Setelah memberikan pencerahan kepada ketiga siswa 'keberatan', yang pada akhirnya mau menuruti perintah untuk turun ke bawah bersama Kakel tahanan kami sebelumnya, Kak Ren terdiam sejenak merenungkan sesuatu.
Yah... meskipun dia bersikap layaknya orang dewasa yang berkepala dingin, menghadapi setiap permasalahan, tidak dapat dipungkiri andaikan dia sudah merasa 'agak tergoyahkan' dari dalam. Sekecil apapun kerusakan yang dia terima, pasti juga terasa. Itulah bagian diri manusia.
Disisi lain, aku bisa melihat Sania yang berdiri dipojokan, menunggu sambil melihat-lihat sekitar tempat lusuh ini.
Kupikir dari awal, gedung panorama ini sepertinya masih belum bisa dioperasikan. Melihat tampilannya yang terkesan cukup berantakan, itu membuatku yakin.
"Ada apa kau melihatku?" Dia tersinggung saat aku menatapnya.
"Apa mungkin kau tertarik dengan permainan kartu?" Tanyaku terus terang.
"Memangnya tidak boleh? Permainan seperti ini kan sudah populer di mainkan anak muda zaman sekarang," katanya.
Sekilas yang muncul dibenakku ketika mendengarnya adalah reaksi datar, 'oh, benarkah?' Karena aku sendiri sudah tidak begitu tertarik dengan permainan semacam itu 'sejak saat itu' ... meskipun masih mengingat aturan bermainnya.
"Kau ini memiliki kesan yang begitu pendiam. Biar ku tebak, kau pasti adalah tipe orang yang suka sendirian kan?"
Tidak kusangka, dia sampai blak-blakan mengungkapkan kepribadianku hanya dengan 'merasakannya' saja. Perempuan ini lebih berbahaya ketimbang Sherly. Kupikir aku harus menjaga jarak darinya agar tidak dimangsa.
"Bisakah untuk tidak mengungkapkannya secara langsung," kataku.
"Kenapa? tidak suka? menyedihkan sekali ya kau ini," kata Sania, gaya bicaranya semakin menyebalkan.
" ... Terserah," kataku, mengela nafas.
"Kenapa kau tidak membalas perkataanku. Agak menyebalkan membuatku terkesan jahat di sini," kata Sania, sekarang justru tampak kesal sendiri.
"Kalau kau merasa begitu maka berhentilah menghina orang lain. Itu terkesan bodoh," kataku.
"Ha?! Maksudmu aku bodoh begitu?" tampaknya dia salah mengartikan maksud dari perkataanku.
"Yah, mungkin saja," kataku, sengaja memperumit.
Tentu saja... dia tidak terima mendengar respon tersebut dariku. Di tengah Sania dalam kondisi marah-marah di depanku, disaat yang sama Kak Ren memanggil kami.
"Oi, kalian jadi ikut tidak?" Tanyanya.
Tanpa menjawab, aku segera mengikutinya.
"Simpan saja kekesalanmu untuk nanti. Tidak ada gunanya marah-marah di sini," kataku kepada Sania sebelum berbalik mengikuti Kak Ren.
Mendengar itu, Sania akhirnya memutuskan untuk meredamkan amarahnya 'sementara' kepadaku. Ketika aku melihatnya, dia sengaja terlihat cemberut, menekan wajahnya, sambil menyilangkan kedua tangan kedepan dan berjalan mengikuti kami.
Sungguh perempuan yang sulit dimengerti.
Sepanjang menaiki anak tangga dan berada di lantai tiga hingga seterusnya, kami masih menjumpai beberapa murid yang berada didalam gedung. Tentu saja Kak Ren mengedepani kami menyelesaikan permasalahan itu, menyuruh mereka semua untuk turun ke bawah.
Sekitar tiga puluh menit berlalu, sampailah kami menuju lantai atap setelah sebelumnya menaiki tangga yang cukup panjang memutar dari lantai lima.
Sekilas, matahari yang terlihat jelas di sore hari ini dari atas gedung panorama, membuat pemandangan tersebut bagaikan akhir dari perjalanan panjang ini.
Sebelumnya kami terhambat banyak hal karena harus mengkondisikan anak otomotif di bawah yang terlibat ... itu memakan banyak waktu untuk bisa sampai di atas sini.
Lalu, tak jauh dari tempat kami sampai... terlihat ada dua orang yang salah satunya berdiri memandangi pemandangan dari atas dengan ekpresi bosan, sementara yang satunya lagi melihat ke arah kami, seolah tampak sudah menduganya.
"Akhirnya ada yang sampai juga. Kami benar-benar lelah menunggu lho," kata siswa yang lebih muda, berkata dengan lancar seolah merasa tidak takut ataupun gentar ... meskipun di hadapannya telah ada anggota OSIS, Kak Ren.
Mendengar siswa yang lebih muda itu berbicara, salah satu siswa yang berada di dekatnya dan sebelumnya memandangi pemandangan, kini berbalik melihat ke arah kami, masih dengan ekspresi yang sama.
"Jadi siapa di antara kalian yang bernama Gesa?" Tanya Kak Ren, langsung intinya.
"Tentu saja itu aku. Dia hanyalah kakak kelas yang telah gagal menjadi bagian dari OSIS," kata siswa yang lebih muda, mengaku bernama Gesa.
"Hmp, kata-katamu itu cukup menyakitkan untuk didengar. Bolehkah aku merobek mulutmu sekarang juga?" Siswa yang lebih tua kini tersenyum licik, melirik Gesa.
"Kau... David?" Kak Ren tampak mengingat siswa yang berdiri disebelah Gesa itu.
Seketika terdiam memandang, serta agak terkejut melihat sosoknya yang ikut terlibat, Kak Ren tampak tidak bisa mempercayai fakta yang jelas dilihatnya.
"Kak, siapa siswa yang lebih tua itu? Kakak mengenalnya?" Tanyaku, sedikit penasaran.
"Namanya David, dia adalah siswa yang pernah menjuarai ajang perlombaan merakit kendaraan tahun lalu di tingkat nasional dan membawa pulang piala emas. Terkenal sebagai murid jenius dari kelas otomotif. Seharusnya dialah seseorang yang menjadi panutan bagi anak-anak sejurusannya... tapi mengapa sekarang dia malah ikut terlibat? aku tidak bisa memahaminya," kata Kak Ren, disertai perasaan kecewa yang mendalam.
