"Terkadang aku iri dengan Senja, ia cantik alami tanpa sentuhan make-up. Begitu banyak orang yang memujanya, aku hanya bagian dari bayangan Senja yang tidak pernah mereka anggap." (Nuansa Langit Biru)
***
Kami tidak mau menjalankan tugas dengan si buruk rupa.
Hiiii, wajah kamu menyeramkan! Kami tidak mau makan bersama kamu. Pindah sana!
Jangan main bareng sama dia, anak monster, lihat tompelnya mengerikan!
Kenapa harus satu kelas sama tompel?
Bocah perempuan berusia tujuh tahun itu hanya bisa menenggelamkan wajahnya di atas meja. Ia menangis tanpa suara di dalam kelas yang sudah sepi. Saat mereka sudah pulang, ia baru bisa mencurahkan isi hatinya melalui tangisan. Di depan semua orang, ia akan diam dan tampak baik-baik saja. Membiarkan semua orang menjauhinya.
Apalagi semua orang menjulukinya si buruk rupa hanya karena tanda lahir berbentuk awan, berwarna kecoklatan di pipinya. Tidak ada yang menerima kehadirannya, termasuk orang tuanya.
Hanya Senja yang menerima kehadirannya. Hanya Senja yang selalu menenangkannya saat menangis. Senja selalu menghiburnya.
Senja memang cantik, tidak seperti dirinya. Oleh karena itu, dia tidak bisa membenci Senja. Sejak di dalam kandungan, mereka telah tumbuh dan berkembang bersama.
“Biru, ayo pulang. Sudah sepi.”
Ia menegakkan tubuh dan mengusap air mata yang sudah kering. Mengerjapkan mata berkali-kali, kemudian menatap polos pantulan dirinya. Senja sudah datang menjemputnya.
"Kenapa kamu menjemputku? Kamu pulang saja. Kalau ada yang lihat, kamu bisa diejek karena berteman sama aku." Biru mendorong pelan lengan Senja.
"Nuansa Langit Biru, kamu kembaranku. Ayo pulang bareng! Nanti kita mampir beli es dung-dung biar kamu nggak sedih lagi."
Biru mengangguk dan membawa tas ransel berwarna biru muda yang sudah kumal. Tidak seperti tas ransel milik Senja yang terlihat masih baru. Tas yang dipakai Biru adalah bekas Senja.
“Biru, nanti kalau sudah besar kamu harus jadi kayak Senja ya, biar gak ada orang yang mengejek kamu lagi. Biar papa dan mama sayang sama kamu.”
Biru hanya mengangguk menanggapi ucapan saudara kembarnya.
Sembilan tahun kemudian …
Biru membuka kedua matanya dan menatap cermin dengan tidak percaya. Kemudian ia melihat ke samping, tepat dimana Senja sedang tepuk tangan dan berjingkrak senang karena telah menciptakan mahakarya yang sempurna. Senja langsung memeluk Biru erat-erat.
“Biru, nggak sia-sia aku beli make-up mahal-mahal biar bisa nutupin tanda lahirmu. Lihat, kita bagai pinang yang terbelah jadi dua. Perfect .”
Senja tidak lupa mengajak Biru selfie mirror bersama. Kemudian, Senja menggambar tanda lahir Biru di pipinya. Biru tercengang, tidak mengerti, mengapa Senja menggambar tanda lahir untuk menjadi dirinya yang tidak pernah dianggap banyak orang.
Senja tersenyum ke arah Biru. “Mulai hari ini kita akan sering bertukar posisi. Jangan sampai ketahuan.”
"Jangan, Senja. Kalau kamu jadi aku, kamu akan sendirian, nggak akan ada yang melihat kamu sebagai manusia."
Biru berlari mengejar Senja yang sudah keluar dari kamarnya. Penampilan Senja dengan seragam dan kumal miliknnya, berbanding terbalik dengan Senja yang dulu. Melihat Senja seperti itu, ia merasa khawatir. Bagaimana kalau Senja tidak bisa menghadapi orang-orang di luar sana yang tidak baik? Apakah Senja bisa pura-pura diam dan tidak peduli? Mengingat kepribadian Senja yang sangat bertolak belakang dengan dirinya.
Biru meraba pipinya, ia bertanya-tanya apakah menutupi tanda lahirnya menggunakan make-up dengan teknik yang diajari Senja, orang-orang bisa menerima keberadaannya? Biru menarik napas dalam-dalam, meyakinkan dirinya sendiri dan bergegas pergi ke tempat sekolah Senja. Kalau Biru bisa melihat Senja sangat mirip dengannya, pasti orang-orang akan percaya kalau dirinya adalah Senja.
Senja, kalau sampai ini gagal. Aku tidak mau bicara sama kamu selama dua minggu.