Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 2 - Ark Kontroversi
MENU
About Us  

—Orang Ketiga
    Satu hari yang kacau telah berlalu setelah tertangkapnya siswa jenius dari tahun kedua bernama David yang diduga adalah pelaku utama dibalik peristiwa kerusuhan.
    Menurut pengakuannya, alasan utama mengapa dia melakukan hal di luar batas itu tidak lain adalah untuk melepaskan stres, sekaligus menghilangkan rasa bosan akibat merasa menjadi murid keterbelakangan. Meskipun dirinya jenius, ada lubang kosong di hatinya yang membuatnya harus menentang kurikulum baru di tahun ini.
    Dia merasa bahwa 'kesetaraan' yang ada di sekolah futuristik dari tahun ke tahun mulai hilang, menimbulkan kesenjangan yang dipandang sebelah mata oleh umumnya murid superior. Karena dirinya merupakan siswa yang memiliki kepedulian akan nasib murid yang berasal dari jurusan sama dengannya, itu membuatnya muak, sehingga timbulah aksi tersebut. Namun, meskipun telah mengakui semua hal itu, masih ada 6/10 anggota besar OSIS yang tidak mempercayai ceritanya, juga ada pula yang langsung mengecapnya sebagai bentuk kebohongan, berharap mereka bersimpati dengan meringankan hukuman untuk anak otomotif yang terlibat.
    Dari sudut pandang OSIS yang tidak mengetahui sosok sebenarnya dari siswa bernama David itu, pasti akan langsung menduganya sebagai anak bermasalah seperti yang umumnya dipandang. Seperti dalam sidang yang dilakukan esok harinya, sekarang... di dalam gedung OSIS yang berada di sisi barat dari area utama bagian utara, memperlihatkan sosok David yang berada di tengah-tengah para pembesar OSIS, termasuk ketua OSIS juga hadir di sana.
    "Atas nama orang yang mendalangi aksi kerusuhan, David. Apakah dari seluruh cerita yang kau sampaikan itu memang fakta? Ataukah hanya kebohongan? Katakanlah sejujurnya sebelum hukumanmu dijatuhkan," kata ketua OSIS, menatap tajam ke arah David yang dipaksa duduk di tengah-tengah.
    "Kalau begitu tidak ada gunanya meskipun aku mengatakannya, kan. Pada akhirnya aku juga akan menerima hukuman," kata David, dengan nada meremehkan.
    "Kau masih berani membuat alasan di dalam kondisi seperti ini? Lihatlah posisimu sekarang!" Kata ketua divisi lima OSIS, sedikit terpicu amarah melihat sikapnya.
    "Tenanglah Ben. Kita harus lebih berkepala dingin untuk menghadapi siswa seperti dia. Bersabarlah," kata ketua divisi tiga OSIS, tampak tenang menasehatinya.
    "Yah... meskipun sudah kuceritakan semuanya, aku tidak berharap kalian mempercayainya," kata David, tersenyum remeh.
    "Apa tujuanmu?" Tanya ketua divisi tiga OSIS.
    " ... Singkatnya, aku hanya ingin mengkritik kebijakan kalian dalam hal kesetaraan," jawab David.
    "Perlu kau pahami, manusia itu memiliki pemikiran yang hampir tidak punya kesetaraan. Ada yang lebih unggul, juga ada yang tidak. Apa kau sudah mempertimbangkan hal tersebut sebelum melakukan aksimu?"
    "Tentu saja."
    "Lantas mengapa?"
    "Hmp, ternyata kalian juga bisa buta ya," kata David, tersenyum percaya diri.
    "Apa?"
    "Mungkin kalian tidak merasakannya karena kalian tidak pernah mengalaminya langsung. Aku sendiri juga merasa cukup menyesal karena masuk di sekolah ini. Meskipun standar masuknya lebih tinggi daripada sekolah negeri, tapi bagi orang seperti kami yang hanya ingin lulus dari sini untuk mendapatkan rekomendasi pekerjaan, kesetaraannya sudah berada di level yang berbeda. Seolah-olah, sekolah ini menerapkan aturan akan mendiskualifikasi murid yang tidak punya potensi berkembang, juga memaksa melakukan hal yang berhubungan dengan pembelajaran ketat. Perlu kalian catat, cara pemaksaan tersebut tidaklah efektif untuk kami. Sekarang setelah mengatakan ini, seharusnya kalian bisa memahami maksud yang ingin kusampaikan, bukan," kata David, sedikit serius, juga separuh santai.
    Sebelum ada yang berbicara, kondisi lengang terjadi selama kurang lebih lima detik sebelum pada akhirnya ketua OSIS sendiri yang memberikan tanggapan. 