"..."
"Tunggu! Apa mungkin ini ada kaitannya dengan yang diucapkan Gesa tadi, sebab dia gagal menjadi bagian dari OSIS? Memangnya apa yang sudah terjadi?" Lanjut kata Kak Ren, terus menyelidiki dari dalam pemikirannya.
Bahkan Kak Ren sendiri saja tidak selalu tahu mengenai informasi yang ada di OSIS, meskipun dirinya juga termasuk bagian di dalamnya. Ini menandakan jika OSIS memang memiliki rahasianya masing-masing agar tidak disebar luaskan secara semena-mena. Seolah ada kepercayaan dimana dalam tingkat tertentu bisa mendapatkan informasi yang lebih banyak, mungkin saja ada beberapa golongan tersendiri yang lebih dipercaya.
Mengesampingkan sumber informasi terkait OSIS, sepertinya seseorang yang sebenarnya menjadi 'otak' dari munculnya rencana kekacauan ini kemungkinan besar adalah Kakel bernama David itu. Entah mengapa aku bisa merasakan aura kelicikannya setiap kali dia menggerakkan anggota tubuhnya.
"Reno! Kau terlihat kebingungan. Apa mungkin, kau menginginkan jawaban dari semua ini?" Ujar Kakel tahun kedua yang diketahui bernama David.
"Apa sebenarnya tujuanmu melakukan semua ini?" Tanya Kak Ren.
"Seperti biasa kau tipe orang yang berterus terang ya. Aku tidak membencinya. Kau bertanya tujuanku kan? ... Kurasa aku bisa mengatakannya karena ini akan menjadi terakhir kalinya aku melihatmu," kata Kakel David.
Terakhir kali? Itu berarti dia sudah menyadari bahwa aksinya dalam membuat kerusuhan serentak sudah pasti akan membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Tapi anehnya, mengapa dia bisa mengatakan itu dengan sangat tenang? ... Kemungkinan besar, dia sudah pasti memiliki tujuan lain untuk menggantikan tujuannya saat ini.
Kuperhatikan dia tampak berbeda dari sebelumnya. Cara menyembunyikan ekspresi yang sebenarnya itu mirip dengan seseorang yang kukenal. Awalnya dia tampak memandang dengan rasa bosan, namun sekarang, tiba-tiba caranya mengekspresikan diri itu sekilas menjadi berbeda.
"Tujuanku yang sebenarnya itu hanya satu di sekolah ini. Kau ingatkan dengan apa yang pernah ku ceritakan kepadamu ketika kita pertama kali bertemu?" Tanya Kakel David, tiba-tiba mengungkit masa lalu.
" ... Kau masih berupaya membuatnya ya," jawab Kak Ren.
"Tidak. Tapi aku sudah berhasil membuatnya..." kata Kakel David, kini ekspresi mulai agak lain, seperti mencerminkan sosok ilmuan gila.
"Apa?"
Disaat yang sama, Kakel David mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Itu terlihat seperti remot kontrol. Kemudian, dia menekan tombol salah satunya, dan... sesuatu itu muncul.
Sementara kami yang berada di atas, dikejutkan dengan hasil karyanya yang di luar dugaan, anak otomotif yang berada di bawah justru bersorak-sorak serentak ketika melihat mahakarya luar biasa itu dari jarak yang bisa terlihat.
Sebagai seorang siswa, kuakui Kakel David ini memiliki kejeniusan seperti layaknya orang dewasa. Mungkin kemampuannya hampir setara dengan para ilmuwan di luar sana. Ini dibuktikan dengan jelas dari hasil mahakarya luar biasanya... sebuah robot berukuran dua kali lipat dari tinggi badannya, keluar dari balik persembunyian dan mulai bergerak sesuai perintah dari remot kontrol tersebut.
"Bagaimana menurutmu. Tidak ada yang tidak mungkin ku buat jika aku sedang serius," kata Kakel David, tersenyum licik.
"Sepertinya perkataanmu waktu itu bukanlah sekedar omong kosong. Lalu apa yang akan kau lakukan dengan robot itu?" tanya Kak Ren.
"Tentu saja membuat pertunjukan besar," jawab Kakel David.
Kemudian, dia kembali menekan salah satu tombol di remotnya. Lalu yang terjadi adalah... [ciiit...! Dor!] sebuah petasan roman candle meluncur ke atas, membuat ledakan indah, menghiasi langit sore. Bukan hanya satu, melainkan empat sekaligus. Dari arah sumbernya, itu diletakkan disisi gedung panorama. Entah bagaimana dia mengaturnya dalam jumlah sebanyak itu, hanya dengan mengaktifkannya lewat tombol di remot, sepertinya dia memang telah menyiapkan sesuatu yang disebut dengan 'pertunjukan besar' tersebut.
***
Orang Ketiga
Sementara kegaduhan di sore hari kini beralih ke area utama bagian tengah (AUBT), anak-anak OSIS yang memang kebetulan telah mengumpulkan anak otomotif yang terlibat di sana, sekarang dikejutkan dengan munculnya petasan roman, meluncur serentak ke atas langit.
Karena posisinya yang mudah dilihat dari area manapun, sudah pasti kebanyakan orang yang berada di lingkungan sekolah akan melihatnya, meskipun hanya sekilas.
Pertama kali diluncurkan, itu menimbulkan reaksi besar dari anak otomotif yang sudah dikumpulkan. Mereka berbondong-bondong merapat di area itu, seolah ingin mencari kesempatan, melihat mahakarya dari seorang murid jenius tahun kedua, dari jurusan yang sama dengan mereka.
Disisi lain, rombongan Cika yang beberapa saat ikut terlibat mengkondisikan orang-orang di area itu, hanya bisa melihat dari kejauhan, keindahan di atas langit gedung panorama yang dihiasi ledakan petasan.
"Apa yang terjadi?" Amelia yang bediri di samping Cika, bertanya-tanya keheranan.
Di samping itu, Cika yang ingin mendapatkan informasi dari Rafa yang saat ini berada di tkp, terus menggenggam ponselnya dengan perasaan bimbang. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana... mungkin jika tiba-tiba menghubunginya di tengah kondisi ini, justru akan mengganggu rencana lelaki itu, pikirnya.
