Pada Minggu hari di jam sembilan malam lewat sepuluh menit, Jihan beserta Beno telah dinyatakan selesai dari pekerjaannya. Jihan adalah orang terakhir yang keluar dari toko tersebut dan Jihan pula yang mengunci pintu utama toko tersebut. Beno telah pergi terlebih dahulu, pergi tanpa pamit. Mungkin karena laki-laki bertubuh gempal itu berpikir, percuma saja mengucapkan selamat tinggal atau sampai jumpa pada Jihan jika tidak mendapat respons dari orang tersebut.
Saat perempuan itu berbalik badan, alisnya bertaut sebab di tepi jalan depan toko bunga tempatnya bekerja, ada Natha beserta motornya, sang pemilik kendaraan beroda dua itu tersenyum lebar seraya melambaikan tangan. Melihat Jihan yang masih bergeming di tempat, Natha turun dari motornya untuk berjalan menghampiri.
"Toko bunga sudah tutup, kamu bisa datang lagi besok." Begitu kata Jihan saat Natha berhenti melangkah, tepat di hadapannya.
"Saya nggak mau beli bunga," kata Natha, "kali ini kamu boleh kepedean, karena tujuan saya ada di sini, pengin ketemu kamu." Di akhir kata Natha terkekeh pelan.
Jihan berdecak atas alasan kemunculan Natha. "Untuk apa?"
"Untuk menanyakan, kenapa chat dari saya nggak dibalas?"
Sebenarnya, Natha sudah memiliki rencana untuk mengirim pesan kepada Jihan saat malam hari. Namun, saking tidak sabarnya, laki-laki itu malah memutuskan mengirimkan pesan isinya tentang 'Hai, Jihan. Ini Natha. Tolong disimpan nomor saya ya, karena saya yakin nomor telepon saya bakal berguna di saat kamu butuh pertolongan' pada sore hari.
Mendengar alasan Natha datang menemuinya membuat Jihan memutar bola matanya malas sembari mendengkus sebal. "Karena bagi saya, chat dari kamu nggak penting."
Natha manggut-manggut, sama sekali tidak sakit hati atas jawaban Jihan. "Kalau saya jadi bagian dari hidup kamu dan terlibat di dalamnya, pasti chat dari saya langsung kamu balas, kan? Soalnya saya terlalu penting buat hidup kamu."
Karena perkataan Natha adalah omong kosong, Jihan bergerak dari tempatnya, melangkah meninggalkan Natha.
"Jangan pergi dulu," Natha dengan sigap menahan pergerakan Jihan, "kamu pulang bareng saya."
"Enggak mau." Jihan menjawab diiringi oleh usahanya untuk melepas tangan Natha dari lengannya. Namun sayangnya, genggaman tangan itu semakin erat.
"Kenapa nggak mau?"
Sorot mata Jihan menajam. "Karena kamu nggak bisa memaksa saya seperti waktu itu."
Genggaman tangan itu mengendur dan perlahan genggaman tangannya terlepas. "Kamu yakin nggak mau pulang sama saya? Yaudah, nggak apa-apa. Tapi saya mau kasih tahu aja, di malam hari itu biasanya banyak penjahat berkeliaran di mana-mana, bisa aja pas kamu lagi naik kendaraan umum ada hal yang nggak diinginkan terjadi sama kamu? Terus kalau udah malam begini susah cari kendaraan umum loh."
Jihan berdecak atas omong kosong yang kembali Natha ucapkan. "Saya sering pulang malam, masih ada kendaraan umum, dan saya nggak percaya sama omongan kamu."
"Nggak apa-apa, kamu punya hak untuk nggak percaya sama saya." Natha tersenyum tipis. "Kalau begitu, saya pergi dulu."
Karena Jihan tidak mau ikut bersamanya, Natha melangkah ke arah motornya yang terparkir di tepi jalan, meninggalkan Jihan yang masih bergeming di tempatnya. Sebenarnya Natha tidak benar-benar meninggalkan Jihan, dia hanya bersembunyi, memantau Jihan dari kejauhan.
