Loading...
Logo TinLit
Read Story - When Flowers Learn to Smile Again
MENU
About Us  

Menyembuhkan luka tanpa darah yang menggores hati, tidak semudah menyembuhkan luka di lutut akibat jatuh dari sepeda. Luka di lutut bisa disembuhkan dengan obat merah dan menunggu beberapa hari agar lukanya mengering, tapi luka di hati? Belum ada penawar dan entah butuh berapa lama luka tersebut akan sembuh dengan sendirinya. Impian dan harapan, menjadi masa lalu yang mengenang.

Tentang impiannya yang begitu banyak di masa kecil harus dikubur dalam-dalam karena tidak ada lagi yang mendukung semua impiannya. Lalu harapan, meski kemungkinan harapan itu sebesar celah-celah di bawah pintu, tapi yang namanya harapan pernah menjadi kenyataan.

Begitu banyak hal yang Jihan tinggalkan saat orang-orang penting dalam hidupnya pergi meninggalkan, seperti kebiasaannya dalam hal menggambar, membaca komik di rental, dan lain sebagainya. Sewaktu itu Jihan pernah mencoba untuk memulai kembali kebiasaannya dalam hal menggambar, namun yang dirinya lakukan hanyalah membuat garisan hitam yang tidak memiliki bentuk jelas, lebih mirip seperti sebuah coretan yang tidak ada artinya.

Jihan masih ingat jelas, ketika dirinya selesai membuat gambar langit malam bertabur bulan, bintang, serta beberapa peri yang ada di imajinasinya. Ibu langsung memuji hasil gambarnya seraya mengacungkan kedua jempol tangan, ibu berkata jika suatu saat nanti anaknya akan menjadi seorang pelukis terkenal.

Selain ibu, ayahnya juga pernah berkata, tentang dirinya yang harus terus mengejar impiannya meski banyak penghalang yang datang. Jihan ingin sekali menerapkan hal tersebut, mengejar impiannya yang terkubur dan berhenti terpaku pada masa lalunya. Namun, tidak semudah itu untuk menerapkannya, karena ucapan dan tindakan sangat jauh berbeda.

Satu tahun saat orang tuanya pergi untuk selamanya, Jihan kembali ditinggalkan atau lebih tepatnya sengaja ditinggalkan oleh seseorang yang pernah dia anggap sebagai rumah. Karena hilangnya dia yang Jihan anggap sebagai rumah telah membuatnya semakin tersesat. Hidup tanpa tujuan yang jelas, sama saja seperti menyia-nyiakan waktu yang berharga.

Beranjak dewasa membuat waktu terasa berat dengan kelicikan yang perlahan-lahan merayap, lalu mimpi yang pernah merekah menjadi terlupa, kehilangan jati diri akibat luka. Hal-hal tersebut sudah teramat cukup membuatnya menderita.

***

Jam kelas terakhirnya telah selesai, maka tujuan Jihan adalah pulang ke rumah, tidak bekerja di toko bunga karena saat ini dirinya masih kuliah dan pemilik toko bunga menyuruhnya untuk datang bekerja di hari Sabtu dan Minggu, dua hari di mana dirinya terbebas dari mata kuliah di kampus. Sebenarnya, tanpa bekerja pun uang tabungan peninggalan orang tuanya cukup menghidupi kebutuhan sehari-hari serta biaya kuliahnya, hanya saja Jihan memutuskan bekerja karena ingin menyibukkan diri, dan hal tersebut memang berguna.

Saat Jihan sibuk bekerja tidak pernah terpikirkan sama sekali tentang kesedihannya, namun ketika jam istirahat berlangsung kesedihan yang sempat tidak dirasakan dengan kurang ajarnya datang secara tiba-tiba.

