Kemarin Jihan memang menangis, menangis karena pertemuan singkat dengan Albin mampu membuat dadanya terasa sesak. Bahkan Jihan kesal pada dirinya sendiri sekaligus malu pada Natha. Kalau saja Natha tidak mendekapnya dan menyembunyikan tubuhnya yang kecil, mungkin Jihan yang sedang menangis akan menjadi tontonan orang-orang di kedai itu. Untungnya pelukan yang Natha berikan berhasil membuatnya tenang.
Dan kini Jihan sudah baik-baik saja, mata sembapnya tidak lagi terlihat.
Perempuan itu berada di toko bunga, bekerja dengan tekun agar ingatannya tentang Albin tidak muncul secara tiba-tiba.
Omong-omong, di toko ini ada Beno yang masih bekerja di bagian kasir. Dan beberapa kali lelaki bertubuh gempal itu melirik pada Jihan yang sibuk bekerja, bukan tanpa alasan Beno mencuri pandang ke arah perempuan itu sebab sikapnya berubah.
Biasanya sikap Jihan seperti patung diberi nyawa dengan sorot mata yang tajam. Tapi hari ini sorot matanya terlihat tenang bahkan menyempatkan diri menyapa rekan kerjanya hingga membuat lelaki bertubuh gempal itu terkejut sekaligus kebingungan.
Sikap Jihan yang hari ini tidak seperti biasanya membuat Beno beberapa kali tidak fokus dalam bekerja karena pikirannya dipenuhi tentang alasan sikap anehnya Jihan dan jujur jika semakin di pikiran malah membuatnya merinding, jadi untuk sementara Beno menduga jika sikap Jihan yang mendadak berubah karena ada roh yang memasuki tubuhnya.
Lalu jika Beno sedang menyapu lantai yang kotor, Jihan sibuk menata bunga-bunga di rak agar tersusun rapi.
"Selamat datang di toko bunga kami, ada yang bisa dibantu?" ucap Beno saat lonceng di dekat pintu berbunyi pertanda datangnya pembeli.
Ucapan itu membuat Natha membalas dengan seulas senyuman. Kemudian dia menolehkan kepala mencari keberadaan Jihan yang ternyata sedang menata bunga-bunga.
"Hai!"
Sapaan Natha dibalas seulas senyuman yang tidak lagi terlihat kaku.
Omong-omong, Natha terkekeh sebentar mengingat tentang Jihan yang sama sekali tidak peduli setiap kali dia menyapanya.
"Mau beli bunga apa?" Jihan bertanya.
Natha menjawab. "Beli bunga buat Mama saya. Kebetulan Mama saya ulang tahun hari ini."
Perempuan itu manggut-manggut, pasti menyenangkan merayakan ulang tahun orang tersayang bersama keluarga. Jihan jadi ingat saat bunda berulang tahun, waktu itu ayah mengajaknya bekerja sama berpura-pura akting seolah-olah melupakan hari ulang tahun bunda dan usaha mereka berhasil, hampir seharian bunda cemberut lalu pada malam harinya mereka membawa kue dan kado untuk bunda.
"Bunga apa? Biar saya ambilkan."
Natha meringis pelan seraya mengusap lehernya pelan. "Jujur saya sendiri bingung mau beli bunga apa, menurut kamu bunga yang cocok untuk Mama saya apa ya?"
"Mama saya itu cantik, kalau senyum ada lesung pipinya, suaranya lembut tapi kalau marah cukup seram, Mama saya baik, Mama saya penyayang, Mama saya suka koleksi parfum mahal, Mama saya suka duduk di teras sambil minum teh, terus Mama saya sukaㅡ"
"Lili? Kayaknya bunga itu cocok untuk Mama kamu."
Natha mengangguk singkat seakan setuju dengan bunga pilihan Jihan. "Makasih ya, Han."
"Kalau gitu saya ambilkan dulu bunganya."
Usai berkata Jihan melangkah menuju rak yang menyimpan bunga lili dan kebetulan rak yang dituju berada di pojok ruangan. Selagi menunggu Jihan kembali membawa lili, fokus Natha tertuju pada Beno yang sekarang sedang mengelap meja kasir dan segera dia menghampirinya sebab ada yang ingin Natha tanyakan padanya, yang tentu masih berhubungan dengan Jihan dan semoga Beno mengetahui jawabannya.