Dari jarak Natha berada bersama motornya, dengan helm yang terpasang di kepala, mungkin sekitar tujuh menit Natha mengamati Jihan di seberang jalan sana. Jihan masih setia menunggu kendaraan umum yang belum juga datang. Menit-menit terus terlewat, tapi satu pun kendaraan umum yang Jihan tunggu belum juga datang, sampai membuat dirinya terheran-heran, mengapa sampai detik ini belum ada kendaraan umum yang lewat? Padahal di hari-hari sebelumnya tidak harus menunggu lama seperti saat ini. Apakah jam operasinya sudah diubah tanpa sepengetahuan dirinya?
Natha yang mulai bosan menunggu dan waktu semakin mengarah pada malam yang sesungguhnya. Laki-laki berjaket kulit itu menjalankan mesin motornya untuk kembali menghampiri Jihan. Perempuan itu menoleh saat mendengar suara motor mendekatinya, dan ada rasa keterkejutan ketika mengetahui Natha datang kembali bersama motornya, Jihan kira laki-laki itu benar-benar sudah pergi.
"Gimana? Masih setia menunggu hal yang nggak pasti?" Entah itu pertanyaan atau ledekan, tapi yang pasti Jihan cukup kesal saat mendengarnya.
"Pakai helmnya." Karena helm yang Natha sodorkan masih ada di tangannya, sebelah alis Natha terangkat. "Masih nggak mau juga?"
Tangan Natha yang terjulur sembari memegang helm, dia tarik kembali lalu menaruh helm tersebut di tempat sebelumnya. Dan sebelum melanjutkan perkataannya, Natha menyempatkan diri untuk menghela napas.
"Saya kasih tahu ya, kamu itu punya banyak keuntungan kalau saya antar pulang."
Acungan jari telunjuk Natha perlihatkan. "Pertama kamu bisa hemat uang," Natha mengacungkan jari tengah untuk menemani jari sebelumnya, "kedua saya bisa antar kamu sampai depan rumah," jari manis selanjutnya Natha acungkan, "ketiga kamu akan aman dari bahaya karena saya jago berantem."
Jari kelingking dan ibu jari adalah berikutnya. "Keempat motor saya nggak pernah mogok, dan kelima saya ganteng, kapan lagi kamu bisa diantar pulang sama laki-laki seganteng saya?" Di akhir kalimat Natha berbicara dengan begitu percaya diri, menganggap bahwa dirinya adalah laki-laki paling tampan di dunia ini.
"Jadi gimana? Pasti kamu nggak akan ada alasan lagi buat menolak, kan?" Natha tersenyum, berharap mendengar jawaban Jihan sesuai keinginannya.
Di dalam hati, Jihan mencibir karena menurutnya keuntungan yang Natha sebutkan lagi-lagi adalah omong kosong. Omong-omong kesampingkan soal keuntungan, sebenarnya jawaban Jihan tentu adalah sebuah penolakan, tapi di lain sisi Jihan tidak tahu, kapan kendaraan umum akan datang atau lebih buruknya tidak datang sama sekali.
Tidak membutuhkan banyak waktu untuk berpikir, Jihan mengembuskan napas atas keputusan yang telah dirinya tetapkan. "Untuk kedua kalinya, saya mau karena terpaksa."
***
"Enggak ada kata-kata atau pertanyaan yang pengin kamu sampaikan ke saya?" Natha mengajukan pertanyaan saat Jihan menyerahkan helm yang dia kenakan.
"Jangan pernah ganggu saya lagi," ketusnya.
"Selain itu?"
"Silakan pergi."
"Ada lagi?"
Bukan jawaban, justru suara decak yang terdengar dari mulut Jihan. Karena respons Jihan seperti itu Natha agak kecewa, tapi tidak apa-apa dari awal dirinya sudah tahu bagaimana sifat Jihan pada orang-orang.
"Oiya, hampir lupa." Tangan Natha merogoh sesuatu dari saku jaket kulitnya, saat benda tersebut berada di tangan kanannya, dia menyerahkan benda itu kepada Jihan.
Seketika pandangan Jihan tertuju pada benda tersebut, berkat lampu di bawah tiang listrik di seberang rumahnya yang menyala terang, beberapa foto yang memperlihatkan kecantikan bunga edelweiss dapat terlihat cukup jelas.