Jihan berjalan menuju gerbang belakang kampus, karena gerbang belakang adalah jarak terdekat dari pemberhentian bus dibanding gerbang utama. Jihan masih berjalan, mengikuti ke mana arah langkah kakinya bergerak, namun beberapa detik berikutnya langkah kakinya langsung terhenti. Karena pundaknya terasa berat, bukan tertimpa sebuah benda melainkan ada seseorang yang sengaja menaruh lengannya di pundak Jihan. Saat dirinya menoleh, sesosok laki-laki asing tengah tersenyum padanya.

"Hai! Kamu sendirian, ya? Boleh kenalan nggak?"

Jihan menatapnya datar, tidak menyahut, malah menurunkan lengan laki-laki itu di pundaknya.

Kemudian melangkah dengan terburu-buru agar laki-laki kurus itu tidak berlanjut mengusiknya. Dugaanya, jika laki-laki yang merupakan mahasiswa di kampus yang sama dengannya sudah berhenti mengganggu dirinya, namun dugaan tetaplah dugaan, selalu tidak sesuai dengan kenyataan.

Laki-laki itu malah menyejajarkan langkahnya kemudian berkata, "Cuek banget sih?" Dengan kurang ajarnya dia mencolek dagu Jihan. "Senyum dikit dong."

Jihan menoleh, melototkan mata untuk menunjukkan sorot mata tajam pada laki-laki kurang ajar itu. "Jangan macam-macam!"

Bukannya takut, laki-laki yang sudah Jihan anggap kurang ajar malah tertawa, padahal tidak ada yang lucu sama sekali di sini. "Galak banget sih. Tapi nggak apa-apa, gue suka sama yang galak kayak lo."

Perempuan itu mendengkus sebal, sebenarnya ada keinginan untuk memaki orang itu, hanya saja waktunya akan terbuang sia-sia, maka dari itu Jihan memilih untuk memaafkan lalu kembali berjalan meninggalkan orang tersebut.

"Hei! Jangan pergi dulu, kita belum kenalan loh."

Jihan tidak menanggapi, karena tentu saja dirinya tidak peduli. Dan untuk ketiga kalinya langkah kakinya terpaksa terhenti penyebabnya masih pelaku yang sama.

"Lepasin saya!"

Jihan berusaha menyingkirkan genggaman orang itu dari lengannya, namun cengkeraman laki-laki itu malah semakin kuat. Mereka yang terlalu sibuk dengan adegan tarik menarik sampai tidak menyadari, jika tiba-tiba sesosok pemakai jaket kulit berwarna cokelat memberhentikan motornya di tepi jalan, melepaskan helmnya, lalu berjalan terburu-buru menghampiri mereka.

"Lo ngapain, hah!? Lepasin tangan lo!"

Sebuah ucapan yang terdengar marah itu, dengan kompaknya membuat Jihan dan laki-laki kurang ajar menoleh ke arah yang sama. Di antara mereka berdua ada Natha berdiri dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

Jihan terlihat biasa-biasa saja atas keberadaan Natha, namun berbeda dengan laki-laki kurang ajar itu, dia terlihat terkejut bercampur takut. Dengan segera dia melepaskan tangannya dari lengan Jihan yang memerah akibat ulahnya.

Entah sengaja atau tidak, Natha menaruh lengannya di pundak Jihan, menarik perempuan itu agar mendekat padanya. "Jangan macam-macam sama pacar gue!"

Masih soal kekompakkan, mereka mendelik di waktu bersamaan, terkejut atas lontaran kata yang diucapkan oleh Natha.

"Dia pacar lo? Sorry, Tha. Gue nggak tahu," Laki-laki bertubuh kurus itu mengiris pelan, "Gue nggak apa-apain pacar lo kok, cuma ngajak kenalan aja. Jangan dibawa serius, ya?"

"Sekarang lo pergi dari sini, jangan pernah muncul di hadapan pacar gue lagi. Dan urusan kita belum selesai."

Meski Jihan tidak tahu raut wajah apa yang Natha perlihatkan pada laki-laki itu, Jihan yang ada di sampingnya bisa merasakan jika Natha cukup serius dengan ucapannya.

