Loading...
Logo TinLit
Read Story - Liontin Semanggi
MENU
About Us  

"Gue udah absen 2 hari tanpa kabar. Nanti minta tolong izinin ke Mbah Siti, bisa?" Binar ragu-ragu menyampaikan permintaan tolongnya.

"Waduh, gue suruh izin ke mbah-mbah bipolar!"

"Tolong, Lang. Mbah Siti nggak punya HP. Kalau bos baru gue, sama Bu Reta dua-duanya udah gue kabarin sendiri."

"Ish ... bener-bener ngerepotin ya ini orang. Tapi gue nggak janji! Kalau gue repot, ke sana sesempatnya," jawab Ersa akhirnya.

Binar mengangguk mengerti. "Makasih sekali lagi ya, Sa. Nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada lo."

"Cringe! Kalau sampa gue dihukum Pak Sastro gara-gara telat ... awas aja lo!"

***

Ya benar Ersa terlambat! Ia berlari dari halte depan menuju ke sekolah. Jaraknya agak jauh, sekitar 50 meter.

Pak Saswi berdiri di depan gerbang. Sedang mengomel pada barisan murid terlambat.

Ersa terlambat terlalu lama. Sebelum Ersa ikut barisan ... mereka sudah menuju lapangan.

Ersa mengira-ngira hukuman apa yang akan ia dapat -- selain keliling lapangan.

Ersa berdiri di hadapan Pak Sastro. Bersiap mendengarkan vonis hukuman.

"Binar gimana, Sa?" tanya Pak Sastro.

Ternyata bukan vonis hukuman yang ia dengar. Melainkan pertanyaan itu. Benar kah ini Pak Sastro? Ternyata sebegitu merasa bersalah Binar.

"Masih di RS, Pak. Tadi saya ditelepon dokter disuruh ke sana. Katanya semalem Binar kumat lagi." Sekalian saja Ersa kasih paham.

"Kok belum membaik, ya. Dia jadi pemeriksaan lengkap?"

"Binar nggak mau. Susah emang ngomong sama dia."

"Ya udah ... kamu langsung masuk aja sana. Jangan lewat area lapangan."

Ersa meringis girang. "Jadi saya nggak dihukum, Pak?"

"Nggak. Udah sana!"

"Makasih, Pak!"

***

Ersa sebenarnya tidak mau menuruti permintaan tolong Binar. Tapi bisa-bisanya ia tahu-tahu sudah sampai di kedai Mbah Siti.

Ersa mengatur pernapasan dulu. Jantungnya mendadak drumband.

Mbah Siti sibuk melayani pelanggan. Wanita itu kewalahan tidak ada yang membantu.

Ersa memberanikan diri masuk. Ersa berjalan gontai mendekati Mbah Siti.

"Mau daging aja, apa campur jeroan?" Mbah Siti bertanya tanpa menatap.

"Maaf, Mbah. Saya ke sini bukan mau makan. Tapi ...."

Kata-kata Ersa terhenti oleh tatapan tajam Mbah Lastri padanya. "Terus kalau nggak makan ... mau ngapain?"

Ersa takut sekaligus malu, dilihat pelanggan lain. "Maaf, Mbah. Saya mau menyampaikan izin Binar. Dia ...."

Belum selesai Ersa bicara, Mbah Siti sudah menyela sekali lagi.

"Oh, saya ingat! Kamu temannya Binar yang kapan hari, kan? Mana temen kamu itu? Seenaknya aja kabur tanpa pamit!"

"Saya belum selesai ngomong tadi, Mbah. Binar nggak dateng bukan karena kabur. Dia lagi opname di RS!" Ersa berhasil menjelaskan.

Raut Mbah Siti langsung berubah. Dari sorot matanya, kelihatan sekali sedang khawatir. "Lho ... Binar sakit?"

"Iya, Mbah. Dia minta tolong saya buat kasih tahu Mbah. Dia masih mau kok kerja di sini."

"Oalah ... sakit apa sampai opname?"

"Sakit perut ... sama meriang."

