"Kamu tahu nggak tentang perjalanan hidup bunga dandelion?"
Jihan yang menatap lurus seketika menoleh, saat ini Natha menatapnya dengan serius karena barusan dia bertanya tentang perjalanan hidup bunga liar bernama Dandelion. Omong-omong, keduanya sedang menyaksikan anak-anak jalanan yang mereka temui tadi bermain di sore hari di kawasan rumah mereka, kawasan rumah mereka memang kumuh dan berantakan tapi karena keasyikan mereka bermain di lapangan berukuran kecil, kawasan kumuh itu jadi terlihat hidup.
Anak laki-laki bermain bola di lapangan dengan semangat, sedangkan ketiga anak perempuan sibuk meniup dandelion dengan gembira.
Masih dengan tatapan yang memperhatikan ketiga anak perempuan bermain bersama dandelion, perempuan itu menghela napasnya. "Menurut saya, dandelion itu bunga yang paling tegar sekaligus sabar yang pernah saya tahu."
Jawaban Jihan membuat Natha tersenyum tipis, lantas indra penglihatannya tidak lagi menatap Jihan melainkan pada sekumpulan bunga dandelion yang di kelilingi oleh tiga anak perempuan itu.
"Kamu benar, kadang mereka hidup di tempat yang nggak sesuai dengan keinginan mereka, tapi mereka cuma bisa pasrah tumbuh di mana." Karena pembahasannya tentang dandelion begitu mengenai hatinya, tatapan matanya berubah agak sendu. Mungkin jika dandelion itu adalah seorang anak kecil Natha akan memeluknya sambil berkata 'kamu hebat' kemudian tidak akan membiarkan dandelion itu pergi ke tempat yang jauh lebih kejam.
"Dandelion nggak pernah sedikit pun menyalahkan angin yang membawanya ke tempat-tempat yang nggak dia harapkan. Walaupun dandelion dapat sedikit tetesan air hujan, mereka berjuang supaya tumbuh dengan baik." Lelaki bertubuh jangkung itu menghela napas saat menjelaskan bagaimana tegarnya tanaman liar itu.
Dandelion memang bukan bunga yang cantik seperti bunga-bunga yang lain seperti mawar, serta bukan juga bunga yang harum seperti bunga melati. Dandelion hanya lah bunga sederhana, bunga yang memiliki kuntum ringan berwarna putih. Dandelion itu tanaman liar, mereka hidup di antara semak belukar, tebing tinggi, pegunungan atau di tempat-tempat yang sulit diduga maupun sulit dijangkau oleh manusia sehingga manusia sendiri tidak tahu betapa berharganya dandelion. Meski dandelion hanya lah bunga sederhana tapi bunga itu memiliki pesonanya sendiri.
Ada film yang menjadikan dandelion sebagai salah satu objek dari film itu sendiri. Pernah menonton film animasi Tinker Bell? Di awal film animasi berjudul Tinker Bell, diceritakan seorang bayi tertawa untuk pertama kalinya lalu dari tawanya itu kuntum dandelion mulai beterbangan di mana-mana, diajak pergi oleh angin hingga akhirnya salah satu kuntum itu jatuh di wilayah peri, dan salah satu peri di wilayah itu memberikan sebuah serbuk pixie atau serbuk ajaib untuk ditaburkan di atas kuntum dandelion yang jatuh itu hingga lahir lah peri pengrajin bernama Tinker Bell.
Dan katanya, dandelion juga pernah disebut sebagai 'Fairy Clock' karena bunganya dapat menutup dan terbuka secara periodik pada waktu-waktu tertentu.
"Kata orang-orang dandelion itu melambangkan cinta, kesetiaan, dan harapan." Di akhir kata Natha menunduk sejenak sembari terkekeh pelan.
Karena mendengar suara kekehan Natha, Jihan menoleh tanpa suara. Saat itu pula pandangan mereka saling bertemu.
"Tentang harapan, saya jadi ingat sama kenangan di masa lalu waktu umur saya delapan tahun. Setiap lihat dandelion saya selalu tiup bunga itu sampai tenggorokan saya kering, dan di saat itu pula saya punya keinginan dengan harapan yang bisa terkabul."
"Kamu tahu apa harapannya saya?" Pertanyaan Natha mendapat gelengan singkat dari Jihan.