"Tapi, Tha. Gue cumaㅡ"

"Pergi dari sini sekarang!"

"I-iya, Tha."

Laki-laki itu berbalik arah, pergi dengan langkah tergesa-gesa. Omong-omong sebelum laki-laki itu pergi, Jihan sempat melihat jika sorot matanya terlihat ketakutan. Entah, Jihan tidak mengerti. Kenapa bisa orang tersebut takut pada Natha? Memangnya Natha sangat menyeramkan, kah? Tapi saat Jihan melihat wajahnya dari samping seperti sekarang ini tidak menyeramkan sama sekali. Ah, sudahlah. Tidak penting juga memikirkan hal tersebut.

"Kenapa? Kamu terpesona sama ketampanan saya, ya?" Natha berucap ketika dirinya menangkap basah Jihan yang menatap wajahnya.

Segera, Jihan memalingkan wajah sembari mencibir, melihat reaksi Jihan yang terlihat lucu membuat Natha terkekeh. Dan untuk kedua kalinya Jihan mencibir.

"Turunin lengan kamu di pundak saya sekarang."

"Kenapa?"

"Mengganggu."

Natha sempat bergeming sesaat, namun pada detik kelima dia menurunkan lengannya sembari cengengesan. "Omong-omong, kamu mau pulang, ya? Kalau iya, hari ini saya yang akan antar kamu pulang."

Usai mendengar perkataan Natha, Jihan segera menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, saya bisa pulang sendiri."

"Kalau ada yang ganggu kamu kayak tadi gimana?"

"Saya bisa lari."

Natha terkekeh atas tiga kata yang digunakan Jihan sebagai jawabannya, karena baginya benar-benar lucu. Natha menatap Jihan sembari tersenyum. "Walaupun kamu bisa lari, saya tetap antar kamu pulang."

"Saya nggak mau."

"Kamu harus mau."

"Saya nggak suka dipaksa."

"Tapi kalau kamu nggak pulang sama saya, kamu bisa menyesal loh."

"Saya nggak peduli."

Natha mendesah, cukup kesal dengan tawarannya yang selalu mendapat penolakan. Selain mendesah, Natha menghela napas karena memang sejak awal dirinya sudah tahu saat berurusan dengan Jihan, Natha harus memiliki amat banyak kesabaran, sebanyak ikan-ikan di lautan. Natha tidak semudah itu menyerah, bukannya ambisius, hanya saja Natha tidak bisa membiarkan Jihan pulang sendirian, selain takut mendapat gangguan lagi, ada kemungkinan besar jika Jihan akan sengaja diturunkan di tengah jalan oleh supir kendaraan umum karena dompet ungu muda miliknya belum Natha kembalikan.

"Omong-omong, ini dompet kamu, kan?" Natha berkata saat dirinya menunjukkan dompet kulit berwarna ungu muda, mengeluarkan dari saku dalam jaket kulitnya.

Jihan mendelik, segera menggerakkan tangannya mencari dompet miliknya di dalam tote bag, terus mencari benda tersebut dan hasilnya tidak ada. Jihan menghela napas, menyipitkan matanya menatap Natha penuh curiga. Natha yang menyadari sorot mata yang Jihan berikan langsung bersuara.

"Jangan salah sangka dulu. Tadi pagi pas kamu tabrak saya, dompet kamu jatuh."

"Kembalikan."

Jihan merebut dompet di tangan Natha, namun pergerakannya kalah cepat, Natha mengangkat dompet ungu muda milik Jihan tinggi-tinggi. Tinggi tubuh mereka yang tidak sepadan membuat Jihan susah meraihnya meski berkali-kali melompat. Tingkah Jihan yang melompat-lompat seperti kelinci menjadi hiburan untuk Natha.

"Mau dompet kamu kembali? Enggak semudah itu, ada syarat yang harus kamu setujui."

