Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Flowers Learn to Smile Again
MENU
About Us  

Di malam ketika semua orang sedang tertidur, Jihan terduduk sendirian di pinggir ranjangnya. Masih terjaga tanpa melepas hari melelahkannya yang telah berlalu. Duduk terdiam seperti itu, apakah tujuannya sedang menunggu seseorang? Atau adakah yang harus dia lakukan? Dan jawabannya adalah tidak, lalu apakah perempuan itu tengah berpikir tentang tempat di mana dirinya ingin kembali? Entah, hanya Jihan yang tahu jawabannya.

Jika berbaring menatap bintang-bintang, tolong perlihatkan bintang yang paling terang. Biar dirinya tahu seberapa besarnya harapan dan tidak tenggelam dalam keputusasaan. Jika dirinya terlelap karena kerlipan bintang, maka izinkan seperti itu untuk semalaman. Izinkan dirinya melepas lelahnya. Jangan bangunkan, karena Jihan akan tertidur sangat lelap karena bermimpi.

Dalam mimpinya, mata teduhnya akan tertuju pada bayangan orang-orang yang amat dia sayang. Akankah Jihan dapat tersenyum bahagia seperti sebelumnya? Jujur, dirinya terlalu lelah. Sejauh ini sangat ajaib ketika dirinya masih bertahan, berharap adanya jalan pintas untuk kembali ke tempat semula.

***

Dengan tangan kanan yang menopang dagu, perempuan itu termenung dengan arah pandang yang menatap pada taman kampus melalui jendela perpustakaan. Cahaya matahari yang tiba-tiba menerobos masuk melalui jendela, membuat Jihan menyipitkan matanya. Karena terganggu akan sinar tersebut, kepalanya menoleh ke arah buku di atas meja yang untuk saat ini berperan sebagai temannya.

Tangan kanannya tidak lagi digunakan untuk menopang dagu, karena detik ini tangan itu Jihan gunakan untuk membuka buku milik perpustakaan yang barusan dia ambil di rak bagian tengah, membacanya beberapa menit kemudian menghela napas. Barusan Jihan berusaha fokus membaca buku untuk menambah pengetahuan di salah satu mata kuliahnya. Sempat membaca beberapa paragraf, namun tidak ada satu kalimat pun yang menempel di otaknya, sama sekali tidak ada yang diingat.

Mungkin penyebabnya karena hari ini Jihan tidak bisa berkonsentrasi, entah konsentrasinya sedang berkeliaran di mana. Dan untuk kedua kalinya, Jihan menghela napas serta ditambah dengan memejamkan mata.

"Selamat pagi menjelang siang, Jihan!"

Suara seseorang menyapa indra pendengarannya, dia tahu persis siapa pemilik suara tersebut, seseorang yang akhir-akhir ini sering mengganggunya di berbagai tempat. Karena kehadiran orang itu Jihan mendengkus sebal, lantas membuka matanya secara perlahan. Ketika melihat kehadiran Natha yang tiba-tiba duduk di hadapannya, sorot matanya menajam menatap Natha dengan tidak suka. Meski sikapnya sudah menunjukkan ketidaksukaan atas kehadiran Natha, tapi perempuan itu malah mendapat balasan sebuah senyuman lebar dari Natha. Sebuah senyum yang masih terlihat menjengkelkan di mata Jihan.

"Berkali-kali, saya pernah bilang sama kamu. Jangan pernah ganggu saya lagi." Saat berbicara suaranya sengaja Jihan pelankan, karena dia sadar jika tempatnya berada adalah perpustakaan, tapi tatapan matanya tetap sama, menatap Natha dengan sorot tajam.

"Berkali-kali, ya?" Bola mata laki-laki jangkung itu mengarah ke atas, kebiasaanya jika sedang mengingat sesuatu. "Setahu saya kamu pernah ucapin kalimat itu sebanyak dua kali deh, atau tiga kali?"

Jihan berdecak. "Jangan ganggu saya lagi."

Bola mata Natha tidak lagi menatap ke langit-langit perpustakaan, melainkan ke arah sesosok perempuan cantik berkucir kuda memakai kaus lengan panjang berwarna ungu yang duduk di hadapannya.

"Nah, itu ucapan yang keempat kali kalau nggak salah." Natha terkekeh pelan.

"Pergi dari tempat ini sekarang."

Sempat ada jeda beberapa saat, karena Natha menopang dagu dengan kedua tangannya. "Percuma, saya nggak akan pergi dari sini. Sebelum kamu ucapin kalimat 'jangan nganggu saya lagi' sebanyak lima belas ribu kali tanpa minum, bisa nggak?"

