Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sang Pencari Ketenangan 2 - Ark Kontroversi
MENU
About Us  

—Cika
    Sekitar 10 tahun yang lalu.... 
    Tepat disaat pulang sekolah, dua gadis berjalan keluar dari gerbang depan, lalu duduk disebuah bangku taman yang letaknya tak jauh dari sana.
    "Huh... sepertinya aku menang tidak bisa memahami pelajaran bahasa inggris sama sekali. Benar-benar sulit," kata gadis A.
    "Jika kau bersungguh-sungguh mempelajarinya aku yakin kau pasti bisa," kata gadis B.
    "Pasti melegakan jika bisa menjadi sepintar dirimu," kata gadis A, sedikit cemberut.
    "Tenang saja, aku akan membantumu sampai kau bisa," kata gadis B, tersenyum menghibur.
    "Ngomong-ngomong, meski begitu kau sepertinya tidak memiliki masalah dengan pelajaran bahasa inggris. Padahal seluruh kelas sudah menyerah, tapi kau masih bisa melanjutkan," kata gadis A.
    "Hehe~ aku hanya melakukan yang ku bisa saja. Kebetulan aku cukup tertarik menghafal semua kosakata itu," kata gadis B, agak malu-malu.
    "Huh... kau terlalu rendah diri. Sekali-kali sombong sedikit juga tidak apa-apa, kan," kata gadis B.
    "Hmm... bagaimana ya...?" Kata gadis A, memiringkan kepalanya dengan tersenyum polos. 
    Inilah kilas balik sebelum semua menjadi bertolak belakang....
    Sejak dia meninggalkanku, terkadang aku menjadi takut melakukan beberapa hal yang mungkin dapat mengambil kesempatan orang lain menonjolkan diri. Untuk beberapa alasan, kupikir aku tidak ingin menempati posisi sebagai salah satu orang yang terpandang. Meskipun mempunyai semangat belajar yang tinggi, jika tidak dapat memahami orang lain, maka diriku tidak ada bedanya dengan robot.
    Padahal manusia mempunyai hati dan pikiran yang saling terikat satu sama lain. Jika salah satunya tak dapat dimanfaatkan dengan baik, kecenderungan itu akan menjadi bentuk dari kepribadian itu sendiri.
    Bagaimanapun juga keinginanku untuk bersekolah di SMA futuristik ini telah tercapai. Kupikir aku bisa membangun diriku perlahan-lahan mulai dari sini. Tidak seperti sekolahku yang dulu, di sini orang-orang yang memiliki semangat belajar tinggi sepertiku ada di sini. Bahkan di kelas yang ku tempati sekarang, orang jenius yang memiliki cita-cita tinggi seperti Amelia juga turut meyakinkan harapanku yang ingin memulai persaingan kompetitif.
    Meskipun begitu, aku masih trauma dengan apa yang terjadi saat itu. Jika situasi kelas tiba-tiba berubah tidak seperti yang ku harapkan, aku mungkin akan merasa jauh lebih depresi lagi. Menyesal dengan perbuatanku seumur hidup.
    Disisi lain keraguan itu muncul, sebenarnya aku ingin sekali bersaing secara langsung dengan mereka yang ada di kelas ini, maupun kelas-kelas lain.
    Apakah aku bisa menonjolkan diriku begitu saja seperti yang kulakukan saat di sekolah dasar dulu? Itulah keraguan yang selalu membayang-bayangiku setiap saat. Misalkan ada seseorang yang tidak menyukainya sampai-sampai membuat pusat kebencian mereka mengarah padaku, itu mungkin akan membuat mentalku hancur sekali lagi. Sebaliknya, jika ada seseorang tidak mempermasalahkannya sama sekali dan menganggap itu sebagai 'kesetaraan', aku mungkin akan merasa senang, sekaligus lega.
    Untuk meyakinkan diriku bahwa sudah saatnya aku melakukan yang terbaik, aku akan percaya kepada teman-teman yang mendukungku saat ini.
    Sekarang ... jalur hidupku akan dipertaruhkan pada hasil permainan ini.
                                                ***
    Ronde ketiga dan keempat sepertinya akan dimulai.
    Setelah mengatur kembali layar papan belajar masuk ke mode animasi mengocok, Bu Milan segera memulainya. Sebelumnya, aku masih belum dapat menebak secara akurat kelompok mana yang akan mendapatkan garis start. Tapi, kali ini aku merasa bisa menebaknya karena berbagai dugaan yang ku perhitungkan telah berkurang. Dari sini, aku bisa merumuskannya dengan menghitung durasi animasi, lalu membaginya dengan jumlah seluruh kelompok yang ikut serta. Meskipun perhitungan ini tidak dapat dikatakan seratus persen akurat, setidaknya ini bisa menjadi tanda jika kelompok kami yang mendapatkan garis start, bisa meresponnya dengan cepat, sekaligus memilah kosakata yang sulit yang dapat membuat kelompok selanjutnya kebingungan.