"Saya berharap semoga suatu saat nanti, saya bisa bertemu seseorang yang hebat selain nenek saya." Natha tersenyum simpul sebelum melanjutkan ucapannya. "Dan mungkin, sebentar lagi harapan saya akan terkabul."
Memang dasarnya Natha adalah tipikal manusia yang murah senyum, selesai mengatakan hal tadi untuk kesekian kalinya laki-laki itu masih memamerkan senyum manisnya.
"Kalau kamu sendiri pernah tiup dandelion?"
Jika sebelumnya pertanyaan Natha direspons dengan gelengan singkat kali ini dengan anggukan yang juga singkat. "Pernah, waktu itu saya percaya kalau dandelion itu bisa digunakan untuk meramal."
Dengan sebelah alis yang sedikit terangkat Natha pun berkata, "Maksudnya?"
"Maksudnya, waktu saya masih kecil saya percaya tentang ramalan meniup kepala bunga dandelion sampai benihnya terbang, dan katanya jumlah benih yang beterbangan itu jumlah anak si peniup suatu saat nanti."
Natha terlihat sedikit terkejut karena dia baru mengetahuinya, dan sebenarnya Natha juga tidak terlalu percaya tentang ramalan seperti itu, jangankan ramalan tentang dandelion yang bisa mengetahui jumlah anak. Ramalan tentang bintang-bintang saja Natha tidak percaya.
"Oh, ya? Kamu pernah percaya sama hal itu? Terus kamu ingat jumlah anak kamu berapa?" Natha bertanya sekadar basa-basi.
"Ingat, jumlahnya ada empat."
"Wow."
"Kenapa?"
"Enggak apa-apa, padahal saya maunya punya anak dua."
"Hah?"
Reaksi Jihan yang terlihat bingung itu berhasil membuat Natha tertawa. Karena tahu Natha mentertawainya, Jihan mendesis seraya menatap sebal ke arah laki-laki itu. Setelah tawa Natha mereda, laki-laki jangkung itu berdeham sebentar sebelum kembali berbicara.
"Oiya. Omong-omong kalau menurut saya, anak-anak itu persis kayak dandelion. Mereka nggak bisa memilih untuk hidup di keluarga kayak apa, mereka cuma bisa terima semuanya, dan mereka juga ikhlas menerimanya."
Kembali fokus Natha juga Jihan tertuju pada anak-anak jalanan yang masih sibuk bermain. Di dalam hati, Jihan setuju dengan ucapan Natha.
Dengan tatapan lurus ke depan Natha melipatkan kedua tangannya di depan dada. "Mungkin sebagian orang berpikir kalau mereka cuma anak-anak kecil yang hidup di jalanan dan nggak punya pendidikan. Tapi menurut saya mereka adalah orang-orang hebat, karena mereka mampu bertahan dengan hidup yang keras serta banyak kekurangannya.
"Dan hebatnya lagi, mereka masih terlihat bahagia walaupun nggak punya apa-apa, mereka masih bisa tersenyum walaupun mereka lelah. Anak-anak ini memang harus kita pedulikan. Karena ternyata mereka berharga dengan caranya masing-masing."
Jihan menoleh menatap wajah serta senyum tulus yang Natha perlihatkan untuk anak-anak jalanan yang mereka temui. Sejenak Jihan langsung berpikir jika terkadang sesuatu hal yang amat sederhana dan terlihat tidak berharga itu memiliki kehebatan yang luar biasa. Seperti halnya dalam hidup ini, harus tetap semangat tidak boleh putus asa saat berada di titik terendah. Selalu berpikir positif dan berbaik sangka kepada diri sendiri terutama Tuhan.
Tapi selama ini, Jihan selalu menyalahkan Tuhan, menyakiti diri sendiri dan terlalu tenggelam dalam keterpurukannya. Jihan merasa bersalah atas sikapnya pada Tuhan, dan apakah Tuhan sudi mengampuninya? Apakah dirinya masih bisa memperbaiki hidupnya seperti sedia kala? Dan benarkah Natha sungguh-sungguh ingin membantunya? Jika benar, tolong jangan halangi jalan Natha untuk membantunya.
"Kak Jihan!"
Lamunan Jihan langsung buyar karena namanya dipanggil oleh salah satu anak perempuan yang bermain bersama dandelion. Jihan menatap anak perempuan itu yang berlari kecil ke arahnya.
