Dahulu, Jihan dan Albin seperti magnet, saling tarik-menarik. Tapi saat salah satunya berpaling mereka akan terpisah. Saat perginya Albin, Jihan tidak punya siapa-siapa. Dan terima kasih atas luka serta perpisahan yang telah Albin berikan padanya. Di sini Jihan adalah pemeran utama dalam kisah cinta yang menyedihkan. Berusaha untuk melupakan, tapi kenangan dan perasaan itu malah semakin kuat sebab sangat sulit untuk menghindar.
Ketika mengingat tentang kebersamaan antara dirinya dengan Albin, hati Jihan hancur berkeping-keping menganggap semuanya seperti adegan klasik. Apakah Albin masih mengingat, saat keduanya menonton di bioskop yang gelap? Itu adalah hal pertama kalinya mereka berpegangan tangan, genggaman tangan Albin menghangatkan namun menghancurkan banyak hal.
Apakah Albin masih mengingat juga, ketika lelaki itu bercerita tentang keluarganya di depan warung kopi pinggir jalan saat keduanya sedang menunggu hujan reda? Ceritanya membuat Jihan ingin memberikan separuh hatinya, ingin ikut terlibat di dalamnya. Dari pertemuan pertama mereka yang terasa seperti takdir, Jihan menganggap bahwa Tuhan telah sepenuhnya memberikan Albin untuknya. Namun ternyata, mereka bagaikan dua manusia yang ditakdirkan hanya untuk saling mengenal.
Waktu itu Jihan belum dewasa, menangis adalah cara satu-satunya untuk menyembuhkan luka di hatinya, dan saat itu pula dirinya tidak mengetahui ada cara yang lain selain menangis kencang. Jihan masih membutuhkan cinta, kasih sayang, serta perhatian. Namun, yang terjadi dia malah ditinggalkan oleh orang-orang tersayang, tidak ada lagi Ayah, Ibu, dan Albin di hidup selanjutnya. Ditinggalkan semakin lama, semakin menakutkan. Kenangan bagaikan ruang yang seluas samudra, meskipun Jihan menghabiskan banyak waktu di ruang keterpurukan, meski kesepian yang dia rasakan adalah satu-satunya jalan, Jihan mulai terbiasa melakukannya, tapi secara perlahan hal itu membutakan.
***
Sore ini, Jihan menyiram bunga-bunga di pekarangan depan rumahnya sekaligus meminta maaf pada mereka karena baru sempat memberi air, untung saja meski Jihan absen sehari tidak menyirami tanaman, tidak ada satu pun yang layu. Menyiram satu persatu tanaman, hingga sampailah pada bunga krisan. Bunga yang berwarna putih dan ungu, bunga dengan nama yang sama namun berbeda warna itu, adalah hadiah dari sang ayah saat Jihan lulus dengan nilai tertinggi di sekolah.
Ayah bercerita, katanya beliau tidak memiliki pemikiran sama sekali membeli krisan sebagai hadiah kelulusan Jihan, tapi saat ayah dalam perjalanan pulang ke rumah, mobilnya tiba-tiba berhenti tepat di sebuah toko bunga yang terlihat tua namun apik, seperti ada yang membisikkan sesuatu padanya, langkah sang ayah tergerak untuk memasuki toko bunga tersebut.
Kata ayah, dalam bahasa Inggris bunga krisan itu memiliki nama yang lumayan susah, kalau Jihan tidak salah ingat namanya adalah Chrysanthemum. Meski begitu, ternyata arti bunga cantik itu sangat lah sederhana. Bunga krisan memiliki makna tentang kejujuran. Namun, secara universal krisan bisa melambangkan tentang kebahagiaan, kegembiraan serta kebersamaan.
Dan, kata ayah juga. Beberapa negara menjadikan bunga tersebut sebagai lambang kebangsawanan dan kekaguman. Bagi masyarakat Jepang, krisan di percaya dapat memperpanjang umur. Lalu di negara China ada minuman populer berupa teh berbahan dasar bunga krisan, masyarakat Tionghoa percaya dengan khasiat teh tersebut. Khasiatnya mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menajamkan penglihatan, menenangkan saraf, mengurangi peradangan, memperkuat tulang. Begitu tentang bunga krisan yang pernah ayah ceritakan padanya, dan masih diingat olehnya sampai saat ini.