    Tak lama kemudian animasi mengocok itu sudah memiliki tanda-tanda akan berhenti. Dari sini, tanda yang ku maksud sepertinya memiliki peluang tinggi untuk jatuh sesuai perkiraanku. Lalu... benar saja, garis start itu jatuh ke kelompok ketiga sebelum kelompok kami. Dengan respon yang agak sedikit panik, salah satu anggotanya merespon. Kemudian kelompok selanjutnya juga memiliki respon panik, tapi masih dapat menjawabnya dengan benar. Lantas saat giliran kelompok kami tiba, aku menjawabnya dengan penuh percaya diri dengan respon cepat saat kelompok sebelumnya baru selesai mengucapkan kata. Entah dari sudut pandang mereka itu berlebihan atau menyulitkan, sekarang aku hanya terfokus dalam permainan ini. Tidak mempedulikan reaksi mereka.
    "Siapa perempuan itu? Responnya cepat sekali."
    "Huh... kecepatan menjawabnya... dia mungkin bisa setara dengan Amelia."
    "Ternyata ada siswi lain yang seperti itu juga di kelas ini."
    Mengesampingkan beberapa respon tersebut, tatapan Amelia kini diberikan kepadaku. Sepertinya, dia menunjukkan ekspresi yang ingin bersaing secara kompetitif. Lalu, secara tidak sadar kami pun saling beradu lewat kosakata dalam permainan ini, ditengah kelompok lain yang sudah mulai kewalahan.
    Tidak seperti sebelumnya yang dimana setiap rondenya akan berhenti jika ada yang gagal menyebutkan kata, peraturannya kini beralih ke 'siapa yang dapat bertahan sampai salah satu kelompok kehabisan kata atau gagal menyebutkannya dengan benar'. Di ronde yang sangat sengit ini, pada akhirnya tersisa kelompok kami dan Amelia yang akan menentukan siapa yang menjadi juara bertahan. Meskipun kami telah menyebutkan kata bahasa inggris sudah lebih dari satuan, persaingan ini masih diteruskan hingga kelas menjadi cukup heboh menyemangati kelompok kami masing-masing.
    Kurang dari dua menit sejak kehebohan semakin memanas ... pada akhirnya, persaingan ini berakhir dengan Amelia yang semakin lama semakin menekan otaknya dan berakhir dengan dia yang berkata 'aku menyerah' setelah tak dapat menggali lebih banyak kata bahasa inggris lagi. Sekali lagi, seluruh kelas dihebohkan dengan tontonan ini, kecuali kelompok Mirza yang sempat terlihat seperti tidak terlalu menyukainya dan menghilang di balik sorakan mereka yang berdiri.
    "Cika, kau hebat!" Kata Arisa dan Erlin.
    "Terimakasih," kataku yang sedikit malu.
    "Sudah kuduga kau pasti bisa melakukannya," kata Maya.
    "Eh... Ya... Itu..."
    Sebelum dapat membalas pujiannya, beberapa anak perempuan dari barisan lain lebih dulu menghampiriku satu persatu, menanyakan beberapa pertanyaan yang wajar, dan tentunya ada sebagian yang disertai dengan pujian. Sudah pasti aku sedikit kewalahan menghadapi situasi ini, tapi beruntungnya, Bu Milan segera menegur, membubarkan mereka yang berkumpul di depan mejaku.
                                                      ***
    Ketika seseorang melakukan sesuatu yang hebat, beberapa orang mungkin akan memberikan pujian, di samping itu juga bisa menimbulkan kedengkian.
    Selama ini aku selalu menghindari melakukan hal-hal yang dapat membuat diriku dipuji. Yah... tidak lain ini menyangkut masa lalu ku, dimana seseorang yang dipuji pasti akan diberikan harapan lebih. Baik dari guru maupun teman sekelas, mereka akan terus memperhatikan perkembangan orang tersebut hingga lulus.
    Sejak hari pertama masuk ke sekolah ini, terkadang aku teringat kembali dengan rasa takutku di masa itu hingga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dan disaat itulah, biasanya aku menenangkan diriku dengan memandangi bulan dari balkon. Suasana sejuk di malam hari seakan mampu melupakan kegelisahanku, dan kesunyiannya seakan dapat menenangkan hatiku. Dan... di tempat itu juga, untuk pertama kalinya aku berbicara dengan seseorang yang mau mendengarkan kegelisahanku.
    Seperti apa yang pernah dikatakan olehnya, seseorang pasti akan mengalami perubahan, baik dari kepribadian maupun dari pemikiran. Tapi... jika seseorang masih tidak dapat melihat perubahan itu, maka dirinya belum berkembang. Kupikir sekarang aku sudah cukup mengerti dengan apa yang pernah ia sampaikan. Entah ini sudah terencana atau memang murni kebetulan, faktanya... bahkan disaat hanya terfokus pada rencananya saja, dia masih memberiku dorongan sebagai upaya dari bentuk peran yang ditetapkannya. Aku jadi penasaran... apa jangan-jangan dia itu reinkarnasi sang jenius di masa lalu? Terkadang bagian dari dirinya yang terkesan seperti itu membuatku ingin lebih mengenalnya.
    Saat jam istirahat kedua, seseorang yang tidak terduga menghampiriku. Dia adalah ketua kelas Amelia beserta rombongannya.
    "Kenapa baru sekarang kau menonjolkan dirimu?"
