Sudah berapa banyak kata benci yang kamu lontarkan di setiap detiknya? Sudah berapa banyak pula kamu menatap orang-orang di sekitarmu dengan tatapan kebencian, lalu mengatakan bahwa mereka memiliki sifat yang sama? Sudah berapa sering kamu tidak memedulikan keadaan di sekitarmu? Lalu sudah berapa sering pula kamu mentertawakan serta mencaci maki dirimu sendiri dengan kemungkinan terparah melukai diri sendiri? Begitu bencinya kah kamu akan hidupmu itu? Merasa tidak berguna bahkan seperti dibuang oleh dunia.
Memang, dunia itu penuh kekejaman dan kemisteriusan. Kita pun sebagai manusia biasa tidak akan pernah tahu tentang hari esok dan seterusnya akan seperti apa. Awalnya, kita memang terlihat baik-baik saja, tapi selanjutnya? Terlihat tidak baik-baik saja bisa saja terjadi yang kemudian menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi. Dari hal itu saja rasanya sia-sia kamu berdoa. Karena percuma saja kamu berdoa pada Tuhan setiap hari tapi tidak pernah sedikit pun menghargai makna hidup yang telah diberikan oleh-Nya.
Selalu menganggap jika diri ini tidak berguna, kebanyakan mereka yang seperti itu memilih diam meski isi kepala begitu berantakan, kemudian pasrah dan mengikuti jalan cerita kehidupan masing-masing yang sudah ditetapkan. Ada satu catatan penting agar hidupmu berubah, yaitu mencoba untuk sedikit terbuka pada orang lain, dengan begitu kamu tidak akan pernah merasa sendirian lagi. Dimulai dari hal kecil, terlebih dahulu cobalah untuk peduli pada dirimu sendiri.
***
Jihan telah menceritakan semuanya, tentang kejadian masa lalunya yang berhasil membuatnya menangis, menangis pilu mengingat kejadian paling menyedihkan dalam hidupnya. Natha meringis pelan, merasa kasihan atas beberapa musibah yang terjadi pada perempuan yang tengah menangis sembari menundukkan kepalanya itu.
Jujur saja, sebelumnya. Natha pernah melihat Jihan untuk pertama kalinya menangis di depan makam. Sekarang Natha tahu makam siapa yang ditangisi oleh Jihan, dalam hati Natha berdoa semoga orang tua Jihan tidak mencemaskan anak semata wayang mereka yang hidup di dunia yang berbeda. Lalu untuk laki-laki berengsek bernama Albin yang sengaja meninggalkan Jihan dalam keadaan masih terpuruk, Natha berharap semoga Albin segera mendapatkan balasannya.
"Karena ditinggalkan, hati saya tertutup, saya nggak mau percaya sama siapa pun lagi." Jihan berkata seraya menghapus jejak air mata di pipinya.
Natha mengerti sekarang, kenapa perempuan itu tidak pernah ramah pada siapa pun. Dan Natha baru menyadari satu fakta, Jihan selalu memakai baju lengan panjang untuk menutupi bekas sayatan pisau di pergelangan tangannya.
Kemudian laki-laki itu melangkah maju, menjulurkan tangannya untuk menepuk pelan pundak Jihan yang terlihat rapuh. "Kamu tahu? Sebenarnya bukan cuma kamu aja yang berpikir kalau dunia ini nggak adil, dulu saya juga pernah berpikir begitu karena suatu alasan yang benar-benar nggak bisa saya terima begitu aja."
Jihan cukup terkejut, dengan mata yang sembab dan masih berair, perempuan itu mendongak karena kalimat terakhir yang Natha ucapkan. Natha mengatakan bahwa dahulu kekejaman dunia pernah mengacaukan kehidupannya, Jihan pikir lelaki seperti Natha memiliki kehidupan yang baik-baik saja.