"Oalah ... kecapean itu. Kerjaannya banyak!"

Ersa lega sekarang. Karena Mbah Siti sudah dalam mode jinak.

"Kalau gitu saya pamit dulu ya, Mbah!"

"Kamu mau ke mana? Sini bantuin Mbah dulu!"

"Lhah, kok jadi saya suruh bantu?" kaget Ersa.

"Terus siapa kalau bukan kamu? Kamu nggak lihat saya kerepotan?"

"T-tapi, Mbah ...."

"Udah buruan bikin es teh sama es jeruk!"

"Tapi, Mbah ...."

"Nggak usah khawatir, nanti saya bayar!"

Ersa tak habis pikir dengan kelakuan orang ini. Ini bukan masalah dibayar atau tidak!

Ersa pikir ia sudah cukup dominan jadi manusia. Ternyata masih ada yang lebih. Mbah Siti The Ultimate Alpha Female.

Ersa terpaksa menurut. Walau ia bingung bagaimana cara membuatnya. Mau tanya Mbah Siti, takut wanita itu makin murka.

Untung walau kurang pengalaman, tapi Ersa dasarnya memang pintar. Ia kira-kira saja caranya.

Sore yang berat bagi Ersa, akhirnya berakhir usai. Jam 7 kedai Mbah Siti sudah tutup.

"Mbah tadi sampai lupa belum tanya nama kamu."

Mbah Siti sudah berubah dalam mode malaikat. Ternyata benar cerita Binar. Mbah Siti hanya galak saat sedang tertekan.

"Ersa, Mbah."

"Makan dulu, Sa. Nih ... kamu pasti laper, kan?" Mbah Siti memberikan semangkuk soto lengkap dengan lauk gorengan jeroan.

Ya jelas Ersa lapar. Ia baru saja kerja paksa!

"Makasih, Mbah." Ersa terlalu lapar. Sampai gengsinya sudah kalah dengan rasa lapar itu.

Mereka berdua makan bersama dalam keheningan.

"Binar di rumah sakit mana, Sa?"

"Di Medika Jayandra, Mbah."

"Ini gaji kamu hari ini. Makasih udah bantuin Mbah, ya. Dua hari ini Mbah kelimpungan nggak ada Binar. Untung hari ini ada kamu."

"Nggak usah, Mbah. Besok-besok Mbah kasih ke Binar aja duitnya." 

"Eh, jangan gitu, Sa! Kan ini hasil jerih payah kamu. Udah terima aja!"

Mbah Siti menyelipkan uang itu ke genggaman jari Ersa.

Ersa mematung di tempat. Tanpa sadar ia menggenggam erat uang di tangannya.

***

Dua minggu berlalu, hari ini adalah final turnamen persahabatan sepak bola antar sekolah. Banyak tamu dari sekolah lawan yang datang. 

Sementara hampir semua siswa sekolah tuan rumah, juga sudah memenuhi tribun tim kesebelasan yang dipimpin oleh Binar.

Seleksi kedua grand finalis yang berlangsung kurang lebih 2 minggu ini, tak menyurutkan semangat tim sekaligus pendukungnya. Justru semakin hari semangat mereka semakin membara.

Tim kesebelasan membentuk lingkaran utuh, dengan tangan yang saling merangkul satu sama lain.

"Apa pun hasilnya nanti, kita harus mempersembahkan performa terbaik!" Binar berusaha membangun semangat dan motivasi untuk timnya.

Mereka menyatukan telapak tangan kanan di tengah-tengah lingkaran.

Mereka berlima belas, termasuk para pemain cadangan, sama-sama menerikkan jargon andalan, yang memang selalu dilakukan sebelum turnamen.

Setelah itu mereka berlari menyebar ke seluruh penjuru lapangan hijau, menempati posisi masing-masing. 

Pertandingan dimulai dengan panas. Karena ada salah satu anggota tim lawan yang tiba-tiba main sikut. Kelihatan memang sengaja.

Wasit memberikan kartu kuning. 