    Itulah pertanyaan yang pertama kali dilontarkan oleh Amelia ketika mata kami bertemu.
    "Mel, dia pasti juga punya alasannya sendiri. Kau tidak perlu sampai seserius itu ingin mengetahuinya, kan," kata si bendahara kelas.
    "Tidak ... soalnya ini juga menyangkut kelas. Kita tidak bisa begitu saja membiarkan murid berbakat terkubur di dalam kelas, kau tahu," kata Amelia, terlihat sangat serius menanggapi hal tersebut.
    "Anu... jadi, apa yang kalian inginkan dariku?" Tanyaku, menyela perdebatan mereka dengan sedikit grogi.
    "Hah... kau ini sengaja bodoh atau bagaimana? Tentu saja kami ingin kau menduduki salah satu posisi penting di kelas. Tentu saja kau bersedia kan," kata Amelia, terus terang.
    "Tapi... kupikir aku tidak cocok berada di posisi penting itu. Lagipula aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan, jadi aku ragu apakah bisa memenuhi ekspektasi kalian," kataku.
    Saat Amelia sedang mencoba membujukku, dengan beberapa kata intonasi yang menjadi ciri khasnya sejak kemarin, tiba-tiba Mirza yang berjalan dari barisan belakang menyela percakapan kami.
    "Dia berkata kalau dirinya tidak berminat berada di posisi itu, jadi mau sampai kapan kau akan memaksanya?" Ujar Mirza.
    "Ini bukan urusanmu, pergilah!" Kata Amelia, lupa dengan mendiamkannya.
    "Apa maksudmu dengan bukan urusanku? Meski aku berkata ingin 'memisahkan diri' dari kelas, tetap saja sekarang aku masih murid dari kelas ini, kan," kata Mirza.
    "...."
    "Bahkan... Bu Milan juga terlihat tidak mempermasalahkannya," lanjut Mirza.
    "Kau ini...!"
    "Bersabarlah Amelia... dia hanya memprovokasimu," kata Si bendahara.
    Ditengah suasana yang sedang memanas itu, sekali lagi keberadaan Mirza menjadi pusat kebencian kelas. Alih-alih memperhatikan tatapan tajam dari mereka, Mirza terlihat sangat tenang seolah-olah begitu senang dirinya menantang satu kelas.
    "Aku tidak bisa menahannya lagi!!"
    Darr...!! Sebuah meja dengan keras di geser dan membuat seluruh kelas memperhatikan aksi salah satu murid yang hendak turun tangan menghadapi mirza. Siswa itu sepertinya telah mencapai puncak kesabarannya dan akan memulai perkelahian. Tentu saja awalnya tidak ada yang menghentikan langkah siswa itu, namun saat sampai dihadapan Mirza dengan tangannya yang mengepal, sebagian siswa seperti Arif menjadi panik dan menyegerakan untuk meminta siswa lain menghentikannya. Tapi ironisnya, sebagian besar siswa di kelas justru terpancing menyorakinya dan mengatakan kepada siswa itu untuk memberi Mirza pelajaran. Di sisi lain, siswi di kelas tidak ada satu pun dari mereka yang berkutik selain menonton adegan apa yang akan terjadi. Bahkan Amelia yang dipenuhi amarah dan kecemasan tidak dapat memberikan keputusan maupun arahan kepada mereka semua yang memulai kehebohan.
    "Sepertinya kau sangat ingin memulai perkelahian ya," kata Mirza seolah sengaja menyinggungnya.
    "Kau pikir ini salah siapa? ha..!?" Bentak siswa itu.
    "Hmp, memangnya aku bersalah. Aku hanya mengatakan pendapatku sejujurnya. Apa kau tidak terima dengan itu?" Lanjut Mirza.
    "Banyak ngomong! ayo kita selesaikan di sini sekarang juga!" Kata siswa itu, segera memulainya dengan mendaratkan pukulan ke arah Mirza.
    "Lemah..."
    Dengan mudah, Mirza menekuk lengan siswa itu sebelum menguncinya. Terlihat siswa itu berteriak kesakitan, namun masih berupaya melawan. Tapi... Mirza kelihatannya sama sekali tidak main-main menghadapinya. Dengan keahlian berkelahinya, Mirza dapat membanting siswa itu dan menjatuhkannya di lantai dengan cukup keras. Cukup beruntung siswa itu terjatuh dengan punggung belakangnya yang ada di bawah. Jika tidak, kepalanya mungkin yang akan terbentur duluan. Ketika melihat Mirza yang menginjak perut siswa itu dengan kakinya, hampir seluruh murid menjadi diam, kecuali murid seperti Arif yang sejak tadi berusaha melerai pertikaian mereka.
    Tepat disaat yang bersamaan, terlihat di depan pintu masuk kelas... Bu Milan telah berdiri di sana melihat situasi kacau ini. Lebih mengejutkannya lagi, entah mengapa beliau bisa datang bersama dengan dia yang sekarang ini berdiri tepat di belakangnya.
                                                    ***
—Rafa
    Jika diingat kembali, sepertinya sudah begitu lama sejak aku terbaring di UKS, melewatkan beberapa jam pelajaran hari ini.