"Selain kita, masih banyak orang mengalami hal yang kamu rasakan sekarang, mungkin ada yang lebih parah," Natha menghela napas, "tapi mereka diam, mereka lebih memilih buat menjalani hidupnya sesuai dengan skenario yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Karena mereka yakin kalau Tuhan akan menyiapkan sesuatu yang sangat indah di hidup mereka ke depannya."
Jihan bergeming masih menatap Natha, lalu kedua sudut bibir Natha terangkat atas keinginannya. "Kalau hari-hari kamu sebelumnya nggak berarti apa-apa. Mulai sekarang saya akan mengubah itu, karena saya akan mengubah hidup kamu yang sekelam hitam menjadi penuh warna."
Natha menipiskan bibirnya, menatap Jihan lekat-lekat tepat pada matanya. "Memang untuk saat ini saya masih asing buat kamu, tapi izinkan saya untuk merubahnya, ya? Saya janji nggak akan meninggalkan kamu seperti cowok berengsek itu."
Tangan kanan Natha yang sebelumnya menepuk pundak Jihan, kini teralih mengusap kepala Jihan dengan lembut. "Kamu jangan mau kalah sama warna hitam yang menguasai hidup kamu, ya. Seenggaknya hitam dan putih harus saling mengimbangi. Kalau bisa warna putih harus lebih dominan."
***
Jihan tengah merebahkan tubuhnya di atas kasur dan sebelum memejamkan mata ada hal yang selalu dirinya lakukan sebelum tidur yaitu menatap langit-langit kamarnya yang gelap serta menatap bintang-bintang dan bulan yang masih menempel.
Omong-omong, saat menatap langit-langit kamar ada hal yang dia pikirkan yaitu mengenai kejadian sebelumnya tentang dirinya yang menceritakan semua kesedihannya pada Natha. Sempat ada penyeselan karena Jihan begitu mudahnya menceritakan kisah kelamnya kepada orang asing, tapi di lain sisi ada perasaan sedikit lega saat kesedihannya dikeluarkan.
Lalu Jihan tidak tahu tentang sikapnya nanti saat bertemu dengan lelaki itu lagi, apakah dirinya tetap bersikap tidak ramah atau justru sebaliknya? Tapi sepertinya Jihan tidak bisa bersikap sebaliknya sebab sifatnya yang dulu sudah lama menghilang dan mungkin tidak akan pulang.
Sebentar perempuan itu menghela napas karena jujur jalan hidupnya begitu berat, padahal sekarang masih jam delapan malam tapi Jihan memutuskan untuk tidur lebih awal karena entah kenapa hari ini terasa begitu melelahkan.
Dia sudah memejamkan matanya hendak tidur, tapi beberapa detik kemudian ponsel yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya bergetar dan hal itu membuat kedua matanya kembali terbuka. Saat ponselnya ada di genggaman tangannya terpampang jelas sebuah nomor telepon yang dikenal meski nomor itu sengaja tidak disimpan olehnya.
Natha yang menelepon dan sambungan telepon itu terputus dengan sendirinya karena Jihan tidak menekan tombol telepon berwarna hijau maupun berwarna merah.
Masih menatap layar ponselnya yang menyala, terdapat satu pesan yang berasal dari nomor tadi dan isinya sekadar memberi tahu jika keberadaan Natha berada di depan rumahnya. Membaca pesan itu tentunya membuat Jihan kembali menghela napas.
Tadinya perempuan itu berniat untuk mengabaikan, tapi setelah mengingat lelaki itu begitu keras kepala dan menyebalkan dengan malas Jihan beranjak dari tempat tidurnya.
***
"Hai!"
Nathan menyapa singkat saat melihat Jihan membukakan pintu untuknya, padahal lelaki itu berpikir Jihan akan mengabaikannya, tapi untungnya hal itu tidak terjadi dan di sini Natha merasa tidak enak hati karena datang di waktu perempuan itu sedang beristirahat.