Di tempat lain, memperlihatkan sirkelnya Doni
bersama dengan Jaka dan teman-temannya dari kelas IPS, terlihat sedang merayakan lebih awal kerja keras mereka di restoran yang berada di area tahun pertama. Di tengah kesenangan mereka, keramaian yang terdengar dari bukit area utama bagian tengah sedikit menarik perhatian mereka. Apalagi setelah mengetahui bahwa ada peluncuran petasan yang berasal dari gedung panorama, mereka semakin penasaran.
"Apa yang terjadi di sana ya?" Jaka tampak heran ketika melihatnya dari jendela kaca restoran.
"Mungkin saja itu perayaan kecil-kecilan yang dilakukan OSIS setelah berhasil meringkus mereka di sana," kata Doni, bercanda.
"Yah... apapun itu, semuanya pasti juga akan di tangani oleh kakak kelas OSIS," kata Arif, seperti biasa lelaki itu mampu memberi respon yang objektif.
Beruntung lingkungan sekolah ini memiliki kawasan yang luas, sehingga kehebohan yang terjadi di satu area tersebut tidak mengundang perhatian banyak orang luar untuk mendekat.
Kembali memperlihatkan Rafa yang berada di atas gedung panorama bersama dengan Sania dan juga Kakel Reno. Mereka masih bercakap-cakap dengan orang yang menciptakan semua kondisi tersebut.
Siswa bernama David, salah satu murid jenius dalam bidangnya, mampu menciptakan sesuatu yang hampir tidak mungkin bisa dibuat anak SMA pada umumnya. Mahakarya-nya tersebut adalah sebuah robot modern yang bisa dikendalikan dengan remot sebagai perintah, sekaligus kendalinya.
Saat ini dia baru saja akan mengungkapkan mengapa sampai melakukan semua itu. 'Pertunjukan besar' yang dia maksud sekarang, bukanlah tujuan yang sebenarnya. Lantas apa? ... Setelah beberapa saat saling berbicara panjang, hal tersebut akhirnya diketahui. Alasan David melakukannya tidak lain adalah karena ketidakpuasannya terhadap OSIS yang telah menolaknya bergabung. Meski itu terdengar seperti alasan ego yang sepele, namun bagi David itu adalah segalanya. Jika tidak bisa menjadi bagian dari OSIS, itu artinya keberadaan dirinya masih belum diakui mereka. Inilah yang membuatnya sadar bahwa keterampilan saja tidak cukup. Walau sekeras apapun dia berusaha, beralih pada keterampilan yang lain, hasilnya tidak bisa setara dengan perjuangan awalnya. Karena itulah... dia yang sudah putus asa menggelar kemegahan ini. Selain itu, dengan meninggalkan kesan yang begitu besar di sekolah futuristik ini, hal tersebut mungkin saja akan membuat para siswa yang berada dalam satu jurusan akan termotivasi di masa depan. Itulah harapannya. Sebagai murid jenius yang telah gagal... dia rela menanggung semua resiko tersebut sebagai bentuk pengorbanan. Bukan hanya untuk kelasnya saja, melainkan satu jurusan di sekolah ini juga. Begitulah cara dia melepaskan diri dari tempat ini. Baginya, sekolah hanyalah sarana untuk memenuhi keingin-tahuannya... hampir seperti alasan sebagian besar orang yang masih bersekolah. Jika ada yang berbeda, itu adalah kondisi yang dimana dia merupakan murid jenius yang mampu berpikir dengan cara tersendiri, menghadapi masalahnya. Meskipun harus putus sekolah, dia tampak tidak menyesalinya.
"Kalau sudah sampai sejauh itu, sepertinya aku memang tidak bisa mencegahmu lagi," kata Reno, setelah mendengar penjelasannya.
"Tapi sebelum itu biar kupastikan dulu ... apa kau memang tidak punya penyesalan setelah keluar dari sini?" Lanjut tanya Reno.
Sebelum menjawab pertanyaannya, David sempat terdiam sejenak, berpikir, lalu mengutarakannya. Mungkin saja yang dia utarakan memang berasal dari lubuk hatinya... karena faktanya, jika sekilas melihat dari pemandangan alami, momen ini agak cukup dramatis.
"Mencari pengalaman di tempat baru atau terus bersinggah di satu tempat menunggu perkembangan terjadi ... mana yang kau pilih?" Ujar David.
"Jika memandang mana yang lebih baik, mungkin saja mencari pengalaman di tempat baru adalah pilihan yang tepat. Tapi perlu kau pahami, tidak semua orang bisa mendapatkan pilihan itu," kata Reno.
"Tentu saja aku paham. Dulu aku juga pernah berada di posisi 'orang yang tidak bisa melakukan apa-apa'. Andaikan memang ada yang ku sesali, semua yang telah ku lakukan mungkin tidak akan terjadi," kata David. Begitulah cara dia bertindak. Merasa puas dengan apa yang sudah didapat, lalu mencari hal lain yang lebih baik. "Reno! Sebelum waktunya tiba, bagaimana kalau kita selesaikan perkelahian kita di hari itu," ujar David, tiba-tiba tampak bersemangat.
"Kau yakin? Hanya itu yang kau mau?" Tanya Reno, seakan hendak menawarkan sesuatu yang lain, yang lebih baik.
"Ya! Aku belum puas menghajarmu waktu itu," kata David, bersiap untuk berkelahi.
"Sepertinya aku sudah tidak punya peran apa-apa di sini," kata siswa bernama Gesa, dari tadi hanya bediri di sampingnya, terus memperhatikan.
"Selagi kita masih punya waktu untuk bersenang-senang, bagaimana kalau kau juga memuaskan dirimu dengan berkelahi?" Kata David, menyarankan.
"Itu boleh saja. Tapi memangnya siapa yang bisa ku hantam kepalanya di sini? Selain dia, siswa yang bediri di sana kelihatannya bukan tipe orang yang bisa berkelahi. Aku pasti akan merasa bersalah jika mengajarnya tanpa perlawanan," kata Gesa, melihat ke arah Rafa, orang yang dimaksud.
"Kau ada benarnya, sepertinya memang tidak ada bagian lagi untukmu," kata David.
"Sekarang aku merasa seperti sepah di buang saja," sindir Gesa.