    "Yang kau katakan semua itu bukankah hanya keegoisan kalian sendiri. Kami membuat konten pembelajaran itu bukan untuk menyulitkan kalian, melainkan bentuk upaya mengembangkan potensi kalian. Andaikan kalian masih merasa tak dapat mengatasinya, maka itu adalah salah kalian sendiri karena tak dapat melakukannya. Hasil yang sempurna itu memerlukan pengorbanan yang besar. Jika tidak ada kerjasama di antara kita, bagaimana bisa maju?"
    "Aku sangat mengerti maksud perkataanmu. Tapi yang kami permasalahkan bukanlah bagian itu," kata David, menggeleng.
    "Dia ini sulit sekali dibuat mengerti! Kenapa tidak menurut saja!" Bentak ketua divisi lima OSIS, semakin geram mendengar alasannya.
    " ... Hanya untuk memastikan, kau tidak terlibat dengan peristiwa tahun lalu kan?" tanya Ketua OSIS, tiba-tiba mengalihkan topik.
    Mendengar pertanyaan tersebut, David tersenyum licik, lantas tertawa geli. Tentu saja para pembesar OSIS yang melihatnya akan dibuat heran dengan sikapnya yang sangat mencurigakan dan tidak jelas itu.
    "Apa mungkin kau...."
    "Tidak. Tepatnya bukan aku yang menjadi 'otak' di tahun lalu ... melainkan seseorang yang lebih gila lagi. Dia sudah berhasil lulus dari sekolah ini," kata David, sekali lagi memandang remeh mereka.
    "Bagaimana kau tahu?" Tanya Reno, anggota divisi dua OSIS dengan spontan.
    "Karena pada saat menjelang hari kelulusannya kemarin ... aku-lah yang memecahkan misterinya!" Seru David, mengepalkan tangan, tiba-tiba menjadi antusias seperti ilmuan gila.
    "Siapa namanya? Lanjut tanya Reno.
    "Heh... kalian pasti sudah mengenalnya. Dia adalah Farhan!"
    Saat nama itu disebutkan, seketika mereka semua tertegun, seolah tak dapat mempercayainya. Hanya dengan perkataan itu, suasana berubah memanas teruntuk David.
    "Mantan ketua OSIS tahun lalu," lanjut kata David, sengaja lebih memperjelas.
    "Kau tidak asal bicara kan?" Tanya Reno, menyelidik.
    "Inilah reaksi yang sudah ku tunggu-tunggu. Kupikir aku tidak akan pernah mengatakannya karena kukira dapat menempati kursi OSIS. Tapi kalian memkasaku bicara, sekalian saja ku beritahu faktanya."
    "...."
    "Kalian melakukan kesalahan besar dengan memkasaku berbicara. Kalian salah mengira dengan anggapan aku tidak tahu apapun. Padahal, aku punya sebuah fakta yang bisa membuat reputasi sekolah ini rusak karena celah itu," kata David.
    "Jadi kau sudah merencanakannya ya," kata ketua OSIS, sama sekali tidak menurunkan pandangan tajamnya.
    "Sekarang... bisakah aku keluar dari sekolah mengerikan ini?" Ujar David.
    Itulah yang terjadi selama persidangan di keesokan harinya.... 
    Lantas, setalah beberapa hari kemudian, murid jenius tahun kedua yang bernama David ... telah lenyap keberadaannya.
    Seolah sosoknya telah menjadi panutan bagi anak otomotif untuk lebih jujur melakukan segala sesuatu tanpa memendamnya, ini akan sangat berpengaruh dalam perubahan di lingkungan sekolah futuristik pada masa depan.
    Entah apakah peristiwa tersebut akan terulang kembali... itu akan menjadi ancaman bagi anak OSIS yang berupaya melindungi nama baik sekolah.
                                                    ***
—Rafa
    Selama beberapa hari ini, perubahan besar telah terjadi di lingkungan sekitarku. Seperti di dalam kelas, terlihat kelompoknya Mirza telah berbaikan satu sama lain dengan seluruh murid yang penah dia sakiti. Tak terkecuali Amelia yang dulu pernah dibuatnya putus asa.
    Roda kehidupanku kini kembali berputar.... 
    Baik anak otomotif maupun anak dari jurusan lain, mereka sama-sama memiliki keunggulan tersendiri. Meskipun begitu, masih ada beberapa murid yang memperjuangkan idealismenya dengan cara yang salah.
    Memang tak semuanya dapat berubah, tapi dengan adanya peristiwa yang telah terjadi, mereka akan belajar bahwa setiap orang pasti memiliki masalah dan juga rintangan tersendiri. Untuk menanggulanginya, mereka perlu beradaptasi dengan lingkungan, memanfaatkan segalanya dengan waktu yang tersisa di sekolah futuristik ini.