Krisan akan tumbuh dengan bentuk yang lonjong, kemudian pangkal yang bulat juga ujung yang meruncing sebagai pelengkapnya. Katanya panjang daun krisan bisa mencapai antara tujuh sampai tiga belas sentimeter, sedangkan lebarnya sekitar tiga sampai enam sentimeter. Bunga krisan tumbuh pada ujung batang dan tersusun di tangkai mulai dari berukuran pendek hingga panjang.
Omong-omong, meski sudah tersadar dari lamunannya mengenai bunga krisan beserta cerita sang ayah. Jihan kembali fokus menyiram tanaman di pekarangan rumahnya, lalu dua menit kemudian kedua telinganya yang masih berfungsi normal mendengar suara mesin motor yang berhenti di depan rumahnya, karena penasaran Jihan mengalihkan pandangannya. Perempuan itu melihat Natha beserta motor hitamnya dengan kening yang mengerut, kemudian di dalam hatinya berkata bahwa tujuan Natha datang ke rumahnya, apalagi kalau bukan ingin mengganggunya. Jika benar, Jihan tidak akan segan-segan menyirami Natha seperti tanaman sampai basah kuyup.
"Hei! Kenapa kamu nggak bilang kalau pulang duluan? Hampir setengah jam saya tungguin kamu loh di kampus." Begitu kata Natha, ketika lelaki itu melepaskan helm dari kepalanya namun masih duduk di jok motornya.
Jihan memutar bola matanya malas, merasa kesal atas ketidakjelasan lelaki itu. "Itu salah kamu sendiri!" sahutnya menyalahkan Natha.
Memang benar, salah Natha sendiri menunggunya di kampus hampir setengah jam, sebab saat Jihan menerima pesan singkat dari Natha untuk menunggunya di kampus, perempuan itu sama sekali tidak membalas meski pesan singkatnya itu sudah dibaca olehnya.
Jawaban Jihan yang terdiri dari empat kata, membuat Natha manggut-manggut. "Iya, sih. Itu memang salah saya."
Karena tidak terlalu peduli dengan kehadiran Natha, Jihan tidak menyuruh lelaki itu untuk duduk di teras rumahnya atau meminta bantuan Natha ikut menyiram tanaman. Perempuan yang memakai kaus lengan panjang itu malah sibuk melakukan aktivitasnya kembali, karena Natha tahu sifat Jihan seperti apa, pemuda jangkung itu berinisiatif sendiri untuk memasuki pekarangan rumah Jihan tanpa disadari oleh sang pemilik rumah.
Natha memosisikan diri di belakang Jihan, dan sampai detik ini pun sang pemilik rumah sama sekali belum menyadarinya. Natha tersenyum memperhatikan tanaman cantik yang telah disiram oleh pemiliknya yang tentu tidak kalah cantik. Sampai akhirnya kedua mata Natha tertuju pada beberapa pot bunga krisan di dekat kaki Jihan.
"Eh? Ternyata kamu punya bunga krisan juga."
Tersentak karena terkejut akibat suara Natha di belakangnya, Jihan refleks membalikkan badannya dengan selang air menyala yang ada di tangannya. Karena air yang mengenai bajunya, Natha segera menghindar dengan cara menghalangi semprotan air tersebut dengan kedua tangannya.
"Hei! Kenapa kamu malah siram saya juga? Saya bukan tanaman," omel Natha saat mendapati pakaiannya cukup basah akibat ulah Jihan yang tidak disengaja.
Jihan menatap tajam kemudian berdecak pelan. "Iya, kamu memang bukan tanaman tapi serangga yang harus dibasmi," tuturnya dingin, sedingin air.
Natha tertawa kecil sesaat. "Lucu juga lawakan kamu."
Berhubung jarak antara keran air tidak terlalu jauh dari Natha, kembali akan rasa inisiatifnya, pemuda tampan yang memakai jaket denim itu mematikan keran air yang terpasang selang, agar Jihan tidak menyiraminya lagi baik itu disengaja atau tidak.
"Saya belum selesai siram bunga!" Jihan mengomel dengan tatapan sebal mengarah pada Natha.