Meskipun keduanya saling mengejek, justru hubungan tersebut menandakan keakraban mereka. Itu salah satu cara lelaki berotak otot saling memahami.
Di tengah perdebatan keduanya, tiba-tiba Rafa angkat bicara, setelah beberapa saat yang lalu memikirkan keputusannya untuk mengikuti jalan cerita yang telah mereka buat. Awalnya Rafa pikir itu cukup merepotkan jika harus mengambil pilihan tersebut, namun mau bagaimana lagi... dia sudah terlanjur berada di tkp. Secara otomatis, dirinya juga terlibat dalam upaya penyelesaian mereka.
"Andaikan sejak awal ku tahu kondisi ini, aku tidak akan memutuskan datang kesini," kata Rafa.
"Aku juga tidak menduganya," kata Sania, turut merespon.
"Sekarang kau bagaimana? mau kembali? Bukankah kau memutuskan ikut hanya untuk melihat fakta?" Tanya Rafa.
"Itu memang benar... tapi entah mengapa aku masih belum bisa menerima semua ini," kata Sania, tampak merasa tidak puas.
Setelah mengungkapkan ketidakpuasannya kepada Rafa, Sania melanjutkan bertanya kepada siswa bernama Gesa yang sempat membawa dan mengurung dirinya didalam ruangan.
"Hei kau! Bisa jelaskan maksudmu kenapa sebelumnya membawaku ke sini?" Tanya Sania dengan nada lantang, menuding ke arah Gesa.
"Kalau itu aku memang sengaja. Yah, sebelumnya aku memang sedikit merasa emosi karena suasana hatiku sedang buruk. Kupikir nantinya mereka yang ku suruh menjaga pasti juga merasa bersalah, karena itulah aku tidak terlalu mengkhawatirkanmu. Toh, ujung-ujungnya kau bisa keluar," kata Gesa, tampak tak menyesali perbuatan.
"Sebenarnya kau memang tidak mengkhawatirkan apapun, 'kan," kata Rafa, merespon di akhir. Mendengar itu, pandangan Gesa teralihkan. "Aku yakin kau sudah memahami kepribadiannya, karena itulah kau bisa sangat tenang. Misalkan siswi lain yang ekstensi maupun sifatnya tidak seperti dia, kau mungkin tidak akan berbuat sejauh itu hanya karena hatimu sedang buruk. Anggapanmu terhadap tindakan yang kau lakukan pasti hanya bentuk kenakalan yang masih wajar, benar kan," kata Rafa, menjabarkan sebuah teori.
Alasan yang menjadi pertanyaan mengapa di situasi manakala Rafa bisa mengatakan maksud sebenarnya dengan mulus tanpa ragu, itu karena dirinya tanpa sadar terlalu fokus dengan pemikirannya sendiri tanpa melibatkan perasaannya. Jika yang mengatakan hal tersebut adalah orang pada umumnya, argumen itu justru akan membuat diri sendiri malu, karena terlalu mencampuri hal pribadi seseorang. Tapi itu tidak berlaku untuk Rafa. Bagi seseorang yang telah lama berdiri di 'medan perang', yaitu didalam lingkungannya, logika akan menjadi hal yang lebih diunggulkan daripada emosi pribadi. Ketika seseorang telah sampai di tahap tersebut, apapun yang menjadi suatu permasalahan, bisa secara langsung diutarakan dengan dasar logika.
"Diluar penampilan, ternyata kau cukup pintar memahami. Siapa namamu?" Tanya Gesa, merasa sedikit tertarik.
"Rafa."
"Sepertinya kita berada di angkatan yang sama," kata Gesa, menyelidik lewat penampilan, warna jas yang dikenakan.
"Sayangnya begitu."
"Jika kau berada di sini, seharusnya kau memiliki tujuan, kan," kata Gesa.
"Kebetulan, aku juga sedang mempertimbangkan tujuanku. Melampiaskan kekesalan," kata Rafa, tatapannya berubah.
"Hoh... jadi bagaimana kau akan melampiaskannya?" Tanya Gesa, semakin merasa tertarik dengan 'perubahan' Rafa.
"Dengan memberimu satu bekas pukulan di wajah," jawab Rafa, lugas.
Mendengar sesuatu yang dianggapnya di luar dugaan, Sania yang ikut mendengar obrolan tersebut bereaksi terperanjat.
"Tunggu, apa? kau serius? mengajaknya berkelahi? kau pasti bercanda kan? bahkan untuk orang sepertimu..."
"Aku serius. Meskipun tidak melakukannya secara langsung, dia telah menggangguku menikmati hari-hari yang seharusnya tenang di kelas. Aku baru akan puas jika bisa memukul wajahnya sekali," kata Rafa.
"Menarik. Kau bukan orang yang hanya bermulut besar, kan?" Tanya Gesa, jelas menyinggung kekuatan fisik Rafa.
"Kau bisa memastikannya sendiri nanti," jawab Rafa, agak-agaknya terdengar cukup sombong di mata orang lain, namun dirinya tidak merasa demikian.
Inilah yang menjadi awal ketertarikan Gesa pada seorang siswa yang dilihatnya tampak biasa itu. Meskipun pada akhirnya dirinya menyadari bahwa Rafa adalah siswa jenius dalam 'bayangan', hal tersebutlah yang nantinya akan menjadikan tujuan dia selanjutnya setelah sebelumnya mengikuti Kakel jenius tahun kedua yang bernama David.
***
—Rafa
Beberapa menit sudah berlalu di atas gedung panorama... dan mungkin kurang dari satu jam, para OSIS akan menyergap tempat ini. Begitulah endingnya. Ini adalah cara yang menurutku cukup konyol, sekaligus berani untuk menentang sekolah agar bisa dikeluarkan.
Saat ini, di depanku telah berdiri seorang siswa yang telah diketahui identitasnya bernama Gesa. Fakta lain yang mengejutkan, ternyata dia bukanlah otak yang mendalangi terjadi kerusuhan pagi tadi. Meskipun aku sudah menduga adanya kemungkinan tersebut, namun ada beberapa bagian yang meleset. Seperti, dia tidak tampak dikendalikan oleh Kakel tahun kedua yang bersamanya, justru dia sendirilah yang memutuskan untuk mengikutinya.