    Bagi anak otomotif, kehidupan sekolah mereka mungkin lebih berat dari yang kami pikirkan. Mereka dipaksa melawan kebodohan di tengah perkembangan zaman yang semakin pesat. Hal yang seharusnya mudah bisa menjadi rumit karena keterbatasan akal. Bagaimanapun juga, dunia tak akan mungkin bisa selalu sama. Meskipun bentuknya tidak akan berubah selama berabad-abad, namun isinya akan terus mengalami perubahan hingga mencapai titik yang dimana 'tidak ada sesuatu yang bisa ditemukan lagi'. Ini teori sederhana.
    "Uh... kenapa harus hari ini," kataku, bersungut-sungut sembari menatap ponsel di kelas pada jam istirahat.
    "Hei kau yang di situ!"
    Mendengar perkataan itu yang sepertinya ditujukan kepadaku, sekilas aku menoleh.
    Sungguh panggilan yang tidak diduga... orang yang memanggilku itu rupanya adalah ketua kelas Amelia. Dengan raut wajah serius, dia terus menatap ke arahku.
    "Bukankah dia memanggilmu," kataku kepada Fito, siswa yang duduk sebangku denganku yang kini sedang fokus menatap ponselnya.
    "Eh... tidak tidak. Mana mungkin ketua kelas memanggilku," bisik Fito, dengan panik menyangkalnya setelah sesaat menoleh ke arah Amelia yang masih menatap.
    "Mungkin saja," kataku.
    "Ah! Aku ingat ada hal yang perlu kulakukan. Permisi!" Kata Fito, buru-buru kabur dari situasi ini.
    Sial... sekarang aku kehilangan sesuatu yang dapat melindungiku. Jika tadi aku berpura-pura tidak melihatnya, mungkin sekarang bisa terlepas dari situasi ini. Karena ada beberapa hal yang terjadi belakangan ini, aku telah menjadi sangat lengah.
    "Aku memanggilmu, kau dengar tidak!" Seru Amelia, kini sukarela datang ke mejaku.
    Beruntung saat ini dia tidak bersama kelompoknya, jadi tidak ada yang terlalu memperhatikannya saat dia memanggil. Sebagai respon, aku mengangguk.
    "Kau bisa bicara kan," sindir Amelia, melotot, mendengus sebal. "Aku tahu kau ini orangnya sangat pendiam, jadi santai saja denganku," ujarnya.
    Bukankah selama ini di kelas tidak ada seseorang yang tertarik berbicara denganku? Sekarang aku jadi bertanya-tanya, darimana dia mendapat informasi tentangku... tidak, kalau tebakanku benar seharusnya itu sudah jelas. Mengingat kejadian sebelumnya, dia mungkin telah banyak berinteraksi dengan Cika sampai-sampai menyebutkan ekstensiku. Kuharap dia tidak menyampaikannya dengan berlebihan.
    "Kau mendengar dari Cika? Sepertinya kalian sudah jadi akrab," kataku, mencoba berbicara santai dengannya untuk pertama kali.
    "Menurutku begitu. Dia itu orang yang agak unik. Saat pertamakali mengenalnya, aku bahkan tidak menyadari bahwa ternyata dia orang yang sangat terbuka. Tapi terkadang dia juga agak canggung....." tanpa sadar, Amelia terus membicarakan tentang Cika.
    Yeah, sepertinya Cika juga baik-baik saja bila sampai semudah itu menerima ketua kelas sebagai temannya. Meskipun itu tidak ada kaitannya denganku, kupikir aku merasa sedikit kagum dengan pencapaiannya yang perlahan-lahan mendapatkan banyak teman.
    "Oh! Sepertinya aku berbicara terlalu banyak, membicarakannya sampai lupa dengan tujuan utamaku," kata Amelia, tiba-tiba mengerem perkataan. "Sebenarnya aku hanya ingin mengucapkan terimakasih kepadamu. Selama terjadinya kekacauan di dalam kelas, diam-diam kau sudah beberapa kali menyelamatkan kelas kan. Aku mendengar semua dari Cika," lanjut kata Amelia.
    "Dia berlebihan. Aku hanya menganggap itu sebagai tujuan utamaku sendiri," kataku.
    Mendengar itu, Amelia tergeletak menutup mulut. "Persis seperti yang dia katakan, kau pasti akan bilang begitu," kata Amelia.
    "...."
    "Yah, apapun tujuan pribadimu, semua yang kau lakukan atas inisiatifmu sendiri itu tidak bisa dipungkiri bahwa telah menyelamatkanku dari kerusakan diriku sendiri. Kalau tidak begitu, aku mungkin sudah menyerah menjadi ketua kelas dari awal masalah muncul," kata Amelia, tampak lega memberitahu itu kepadaku.
    "Kupikir kau adalah ketua kelas yang layak untuk memimpin kelas ini. Aku hanya sedikit membantumu mengingatkan seberapa layaknya dirimu. Pada akhirnya, Cika sendirilah yang berperan besar menyelamatkanmu dari keterpurukan," kataku.