"Mas Beno?"
Namanya yang dipanggil membuat lelaki bertubuh gempal itu menoleh. "Iya, Kak. Ada apa?"
"Saya boleh tanya sesuatu?"
Beno mengangguk singkat. "Boleh kok."
Sebelum mengatakan hal yang ingin ditanyakan Natha menoleh sekadar memastikan tidak ada Jihan di belakangnya.
"Mas Beno tahu nggak kapan Jihan ulang tahun?"
Pertanyaan itu membuat Beno terdiam dengan kening yang mengerut. "Sebentar, Kak. Saya ingat-ingat dulu." Beberapa detik kemudian dia melanjutkan ucapannya. "Kalau nggak salah ulang tahunnya Jihan itu bulan Mei tanggal delapan belas. Saya tahu tanggal ulang tahunnya dari CV nya, Kak. Waktu saya bantuin Pak Leo beres-beresin berkas ada semua CV karyawan toko bunga."
Kemudian kedua sudut bibirnya terangkat, dia senang karena harapan kecilnya terwujud dan lagi Natha percaya jika Beno tidak bohong padanya.
"Makasih ya, Mas."
"Sama-sama."
***
Sebuket bunga lili merah muda serta tote bag kecil yang berisi perhiasaan berada di genggaman Natha, dia memasuki rumah mencari keberadaan Mama yang tentunya ada di halaman belakang, menatap bunga-bunga seraya menyeruput secangkir teh hijau, benar-benar definisi menikmati hidup.
Bukan tanpa alasan Jihan memilihkan lili merah muda sebab bunga yang memiliki kelopak besar, memanjang, dan agak melengkung ke belakang itu memiliki arti yang sesuai dengan deskripsi yang Natha ceritakan mengenai Lea, mamanya.
Lili merah muda melambangkan perasaan cinta penuh kelembutan, warnanya yang merah muda berkaitan dengan kelembutan dan sifat feminin, kemudian bunga lili katanya merupakan simbol dari keanggunan. Lalu karena lili terkenal memiliki aroma yang lembut namun kuat, bisa dikatakan cocok dengan karakter seseorang yang menyukai parfum mahal, seperti Lea.
Maka secara keseluruhan, lili berwarna merah muda cocok untuk menyampaikan rasa cinta yang hangat, hormat, serta kekaguman mendalam untuk wanita yang anggun juga penuh kasih layaknya seorang Ibu.
"Selamat ulang tahun, Mamaku sayang."
Natha mengecup pipi Lea dan keberadaan anak sulungnya membuat wanita itu tersenyum senang karena sebelumnya dia berpikir Natha tidak mengingat hari ulang tahunnya.
"Ini buat Mama," ucap Natha seraya menyerahkan buket bunga lili yang harum serta tote bag kecil berwarna biru tua.
"Makasih ya, Tha." Lea berucap dan masih tersenyum.
"Sama-sama, tapi maaf ya, Ma. Natha cuma bisa kasih kalung yang murah buat Mama."
"Kamu ingat ulang tahun Mama aja, Mama udah senang kok."
Untunglah jika Lea senang dengan hadiah yang Natha berikan, dan terakhir yang paling penting adalah Natha mendoakan semua hal yang terbaik untuk mamanya tercinta.
Karena Natha ingin menghabiskan sorenya bersama mama, lelaki bertubuh jangkung itu mendudukkan diri di bangku kosong samping Lea.
"Kalungnya cantik banget," puji Lea setelah membuka kotak berisi kalung yang bandulnya begitu cantik, bandul itu memiliki beberapa butiran berlian yang berkilau dan bentuknya adalah bunga lili. Wanita itu terkekeh pelan, di dalam hati memuji tentang selera anak sulungnya yang bagus.
Selesai memandangi kalung itu Lea menaruhnya di atas meja dan fokusnya kini tertuju pada buket bunga lili yang aroma benar-benar membuatnya tenang, persis seperti parfum kesukaannya. Melihat mamanya senang, Natha pun merasakan hal yang sama.
"Oiya, kata Rosi kamu udah punya pacar?"
Natha melongo atas pertanyaan Lea yang benar-benar di luar dugaan, mungkin jika dia sedang minum, mulutnya menyemburkan air kemudian terbatuk-batuk karena tersedak. "Enggak kok, Ma. Rosi bohong!"
