" Jihan menyapa sambil melambaikan tangan yang akhirnya malah tertawa karena tingkah konyolnya. Mungkin jika ada yang melihat, Jihan akan dianggap sebagai orang aneh.
Omong-omong, bunga anyelir memiliki bentuk unik, anggun, dan teksturnya lembut. Bunga berbentuk bulat atau setengah bola itu memiliki kelopak yang tersusun rapat dan berlapis-lapis yang memberi kesan rimbun. Anyelir memiliki banyak warna hanya saja yang Jihan lihat sekarang adalah warna kuning.
Karena embusan angin yang kembali datang, aroma bunga itu tercium manis, lembut, dan khas tapi aromanya tidak terlalu tajam.
Meski memiliki warna yang cerah dan terkesan ceria, anyelir kuning memiliki arti yang berbanding terbalik dengan warnanya dan artinya tentang kekecewaan, penolakan, serta kecemburuan.
Di saat dirinya masih menatap sekumpulan bunga berwarna kuning itu, tercium aroma parfum yang tidak asing, Jihan mengenali seseorang yang memakai parfum beraroma segar tercampur maskulin. Lalu saat menoleh keberadaan Natha terlihat yang tentunya membuat perempuan itu tersenyum, seseorang yang ditunggu akhirnya datang dan kelihatannya Natha baik-baik saja.
"Natha!"
Saat memanggil namanya, Natha menghentikan langkah kakinya bahkan menoleh kemudian dengan langkah yang terasa ringan Jihan menghampirinya.
Omong-omong, ada satu hal yang baru Jihan sadari ketika dirinya berdiri di hadapan lelaki itu, tidak ada senyuman yang biasanya selalu Natha perlihatkan padanya. Tapi Jihan tidak memedulikan hal itu karena siapa tahu saja Natha sedang lelah yang membuat suasana hatinya agak berantakan dan tidak ada senyuman di wajahnya.
"Kamu ke mana aja beberapa hari ini?" Jihan bertanya dengan harapan Natha tidak meledeknya.
Lelaki itu terdiam sebentar dengan sorot mata yang terlihat dingin. Dan tatapan mata yang Natha perlihatkan membuat kerutan di kening Jihan terlihat jelas, selain tidak tersenyum sorot matanya terlihat berbeda.
"Bukan urusan kamu."
Jihan bergeming, mengerjapkan mata mencerna jawaban Natha yang Jihan harap hanya salah dengar dan detik ini Jihan mencoba untuk tenang.
"Saya nggak salah dengarkan?"
"Enggak, kamu sama sekali nggak salah dengar. Bukan urusan kamu saya nggak ada kabar mau selama apa pun, lagi pula kamu nggak akan peduli."
Seakan ada pisau tajam transparan yang menusuk dada, rasanya sakit juga menyesakkan. Ada apa dengan Natha serta ucapannya?
"Kamu marah sama saya?"
Natha mendengkus seakan pertanyaan Jihan membuatnya kesal. "Saya masih ada kelas."
Usai berkata lelaki itu melangkah pergi, meninggalkan Jihan yang terdiam di tempatnya. Dia kecewa, sangat kecewa. Padahal Natha sudah membuatnya terbang tinggi sampai ke luar angkasa, tapi detik ini Natha tidak lagi mengajaknya terbang tinggi melainkan menjatuhkannya ke dasar jurang yang curam dan gelap.
Lalu sikap Natha yang tiba-tiba berubah membuat Jihan berpikir tentang lelaki itu yang sewaktu-waktu bisa meninggalkannya kapan saja. Jika benar Natha akan meninggalkannya, maka sudah dipastikan kehidupannya akan kembali seperti beberapa tahun lalu, suram tanpa warna dan sepi tanpa suara. Membayangkan kehidupannya beberapa tahun lalu membuat rasa sesak di dada semakin terasa menyakitkan.
Kemudian bunga anyelir kuning yang kembali bergoyang karena embusan angin mewakilkan kekecewaan yang Jihan rasakan.