Babak pertama berakhir dengan skor 1-1. Teriakan pendukung saling bersahut. Meneriakkan nama tim kesebelasan masing-masing.

"Kita semua main dengan bagus hari ini. Di babak kedua, kita harus lebih solid dalam strategi." Binar tetap melakukan tugasnya sebagai kapten dengan baik.

"Bin lo istirahat aja. Biar digantiin Alfan!" Roy coba menyarankan.

Bukan tanpa alasan. Sejak tadi ia lihat Binar sering menunduk, bertumpu pada lututnya. 

"Nanggung! Yang cape boleh istirahat. Gue main!" Binar bersi keras.

Binar tak mau melalaikan tugasnya. Karena selain kapten, ia juga adalah striker. Bukan meragukan kemampuan striker lain yaitu Alfan ... tapi di sini nama sekolah sedang dipertaruhkan.

Sebagai tuan rumah, Binar tidak akan membiarkan timnya kalah.

Suara peluit menjadi awal dimulainya babak kedua. Persaingan berlangsung sengit. Karena skor terus mengejar satu sama lain. Untuk saat ini skor sama-sama 2.

Sementara waktu hanya tinggal sisa 5 menit.

Ternyata sampai babak kedua berakhir, skor masih sama 2-2.

Wasit memberikan perpanjangan waktu 3 menit.

Binar bertekat untuk mencetak gol dalam waktu yang tersisa itu. Tentu saja tak akan mudah. Karena tim lawan pasti juga tidak mau kalah.

Binar sempat terjatuh terkena senggolan tim lawan. Tapi ia segera berdiri tegak kembali.

Waktu sudah semakin tipis. Ketika sampai pada sudut yang menurutnya sempurna, Binar menendang bola ke gawang.

Keeper tim lawan berusaha keras menangkap bola. Tapi tendangan Binar terlampau keras. Sehingga bola itu melesat maju ke sudut gawang.

"GOOOOOL!" Semua orang berteriak. Teriakan penuh rasa bahagia dan syukur.

Kini aktu tambahan habis. Tim Binar menang.

Binar melakukan selebrasi dengan berlari dan mengangkat satu tangannya ke udara. Seolah-olah ia menunjuk bahwa ia tak mungkin bisa melakukan semua ini tanpa campur tangan Tuhan di dalamnya.

Selebrasi Binar bertabur ucapan selamat dan sorak sorai. Binar setelah itu juga melakukan sujud syukur. Yang kemudian diikuti oleh anggota timnya yang lain.

Mereka sama-sama mengangkat Binar ke udara, bahkan melemparnya beberapa kali. Sebagai bagian dari selebrasi juga

Di antara banyaknya kerumunan penonton di tribun, salah satu dari mereka adalah Ersa. 

Ersa hanya diam memantau dari awal hingga akhir.

***

Sepulang sekolah, mereka berdua melakukan bimbingan pra olimpiade. Ersa datang duluan. Sementara Binar datang saat Bu Aisyah sudah membahas soal.

"Maaf saya terlambat, Bu."

Bu Aisyah menyambutnya dengan senyum manis. "Silakan duduk, Bin. Ngomong-ngomong selamat tadi tim kita menang. Ibu tadi lihat kamu mencetak gol di detik-detik akhir. Sumpah kamu keren banget!" 

Binar tak bisa menutupi senyum bahagianya. "Iya, Bu. Terima kasih."

Binar duduk di bangku secara acak. Ia pilih bangku yang sejajar dengan Ersa, namun pada deret yang berbeda.

Ersa menatap Binar dengan kesal -- murni karena Binar terlambat datang bimbingan. Sementara Binar langsung membuka kumpulan contoh soalnya.

"Olimpiade sebentar lagi. Kalau lo terus meremehkan bimbingan, bisa-bisa cuma gue yang lolos ke tahap provinsi." Ersa sengaja mengancam Binar.

Binar menolah padanya. "Nanti gue jadi orang pertama yang ngucapin selamat, kalau lo lolos ke tahap provinsi."