    Meskipun dalam kondisi ini aku bisa saja bersantai dulu sejenak, tetap saja aku masih memiliki beberapa hal untuk dilakukan ... tidak, mungkin lebih tepatnya diamati.
    "Sudah... jam berapa sekarang?"
    Itulah pertanyaan yang pertama kali keluar dari mulutku ketika membuka mata, menatap langit-langit putih untuk kedua kalinya.
    "Ini baru masuk jam istirahat kedua. Sepertinya kau memang benar-benar kelelahan. Hanya untuk memastikan saja, semalam kau tidak bergadang, kan?" Tanya Bu Yanti.
    "Mana mungkin. Sebagai siswa yang sehat, aku selalu menjaga jam tidurku," jawabku.
    "Kuharap kau benar," respon Bu Yanti, terdengar seolah tidak percaya.
    Tiba-tiba saja ditengah pembicaraan kami, suara pintu tiba-tiba terbuka. Disana, sekumpulan siswi memakai kaos olahraga datang. Melihat situasi mereka, sepertinya ada salah seorang dari mereka yang perlu perawatan.
    "Bu! Teman kami ada yang terluka, bisa minta bantuannya?" Tanya salah satu siswi.
    "Tentu saja ... maaf ya, nanti kita lanjutkan lagi pembicaraannya."
    Setelah mengatakan itu kepadaku, Bu Yanti segera menghampiri mereka dan merawat salah satu siswi itu yang terluka.
    Saat melihat mereka dari kejauhan, secara kebetulan aku melihat seorang siswi yang pernah kulihat waktu berada di ruang tes tertutup pertama kali diadakan. Jika tidak salah... dia adalah siswi yang pernah berdebat dengan Sherly dulu.
    "Huh..."
    Tanpa sengaja mata kami bertemu saat aku mencoba mengingatnya kembali. Tapi, seolah merasa tidak tertarik, dia segera memalingkan wajahnya dan kembali memperhatikan temannya yang terluka itu.
    "Aku sudah membersihkan area pendarahannya, tapi sepertinya dia juga terkilir di ujung kakinya," kata Bu Yanti, memeriksa.
    "Bagaimana ini, Sania... pertandingan kita melawan anak kelas IPA masih belum selesai. Jika Mita tidak ada, siapa yang bisa menggantikannya," salah seorang siswi tampak panik.
    Terlihat seperti sedang berpikir keras, siswi bernama Sania yang sebelumnya kutatap itu menyuruh mereka untuk tetap tenang, berkata bahwa dia akan mencari solusinya.
    "Apakah anda tidak bisa melakukan sesuatu seperti terapi untuk menyembuhkan kakinya yang terkilir?" Tanya Sania.
    "Bukannya tidak bisa, hanya saja aku tidak pernah melakukan terapi kaki kepada murid sebelumnya. Aku khawatir itu justru akan lebih memperburuk kondisinya," jawab Bu Yanti, sepertinya sengaja berbohong kepada mereka.
    Sambil memperhatikan situasi mereka yang tengah sibuk itu, aku mencoba berdiri, memeriksa kondisi tubuhku.
    "Badanku sudah lebih ringan, sepertinya aku bisa kembali ke kelas," gumamku, lantas berjalan hendak meninggalkan UKS.
    Tapi ironisnya, ketika aku berjalan melewati mereka, Sania yang seharusnya tidak tertarik denganku, sungguh mengejutkan karena mendadak dia menghentikanku.
    "Tunggu sebentar ... kau itu murid yang waktu itu mendapat nilai sempurna di tes individu saat pertama kali, kan?" Tanya Sania.
    "Lebih tepatnya hampir," jawabku, menyela.
    "Waktu itu kau sengaja mengejutkan semuanya untuk mengalihkan pertikaian kami kan?" Lanjut Sania, terdengar seperti hendak menginterogasi.
    "Apa Sherly yang memberitahumu?" tanyaku.
    "Tentu saja tidak! ... Tunggu, kau mengenalnya?"
    Seolah mendengar sesuatu yang mengejutkan dariku, Sania berbalik melihatku. Tentu saja secara otomatis itu membuat teman-temannya melirik ke arahku juga.
    "Daripada menanyakan sesuatu yang tidak penting, bukankah lebih baik kau memikirkan cara untuk menyembuhkan kaki temanmu yang terkilir itu," kataku.
    "Jika memang semudah itu aku sudah akan melakukannya daritadi! Memangnya kau tahu cara menyembuhkannya? Si ahli sastra," kata Sania, menyindirku.
    "Tidak ada sesuatu yang instan seperti itu. Tariklah ujung kakinya, lalu tekan kembali perlahan-lahan, itu akan meredakan rasa sakitnya, bukan langsung menyembuhkannya," jawabku.
    "Itu sama sekali tidak membantu! Pasti ada cara yang lebih baik untuk menyembuhkannya dengan efisien!" Kata Sania, tampak keras kepala, terus memelototiku.
    "Kalau begitu terserah kau saja. Aku juga tidak yakin kau bisa memikirkan cara yang lebih efisien dari itu," kataku, segera meninggalkan UKS.