Natha yang mendapat omelan serta tatapan sebal, dibalas senyum tipis olehnya. "Nanti aja dilanjut, karena ada saya. Jadi kamu harus fokus ke saya dulu."
Lelaki yang pakaiannya basah itu langsung mendapat cibiran, tapi cibiran tersebut ditanggapi dengan kekehannya. Omong-omong, Natha tidak terlalu mempermasalahkan pakaiannya yang basah. Untuk saat ini, Natha tidak butuh pertanggungjawaban dari Jihan, yang dia inginkan adalah sahutan maupun ucapan tajam dari Jihan, sebab laki-laki itu lebih memilih mendengar Jihan yang berucap tajam daripada dicueki olehnya.
Kembali soal krisan yang sempat menarik perhatiannya, kedua mata Natha kembali mengamati bunga tersebut, bahkan Natha sampai berjongkok untuk mengamati krisan lebih dekat.
"Cantik banget kayak pemiliknya." Natha bergumam sembari sedikit berharap jika Jihan mendengar pujiannya.
Natha yang masih dalam posisi jongkoknya mengangkat wajahnya, menatap Jihan yang menatap lurus ke depan, entah pemandangan apa yang perempuan itu lihat, tapi beberapa saat Natha terpaku oleh paras Jihan yang terlihat cantik jika dilihat dari posisinya berada. Entah kenapa, wajah perempuan itu terlihat bersinar meski tidak ada sedikit senyum yang singgah di wajah cantiknya.
Mungkin karena firasatnya kuat jika sedang diperhatikan, Jihan menoleh ke arah Natha seraya menunduk. "Enggak usah lihat saya kayak gitu! Mau saya siram lagi, hah!?"
Seperti biasa, ketusnya Jihan itu terlihat lucu di mata Natha. Maka sebagai tandanya, laki-laki itu terkekeh pelan sebelum menyahut ucapan Jihan.
Natha menggunakan tangan kanannya untuk menopang dagunya, kemudian dia sedikit memiringkan wajahnya, menatap wajah Jihan dengan senyuman.
"Kalau kamu sampai berani siram saya lagi, kamu harus tanggung jawab. Kamu mau peluk saya selama satu jam?" Di akhir katanya, Natha tersenyum jail.
Karena mendengar ucapan asalnya itu, Jihan sampai bergidik ngeri merinding sendiri. Memang sih, Jihan memiliki keinginan untuk menyirami Natha sampai pakaian lelaki itu benar-benar basah semua, tapi jika bentuk tanggung jawabnya berupa pelukan, Jihan langsung memendam keinginannya tersebut.
Melihat Jihan yang melengos dengan mencibir, tentunya membuat Natha lagi-lagi tertawa kecil. "Enggak usah makin lucu gitu dong, Han. Nanti saya makin terpikat sama kamu gimana? Memangnya kamu udah siap buat tanggung jawab?"
Jika saja di dekatnya ada kaus kaki atau sapu tangan, sudah pasti benda tersebut akan tersumpal di mulut Natha, supaya lelaki buaya itu berhenti bicara. Beberapa detik keduanya saling terdiam, Jihan yang memang tidak ingin berbicara sementara Natha terdiam karena sibuk mencari sebuah topik pembicaraan baru.
Lalu setelah menemukan sebuah topik pembicaraan saat melihat krisan, sebelum memulainya terdengar suara dehaman Natha. "Oiya, Han. Kamu tahu arti jumlah tangkai bunga krisan?"
Setelah mendengar pertanyaan Natha, Jihan memang menoleh padanya. Hanya saja tidak ada jawaban darinya baik itu gelengan maupun anggukan singkat. Tapi melihat Jihan yang menoleh sudah cukup membuat Natha senang, itu tandanya Jihan penasaran dengan pertanyaan yang akan segera dia jawab itu.
"Saya pernah baca di sebuah buku. Katanya satu tangkai bunga krisan itu artinya ungkapan cinta, dua belas tangkai tentang dua hati yang menyatu, sedangkan tiga belas tangkai, mewakili ungkapan I'm your secret admirer, dan dua puluh empat tangai itu tentang ..."