Entah hal apa yang membuat Natha kembali terkekeh, tapi yang jelas Jihan benar-benar kesal atas kehadiran Natha yang menurutnya amat menganggu. Saking tidak sukanya, sorot mata galaknya semakin bertambah, mungkin jika matanya bisa mengeluarkan laser merah layaknya Ultramen, sinar laser tersebut bisa saja membelah kepala Natha.

Natha menghentikan kekehannya, menyadari raut wajah Jihan yang terlihat semakin menyeramkan. "Kita lagi ada di perpustakaan, tempat orang-orang yang butuh konsentrasi penuh. Kamu harus tenang, nggak boleh berisik apalagi marah-marah." Kedua tangannya tidak lagi menopang dagu. "Waktu itu saya pernah bilang, kamu harus pura-pura ramah di depan saya."

Jihan melengos, lebih memilih menatap ke arah buku di dekatnya. "Saya nggak mau."

Natha tersenyum penuh arti yang tidak disadari oleh Jihan. Karena perempuan itu mulai menyibukkan diri dengan membaca buku, sebenarnya Jihan tidak benar-benar membaca karena di saat seperti ini, di saat dirinya sedang kesal mana bisa dia berkonsentrasi.

Natha manggut-manggut. "Oke, nggak masalah. Itu artinya kamu bukan tipikal orang yang suka berpura-pura."

Usai berbicara, Natha menghela napas sejenak sebelum kembali bersuara. "Omong-omong, foto bunga edelweiss pemberian saya gimana? Nggak kamu taruh di tempat sampah, kan?"

Gerakan tangannya untuk beralih ke halaman berikutnya melambat. Hal tersebut karena pertanyaan Natha mengenai foto edelwiess pemberiannya. Omong-omong hasil jepretannya Jihan simpan di laci meja belajarnya. Dan sangat tidak mungkin dirinya mengatakan secara terus terang, bisa-bisa lelaki itu akan kegirangan. Lebih baik, Jihan diam saja.

"Kalau kamu mau simpan baik-baik, saya akan kasih hasil jepretan saya yang lain. Bukan cuma edelweiss aja, ada foto langit beserta awan, pohon-pohon, kawah gunung. Intinya sih tentang pemandangan alam waktu saya menaklukkan Rinjani."

"Enggak, saya nggak butuh." Jihan berujar tanpa pikir panjang dengan pandangan yang masih mengarah pada buku di atas meja.

Dan untuk kedua kalinya, Natha menghela napas sekadar meningkatkan kesabarannya. Jihan yang fokus membaca, membuat pandangan Natha teralihkan, laki-laki itu menoleh sekelilingnya memperhatikan orang-orang yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, apalagi jika bukan membaca buku dengan tenang. Karena di ruangan ini tidak ada yang menarik, laki-laki jangkung itu mencoba menoleh ke arah yang lain, saat kepalanya menoleh ke arah kanan, matanya menyipit.

Bukan karena cahaya matahari yang menerobos melalui jendela seperti tadi, melainkan karena adanya bunga matahari sedang menghadap dirinya dan Jihan. Seketika senyumnya mampir, itu karena Natha telah menemukan topik pembicaraan baru.

Topiknya tentang bunga matahari. Setahu Natha tanaman tersebut bisa digunakan sebagai tanaman pangan serta tanaman hias, tangkainya bulat dengan daun-daun kecil di pinggirnya. Kelopaknya memiliki warna kuning terang dengan mengelilingi calon biji yang ada di tengah-tengahnya. Seperti bunga-bunga yang lain, bunga matahari memiliki makna yang mendalam.

"Namanya bunga matahari, karena bunga itu selalu mengikuti ke mana arah cahaya matahari. Mulai dari terbit sampai terbenam, bunga itu selalu menatap ke arah matahari bergerak. Karena sikapnya orang-orang menganggap, kalau bunga matahari itu melambangkan kesetiaan."

Natha menoleh ke arah Jihan, saat pandangan mereka bertemu lengkungan disudut bibirnya sedikit meninggi. "Kamu tahu nggak? Selain diartikan kesetiaan, bunga matahari diartikan sebagai apa? Kalau kamu bisa jawab, saya akan pergi dari tempat ini."

Natha sengaja berkata seperti itu, sebab dugaannya adalah, ada kemungkinan Jihan mau berbicara, pasalnya setiap dirinya berbicara tidak mendapat respons, jangankan respons di dengarkan saja rasanya enggan. Mungkin jika telinga bisa dilepas sepertinya Jihan sudah melepas kedua telinganya sedari tadi. Omong-omong, jika perempuan itu tidak menyahut ucapannya, Natha sama saja berbicara dengan benda mati seperti batu.

"Kalau kamu nggak bisa jawab atau jawaban kamu salah, saya nggak akan pergi."