Saat anak perempuan itu telah sampai di hadapannya, dengan senyuman lebar yang terkesan ceria anak perempuan itu pun berkata, "Ayo. Main sama kita, Kak."
Padahal Jihan masih terdiam dan dirinya juga belum mengatakan apa-apa, tapi tanpa mendapat persetujuan dari dirinya, anak perempuan itu menarik tangan Jihan untuk bergabung bersama kedua temannya yang sedang menunggu.
Ketika posisi Jihan sudah bergabung dengan mereka, kedua anak perempuan itu menyambut kedatangan Jihan dengan riang. Dan jujur saja, Jihan cukup canggung berada di antara ketiga anak perempuan tersebut. Sebab sudah lama sekali Jihan tidak berbaur seperti ini.
Natha yang menyaksikan hanya bisa terkekeh pelan, karena ketiga anak perempuan itu amat antusias dan ekspresi Jihan yang benar-benar terlihat canggung. Namun, beberapa menit kemudian Natha bisa menduga jika kecanggungan yang sempat menghampiri Jihan perlahan-lahan lenyap, karena saat Jihan meniup bunga-bunga dandelion ketiga anak perempuan itu bertepuk tangan sambil tertawa riang dan menimbulkan efek yang membuat hati siapa saja yang melihatnya menjadi tenang.
Dan dari kejadian unik itu, Natha dibuat terpesona akan dua hal, pertama karena Dandelion yang terbang ke berbagai arah dan kedua karena senyum Jihan yang begitu indah.
***
Terkadang sebelum merebahkan dirinya di atas tempat tidurnya untuk tidur, biasanya Natha menyempatkan diri untuk melihat keadaan luar rumahnya di malam hari di balkon rumahnya, dengan cara berdiri di dekat balkon railing berbahan stainless kaca lalu menaruh kedua sikunya di atas railing sebagai tumpuan. Dan mengenai lamanya laki-laki itu berada di balkon rumahnya tidak bisa dikatakan memiliki waktu yang sama alias Natha bisa menghabiskan sebanyak tiga puluh menit dan sedikitnya sepuluh menit berada di balkon rumahnya.
Jika ada benda-benda langit seperti bulan dan bintang, fokusnya akan terarah pada bintang yang paling terang karena Natha sering berpikir jika bintang yang paling terang itu adalah neneknya yang sedang mengawasinya dari sana, selain bintang paling terang pemuda itu juga melihat bintang yang paling kecil, karena dirinya juga berpikir jika bintang itu adalah adik bungsunya.
Berhubung malam ini tidak ada benda-benda langit yang menerangi malam di langit yang gelap. Sekitar lima menit yang lalu Natha sudah memegang handphone-nya dan selama lima menit itu pula Natha memandang sebuah foto yang dia potret menggunakan handphone-nya.
Rahasia ini hanya kalian yang tahu, karena ternyata diam-diam Natha memotret Jihan ketika perempuan itu bermain dengan ketiga anak perempuan yang mengajaknya untuk bermain bersama. Yang Natha duga perempuan itu terlihat bahagia, bahkan beberapa kali si perempuan yang Natha amati memperlihatkan senyumnya, karena senyum tulusnya yang baru Natha lihat untuk pertama kalinya, Natha tidak ingin melewatkan momen berharga itu.
Meski senyum tulusnya itu muncul bukan untuk dirinya dan penyebabnya bukan juga karenanya, Natha tidak mempermasalahkan hal tersebut. Tidak apa-apa karena yang terpenting Natha bisa melihat senyum manis tercampur tulus milik Jihan secara langsung untuk pertama kalinya.
Terlalu serius menatap foto Jihan yang tersenyum meski wajah perempuan itu mengarah ke samping. Pemuda jangkung yang juga ikut tersenyum itu tidak menyadari ada seseorang yang juga ikut menatap foto Jihan dari arah belakang.
"Hayo. Kak Natha lagi lihatin fotonya siapa?"
Suara yang berasal dari arah belakang, tentu saja membuatnya tersentak. ketika menoleh di belakangnya ada adik perempuannya yang menatapnya penasaran. Karena kehadiran adiknya kedua tangannya refleks bergerak ke belakang punggungnya untuk menyenmbunyikam handphone yang dipegang olehnya itu.