Natha yang menyangkal membuat Lea menyipitkan mata, menatap penuh selidik seakan tidak percaya dengan jawaban anak sulungnya.
"Udahlah, ngaku aja nggak usah bohong. Kamu nggak usah malu gitu di depan Mama," goda Lea seraya terkekeh sementara anaknya malah meringis pelan.
Ternyata tanpa sepengetahuannya Rosi bercerita tentang Jihan kepada Lea, padahal waktu itu Natha sudah memintanya untuk tidak mengatakan apa-apa terlebih Lea sudah mendapatkan uang tutup mulut. Ternyata perempuan kecil itu cukup licik, awas saja jika bertemu nanti. Natha tidak akan segan-segan untuk menjitak kepalanya dengan keras.
"Jadi siapa nama pacar kamu?"
Pertanyaan Lea kali ini membuat Natha menghela napas. "Sebenarnya dia belum jadi pacar Natha, Ma."
Lea manggut-manggut. "Oh, berarti masih proses ya?"
Entahlah, Natha tidak yakin akan hal itu. Kalau boleh jujur Natha memang menyukai Jihan, tapi dia tidak yakin perempuan itu menyukainya atau tidak. Terlebih yang menjadi fokusnya kini adalah menyembuhkan sekaligus menyelamatkan Jihan dari keterpurukan.
Dan jika Jihan sudah kembali pada dunianya yang cerah serta penuh warna, Natha tidak masalah jika hanya dianggap teman olehnya.
"Alasan kamu suka sama dia kenapa?"
Natha mengerjapkan mata tersadar dari lamunan singkatnya setelah mendengar pertanyaan Mama yang ketiga.
Jika di pertanyaan sebelumnya lelaki itu menghela napas, kali ini Natha mengawalinya dengan seulas senyuman. "Karena Nenek, Ma."
Terdapat kerutan di kening Lea. "Maksud kamu?"
Sorot matanya berbinar-binar seakan menemukan kebahagiaan yang sempat menghilang. "Perempuan yang Natha suka, ternyata suka bunga juga sama kayak Nenek. Terus bunga lili yang Mama pegang, dia yang pilihkan." Di akhir katanya Natha tersenyum malu.
Sementara Lea kembali terkekeh atas sikap anak sulungnya yang terlihat menggemaskan, ternyata anak itu benar-benar sedang jatuh cinta.
Walaupun Lea tidak mengenal perempuan yang disukai anaknya, setidaknya dengan bunga lili yang dipilihkan menjadi sebuah bukti jika anak itu peduli padanya dan mengetahui hal itu membuat Lea senang.
"Anak itu pasti cantik ya?" Lea kembali bertanya seraya memandang bunga lili yang sama cantiknya.
Tanpa ragu Natha mengangguk. "Iya, apalagi kalau senyum."
Tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat membuat seluas senyuman karena saat ini Natha mengingat tentang foto Jihan yang sedang tersenyum lebar dan memegang bunga baby's breath. Benar-benar jenis senyuman yang membuat siapa pun akan jatuh cinta.
Natha berharap bisa melihat senyum penuh kebahagiaan itu secara langsung dalam waktu dekat di saat perempuan itu sedang belajar untuk tersenyum lagi.
"Kapan-kapan kamu ajak dia ke sini ya? Mama mau kenalan sama dia," pinta Lea.
"Iya, Ma. Itu juga kalau dia mau ya. Kalau dia nggak mau Mama nggak boleh kecewa loh."
"Iya, iya. Mama tahu."
Hari ini mamanya ulang tahun dan ulang tahun itu biasanya identik dengan kue, tapi tidak ada kue di meja hanya ada teko teh, cangkir serta kue kacang yang tersisa setengah piring.
"Oiya, kue ulang tahun buat Mama mana? Kok Natha nggak lihat ya?"
"Kenapa? Kamu mau makan?"
Untuk kedua kalinya tanpa ada keraguan Natha mengangguk sambil cengengesan. Selain karena Natha memang menyukai makanan yang manis-manis, perutnya pun lapar.
Sikap anaknya ini membuat Lea tertawa. "Dasar kamu ini, padahal Mama yang ulang tahun tapi malah kamu yang kepingin kue, sama aja kayak adiknya."
Omong-omong, mengenai adik. Bocah itu ada di mana ya? Natha ingin menjitak kepalanya sampai bocah itu menangis.