Dalang dari kerusuhan ini sebenarnya adalah seorang murid jenius tahun kedua, yang seharusnya namanya cukup dikenal. Namun, karena dia berasal dari jurusan otomotif, hal tersebut tidak terlalu banyak dibicarakan. Namanya adalah David. Menurut Kak Ren, dia adalah siswa yang pernah membawa pulang piala kejuaraan dalam ajang perbengkelan yang diikuti pada tahun lalu. Seharusnya, dia bangga terhadap pencapaiannya. Namun tidak demikian, sekarang dia justru sengaja ingin dikeluarkan dari sekolah dengan alasan tidak bisa menjadi bagian dari OSIS. Dari apa yang dia sampaikan sendiri tadi, tujuan awal dirinya berada di sekolah ini adalah menjadi bagian dari OSIS. Entah mengapa OSIS tidak menerima dirinya... itu jelas telah merubah pemikiran yang dia punya terhadap lingkungan di sini. Mungkin saja, inilah cara dia 'menyampaikan ketidakpuasannya terhadap cara OSIS yang terlalu ketat dan seolah terjerat dalam aturan'.
Aku tidak bisa menyalahkan pemikiran Kakel David, begitu juga tidak dapat membela pihak OSIS. Secara pribadi, aku mungkin setuju untuk tidak terlalu terjerat dalam aturan, karena aku sendiri menyukai arti 'kebebasan' dalam segala hal sewajarnya.
Mengesampingkan hal tersebut, sepertinya keduanya telah memutuskan akan mengakhiri dengan perkelahian. Di tengah petasan yang masih diluncurkan selama hampir setengah jam, sepertinya semuanya memang tidak akan berakhir dengan mudah. Mahakarya robot yang telah dipamerkan, serta panggung petasan di atas gedung panorama. Mereka telah berhasil membuat sebuah perpisahan yang menakjubkan untuk mengenang segala hal yang dimaksudkan untuk mengkritik sekolah.
"Sebelum mulai berkelahi, bolehkah aku bertanya satu hal?" Ujarku, melihat sekilas Kak Ren yang sudah memulai perkelahian dengan Kakel David.
"Apa?"
"Bagaimana kalau kita bertaruh sesuatu," kataku, menggunakan rencana yang bisa kupikirkan sekarang.
"Hn... haha... sungguh aku tidak bisa menebak pikiranmu. Kau selalu mengatakan sesuatu yang melebihi ekspektasi. Apa kau paham dengan maksud perkataanmu itu?" Tanya Gesa, tertawa geli saat mendengarnya.
"Tentu saja. Setidaknya kau bisa memastikan, aku tidak sedang mencoba membohongimu ataupun sedang membual," jawabku.
"Jadi, apa yang kau tawarkan?"
"Semisal aku kalah, kau bisa memintaku melakukan apa saja," kataku, memberikan penawaran pertama.
"Itu terdengar seperti aku akan menjadikanmu budak. Tentu saja kau tidak mempermasalahkannya, kan?"
"Tidak masalah," kataku segera.
"Tunggu! Apa yang kau pikirkan!? Apa kau serius ingin menjadi budaknya?" Seseorang yang bereaksi berlebihan di belakangku, sudah pasti adalah Sania.
"Tenang saja. Itu tidak akan terjadi," kataku, meyakinkannya.
"Lalu jika aku yang menang, berjanjilah untuk tidak melakukan hal-hal yang aneh dan berlebihan yang menyebabkan kerusakan bagi sekolah ini, itu saja," lanjut kataku kepada Gesa.
"Kau sudah berpikir bahwa dirimu bisa menang dariku?" Tanya Gesa, meremehkan.
"Di dunia ini tidak ada yang mustahil untuk dilakukan, selama seseorang mau belajar dan memahami," kataku.
"Lagi-lagi kau mengucapkan hal yang sulit," kata Gesa.
Setelah sesaat kami bertukar kata, kami berdua mengambil langkah maju dan siap untuk berkelahi. Tepat di depanku sekarang, Gesa tampak memelototiku seakan mencoba mengintimidasi... akan tetapi, dia perlu tahu bahwa hal tersebut sama sekali tidak membuat mentalku turun. Justru, aku tidak bisa merasakan apapun dalam tatapannya. Seolah merasa bahwa orang yang di depanku ini hanya salah satu jenis orang yang menginginkan kesenangan pribadi seperti yang lain, itu bagian darinya yang membuatku bosan, sekaligus iri karena tak dapat merasakan seperti yang dia rasakan.
"Kau tidak akan kabur kan?" Tanya Gesa, seakan bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
"Untuk menghadapi orang sepertimu, kabur bukanlah opsi yang tepat. Kau tidak perlu menahan diri, lampiaskan semuanya sampai kau puas," kataku.
"Aku akan melakukannya seperti yang kau minta. Jangan salahkan aku misal ada bagian tulangmu yang patah!"
Sembari mengatakan hal tersebut, Gesa melancarkan serangan pembuka dengan tendangan. Berbeda dari cara Mirza menenadangku dengan mengambil langkah ancang-ancang berlari, orang ini yang berada tepat di depanku seketika menjulurkan kakinya dengan kuat dan fleksibel. Aku sudah memprediksi serangan ini, namun sepertinya hindaranku masih kurang efisien, sehingga jika dia menggunakan serangan lanjutan, aku tidak punya pilihan lain selain harus menerimanya.
"Itu langkah pembukaan yang cukup ekstrim," kataku.
"Hoh... baru saja kau bisa menghindari tendanganku. Sepertinya kau memang menyembunyikan sesuatu. Sekarang aku mulai merasakannya," kata Gesa, memandangku tajam. Wajahnya penuh selidik.
Sebetulnya sejak awal aku memang tidak punya maksud menyembunyikan potensiku dalam hal fisik. Hanya saja, aku merasa itu tidak terlalu penting untuk dijelaskan. Karena pada dasarnya, menurutku, kekuatan fisik itu lebih bermanfaat jika bisa digunakan untuk melakukan sesuatu yang 'menghasilkan'. Berkelahi... hanya berpotensi merusak bagian yang 'menghasilkan' tersebut.
Melanjutkan yang tadi, Gesa kembali melakukan serangan tendangan dengan langkah panjang. Sepertinya dia tidak akan memakai serangan pukulan untuk sementara waktu. Apa mungkin dia berniat melakukannya di akhir? ... Jika memang seperti itu, dia pasti sudah begitu yakin bahwa dirinya akan menang dalam perkelahian ini.