    "Huh... apa-apaan dia itu! Sok jenius sekali," kata Sania, dibalik pintu UKS yang baru kututup.
    "Sepertinya tips darinya patut dicoba," kata salah satu dari mereka.
    "Eh~"
    "Serius...?"
                                                       ***
    Setelah meninggalkan UKS, ketika sedang dalam perjalanan menuju kembali ke kelas, kebetulan aku melihat Bu Milan yang berjalan dari arah berlawanan. Dari kejauhan aku bisa melihat ekpresi beliau yang cukup serius.
    "Oh... bagaimana keadaanmu?"
    Itulah pertanyaan beliau begitu kami berpapasan, melihat satu sama lain.
    "Sudah lebih baik. Kupikir sekarang aku bisa kembali ke kelas," jawabku segera. 
    "Ngomong-ngomong bagaimana kondisi kelas?" Lanjutku bertanya. 
    "Sepertinya kurang lebih tidak ada perubahan. Meskipun tadi di kelas Mirza dan teman-temannya bisa sedikit ku arahkan, itu hanya berlaku sementara," jawab Bu Milan.
    Itu sudah jelas. Sejak awal aku memang tidak berharap jika Mirza dan kelompoknya dapat tergerakkan. Tapi, ada beberapa hal yang ingin kucoba sambil mencari akar kelemahannya. Mudah untuk mengambil sikap dengan mengikuti arus yang dibuat orang lain, tapi tidak dengan merubah ketetapan hati yang dirinya sendiri pegang.
    "Apakah memang harus melakukan peran itu...?"
    Tiba-tiba beliau bertanya dengan intonasi tidak yakin, seolah ada keraguan besar yang mendadak muncul.
    Sepertinya, apa yang telah terjadi ketika jam mengajar beliau telah membuat sudut pandang baru sehingga dirinya dilanda keraguan. Tapi... seharusnya mulai dari sinilah awal proses debut beliau sendiri. Jika keraguannya tidak bisa diatasi segera, maka rencana 'pemulihan' ini sendiri tidak akan terbangun dan akan runtuh dengan sendirinya. 
    "Benar juga, sepertinya aku terlalu memaksa ibu untuk melakukannya," kataku.
    "Eh... kenapa mendadak...."
    "Kalau ibu peduli dengan Amelia dan seluruh murid di kelas, pilihannya hanya bertindak. Tapi ... jika anda memilih untuk tidak mengambil resiko dan tetap bermain aman seperti yang biasa ibu lakukan, maka anggap saja rencana ini tidak pernah kita bicarakan."
    Mendengar itu, Bu Milan terdiam cukup lama. Kupikir aku juga tidak harus menunggu jawabannya karena itu adalah keputusan beliau sendiri. Dalam skenario ini, satu-satunya yang dapat menentukan nasib kelas hanyalah keputusan Bu Milan. Disini, tidak lebih aku hanya berperan sebagai medianya saja.
    "Tunggu!"
    Saat akan berjalan meninggal beliau, mendadak muncul sebuah respon yang cukup cepat menghentikan langkahku.
    "Karena sudah sampai sejauh ini, sebagai guru aku akan melakukan peran itu yang tidak lain untuk bertanggungjawab. Apapun yang terjadi nanti, resiko dari jalan yang ditempuh seorang guru pasti akan selalunya ada. Ini yang kau harapkan, kan?"
    Seolah menyindir niatku yang sebenarnya dengan keseriusannya, beliau menatap tajam seolah menyatakan siap untuk bertarung serta bertaruh demi kelas.
    Setelah percakapan singkat ini berakhir, kami berdua sama-sama menuju ke kelas... dan... di saat yang sama, kami datang disambut dengan suasana kelas yang ricuh dengan pertunjukan megah di tengah-tengah kelas. Kebetulan seperti yang diharapkan, inilah panggung yang sesuai untuk beliau tampil.
                                                   ***
—Bu Milan
    Sebelum mendapat pekerjaan di sekolah futuristik cabang Jep-Ra, aku hanyalah seorang pengajar biasa di SMA. Guru yang selalu mendalami peran edukasi dan menaruh perhatian kepada banyak murid, itulah diriku.
    Sekitar delapan tahun yang lalu, itulah saat dimana ada seseorang yang secara tiba-tiba merekomendasikan tempat mengajar yang bernama sekolah futuristik kepadaku. Beliau merupakan salah seorang guru di sana yang akhir-akhir ini memiliki kepopuleran di kalangan masyarakat sekitar daerah. Tentu saja, karena disebabkan pekerjaannya yang berada di lingkungan itu, membuatnya disegani oleh masyarakat. Terkadang beliau juga dimintai saran oleh para orang tua yang akan menyekolahkan anak mereka di sekolah futuristik.
    Waktu itu aku masih belum tertarik dengan tempat di sekolah futuristik. Kupikir tempat pendidikan itu memiliki cara mengajar dan peran yang sama. Jika ada yang membedakan, itu mungkin adalah fasilitas yang diberikan. Jadi pada dasarnya, itu tidak jauh beda dengan tempat mengajarku yang sekarang. Jika sekolah futuristik merupakan sekolah besar yang lebih memperkenalkan secara luas dunia pendidikan ke satu kota, maka tempatku yang sekarang bisa disebut sebagai sekolah besar yang memperkenalkan dunia pendidikan dalam lingkup daerah saja. Tingkat kepopulerannya juga menjadi perbedaan.