    "Mungkin itu benar. Sekarang aku merasa beruntung punya teman di kelas seperti dirinya," kata Amelia, melihat bangku Cika yang tidak ada orangnya. Entah kemana dia.
    "Biar sekalian kutanya, bagaimana dengan Mirza?" Tanyaku, melihat kesempatan ini untuk memastikan.
    "Sekarang dia sedang menjalani hukumannya di RKB. Sepertinya itu akan berlangsung selama 4 bulan penuh."
    "Kalau itu aku sudah tahu. Yang ku tanyakan adalah hubunganmu dengannya sekarang," kataku.
    "Oh, ya. Di hari itu dia langsung meminta maaf kepadaku saat kami bertemu di area utama bagian tengah. Aku ingat dia juga berkata, kalau kau telah memukul wajahnya saat bertemu. Apa itu benar?" Tanya Amelia, bahkan sampai menyangkut pautkanku juga.
    "Sayangnya begitu. Apa sekarang waktunya memberikan teguran?" Balas tanyaku. Separuh bercanda, separuh menyindir.
    "Kau memang siswa yang menarik. Mungkin aku bisa memberimu salah satu posisi penting di kelas ini," kata Amelia, tersenyum licik.
    "Maaf tapi aku harus menolaknya," kataku cepat tanggap.
    "Kenapa?" Dia tampak kecewa.
    "Dilihat juga tahu kan," kataku, lantas berdiri.
    "Aku tidak tahu!" Serunya.
    "Kalau tidak tahu jangan coba dicari tahu," kataku, sebelum meninggalkannya keluar dari kelas.
    "T-tunggu! Apa maksud ucapanmu itu? hei! setidaknya berilah beberapa penjelasan!" Kata Amelia, tak ku dengar seruan-nya di belakang.
    Baru berjalan beberapa langkah meninggalkan kelas, dari arah berlawanan, sempat kulihat kelompoknya Cika yang terdiri dari 4 siswa perempuan termasuk orangnya sendiri, berjalan hendak menuju ke kelas.
    Saat pandangan Cika tak sengaja bertemu mataku yang sedang memperhatikan, dia hendak menyapa... namun segera mengurungkan niat, usai mengetahui bahwa aku berpura-pura tidak melihat, ataupun mengenalnya. Itu mungkin yang seharusnya dia duga saat aku memalingkan wajah.
    "Ada apa Cika?" Tanya salah satu temannya di belakang.
    "Tidak... tidak ada apa-apa," kata Cika, nada suaranya terdengar ragu.
    Yeah, mungkin saja Cika akan kecewa padaku mengingat dia sudah banyak membantuku di saat, dan sebelum terjadi kekacauan. Mungkin seharusnya aku mengucapkan terimakasih kepadanya lebih awal... tapi mau bagaimana lagi... aku tidak punya ketertarikan untuk melibatkan diri dalam komunitasnya.
    Sejak awal aku sudah menduga kalau Cika pasti akan mampu mengatasi masalah kepribadiannya sendiri, seiring berjalannya waktu. Dia hanya membutuhkan sedikit dorongan untuk tetap konsisten pada keyakinan tersebut.
    Sekarang, dia bukanlah Cika yang introvert seperti pada awal kami bertemu... dia sudah berkembang dan sosoknya telah berevolusi menjadi kepribadian yang mendekati ekstrovert. Itu adalah kemajuan dalam hidupnya, dan aku tidak ada kaitannya dengan perubahan itu. Jadi apakah mulai dari sini secara otomatis aku akan mulai menjauhinya? ... Kemungkinan tersebut juga ada.
                                               ***
    Di jam istrahat kedua, aku berjalan ke suatu tempat yang sudah dijanjikan seseorang. Tepatnya di halaman belakang sekolah, sekitar set meja bangku bersantai.
    "Hei! di sini!" suara seorang perempuan, memanggilku dari jarak tak jauh ku memandang sekitar.
    Melihat kedua siswi yang sudah tak asing tersebut, aku segera berjalan ke arah mereka. Kalau boleh jujur... rasanya sungguh aneh melihat kedua siswi ini yang sedang bersama. Ku tebak mereka pasti sudah lebih akrab sekarang.
    "Wow, melihat kalian sudah lebih akrab ini membuatku merinding," kataku, begitu mereka melihat.
    "Ha? Akrab darimananya? Kami di sini hanya sebatas karena punyatujuan yang sama. Itu saja, paham?!" menekan hal tersebut, Sania menatapku tajam seolah hendak membunuhku.
    "Ya, aku mengerti, terserah saja, lanjutkan, dan selesaikan dengan cepat," kataku, lantas memaksakan diri untuk segera duduk di antara mereka berdua.
    "Kenapa terburu-buru begitu, apa kau memiliki acara lain?" Tanya Sherly yang duduk disisi lain Sania.
    "Ya. Acara tidur siang," tanggapku.