Tapi mulai dari sini, aku akan menghancurkan realitanya itu!
"Huh..."
Dia bereaksi agak terkejut saat aku berhasil menangkap kakinya di udara. Aku yakin sekarang dia paham bahwa kakinya sudah ku cengkraman dengan kuat.
"Kau mungkin bisa menahan kakiku, tapi kau tidak punya tenaga yang cukup untuk bisa terus mempertahankan!"
Memberontak dengan begitu kasar, dia menarik kakinya dengan kuat sehingga bisa lepas dari cengkramanku.
Memang benar... mengukur dari segi fisik, aku tidak punya kekuatan yang setara untuk menghadapinya. Namun, bukan itu caraku menghadapi dia.
Bagi orang seperti Gesa, kekuatan yang paling besar menurutnya pasti adalah kekuatan dalam hal fisik. Berbeda denganku, aku hanya meyakini bahwa kekuatan besar sesungguhnya yang bisa mengungguli semua kekuatan besar lain, tidak lain adalah kekuatan berpikir logika. Jika seseorang mampu melakukan hal yang dapat melampaui batasnya, maka itu akan menjadi potensi sebenarnya dalam kondisi 'membalikkan situasi'. Seperti dalam permainan adu suit, semut dapat menang melawan gajah, sekuat apapun orang tersebut, jika dari awal telah memperlihatkan kelemahannya, itu akan menjadi suatu opsi yang memudahkan.
"Kau daritadi hanya bertahan saja. Kenapa tidak menyerang?" Tanya Gesa, sudah dua kali mengambil jarak dariku.
"Apa mungkin kau ini sebenarnya hanya jago menghindar? Itu menyedihkan!" lanjutnya, kini telah beralih menggunakan pukulan.
Sementara dia tampak bersemangat menyerangku dengan pukulan beruntun, aku masih mencoba menghindari serangannya. Namun, jika cara dia sudah seperti ini... sepertinya aku tidak bisa terus menghemat tenagaku.
"Seperti yang dikatakan Mirza, semakin lama kau berkelahi, gerakanmu semakin berbahaya," kataku.
"Haha... rupanya dia mengerti juga. Itu benar, sekarang ini aku semakin bersemangat, apalagi setelah tahu kau benar-benar lincah. Ini sangat membuatku termotivasi," kata Gesa, melancarkan pukulannya yang semakin kuat.
"Apa hanya itu yang kau tahu?" Tanyaku, menghindari pukulannya, serta menangkisnya.
"Ha? Apa maksudmu?" Dia tampak terheran, bingung dengan maksud pertanyaanku.
Sepertinya dia memang tidak akan menyadarinya sebelum melihat dan merasakannya sendiri langsung. Kupikir sekarang sudah waktunya mengakhiri perkelahian tidak berguna ini. Lagipula, kami sudah mempertahankan kondisi ini selama hampir sepuluh menit kira-kira. Seharusnya, tak lama lagi anak OSIS akan segera datang, menyergap TKP.
Ketika aku mencoba sedikit melonggarkan pertahananku, dengan cekatan dia berhasil menangkapku, lantas menjatuhkanku kebawah dengan mengangkangiku.
"Sekarang bagaimana? Aku bisa saja memukulimu hingga babak belur jika kau mau. Tidak ada yang bisa kau lakukan sekarang," kata Gesa, tersenyum merendahkan, serta mengintimidasi.
"Sudah hentikan! Tidak ada gunanya melanjutkan perkelahian bodoh ini!" kata Sania dengan lantang, seolah sedang mencoba mengeluarkanku dari kondisi ini.
"Kau dengar sendiri kan kata perempuan itu. Tidak ada gunanya melanjutkan perkelahian bodoh ini. Andaikan tadi kau tidak mencoba berani bertaruh denganku, situasi ini mungkin tidak akan terjadi," kata Gesa.
" ... Memang benar jika ini adalah perkelahian yang bodoh. Tapi tujuanku bertaruh bukanlah karena menuruti nafsu berkelahimu," kataku.
"Ha...?" Dia sedikit memiringkan kepala, tampak heran.
"Ini hanya caraku menghadapi orang sepertimu. Jika tidak melakukannya dengan kontak fisik, maka 'pendekatan' ini tidak akan mungkin tercipta," kataku.
Setelah mengatakan hal tersebut, dengan kuat aku mendorong kedua kakiku ke atas sesuai perhitungan, membuat pantatnya yang sedang menduduki kakiku terangkat, sehingga dia terpaksa menggulingkan badan ke depan agar tidak terjadi benturan. Tidak menduga bahwa aku akan memanfaatkan celahnya, dia tampak terkejut lantas senang mengetahui hal tersebut.
" ... Begitu ya. Selama ini kau hanya berpura-pura lemah," kata Gesa, tampak yakin.
"Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun. Dari awal, kau sendiri yang mendefinisikan tentangku," kataku, kemudian berdiri.
"Hmp, bukan hanya licik, kau juga sangat cerdik memanipulasi lawanmu. Ternyata kau memang tipe orang yang sulit ditebak. Bukan hanya tentang sikap, tapi semua yang kau pikirkan tidak masuk akal dan sulit dimengerti," kata Gesa.
"Bukankah itu berarti caraku melakukannya cukup efektif. Menghadapimu yang hanya memikirkan 'kekerasan' saja saat berkelahi," kataku, memasukkan sindiran.
"Artinya kau menganggapku bodoh, kan."
"Tergantung bagaimana kau memikirkannya. Aku tidak akan mengatakannya karena penjelasan itu akan sangat panjang. Intinya, mendefinisikan orang sepertimu... itu membuatku malas," kataku.
Setelah mengatakan kalimat bagian terakhir, dia yang sudah tidak sabar ingin segera memukulku langsung menyambar, menutup jarak di antara kami. Dari ekspresi wajahnya, dia yang sengaja ku buat terprovokasi tampak bersemangat, sekaligus geram menatap ke arahku.
Karena serangannya tiba-tiba menjadi lebih kuat, tampaknya dia memang menahan diri sebelumnya. Ini yang ku harapkan. Semakin banyak dia mengeluarkan tenaga, maka akan semakin cepat pula dia memasuki status kelelahan. Jika sudah seperti itu, maka yang terakhir akan menjadi giliranku menyelesaikan.