Entah, sudah berapa kali Jihan mendengkus di hari yang cerah ini. "Keceriaan, persatuan, persahabatan, dan kekayaan palsu. Jawaban saya nggak mungkin salah, jadi sesuai dengan ucapan kamu. Silakan kamu pergi dari sini sekarang."

Natha menggeleng pelan seraya terkekeh pelan. "Enggak, jawaban kamu belum lengkap. Jadi itu belum bisa disebut sebagai jawaban."

Jihan lebih memilih pergi, jika saja perpustakaan bukanlah tempat ternyaman untuk belajar. Maka untuk saat ini dia harus lebih bersabar.

"Keceriaan, karena kelopaknya berwarna kuning. Kuning sering diartikan sebagai simbol keceriaan, persatuan karena bunga matahari majemuk yang tersusun dari ratusan bunga-bunga kecil, artinya bunga itu punya makna persatuan.

"Enggak kayak bunga mawar. Meskipun bunga matahari punya warna yang cerah, tapi bunga itu sama sekali nggak menggambarkan kesan romantis. Lambang kesetiaannya lebih cenderung ke persahabatan. Dan kekayaan palsu, itu tentang cerita dulu yang pernah beredar di bangsa Spanyol yang menjajah Benua Amerika, mereka pikir kalau bunga matahari terbuat dari emas, karena merasa tertipu mereka menganggap kalau bunga matahari itu adalah kekayaan palsu."

Natha tersenyum puas, karena selain jawaban Jihan benar, baru kali ini Jihan berbicara panjang. "Kayaknya kita bakalan cocok jadi rekan bisnis buat bikin toko bunga."

Mendapat raut wajah andalan Jihan, Natha menipiskan bibirnya. "Oke, karena saya orangnya nggak suka ingkar janji, saya akan pergi."

Laki-laki itu langsung bangkit dari posisi duduknya. "Sampai ketemu lagi di lain tempat, ya." Dia menatap Jihan sekali lagi sebelum pergi dari perpustakaan dengan perasaan yang cukup berat, pasalnya Natha masih ingin berlama-lama di tempat itu apalagi karena ada Jihan.

***

Kelas terakhirnya sudah selesai, dan sebelum kembali ke rumah Jihan memutuskan untuk mengisi perutnya dengan sepiring makanan yang tersedia di kantin kampus. Saat di kantin, Jihan tidak membutuhkan waktu lama untuk menentukan makanan yang akan dirinya santap, keputusannya tertuju pada semangkuk mi ayam. Semangkuk mi ayam beserta teh manis hangat telah tersedia di meja kantin yang Jihan pilih.

Saat menyantap mi ayam itu Jihan cukup tenang dan cukup menikmati makanannya, sebab suasana di kantin tidak terlalu ramai dan di mejanya dia hanya duduk sendiri. Jadi, fokusnya dalam makan tidak terganggu.

Padahal baru sebentar Jihan merasakan kedamaian saat menyantap makanan, kini kedamaian itu telah pergi jauh-jauh saat seseorang menarik kursi kosong di depannya. Seseorang itu siapa lagi kalau bukan Natha.

"Apa ini yang di namakan jodoh? Saya nggak nyangka banget bisa ketemu kamu lagi." Di akhir kata laki-laki yang sudah mendudukkan diri di hadapannya itu tertawa kecil.

Jihan melirik sesaat dengan sorot mata yang tajam, lagi-lagi Natha datang untuk mengganggunya.

"Kamu lagi makan mi ayam, ya? Kamu tahu nggak sih kalau mi ayam itu salah satu makanan favorit saya."

Sungguh, Jihan tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. "Bisa nggak sih, sehari aja kamu nggak usah ganggu saya?!" omel Jihan karena kehadiran Natha di depan matanya, perempuan berkucir ekor kuda itu jadi kehilangan napsu makannya.

Di saat Jihan menatapnya tajam seperti pisau, caranya menatap lawan bicaranya tidak seperti perempuan itu. Sorot mata Natha terkesan seperti anak kecil yang ramah juga gembira.

Sebelum menyahut ucapan Jihan, Natha meletakkan kedua tangannya di atas meja sementara kedua sudut bibirnya melengkung ke atas. "Kayaknya nggak bisa deh. Kalau semisal saya nggak ganggu kamu, nanti hidup kamu semakin hampa dong?"

Sejenak fokusnya teralih pada semangkuk mi ayam milik Jihan yang tersisa setengah. "Gara-gara kamu, saya juga pengin makan mi ayam."

Mendengar Natha berbicara, Jihan memutar bola matanya sembari mendengkus. Padahal harapannya itu, Natha buru-buru pergi dari sini, tapi malah sebaliknya.

Natha mengangkat tangan kanannya sementara matanya terarah pada penjual mi ayam yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk. "Pak! Saya mau mi ayam satu ya, pakai bakso."