    "Berarti kau senggang kan," respon Sania, datar.
    "Yah, mari kesampingkan itu dulu. Berhubung waktu kita terbatas, kita bisa lansung ke intinya," kata Sherly, mengalihkan.
    "Kau ingin aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam gedung kan? Bukankah lebih sederhana kalau membicarakannya lewat ponsel," kataku.
    "Tidak. Membicarakannya langsung dengan tatap muka itu lebih efektif. Karena di sini... bukan aku saja yang ingin tahu detail kejadiannya," kata Sherly, melirik Sania.
    "Kurang lebih aku sudah paham dengan apa yang terjadi di dalam gedung. Hanya saja, aku masih bingung dengan kronologinya. Seperti, mengapa semua itu bisa terjadi secara merangkai? Dan, kenapa bisa ada kekacauan di antara kakak kelas? Itu yang ingin ku dengar," kata Sania.
    "Kau sengaja tidak menjelaskan bagian itu lebih dulu kepadanya kan," kataku, melihat Sherly yang sekarang menjulurkan lidah.
    "Apa! jadi sejak awal kau sudah tahu penyebabnya?! Grr... kenapa tidak bilang! jika tahu seperti itu, aku tidak perlu repot-repot datang kesini!" Bentak Sania, geram melihat sikap Sherly.
    "Huhuhu... reaksimu sungguh menarik," kata Sherly, tergelak menertawakan. "Yah, kita akan segera tahu versi lengkapnya dari laki-laki ini. Bagaimanapun juga, dia yang lebih banyak aktif, berperan di balik peristiwa itu tanpa di sadari banyak orang," Sherly licik menatapku.
    "Jadi dari awal kau ingin memanfaatkanku sebagai informan ya," kataku, meresponnya.
    "Anggap saja seperti itu," kata Sherly ber-pingpom pelan.
    Ini agak menjengkelkan. Dimanapun dia berada, iblis kecil ini tak henti-hentinya memanfaatkan orang agar semua bisa berjalan sesuai alur. Yah, mungkin itu juga merupakan sebagian dari kesalahanku karena sebelumnya telah berkontak dengannya.
    "Aku tidak akan mengulangi penjelasanku, jadi dengarkanlah baik-baik," kataku setelah mengela nafas.
    "Kenapa tidak langsung mulai saja, dasar lemot," kata Sania, seperti biasa mulutnya pedas.
    "Sebelum peristiwa itu terjadi, kalian pasti sudah tahu tentang murid yang 'memberontak' di kelas masing-masing kan," kataku.
    "Tentu saja. Itu sangat mencolok untuk dilihat. Jadi apa hubungannya dengan peristiwa itu?" Tanya Sania, kelihatannya masih belum menyadari 'detail kecil' itu.
    "Kau tidak mengintrogasi siswa pemberontak di kelasmu? Kudengar siswa itu diam-diam menyabotase kelas," kataku.
    "Ha? Darimana kau tahu?" Sania seolah tak percaya. Bola matanya membelalak sempurna.
    "Sudah kuduga kelasmu juga merahasiakannya ya. Kebetulan, aku punya kenalan dari kelas lain yang bisa memberiku informasi eksternal," kataku, melirik Sherly.
    "Sudah kubilang kan, dia ini berperan aktif dalam kasus ini. Jadi tidak heran kalau rahasia seluruh kelas bisa dengan mudah dia bongkar untuk mencapai tujuan," kata Sherly, melambaikan tangan.
    Iblis kecil di depanku ini semakin memperumit situasi saja. Selain licik, dia juga jago berakting rupanya. Padahal dia sendiri yang ku maksud kenalan dari kelas lain itu ... aku sengaja tidak menyebutkannya karena bisa jadi itu masih dalam kesepakatan kami untuk saling merahasiakan situasi masing-masing.
    Dengan meringkas ceritaku dan menyampaikannya kepada kedua perempuan yang saat ini duduk didepanku, aku berpacu dengan waktu istirahat yang tersisa. Hampir lima belas menit berlalu ... kuceritakan semua yang terjadi, sampai pada detail kerusuhan terakhir di gedung panorama meledak. Kecuali ada beberapa bagian yang sengaja tidak kuceritakan, seperti perkelahianku dengan Mirza, juga pertemuanku dengan Mbak Tia.
    " ... itu semua inti dari yang terjadi. Setelahnya kau sudah tahu sendiri kan," kataku kepada Sania.
    "Apa mereka benar-benar membuat kekacauan sebesar itu hanya untuk melepaskan rasa bosan? Itu cara yang bodoh!" ketus Sania.
    "Disisi lain kita juga tidak bisa menyalahkan mereka kan. Rasa bosan itu bisa terjadi kapan, dimana dan dalam situasi apa saja. Saat seseorang merasa dirinya tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ketat, itu wajar bagi mereka yang sejak awal memang punya pemikiran yang bebas untuk melepaskan diri dari sesuatu yang menjerat," kataku.