Jihan berhenti bertingkah seperti kelinci, selain melelahkan tidak ada gunanya juga melompat, jangkauan dompetnya benar-benar susah tergapai olehnya. Maka dengan terpaksa, mau tidak mau, suka tidak suka, Jihan harus menyetujuinya.

Jihan berdecak. "Apa syaratnya?"

"Gampang kok, kamu harus mau kalau saya antar pulang." Natha tersenyum seraya menunggu jawaban Jihan yang malah bergeming. "Gimana? Kamu mau pulang bareng saya atau jalan kaki? Dompet kamu masih ada di saya loh."

Jika sebelumnya Jihan berdecak, detik ini perempuan itu mendengkus menatap Natha dengan tampang andalannya alias tanpa ekspresi. "Oke. Karena terpaksa, saya mau."

Senyum Natha melebar karena jawaban yang sesuai dengan harapannya. "Nah, begitu dong." Dompet ungu muda yang dipegang kembali Natha masukkan ke dalam saku dalam jaket kulitnya.

***

"Saya boleh minta air minum?" Begitu pinta Natha saat mereka telah sampai di depan rumah Jihan dengan selamat.

Jihan yang sudah turun dari motor Natha dan menyerahkan helm milik Natha, menjawabnya dengan anggukan singkat. "Tunggu di luar."

Tanpa pikir panjang, Jihan memberikan segelas air minum di dalam rumahnya secara cuma-cuma, meskipun Natha menyebalkan, setidaknya laki-laki itu telah menolongnya. Jihan membalikkan badan kemudian melangkah maju memasuki rumahnya, Natha yang ada di depan rumah segera turun dari motor untuk mengikuti langkah Jihan sampai teras rumah. Sembari menunggu Jihan kembali dengan segelas air minum, Natha melihat sekelilingnya, pekarangan rumah Jihan begitu rapi dan dipenuhi oleh berbagai macam tanaman.

Omong-omong, ada tanaman yang amat menarik perhatiannya. Bunga anggrek berbagai macam warna yang ada di pot berukuran agak besar, ditaruh sejajar. Berbicara soal anggrek, yang Natha tahu di setiap macam warna bunga mewakili berbagai macam perasaan. Warna merah muda yang ada di sebelah kanan mewakili perasaan kebahagiaan, warna merah di sebelahnya melambangkan kekuatan atau ketegaran, selanjutnya warna ungu sebagai simbol kekaguman, sedangkan warna putih memiliki arti kesucian hati, dan warna jingga tentang perasaan bangga dalam berhasilnya suatu pencapaian hidup. Anggrek sendiri memiliki bentuk simetri bilateral, namun bentuknya ada juga yang menyerupai serangga.

Fokusnya pada anggrek langsung teralihkan, pemuda jangkung itu menoleh saat Jihan datang dengan memegang gelas berisi air mineral untuk Natha. Natha yang memang haus meraih gelas tersebut, meminumnya sampai menyisakan setengah gelas.

"Kamu punya bunga anggrek?"

"Itu punya Ibu saya."

Natha manggut-manggut. "Pasti Ibu kamu telaten banget ngerawat anggrek, karena setahu saya anggrek itu cukup susah dirawat dan prosesnya juga lumayan lama."

Masih terasa haus, Natha kembali meminumnya, kali ini tidak ada sisa. "Dulu, Nenek saya juga punya anggrek."

Jihan yang sebelumnya terfokus pada anggrek, refleks menoleh ke arah Natha. Pandangan mereka sempat bertemu sesaat, karena salah satu dari mereka terlebih dahulu fokus menatap anggrek.

"Beliau pernah bilang sama saya, kalau proses merawat bunga anggrek itu sama aja kayak kehidupan. Secara nggak langsung anggrek udah mengajarkan kita tentang kesabaran dalam mencapai hasil terbaik dari proses kehidupan.