"Oke, Mas. Siap!"

Selesai memesan semangkuk mi ayam dengan cara seperti tadi. Natha kembali menatap Jihan kali ini dengan tangan yang menopang dagu.

"Terusin aja makannya, tapi jangan cepat-cepat takut tersedak."

Meski selera makannya sudah pergi, Jihan berusaha untuk melanjutkan makannya alasannya karena perutnya masih lapar. Sesaat Jihan berusaha untuk tidak peduli, menganggap jika tidak ada kehadiran Natha di depan matanya. Namun, dirinya tidak bisa sebab Natha yang terus memperhatikannya benar-benar membuatnya risih, tidak nyaman.

"Mata kamu bisa nggak sih! Nggak usah lihat saya?" Jihan berkata setelah selesai menelan sesuap mi ayamnya.

Karena ucapan Jihan itu, Natha menaikkan salah satu alisnya. Dirinya tidak lagi menggunakan tangannya untuk menopang dagunya.

"Kenapa? Kamu salah tingkah ya ditatap cowok ganteng kayak saya?"

Natha terkekeh sedangkan Jihan mendengkus karena sebal. Berhubung batas kesabarannya telah habis, Jihan tidak lagi melanjutkan makannya, dia beranjak dari duduknya kemudian meninggalkan mi ayamnya, teh manis hangatnya, juga Natha yang terkejut melihat Jihan pergi.

"Eh? Kamu mau ke mana?"

"Kok malah pergi sih? Mi ayam kamu belum habis loh, mi ayam saya juga belum dateng."

"Jihan!"

Jihan sama sekali tidak menggubris, perempuan itu terus berjalan seolah-olah tidak mendengar suara Natha juga orang-orang yang menatap ke arahnya. Melihat kepergian Jihan, laki-laki itu hanya bisa menghela napas dan beberapa saat kemudian Natha malah terkekeh pelan atas kelakuan Jihan.

Entah, di antara keduanya siapa yang menyebalkan. Tapi menurut sudut pandangnya sendiri, tentu Jihan lah yang menyebalkan sebab di saat Natha ingin menjadi temannya, Jihan malah menolaknya secara terang-terangan.

Jadi tidak salah jika Natha berpikir jika perempuan itu menyebalkan. Semakin hari Jihan semakin menyebalkan, karena hal itu Natha semakin penasaran.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Crashing Dreams
268      225     1     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
Praha
309      190     1     
Short Story
Praha lahir di antara badai dan di sepertiga malam. Malam itu saat dingin menelusup ke tengkuk orang-orang di jalan-jalan sepi, termasuk bapak dan terutama ibunya yang mengejan, Praha lahir di rumah sakit kecil tengah hutan, supranatural, dan misteri.
Aku Mau
11723      2211     3     
Romance
Aku mau, Aku mau kamu jangan sedih, berhenti menangis, dan coba untuk tersenyum. Aku mau untuk memainkan gitar dan bernyanyi setiap hari untuk menghibur hatimu. Aku mau menemanimu selamanya jika itu dapat membuatmu kembali tersenyum. Aku mau berteriak hingga menggema di seluruh sudut rumah agar kamu tidak takut dengan sunyi lagi. Aku mau melakukannya, baik kamu minta ataupun tidak.
In the Name of Love
730      446     1     
Short Story
Kita saling mencintai dan kita terjebak akan lingkaran cinta menyakitkan. Semua yang kita lakukan tentu saja atas nama cinta
Game of Dream
1465      815     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
For Cello
3133      1061     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
RANIA
2468      888     1     
Romance
"Aku hanya membiarkan hati ini jatuh, tapi kenapa semua terasa salah?" Rania Laila jatuh cinta kepada William Herodes. Sebanarnya hal yang lumrah seorang wanita menjatuhkan hati kepada seorang pria. Namun perihal perasaan itu menjadi rumit karena kenyataan Liam adalah kekasih kakaknya, Kana. Saat Rania mati-matian membunuh perasaan cinta telarangnya, tiba-tiba Liam seakan membukak...
Return my time
321      272     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Reaksi Kimia (update)
5890      1560     7     
Romance
》Ketika Kesempurnaan Mengaggumi Kesederhanaan《 "Dua orang bersama itu seperti reaksi kimia. Jika kamu menggabungkan dua hal yang identik, tidak ada reaksi kimia yang di lihat. Lain halnya dengan dua hal yang berbeda disatukan, pasti dapat menghasilkan percikan yang tidak terduga" ~Alvaro Marcello Anindito~
The Second Lady?
455      329     6     
Short Story
Tentang seorang gadis bernama Melani yang sangat bingung memilih mempertahankan persahabatannya dengan Jillian, ataukah mempertahankan hubungan terlarangnya dengan Lucas, tunangan Jillian?