    "Perkataanmu seperti hendak membela mereka," kata Sania, melotot mencurigaiku.
    "Yah, dengan kata lain, mereka yang punya pemikiran seperti itu mungkin merasa tidak cocok berada di sekolah ini..."
    "Karena itu, mereka jadi setuju dengan gagasan yang dibuat Kakak kelas itu kan," kata Sherly, menyela.
    Tanpa merespon, kepalaku yang berpangku tangan sepintas menoleh ke arah lain, mengabaikan.
    Biar bagaimanapun, semua kondisi itu sekarang telah berubah. 
    Sejak kabar Kakel yang bersama Gesa waktu di gedung menghilang, ekstensi anak otomotif juga tidak semencolok seperti sebelumnya. Meskipun ada beberapa dari mereka yang masih aktif melakukan kenakalan, itu hanya sebagian kecil dari mereka yang melakukannya, tidak terlalu berdampak. Mereka tak dapat melakukannya lagi dengan terang-terangan. Alasannya sederhana ... itu karena pelindung mereka sudah tidak ada lagi. Sampai lahirnya sebuah mayoritas, mereka akan tetap stagnan untuk saat ini.
    "Hoi! sudah lama tidak bertemu. Apa kau masih mengenaliku?"
    Tiba-tiba saja, seseorang merangkul leherku dari belakang sambil menanyakan itu kepadaku. Sama seperti sebelumnya, orang ini punya 'aura mengintimidasi' yang bisa dirasakan hanya dengan berada di jangkauan matanya.
    " ... Apa maumu? Gesa," kataku, dengan perasaan tidak terlalu senang melihatnya.
    "Kau..." Sania lantas menatapnya tajam. Jelas dia akan melihatnya sebagai musuh.
    "Wow, perempuan ini agak menakutkan," kata Gesa, dengan nada 'seperti' bercanda.
    "Memangnya karena ulah siapa," sindirku.
    Aku tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini dia sering mendekatiku saat kebetulan bertemu. Kupikir urusan kami akan selesai begitu saja tanpa meninggalkan kesan khusus yang terjadi selama di atas gedung ... tapi sepertinya itu tidak begitu. Entah apa yang dia harapkan dengan mencoba mendekatiku, harus ku waspadai bahwa orang ini bisa menjadi berbahaya andai tidak ada yang mengawasi. Selama ada kemungkinan dia akan mengikuti jalan yang sama dengan Kakel bernama David itu, dia masih menjadi ancaman bagi sekolah futuristik ini di masa depan.
    "Apa kau sudah tahu keberadaan Kakak kelasmu itu sekarang?" Tanyaku, memastikan dia mungkin sudah mendapat informasi.
    "Sepertinya dia memang sudah tidak ada lagi di sini. Yah, itu tidak mengherankan karena dia sudah membuat keributan sebesar itu. Meski dia telah membawakan prestasi besar untuk sekolah ini, pada akhirnya semua pencapaiannya tidak membuahkan apapun," jawab Gesa.
    "Tidak, kau salah mengartikannya. Pencapaian itu bukanlah sesuatu seperti jaminan yang akan membuatmu kebal terhadap aturan, itu fakta dari sekolah futuristik ini. Kalau bukan karena itu, pihak sekolah mungkin akan memberinya kompensasi untuk semua murid yang terlibat, sekaligus dalangnya," kataku.
    "Kau mungkin benar. Kalau tidak, mana mungkin mereka akan memberlakukan ini," kata Gesa, menujukkan layar ponselnya yang tertuju pada sesuatu.
    Terlihat di situ, ada 'poin kesiswaan individu' yang sudah pernah dijelaskan dari beberapa minggu yang lalu. Seperti umumnya sebuah data ranking, atau sebuah raport 'sementara', di situ dapat dilihat angka-angka yang muncul pada kolom poin kedisiplinan, poin kesopanan, serta poin yang berhubungan dengan etika moral siswa sejenisnya. Lantas semua angka tersebut akan diakumulasikan langsung oleh sistem dan menilai siswa secara otomatis. Mirip seperti penilaian predikat. Di zaman sekarang, nilai terbaik bukanlah predikat 'A', melainkan 'S'. Jika melihat dari urutan yang terendah ada, E, D, C, B, A, dan S. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengetahui apakah murid tersebut termasuk inferior atau superior. Namun sayangnya, 'poin kesiswaan individu' itu hanya bisa dilihat oleh murid dengan akunnya sendiri, serta guru yang memang telah memegang seluruh akun murid untuk dinilai secara langsung. Dengan kata lain, wali kelas kami sendiri yang akan memberikan predikat, sesuai dengan pengamatannya terhadap murid di kelas. Itu bisa jadi penilaian subjektif.