"Jangan mudah menyerah menggapai hal-hal terbaik dalam hidup, sekalipun menunggu lama kita harus tetap sabar dan percaya kalau hasilnya nanti akan memuaskan. Sama kayak anggrek, prosesnya memang terbilang lama tapi pas bunga itu mekar rasa lelah karena penantian langsung hilang sama kecantikannya."

Selesai berbicara Natha tersenyum, dan entah kenapa, senyumnya kali ini tidak terlihat menyebalkan di mata Jihan. Senyuman memancarkan ketulusan yang tersirat. Keduanya saling bergeming, saling menatap dan tiba-tiba muncul lah kecanggungan yang merangkul mereka. Jihan yang tidak sanggup atas kecanggungan yang terjadi, segera memalingkan wajahnya.

Omong-omong, tentang perkataan Natha mengenai anggrek memang ada benarnya, Jihan pernah mendengarnya juga dari ibunya. Setelah berhasil menghilangkan kecanggungan, Jihan kembali menoleh ke arah Natha sambil menunjukkan gestur tangan yang meminta.

"Mana dompet saya."

Natha cengengesan karena dirinya sendiri, hampir saja melupakan benda penting milik Jihan. Karena perempuan itu sudah meminta dan sudah menyetujui persyaratan, Natha tidak punya alasan lagi untuk menahan benda tersebut.

Karena dompet ungu muda miliknya sudah ada di tangannya Jihan pun berkata, "Saya capek, mau istirahat. Kamu bisa pulang sekarang. Omong-omong jangan ganggu saya dan ngaku-ngaku sebagai pacar saya lagi."

Jihan sengaja berkata seperti itu, karena dirinya tidak ingin berurusan lagi dengan Natha. Lalu pintu rumah tertutup rapat oleh sang pemilik. Hingga membuat Natha melongo dan beberapa saat kemudian dia terkekeh atas tingkah Jihan yang menurutnya menggemaskan. Apakah Natha akan mendengar ucapan Jihan? Tentu saja tidak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
One-Week Lover
1917      971     0     
Romance
Walter Hoffman, mahasiswa yang kebosanan saat liburan kuliahnya, mendapati dirinya mengasuh seorang gadis yang entah dari mana saja muncul dan menduduki dirinya. Yang ia tak tahu, adalah fakta bahwa gadis itu bukan manusia, melainkan iblis yang terlempar dari dunia lain setelah bertarung sengit melawan pahlawan dunia lain. Morrigan, gadis bertinggi badan anak SD dengan gigi taring yang lucu, meng...
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
591      333     4     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...
27th Woman's Syndrome
10758      2064     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Kumpulan Cerpen Mini (Yang Mengganggu)
2270      1200     11     
Humor
Cerita ringkas yang akan kamu baca karena penasaran. Lalu kamu mulai bertanya-tanya setelah cerita berakhir. Selamat membaca. Semoga pikiran dan perasaanmu tidak benar-benar terganggu.
WEIRD MATE
1602      770     10     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...
selamatkan rahma!
469      321     0     
Short Story
kisah lika liku conta pein dan rahma dan penyelamatan rahma dari musuh pein
(Un)perfect Marriage
701      478     0     
Romance
Karina Tessa Ananda : Tak tau bagaimana, tiba-tiba aku merasakan cinta begitu dalam pada pria yang sama sekali tak menginginkanku. Aku tau, mungkin saja pernikahanku dan dia akan berakhir buruk. Tetapi--entah kenapa, aku selalu ingin memperjuangkan dan mempertahankannya. Semoga semua tak sia-sia, dan semoga waktu bisa membalik perasaannya kepadaku sehingga aku tak merasakan sakitnya berjuang da...
Ameteur
99      87     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Your Moments
9959      2597     0     
Romance
Buku ini adalah kumpulan cerita mini random tentang cinta, yang akan mengajakmu menjelajahi cinta melalui tulisan sederhana, yang cocok dibaca sembari menikmati secangkir kopi di dekat jendelamu. Karena cinta adalah sesuatu yang membuat hidupmu berwarna.
G E V A N C I A
1168      639     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...