Melihat kakak laki-lakinya menyembunyikan handphone-nya itu, adik Natha yang bernama Rosi kembali bersuara. "Enggak usah disembunyiin, Kak. Aku udah lihat kok, sedikit sih. Itu foto pacarnya Kakak, ya?"
Reaksi yang Natha perlihatkan setelah terkejut adalah mendengkus sembari berdecak pelan. "Dateng-dateng bikin Kakak kaget, terus sekarang kamu malah kepo." Pemuda jangkung itu memasukkan handphone yang dipegang ke dalam saku celananya, lalu mengambil satu langkah maju mendekati Rosi, memutar badan adiknya dengan kedua tangannya yang kemudian mendorong perempuan itu untuk pergi. "Udah sana, mending kamu masuk aja. Cuci tangan, cuci kaki, cuci muka terus tidur."
Rosi menolak, perempuan bertubuh kurus yang tinggi badannya hanya sepundak Natha memberontak, dia menjauhi badannya agar sang kakak tidak lagi mendorong punggungnya sampai ke pintu.
"Ih, apa sih Kak! Aku kan cuma nanya, emangnya nggak boleh?" omelnya ketika dirinya menatap Natha dengan kesal, perempuan itu mendengkus sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Kak Natha tuh, ya. Kenapa sih nggak bilang ke aku kalau udah punya pacar?!"
"Apa sih! Jangan sok tahu deh. Dia bukan pacar Kakak," sangkal Natha.
Rosi yang mendengar sangkalan Natha, memilih untuk diam sejenak dia menyipitkan matanya sebentar menatap Natha penuh selidik, jujur saja Rosi tidak percaya jika foto seorang perempuan yang kakaknya lihat sambil tersenyum itu bukan seseorang yang terbilang istimewa di hatinya. Karena menurut Rosi, kekasih adalah tempat di mana semua perasaan tercurahkan, terutama cinta.
Kemudian Rosi melipatkan kedua tangan di depan dada. "Oh ya? Kakak pikir aku bakalan percaya? Terus kalau bukan pacar siapa dong? Calon pacar Kakak?"
Saat mendengar tiga kata terakhir, mendadak Natha hanya bisa diam membisu yang kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain.
Masih dengan melipatkan kedua tangan di depan dada, Rosi kembali menyipitkan matanya beberapa detik, dan pada detik berikutnya Rosi manggut-manggut mengerti akan sesuatu hal. "Kalau Kak Natha diam begini, berarti aku benar."
Rosi mengambil langkah mendekati Natha, di wajahnya terukir sebuah senyum jail. "Namanya siapa, Kak? Rumahnya di mana? Usianya berapa? Kakak kenal dia di mana? Terus dia suka Coldplay juga nggak kayak aku?" tanya Rosi bertubi-tubi.
Natha menghela napas. "Kakak nggak mau kasih tahu," ujarnya cuek.
Si perempuan yang lebih muda tiga tahun dari Natha mendesis kemudian mencibir kakaknya itu. "Kak Natha, ih! Aku kan udah bilang kalau aku itu penasaran. Emangnya salah kalau aku penasaran sama calon kakak ipar aku sendiri?"
Pemuda jangkung itu mengerjap-ngerjap, tadi Rosi bilang apa? Calon kakak ipar? Serius, Natha jadi salah tingkah membayangkan jika suatu saat nanti Jihan akan menjadi istrinya. Karena dia merasa pipinya mulai menghangat dan debaran jantungnya tidak beratur, untuk menyembunyikan wajahnya yang sebentar lagi akan memerah seperti tomat, untuk kedua kalinya Natha kembali memalingkan wajahnya yang kemudian kedua ujung bibirnya bergerak membentuk sebuah senyuman tipis.
Meski Natha telah memalingkan wajah, tapi Rosi menyadari ada perubahan di wajah kakak satu-satunya. "Ih. Kak Natha mukanya merah! Kasih tahu mama ah, kalau Kakak lagi suka sama seseorang."
Dengan iringan tawa yang terkesan meledek, Rosi berjalan meninggalkan Natha yang melebarkan matanya. Karena katanya, Rosi ingin memberi tahu Lidya tentang anak sulungnya yang sedang jatuh cinta.
"Heh, Rosi! Jangan macem-macem!" pekiknya sembari menyusul Rosi yang melarikan diri.