    Dapat kami lihat, poin kedisiplinan Gesa berada di angka 6 dengan predikat E. Sepertinya dia juga bernasib sama dengan Mirza, harus menjalani hukuman RKB untuk menaikkan poinnya. Meski kemungkinan poin Mirza tidak sampai serendah itu, jika predikatnya masih E, dia akan terus menjalani hukuman RKB hingga predikatnya naik, setidaknya ke D. Perlu diingat bahwa menurunkan poin di sini lebih mudah daripada menaikkannya. Jadi sebagai siswa yang ingin mendapatkan hasil baik, kami setidaknya harus konsisten menjaga 'poin kesiswaan' agar tidak turun predikat.
    "Di dalam ruangan itu sungguh seperti di neraka. Mereka yang sebelumnya terlibat juga tidak sedikit, itu membuat suasana sangat panas," keluh Gesa.
    "Oh."
    "Kelihatannya kau sama sekali tidak tertarik," kata Gesa, menyelidik ekspresiku.
    "Lalu apa semua di sana digabung menjadi satu dari angkatan lain juga?"
    "Seperti itulah. Tapi karena banyaknya siswa yang dihukum, semua ruang RKB hampir penuh."
    Seperti yang kuduga, ruang RKB sendiri itu cukup terbatas. Jadi bagi mereka yang tidak mendapatkan tempat duduk, aku yakin sebagai gantinya pihak OSIS akan menghukum mereka dengan cara lain.
    "Hei, kapan-kapan bagaimana kalau kau ikut nimbrung di kelasku," kata Gesa, mencoba mengajakku, padahal dia sendiri pasti tahu bahwa aku akan menolak ajakannya.
    "Sayangnya tempat seperti itu tidak akan pernah cocok untukku. Terimakasih sudah repot-repot mengajak, tapi aku harus menolak," kataku, menggeleng.
    "Aku bercanda. Tidak mungkin kau mau melakukannya kan."
    "Bukannya tidak mungkin, lebih tepatnya tidak ingin," lanjutku mengoreksi.
    Mendengar itu, Gesa tidak membalas perkataanku lagi, melainkan melepas rangkulan tangannya di leherku, kemudian menepuk pundakku.
    "Kalau kau tidak keberatan..." dia tiba-tiba menujukkan layar ponsel, dan dengan cepat aku mengerti maksudnya.
    "Aku tidak mengharapkannya untuk saling berkomunikasi denganmu. Tapi jika hanya sebagai jalur informasi, aku akan menerimanya, " kataku, seolah membentuk kesepakatan.
    "Kau memang licik ya," kata Gesa.
    "Tidak selicik orang di depanku," kataku, sekilas melihat Sherly yang terus mengamati obrolan kami, tentu saja dengan ekspresi yang sama layaknya penonton yang sangat menikmati sebuah pertunjukan.
    Gesa sekilas melihat Sherly yang begitu tenang, lalu kembali memperhatikanku ... menungguku memasukkan nomor ponselnya yang sudah ku ingat dalam sekali lihat.
    "Sebelum itu aku minta maaf karena mengganggu kencan kalian. Silahkan dilanjutkan," mengatakan itu, dia menaruh ponselnya kedalam saku, lalu bergegas pergi, meninggalkan kami begitu saja, usai bertukar nomor kontak.
    "Kenapa kau malah mau berhubungan dengannya? Kau lupa yang terjadi di atas gedung waktu itu?!" Seru Sania, melotot kesal.
    "Selama masih bisa dimanfaatkan, aku akan berhubungan dengan siapapun. Bahkan dengan iblis sekalipun," kataku, masih melihat punggung Gesa dari kejauhan.
    "Kau... sepertinya ada yang salah dengan kepalamu," kata Sania, menatapku tajam.
    " ... Benarkah? Dimana yang salah?" tanyaku, balik menatapnya.
                                                   ***
    Setelah menjelaskan semuanya dengan panjang lebar kepada mereka berdua, kami berpisah saat waktu istirahat hampir selesai.
    Baru perjalanan menuju ke kelas, lonceng tanda masuk berbunyi... mendengar itu, aku sedikit mempercepat langkahku.
    Seperti biasanya, ketika jam menujukan pukul 14:30 siang, KBM selesai. Lorong yang tadinya sepi, sekarang telah dipenuhi banyaknya siswa dari kelas masing-masing. Sebagian dari mereka ada yang langsung pulang, sebagian juga ada yang berkumpul lebih dulu bersama teman-temannya, merencanakan akan pergi ke suatu tempat.
    Diperjalanan keluar, diam-diam aku mengamati mereka. Hanya melihat, tanpa berinteraksi. Itu yang sering kulakukan selama ini. Mungkin karena hal tersebut, aku terlihat seperti orang pendiam. Karena pada dasarnya, tidak ada yang membuatku tertarik dengan percakapan mereka. Semua yang kudengar seperti mendengar iklan di dalam TV ... itu sama sekali tidak membuatku termotivasi.