    Setelah muncul lingkungan pendidikan yang baru itu, sekarang sekolah negeri seperti SMA dan sejenisnya di pandang sebelah mata oleh kebanyakan orang, telebih lagi konglomerat para orang kaya yang memang mampu menyekolahkan anak-anak mereka di sana.
    "Kamu memiliki bakat yang layak untuk berada di tempat yang lebih tinggi, tapi kenapa kamu menyia-nyiakannya di sini?"
    Itulah pertanyaan yang pertama kali kudengar saat kami bertemu dalam sebuah agenda pertemuan di luar ruang rapat. Dari caranya menanyakan itu secara mendadak, aku tahu beliau ini memiliki pandangan yang tajam dalam menilai seseorang. Alasan lain mengapa beliau bisa menanyakan itu, mungkin saja beliau telah mendengar informasi dari seseorang mengenai diriku.
    Sejujurnya memang benar jika aku cukup banyak dibicarakan oleh para murid di lingkungan SMA saat ini. Tapi, seharusnya itu tidak sampai menarik perhatian guru yang berada di sekolah lain, terlebih lagi beliau merupakan seseorang yang terkenal. Itulah yang mmembuatku cukup terkejut ketika beliau tiba-tiba berinteraksi denganku.
    "Bakat? Sepertinya anda terlalu melebih-lebihkannya. Saya hanyalah seorang guru SMA biasa yang bisa ditemui dimana saja. Sudah sewajarnya saya mendalami peran mengajar murid-murid," kataku, menyangkal pernyataannya.
    "Kemampuan beradaptasi... terus terang aku cukup kagum dengan sifat alami yang kau miliki saat melakukan interaktif dengan banyaknya para murid," ujarnya.
    Sepertinya, beliau memang mengetahui secara jelas peranku sebagai seorang pengajar. Tapi seharusnya tidak ada yang spesial dari itu semua.
    "Anu... dari mana anda mendengar itu? Dan bagaimana bisa anda menyimpulkannya demikian?" Tanyaku, menyelidik.
    "Sungguh sebuah kebetulan ya ... sebenarnya, di kelas anda menjadi wali kelas, ada anak saya yang sangat mengagumi kemampuan mengajar dan kemampuan berinteraksi anda."
    Saat mengatakannya, perlahan beliau berbalik badan, menoleh melihatku dengan senyumannya yang terasa begitu alami.
    "Namanya Ferdi. Anda pasti tahu kan."
    Saat beliau mengucapkan nama itu, sekilas aku langsung mengingat anak yang pendiam, namun sangat rajin di kelas. Sebelumnya kupikir dia dijauhi teman sekelasnya karena tidak tahu cara mengakrabkan diri dengan orang lain, tapi sepertinya, dia tidak memiliki masalah itu ... hanya saja dia terlalu terpaku dengan pelajaran, tidak seperti kebanyakan murid lain di kelas. Jika dipikirkan kembali, aku pernah memberinya masukan untuk 'tidak selalu serius menanggapi sesuatu dan menjalani sesuatu itu jika benar-benar ingin dilakukan'. Memang waktu itu aku berharap dia bisa meluangkan diri untuk lebih dapat berinteraksi dengan teman sekelasnya, jadi pada akhirnya... entah bagaimana teman sekelasnya tiba-tiba berinisiatif untuk memberikan kejutan kepada Ferdi. Sepertinya anak-anak di kelas memang tulus mengucapkan terimakasih kepadanya waktu itu. Karena jika tidak ada dia, kelompok belajar dan sebagainya pasti tidak akan terbentuk.
    Karena pertemuan yang seolah-olah merubah takdirku di tempat ini, sudut pandangku mengenai sekolah futuristik berubah saat itu juga ketika beliau memperkenalkan secara intens dunia pendidikan yang belum pernah ku ketahui.
    Sebuah tempat mengajar dengan pengetahuan tak terbatas dan disimulasikan secara langsung kepada para murid, membuat sekolah tersebut memiliki potensi tersembunyi untuk selalu berkembang menjadi yang terbaik. Tidak hanya fasilitas pada umumnya saja, tapi segala yang ada di lingkungannya memiliki ekstensi edukasi yang sangat proporsional dan dapat di interaksi sebagai bahan pengajar untuk para murid.
    Sejak saat itu, aku menjadi lebih mengenal sekolah futuristik, dan setelah melihat potensinya yang masih memiliki banyak kemungkinan untuk digapai, pada akhirnya aku berani meninggalkan tempat yang telah menjadi karirku selama ini. Tentu saja perpisahan dengan para murid membuat hatiku cukup berat untuk melepaskannya, apalagi untuk anak kelas dua belas yang paling lama mengenalku saat menjadi wali kelas mereka dari kelas sepuluh.
    Kemudian, setelah mengikuti wawancara dan sebagainya ketika menawarkan diri menjadi guru di sekolah futuristik, aku berhasil melaluinya dengan prosedur yang cukup panjang. Saat berhasil memasuki lingkungan baru tersebut, aku teringat dengan beliau yang telah membagikan cerita mengenai sekolah futuristik.