"Heh, harusnya reaksi lo nggak gitu! Harusnya lo bilang ... 'Lihat aja nanti! Gue pasti juga bakal lolos!' Gitu harusnya!" Ersa malah memberi contoh.

Binar hanya terkekeh. "Aku berusaha lolos. Tapi gue juga berserah. Yang penting gue udah usaha. Kalau akhirnya lolos syukur. Nggak lolos ya nggak apa-apa."

Ersa berdecak kesal. "Sok bijak banget!"

Bu Aisyah berdeham di depan. "Ayo soalnya dikerjakan, setelah itu kita bahas."

***

Ersa menyetir mobil merah Wina dengan agak ngebut. Ia harus menjemput empunya mobil ke lokasi syuting. Wina hari ini tidak pergi sendiri dengan mobilnya. Ada staf yang menjemputnya. Mengingat lokasi syuting cukup jauh.

Seandainya sekolah sedang libur, pasti Ersa bersedia mengantar ibunya.

Tengah malam seperti ini, jalanan sudah lengang. Makanya Ersa bebas ngebut tanpa khawatir menyeruduk kendaraan lain dari belakang.

Sayangnya, mobil Wina tiba-tiba ngadat.

Ersa coba turun dulu untuk mengecek mesin di bagian depan. Asap langsung mengepul dari sana. Air radiator mobil ini habis ternyata.

Ersa sama sekali tak kepikiran untuk mengisi. Karena mobilnya dulu secara penuh diurus oleh Pak Hendro. Jadi yang rutin mengisi bahan bakar dan juga radiator. Mengganti oli ... semuanya Pak Hendro.

"Aduh ... Mama nggak ngingetin buat ngisi radiator lagi! Ya gini mobil kalau dipegang sama perempuan. Nunggu mogok dulu, baru ketahuan ada yang eror!" 

Ersa celingak-celinguk siapa tahu masih ada toko kelontong yang buka di sekitar sini.

Tapi nihil. Di sekitar sini sudah gelap. Cahaya hanya berasal dari proyek gedung pencakar langit. Di sana jelas ada air. Apa Ersa ke sana saja cari bantuan, ya?

Ersa singkirkan rasa malu dan gengsi. Yang penting mobil bisa menyala kembali.

Untung saat Ersa sampai, ada salah satu pekerja proyek yang sedang berada di depan. Ersa berlari mendekat.

"Permisi, Pak ... saya mau minta tolong."

"Minta tolong apa, Le?" Pekerja itu agak ketus. 

"Saya boleh beli air sedikit, nggak? Mobil saya mogok, radiatornya habis!" Ersa langsung terus terang.

"Woalah, air doang kok beli. Bentar, tunggu sini ... tak ambilin dulu."

Senyum Ersa merekah. Ternyata walau ketus, pekerja proyek itu hatinya baik. Ersa menunggu dengan sabar. Sampai ada pekerja proyek lain yang baru saja lewat. Dan Ersa mengenal orang itu.

Orang itu sedang menggendong 2 sak semen sekaligus di punggungnya. Ersa sangat marah melihat orang itu bekerja segitunya.

Ersa melangkah mendekati Binar. Akan Ersa beri ceramah, supaya paham.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • muymuy

    Gak di next kak?

    Comment on chapter Hari Pembagian Rapor
Similar Tags
Trust Me
57      50     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
IMAGINATIVE GIRL
2659      1340     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
NADA DAN NYAWA
15384      2890     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Anikala
904      431     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Reandra
1534      1027     66     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
The Spark Between Us
9388      2864     2     
Romance
Tika terlanjur patah hati untuk kembali merasakan percikan jatuh cinta Tapi ultimatum Ibunda untuk segera menikah membuatnya tidak bisa berlamalama menata hatinya yang sedang patah Akankah Tika kembali merasakan percikan cinta pada lelaki yang disodorkan oleh Sang Ibunda atau pada seorang duda yang sepaket dengan dua boneka orientalnya
XIII-A
726      540     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Rumah?
54      52     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Yang Tertinggal dari Rika
1552      901     10     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Merayakan Apa Adanya
402      289     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.