    Setelah meninggalkan aula gedung sekolah lewat pintu belakang, tidak ada pertemuan khusus yang terjadi... itu bagus. Sepertinya semuan sudah kembali normal. Berbeda dari sebelumnya yang dimana-mana anak otomotif justru terlihat mencurigakan, lebih aktif ekstensinya di luar, kini mereka sudah terlihat jarang-jarang, tidak sebanyak yang bisa ku lihat dua minggu yang lalu.
    "Huh..."
    Saat berada dalam perjalanan hendak menuju ke asrama, bidang mataku sedikit teralihkan saat melihat sesuatu yang tidak bisa tidak membuatku melihatnya. Dari arah berlawanan, kulihat ada Bu Milan yang sedang berjalan bersama dengan siswa berjas hijau di sampingnya. Yang membuatku sedikit penasaran bukanlah sosok Bu Milan, melainkan siswa yang berjalan di sampingnya. Karena kami berjalan satu arah dari arah berlawanan, tentu saja kami akan bersimpangan.
    "Bukannya kau Rafa," kata Bu Milan, sedikit terkejut melihatku berjalan sendiri di depannya.
    Karena beliau sudah terlanjur menyapaku, kupikir aku harus memberinya salam untuk menjaga sopan santun.
    "Selamat sore," kataku, sedikit menundukkan kepala.
    "Kau mau langsung pulang? Tidak pergi ke suatu tempat?" Tanya Bu Milan dengan ramah.
    "Begitulah. Aku hanya akan bersantai dan bermalas-malasan di ruanganku saja," jawabku, berterus terang.
    Kemudian, seseorang yang meresponnya bukanlah Bu Milan, melainkan siswa di sampingnya yang tiba-tiba memotong.
    "Kau masih terlihat sama seperti dulu. Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan arah perubahanmu," kata siswa itu.
    "Itu bukanlah urusanmu," balasku.
    "Eh?! Apa kalian saling kenal?" Bu Milan bertanya-tanya keheranan melihat kami.
    "Mau sejauh mana kau akan mengikutiku?" Tanya 'orang itu'.
    " ... Sampai bisa mengunggulimu," kataku
    "Kenapa kau sampai sejauh itu? Dulu sudah kubilang kan, aku yang akan melakukannya."
    "Keadaan sudah berubah. Semuanya tidak seperti dulu lagi. Hanya diam mengikuti perkataanmu, itu tidak akan ada hasilnya."
    " ... Bagaimana dengan Rina sekarang?"
    "Tepat setelah kau pergi ... kejadian itu terulang lagi. Sekarang posisiku kurang lebih hampir sama denganmu, aku meninggalkannya agar dia aman."
    "..."
    "Meski aku berkata agar dia aman, mengingat sifatnya yang seperti itu, kemungkinan besar dia pasti akan kesini tahun depan," lanjut kataku. Dia sudah berjalan membelakangiku.
    Kupikir orang yang ku ajak bicara ini akan meninggalkanku begitu saja tanpa merespon apapun perkataanku. Tapi... 
    " ... Andai waktu itu sudah tiba, itu akan menjadi tanggung jawabmu."
    Dengan meninggalkan kata itu, dia berjalan pergi dan menghilang dari pandanganku bersama Bu Milan ... atau lebih tepatnya, aku sama sekali tidak melihat kepergiannya dengan menoleh ke belakang.
    Tidak kusangka akan secepat ini bertemu dengannya. Dia sama sekali tidak berubah, masih tetap sama seperti dulu. Seorang kakak yang dingin dan licik. Selain itu, melihat bad yang terpasang di lengannya, wajar kalau dia sudah menjadi bagian dari OSIS di sekolah ini.
    Sesuatu yang dimaksud 'tanggungjawab' itu sejujurnya cukup menggangguku dan membuatku kesal karena alur ini sesuai perhitungannya. Sekarang bisa kupastikan bahwa dia tahu aku akan kesini... dan selanjutnya pasti dia. 
    Sebelum itu... aku akan mengunggulinya lebih dulu, sebagai bukti bahwa diriku sudah berkembang.
    Aku yang sekarang bukanlah orang yang akan membohongi diriku sendiri agar keberadaanku diterima oleh orang lain ... melainkan sebaliknya, aku akan menjadi orang yang berterus-terang dalam bertindak, juga mengambil keputusan, meskipun orang lain mungkin akan kesulitan menerimanya, itu bukanlah urusanku.
    'Demi mencapai tujuan, dibutuhkan sebuah pengorbanan yang setara dengan hasil'. Begitulah sistem 'hukum alam' di dunia ini berjalan.
    
    ~Berlanjut ke seri-3 "Act Persahabatan"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Call(er)
1096      628     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...