"Maaf ya, saya datang malam-malam begini," ucapnya seraya tersenyum kikuk.
"Ada perlu apa kamu datang ke sini?" Begitu kata Jihan dan masih memperlihatkan tampangnya yang tidak berekspresi dan hal itu membuat Natha menipiskan bibirnya sebentar.
Sebelum mengatakan sesuatu lelaki itu berdeham sebentar. "Kamu udah makan?" Pertanyaannya tidak dijawab dan Natha kembali menambahkan ucapannya. "Saya bawa makanan," lanjutnya seraya menunjukkan bungkusan plastik di genggaman tangannya.
Omong-omong, kalau boleh jujur alasan Natha datang ke rumah Jihan selain membawa makanan, ada hal lain yang ingin dia pastikan yaitu tentang keadaan Jihan yang baik-baik sebab setelah perempuan itu bercerita tentang masa lalunya sambil menangis, Natha mengkhawatirkannya dan selalu ingin ada untuknya.
Natha menatap Jihan lekat, dia kembali tersenyum dan senyumnya terlihat begitu tulus. "Han, setelah mendengar cerita kamu tadi sore, saya jadi ingin lebih kenal sama kamu. Saya harap kamu nggak menolaknya, ya." Di akhir katanya Natha terkekeh pelan meski agak kikuk.
Sementara itu Jihan bergeming tidak merespons ucapan itu dan masih berdiri didekat pintu. Padahal jika Jihan tidak menyukai uluran tangan lelaki itu dia bisa menolaknya, hanya saja entah kenapa mulutnya enggan untuk mengatakannya.
Selain membawa makanan, Natha juga membawa hal lain yaitu buket kecil bunga daisy yang dia sembunyikan di dalam jaket denimnya, jadi Jihan tidak tahu dengan eksistensi bunga tersebut.
Karena Jihan masih terdiam dan Natha tidak ingin mengganggu waktu istirahatnya lebih lama, dia menaruh plastik berisi makanan di atas kursi yang ada di teras.
"Saya taruh makanannya di situ ya, kamu harus makan karena makanan yang saya bawa bisa di bilang makanan terenak di lidah saya dan saya jamin kamu pasti langsung ketagihan." Dia tertawa singkat saat menatap Jihan yang masih terdiam seperti patung.
Sempat Jihan melirik pada plastik itu kemudian dia berpikir tentang makanan yang Natha berikan untuknya. Apakah itu nasi goreng? Ayam goreng? Atau mungkin makanan lain yang tidak ada di pikirannya?
"Han?"
Suara Natha yang memanggil namanya dengan lembut membuat perempuan itu mengerjapkan matanya seakan tersadar dari lamunan singkatnya.
Jihan menatap Natha dan saat melamun tadi perempuan itu tidak menyadari saat Natha mengeluarkan sebuket kecil bunga daisy yang begitu cantik. Bunga kecil berwarna putih ditatap lekat olehnya seakan mengingat kembali mengenai arti dari bunga putih itu.
Seingat Jihan bunga daisy memiliki arti tentang ketulusan, kemurnian, dan kelahiran kembali. Mungkin maksud Natha memberikannya bunga itu sebagai pertanda jika pertolongannya tulus dan murni, lalu dia memiliki harapan tentang Jihan yang terlahir kembali menjadi orang yang baru. Agar hidupnya tidak lagi sekelam malam tanpa bintang.
"Selain makanan, saya mau kasih kamu buket daisy ini, sebagai pertanda kalau saya benar-benar serius dan tulus ingin bantu kamu. Tolong percaya sama saya dan saya harap kamu berhasil melawan rasa sedih yang begitu dalam ya."
Jihan bergeming menatap mata lawan bicaranya yang lagi-lagi begitu tulus tanpa adanya kebohongan dan semoga Natha tidak mengingkari janjinya karena Jihan menaruh harapan untuk percaya padanya.