    Seperti yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri saat ini, dalam sekejap aku menjadi paham mengapa saat itu beliau bersikeras menawarkanku untuk mengajar di tempat yang begitu megah ini. Tapi... yang cukup membuatku kecewa adalah aku tidak dapat menemui beliau lagi setelah itu. Kabarnya, beliau telah pensiun dan sekarang menjadi pengelola perusahaan besar yang ada di kota Jep-Ra. Bahkan sekarang anak-anaknya telah menjadi orang-orang yang sukses, begitu juga dengan Ferdi yang sepertinya telah menjadi anggota penting dalam suatu partai dan telah terjun ke dunia politik setelah lulus dari kuliah.
                                                   ***
—Rafa
    Peran yang ku minta dari Bu Milan seharusnya sudah cocok untuk situasi saat ini. Sisanya adalah bagaimana beliau memerankannya dan seberapa berpengaruhnya beliau dapat menggerakkan hati para murid.
    "Ada apa ini?!" Tanya Bu Milan, mengambil sikap tegas yang belum pernah ditunjukkan.
    "Bu Milan, sebenarnya ini..."
    "Mirza yang memulainya!"
    Salah seorang siswa menyela penjelasan Amelia yang bergegas mendekati Bu Milan.
    "Saya bertanya ada apa ini?!" Sekali lagi, Bu Milan menegaskan pertanyaannya yang belum mereka jawab.
    Jika melihat dari ekspresi wajahnya, ini pertama kalinya beliau menciptakan atmosfer tekanan berat seolah-olah menjadi sosok guru yang berbeda, bukan seperti Bu Milan yang biasa kami kenal.
    "Apa ada yang bisa menjelaskannya dengan detail tanpa mengandung kebohongan? Di antara kalian, siapa yang akan maju!?"
    Mendengar kata-kata tegas itu, seluruh kelas menjadi hening. Bahkan mirza yang baru saja menyingkirkan kakinya dari siswa yang diinjaknya, hanya diam menatap Bu Milan tanpa menunjukkan ekspresi berlebihan seperti biasa. Namun di sini anehnya, setelah mendengar pertanyaan tegas dari Bu Milan, Amelia yang berdiri tepat di depannya justru jadi tidak berkutik sama sekali, menunduk dengan muka terbenam.
    "Aku bisa menjelaskannya!"
    Kata itu berasal dari murid yang memiliki posisi sebagai sekretaris laki-laki di kelas, dia adalah Arif, seorang siswa yang selalu bersikap netral dan sangat menjunjung tinggi nilai keadilan, setidaknya begitulah menurutku.
    Setelahnya, Arif segera maju dan menceritakan secara detail kronologi yang menyebabkan konflik terjadi. Meskipun kelas menjadi hening ketika dirinya menjelaskan, Arif sepertinya berusaha keras untuk tetap mengambil sikap netral dari apa yang dilihatnya. Dan setelah sampai di tahap ini, aku ingin tahu keputusan seperti apa yang akan Bu Milan ambil...?
    'Hukuman' adalah kata yang tepat untuk meredakan konflik ini. Masalahnya adalah, siapa dan bagaimana semuanya terjadi masih belum memiliki bukti yang jelas. Jika melihat secara objektif, hampir seluruh murid di kelas pasti akan menunjuk Mirza yang menjadi pusat dari konflik tersebut. Tapi meskipun begitu, dirinya hanya melakukan yang sewajarnya murid sekolah lakukan. Mungkin seperti itulah sudut pandangannya. Mengambil 'keputusan sendiri' dan bergerak layaknya murid nakal biasa adalah apa yang telah diperbuatnya selama ini. Kupikir saat ini dia memang telah memiliki suatu tindakan di balik layar, karena itulah, untuk mengakhiri kepura-puraannya yang masih bermain sebagai salah satu murid di kelas, aku memilih Bu Milan yang merupakan wali kelas kami sebagai mediatornya.
    "Mirza! Sebagai seorang pengajar, saya memiliki hak untuk membimbing kelas. Ini adalah permintaan terakhir saya untuk meluruskanmu ... apa kamu masih ingin saya bimbing?"
    Di akhir pertanyaan, bukannya tegas atau serius, Bu Milan justru tersenyum ke arah Mirza, memberinya kesempatan terakhir yang seolah terlihat seperti jalan bercabang dari apa yang bisa Mirza putuskan. Sejauh ini beliau sudah melakukannya dengan benar dan sangat menghayati. Pastinya sekarang ini, di dalam hati beliau terdapat konflik batin yang juga terlibat. Tapi beliau bukanlah guru selemah itu yang mudah jatuh pada tekanan dramastis. Justru beliau sendiri yang akan menggunakan kemampuan dramanya untuk menyelesaikan bagian konflik yang dibuat Mirza ini.
    "Huh... padahal sudah sejauh ini tidak ada masalah. Sepertinya pandangan ibu kepadaku sudah berubah. Bukannya sejak awal ibu terobsesi dengan pencapaian ayahku?"