Natha sengaja menjeda ucapannya, karena sebelum melanjutkan, laki-laki itu merubah posisinya, meski Natha telah posisinya dengan berdiri di sebelah Jihan, tidak sedikit pun pandangannya beralih ke arah lain, kemudian fokusnya semakin menatap Jihan lekat-lekat.
"Saya memikirkanmu seharian, selama dua puluh empat jam."
Natha masih menatap Jihan lekat-lekat, bahkan tatapan mereka seperti terkunci. Dan mungkin karena kalimat terakhirnya yang terkesan dari hati, untuk pertama kalinya, Natha melihat sorot mata Jihan meneduh seperti langit biru ditutupi awan putih, tidak ada tatapan mengerikan seperti api yang menyala-nyala atau mata pisau yang tajam.
Kurang lebih sekitar dua menit mereka saling bertatapan, dan pada menit selanjutnya Jihan adalah orang pertama yang melepas kontak mata tersebut, perempuan itu memalingkan wajahnya. Dalam sekejap suasana mendadak canggung, dan Natha adalah orang pertama yang menyadari jika suasana di sini persis seperti kejadian di malam hari saat keduanya berada di teras rumah Jihan.
Natha segera menendang jauh-jauh suasana canggung tersebut dengan berdeham kecil yang kemudian pemuda jangkung itu berkata, "Kata nenek saya, sang pecinta bunga sejati. Ciri khas bunga krisan itu sebetulnya bisa lihat dari bentuk daunnya."
Natha belum berani menoleh ke arah Jihan karena masih ada sisa-sisa kecanggungan masih menempel pada dirinya.
Laki-laki itu malah fokus menatap bunga krisan. "Dan setiap warna bunga krisan punya artinya masing-masing. Omong-omong, saya pernah dengar tentang sebuah filosofi, ada filosofi yang terkenal di negara China yang isinya 'Jika ingin berbahagia sepanjang hayat, maka tanamlah krisan'."
Lagi-lagi Natha yang masih belum berani menatap Jihan secara lama, hanya mampu melirik perempuan itu sekilas sebanyak dua kali, tapi pada lirikan yang ketiga. Kedua matanya melebar, terkejut atas apa yang Natha lihat barusan. Secara sempurna lelaki itu menoleh ke arah Jihan, tidak memedulikan soal kecanggungan yang masih menempel di dalam dirinya.
"Sejak kapan?"
Natha bertanya dengan sorot mata yang terlihat serius, karena pertanyaaan serta sorot matanya itu membuat kening Jihan mengerut, dirinya sama sekali tidak mengerti dengan pertanyaan Natha. Melihat Jihan yang terdiam karena tidak mengerti, sekali lagi Natha bertanya, "Sejak kapan kamu self harm?"
Kedua matanya melebar sebab terkejut atas pertanyaan yang Natha ajukan. Bagaimana dia tahu jika dirinya melakukan self harm alias menyakiti diri sendiri? Apakah laki-laki itu tahu tentang beberapa bekas luka sayatan di salah satu pergelangan tangannya? Apakah tadi Natha tidak sengaja melihatnya?
Buru-buru Jihan menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung dengan kepala yang dia tolehkan ke arah lain.
"Percuma kamu sembunyikan, saya udah lihat luka sayatan di pergelangan tangan kamu," tuturnya saat tahu Jihan sedang menyembunyikan pergelangan tangannya yang terdapat bekas sayatan.
Masih menatap ke arah lain perempuan itu mengembuskan napasnya. "Mau saya self harm atau enggak, itu bukan urusan kamu." Jihan menyahut dan suaranya itu terdengar amat lirih.
Natha mendengkus, lalu bergerak satu langkah mendekat. "Di saat ada orang yang menyakiti dirinya sendiri, memangnya salah kalau saya peduli sama orang itu!?"
Mendengar nada bicara Natha yang agak meninggi, membikin Jihan memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya. Di hadapannya kini, jarak antara Natha juga dirinya lebih dekat dari sebelumnya. Tatapan mata laki-laki itu terkesan dingin juga tajam, jenis tatapan yang baru pertama kali Jihan lihat, dan seketika Jihan pun bergidik karena ngeri.
"Saya punya hak untuk peduli pada siapa pun, dan kamu nggak bisa melarangnya. Jadi, tolong jawab pertanyaan saya. Sejak kapan kamu self harm?"