"Pergerakanmu itu sungguh di luar nalar. Apa kau berlatih sesuatu?" Tanya Gesa, di tengah berusaha memukuliku.
"Hanya mendapatkan referensi dari novel martial arts yang pernah ku baca," jawabku.
"Itu sungguh tidak masuk akal. Bagaimana bisa kau hanya sekedar mempraktikan yang telah kau baca?"
"Itu sederhana. Semuanya tergantung diri masing-masing. Bisa atau tidak, itu adalah hasil akhir yang tak perlu dilihat selama 'proses'. Di dunia ini, tidak ada sesuatu yang sia-sia untuk dipelajari. Kau bisa menganggapku sebagai salah satu contohnya," kataku.
"Manusia juga punya batasan! Jangan memaksakan pemikiran jeniusmu itu kepada orang awam seperti kami!"
"Mungkin itu benar ... karena itulah aku malas menjelaskannya," kataku.
Seperti yang kupikirkan, aku yakin bahwa dari sudut pandangnya itu merupakan sebuah 'kesenjangan antar individu'. Bagaimanapun juga, tingkatan manusia dalam berkembang itu memiliki potensi berbeda-beda. Ada yang lebih unggul dan ada yang keterbelakangan. Semua hal itu akan menjadikan seseorang bersikap layaknya inferior dan superior.
"Mungkin saja kau bukanlah orang yang termasuk dalam golongan kualitas rendah. Ada potensi yang masih bisa kau kembangkan," kataku saat menangkis pukulannya.
"Apa lagi yang sedang kau bicarakan. Daripada mencoba menghiburku, lebih baik aku yang babak belur sekarang juga di sini," kata Gesa.
"Tanpa memberitahu aku juga akan melakukannya," kataku, menangkap pergelangan tangannya.
Saat dia hendak memukul dengan tangan satunya, aku menarik pergelangan tangannya ke belakang. Dia tampak tertekan... namun segera memberontak dan membuat jarak lagi denganku.
"Brengsek!"
Dengan penuh tekanan dan ambisius, dia semakin tak terkendali. Menyerang dengan gerakan yang tidak sedang bermain-main seperti sebelumnya, dia jauh lebih tangguh sekarang.
Sebelum serangannya datang, terlebih dahulu aku melakukan gerakan cepat yang sudah ku prediksi akan menyerangnya mulai darimana. Mengejutkan dia yang fokus menyerangku, aku memanfaatkan titik buta yang seharusnya tidak mungkin dia pikirkan.
"Kau...."
Sekarang, aku mengunci lengannya. Sebelum dia berhasil memberontak seperti tadi, terlebih dahulu aku memutar 'kunciannya' untuk membuat kekuatan lengannya melemah. Jika sudah demikian, aku yakin kemampuannya berkelahi pasti akan turun drastis.
Merasa cukup memutar 'kunciannya', aku sengaja melepaskannya di hadapanku.
"Padahal seharusnya kekuatan fisik kita berbeda jauh. Tapi jujur saja, semua cara licik yang kau lakukan selama ini tidak ada yang sia-sia. Meski kenyataannya kau masih belum menyerangku satu kali pun...."
Ketika dia berbalik setelah mengatakan pendapat jujurnya, tanpa menunggu lagi aku mengarahkan pukulanku tepat ke wajahnya dengan sekuat tenaga.
BAM!
Menerima pukulan tersebut, dia yang tampak tidak menduganya seketika langsung sempoyongan, mundur ke belakang sambil memegang wajahnya, seolah mencoba menutupi ekspresi yang dibuat saat ini. Sementara itu, sempat kudengar hela nafas keheranan seseorang yang terkejut di belakang. Sania menyaksikan perbuatanku barusan.
"Mari kita hentikan ini. Sesuai tujuanku di awal, aku sudah berhasil memukul wajahmu sekali. Sekarang aku sudah merasa puas," kataku kepada Gesa yang masih menutup wajahnya.
Meskipun begitu, sejujurnya daritadi aku sudah merasa puas dengan melihat semua fakta yang sebenarnya terjadi di sini. Kupikir dia sendirilah yang memaksaku melakukannya. Sejak awal aku sama sekali tidak tertarik dengan perkelahian ini, maupun kondisi kesulitan mereka secara pribadi. Itu bukan urusanku. Hanya melampiaskan sedikit saja itu sudah membuatku lebih baik.
"Kau... orang yang menarik. Siapa namamu?" Tanya Gesa, kini benar-benar menujukkan ekspresi wajahnya yang masih tampak beringas.
"Rafa," jawabku.
"Aku akan mengingatnya. Namamu, dan juga penampilanmu."
"Aku bukanlah orang yang penting untuk kau ingat. Selain itu, aku juga tidak ingin terlibat dengan sesuatu seperti ini lagi," kataku.
"Haha...!"
Mendengar pernyataanku, Gesa justru tertawa lepas. Entah apakah dia bermaksud mengejekku atau mungkin karena hal lain, apapun itu aku tidak peduli.
"Baiklah, untuk sekarang aku mengaku kalah. Meski rasanya ingin sekali melanjutkannya sampai salah satu dari kita benar-benar babak belur ... tapi tampaknya kau tidak menikmatinya. Tidak jelas apakah kau ini mencoba berlaku baik atau justru berlaku kejam, orang yang sulit ditebak sepertimu mungkin saja bisa menjadi berbahaya di masa depan," kata Gesa.
" ... Maksudmu ada kemungkinan bahwa aku akan menjadi fanatik dengan idealisme-ku sendiri, kan," kataku, memperjelas maksud yang ingin dia katakan.
"Itu karena dulu aku sudah pernah bertemu seseorang, yang kurang lebih punya kesamaan sepertimu. Yah... meskipun sekarang dia sudah menghilang entah kemana. Aku mengingat jelas di setiap perkataan rumit yang dia ucapkan, pasti terselipan sebuah fakta yang memang akan terjadi. Mungkin waktu itu aku masih beranggapan bahwa dia benar-benar bisa membaca masa depan. Tapi saat detik-detik kepergiannya, aku sadar jika dia tidak mungkin memiliki kemampuan seperti itu. Dia hanyalah salah satu dari banyaknya orang jenius di muka bumi ini," kata Gesa, seolah menekankan bahwa cerita tersebut nyata dialaminya.