Edelweiss memiliki arti keberanian yang mulia, disebut sebagai bunga keabadian karena bunganya lama bertahan, lalu melambangkan ketulusan sebab edelweiss tumbuh di daerah yang khusus dan ekstrem, seolah-olah mengartikan tentang seseorang yang menerima segala kekurangan serta keadaan apa pun dari pasangannya tanpa mengharapkan apa pun selain ketulusan hati. Pada umumnya edelweiss tumbuh di tempat dengan ketinggian 1700-2700 meter.
Bunga-bunga edelweiss biasanya muncul di antara bulan April dan Agustus, edelweiss sangat disukai oleh serangga, bunga edelweiss berwarna putih, dan memiliki tekstur yang cukup berbeda dengan bunga-bunga lainnya.
Jihan yang terlalu mengamati bunga edelweiss sampai tidak menyadari jika foto-foto itu telah berpindah ke tangannya. Jika melihat edelweiss, ada salah satu memori lamanya terangkat, tentang sebuah rencananya bersama Albin. Keinginan mereka untuk pergi mendaki Gunung Merbabu, melihat edelweiss si bunga keabadian secara langsung, karena waktu itu Jihan begitu penasaran dengan edelweiss. Namun sayang, rencananya bersama Albin tidak akan terwujud.
"Foto itu hasil jepretan saya."
Suara Natha memecahkan keheningan, fokus Jihan sepenuhnya teralihkan. Sorot mata Natha mengarah sebentar pada salah satu foto edelweiss yang Jihan genggam. Dan entah kenapa, Natha sendiri tidak mengerti sekaligus tidak punya alasan yang jelas kenapa edelweiss salah satu hasil jepretannya dia berikan untuk Jihan.
"Sebenarnya saya mau petik bunga itu, tapi karena edelweiss termasuk tanaman langka saya nggak berani memetiknya. Maka dari itu, saya cuma bisa foto kecantikannya aja lewat kamera."
Kedua sudut bibir Natha terangkat, menciptakan senyuman. "Disimpan, ya. Tolong anggap foto pemberian saya itu barang yang berharga buat kamu."
Karena sekarang adalah waktunya Natha untuk pergi, laki-laki itu berucap sebelum menjalankan motornya dan menghilang dari hadapan Jihan. "Saya pamit, selamat malam Jihan."
***
Jihan belum tidur padahal jam yang menghiasi dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat sepuluh menit. Hampir lima menit berlalu dia gunakan untuk bergeming, perempuan itu duduk terdiam di kursi meja belajarnya sementara indra penglihatannya terlalu fokus menatap benda yang ada di tangannya, yang Jihan pegang sedari tadi adalah beberapa potret bunga abadi bernama edelweiss yang amat cantik.
Beberapa foto pemberian Natha sama sekali tidak ada niat sedikit pun untuk Jihan taruh di tempat sampah, potret edelweiss yang cantik terlalu sayang untuk dibuang. Saat mengamati edelweiss melalui foto, Jihan memiliki niat untuk memajang semua potret edelweiss yang ada di tangannya di kamarnya. Nanti jika Jihan sudah membeli bingkai foto. Potret edelweiss akan dia taruh dibingkai kemudian dipajang di atas nakas samping foto orang tuanya.
Karena potret edelweiss itu, Jihan memiliki keinginan untuk melihatnya secara langsung, tapi kapan ya? Jika mendaki gunung sendirian, Jihan tidak yakin dirinya akan sanggup. Andai saja, habitat edelweiss bukan dipuncak gunung melainkan di tepi jalan, mungkin hampir setiap harinya perempuan itu akan memandangi edelweiss tanpa rasa bosan.
Beberapa saat kemudian, Jihan menghela napas sembari menaruh foto-foto edelweiss yang ada di tangannya di atas buku yang tersimpan di salah satu laci meja belajarnya. Malam ini, dirinya sudah cukup puas memandangi semua foto bunga abadi pemberian Natha. Lantas perempuan itu bergerak beranjak dari duduknya, kemudian melangkah singkat menuju tempat tidurnya.
Dia merebahkan diri di atas kasur, memandangi sebentar langit-langit kamarnya yang terdapat tempelan bulan dan bintang, kemudian secara perlahan kedua matanya mulai terpejam, Jihan telah siap untuk pergi ke alam mimpinya sampai pagi menjelang.