"Diluar dugaan, ternyata kau masih bisa memikirkan hal rumit seperti itu," kataku, menyanjung.
"Memangnya kau pikir aku ini sebodoh apa? Ha?"
"Kenapa tidak tanyakan sendiri pada ototmu," sindiriku, bercanda.
"Kau... sedang bercanda kan?" Tanyanya, seolah memastikan.
"Ya, aku bercanda," jawabku.
"Haha...! Bahkan ekspresimu tidak menunjukkannya sama sekali. Agak aneh kau ini," katanya, kembali tertawa lepas.
Di tengah pembicaraan kami yang sudah terasa lebih santai, disisi lain kulihat Kak Ren juga telah selesai berkelahi dengan Kakel David. Berbeda dengan perkelahian kami, keduanya sama-sama babak belur. Namun, Kakel David lebih parah. Sekarang mereka tampak sedang membicarakan sesuatu yang tak bisa kudengar dari jarak ini.
Disaat yang sama, akhirnya pengepungan dari anak OSIS telah tiba. Satu persatu mereka naik ke atas dengan langkah terburu-buru. Jumlah mereka yang dikirim ada belasan orang. Lantas kami menyaksikan kedatangan mereka yang baru saja sampai.
"Jika tidak ingin menerima konsekuensi lebih berat, siswa yang diduga melakukan pelanggaran sekolah harap mengaku dengan jujur dan segera angkat tangan!" Kata salah satu anak OSIS, tampak seperti yang memimpin.
Mendengar ancaman tersebut, Gesa lantas mengangkat tangan kirinya dengan ekspresi tanpa penyesalan.
"Akulah siswa yang bernama Gesa. Kalian pasti mencariku kan," katanya, mendekati mereka dengan langkah percaya diri.
"Kau siswa tahun pertama kan. Aku tidak mengerti alasanmu berbuat sejauh ini untuk menjatuhkan nama baik sekolah. Terus terang saja, mengapa kau melakukannya?" Tanya perwakilan OSIS, mencoba berbicara dengan nada halus.
Sebelum Gesa membuka mulutnya, Kakel David yang tiba-tiba menyelonong dari belakang segera menjelaskan.
"Semua ini hanya untuk memuaskan rasa bosan kami saja. Dia ini hanya salah satu siswa yang mengikuti jalanku. Jadi akulah yang sebenarnya mengendalikan semuanya," kata Kakel David, sekilas terdengar seperti mencoba menyelamatkan Gesa.
"Hei, ini tidak seperti yang kita janjikan. Bukankah kau mengatakan bahwa kita akan menanggungnya bersama-sama? Aku benci orang yang melanggar janji sendiri," kata Gesa, protes di sampingnya.
"Tidak masalah jika kau ingin membenciku. Sejak awal aku memang sudah memutuskan ini. Kau masih memiliki 'sesuatu' yang ingin kau capai di sekolah ini kan?"
Di tengah mendengarkan, ekspresi Gesa menjadi masam. Seolah merasa pesimis untuk mencapai 'sesuatu' yang dimaksud itu.
"Lakukanlah seperti yang ku lakukan di masa lalu, maka kau bisa melampauiku. Ini nasehat terakhirku sebagai Kakak kelasmu, wahai adik kelas," lanjut kata Kakel David.
"Hmp, bagaimana aku tahu masa lalumu jika setelah ini kau benar-benar tidak ada?" Tanya Gesa, mengutarakan fakta.
"Itu bisa menjadi salah satu tujuanmu setelah ini. Kau bisa mulai mencari tahunya sendiri," kata Kakel David.
"Apa kalian sudah selesai?" Tanya perwakilan OSIS, menunggu obrolan mereka di momen menyedihkan tersebut.
Mungkin setelah ini siswa bernama Gesa akan menerima perubahan besar pada dirinya. Selama satu bulan penuh, pasti ada saat-saat dimana dia telah menghabiskan waktunya dan membuat kenangan berharga dengan Kakel jenius tahun kedua dari jurusan yang sama dengannya itu. Seseorang yang dianutnya dan dari sudut pandangnya, mungkin dia adalah sosok yang telah menggantikan keberadaan 'orang yang dimaksud' dalam ceritanya. Setiap orang berhak memutuskan jalan hidup mereka sendiri tanpa paksaan orang lain. Seseorang di sini yang telah membuktikan semua itu adalah Kakel yang dianut Gesa. Siswa bernama David.
Sejujurnya aku sangat mengapresiasi pemikiran jujur tersebut, jika saja dia menggunakan cara yang lebih baik untuk melakukannya.
Setelah momen perpisahan keduanya berakhir, tidak ada air mata yang menetes di antara mereka. Bahkan saat keduanya di bawa anak OSIS, mereka justru menikmati 'obrolan terakhir' selama berjalan menuruni gedung.
Karena kami bertiga sudah dipastikan bukan murid yang telibat di bawah penjelasan Kak Ren, anak OSIS meninggalkan kami begtu saja.
"Huh..."
Entah sejak kapan petasan roman yang dinyalakan secara beruntun sudah berakhir, aku baru menyadari hal tersebut.
"Semuanya sudah berakhir kan," kata Sania, mendekatiku untuk memastikan.
"Untuk kita, mungkin sudah bisa dianggap seperti itu," kataku, memikirkan nasib keduanya yang telah dibawa anak OSIS tadi.
Sementara itu, kulihat Kak Ren masih bediri memandangi mahakarya robot milik Kakel David yang ditinggalkan begitu saja bersama dengan remote kontrolnya. Sepertinya, Kakel itu sengaja meninggalkannya sebagai warisan, atau peninggalan yang dipercayakan kepada Kak Ren di sekolah futuristik. Melihat kondisi ini kemungkinan besar memang seperti itu. Tapi sudah pasti pihak OSIS yang nanti akan meringkusnya.
"Kulihat kakak cukup akrab dengan Kakak kelas yang bernama David itu. Apa kakak baik-baik saja? menerima keputusannya," tanyaku, saat melangkah mendekati.
" ... Jika keputusannya memang sudah sekuat itu ... mana mungkin aku sendiri bisa menentangnya," kata Kak Ren, masih memandangi robot di depannya, seolah-olah menjadi bukti yang kuat atas ucapan tersebut.
The Call(er)
1105
637
10
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya.
Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...