    Sungguh respon yang tidak terduga dari Mirza. Kupikir dia akan segera menjawabnya dengan kata 'tidak' dengan gagah berani. Namun di luar dugaan, sepertinya dia justru beralih menyinggung ekstensinya. Sepertinya inilah titik yang menyebabkan konflik batin antara Bu Milan dengan Mirza. Alasan mengapa beliau tidak pernah menindaklanjutinya selama ini.
    "Sepertinya kamu sudah salah mengartikannya," kata Bu Milan, membantah pernyataannya.
    "Oh... dimana yang salah?"
    "Memang benar kalau saya sangat menghormati beliau. Karena kamu anak beliau, dan awalnya saya pikir kamu punya potensi tersendiri di kelas. Karena itulah, apa yang kamu lakukan selama beberapa hari ini saya anggap wajar. Tapi, setelah sampai di titik ini, saya sadar bahwa kamu sepertinya hanya memanfaatkan situasi saja. Kalau kamu bersedia merubah sikap dan pemikiranmu itu mulai dari sekarang, saya yakin ... di masa depan kamu pasti bisa menjadi orang sukses seperti ayahmu," kata Bu Milan, terdengar cukup dramastis.
    Sekarang aku sudah menemukan jawaban mengapa Bu Milan tidak terlalu sering menegur sikap Mirza di kelas. Ternyata, situasi pribadi Bu Milan sendiri yang membuatnya jadi sulit melakukan. Dari apa yang keduanya katakan, telah jelas membuktikan bahwa ayah Mirza memiliki ektensi penting yang telah dimanfaatkan oleh anaknya sendiri sejauh ini.
    "Ternyata dia bisa masuk ke sekolah ini lewat orang dalam ya...."
    "Dia pasti anak orang kaya...."
    "Hidupnya sudah terjamin...."
    Beginilah yang sekarang terjadi setelah situasi ini berlanjut. Dalam sekejap, fakta itu seketika langsung menyebar ke seluruh kelas yang mendengarnya secara langsung. Dari cara Mirza yang membongkar rahasianya sendiri... tidak, sepertinya dari awal dia memang tidak mencoba merahasiakannya. Dia sengaja mengatakannya dan sepertinya memang memiliki motif tertentu. Kalau tidak... untuk apa dia melakukannya sampai sejauh itu?
    "Hmp... semua orang sama saja. Aku sudah muak dengan perkara membanding-bandingkan itu. Setiap orang memiliki hak mengambil keputusannya sendiri. Dalam kondisi apapun, mereka berhak melakukan apa yang mereka inginkan. Sejujurnya aku membenci ayahku yang suka memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Berbeda dari kakakku, aku sama sekali tidak memiliki kejeniusan seperti dia. Sama seperti yang kau katakan, ayahku pasti berpikir kalau dia menyekolahkanku di sini itu akan bisa mengubah diriku. Tapi... aku sudah memutuskan untuk tidak merubah apapun selama berada di sini. Semua itu kulakukan hanya untuk membuatnya kecewa," kata Mirza, dengan lugas dan terus terang.
    "Kenapa sampai sejauh itu...?" Tanya Bu Milan, melihatnya kecewa.
    "Sederhana. Aku belum menemukan 'kebebasan' yang selama ini kucari dalam hidupku. Dan sebelum menemukannya, tidak akan ada yang bisa mencegahku bersikap dan bertindak," jawab Mirza, dengan menyeringai jahat, berjalan kembali ke tempat duduknya, sama sekali tidak mempedulikan tatapan seluruh kelas yang tertuju padanya.
    "Itu berarti jawabannya adalah kamu sudah tidak bisa saya bimbing ya?" Ucap Bu Milan, mempertegas pertanyaannya kembali.
    "Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan. Aku juga akan melakukan apa yang ingin kulakukan. Sederhana, kan."
    "Apa yang kamu rencanakan?"
    "Yah... untuk saat ini kurasa tidak ada."
    "Huh... sepertinya hukuman saja tidak akan efektif untukmu. Ini peringatan terakhir. Jika aku melihat ada konflik yang terjadi karena ulahmu lagi, sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain membicarakan ini dengan kepala sekolah," kata Bu Milan, sekilas melihat CCTV yang tergantung depan kelas.
    Setelah mendengar peringatan tersebut, semua orang di kelas saling bertatap-tatap, membicarakan Mirza yang hendak dilaporkan langsung ke pusatnya jika sampai membuat masalah besar lagi di dalam kelas. Ini adalah upaya terakhir yang bisa dilakukan oleh Bu Milan. Sekarang aku bisa pastikan untuk sementara waktu ini, Mirza tidak akan mengacau di kelas selama dirinya masih memiliki peran lain di luar. Ini sesuai dengan hasil yang ku harapkan. Inilah mengapa aku tidak akan bisa melakukannya tanpa bantuan dari Bu Milan.
    Sampai sejauh ini, aku mulai menyadari suatu hal yang cukup sederhana. Jika semua hal yang diceritakannya tadi itu benar, maka ini akan menjadi hal yang cukup masuk akal juga.
    "Cukup meragukan, tapi jika melihat dari tindakannya sejauh ini... itu mungkin saja."
    Dari apa yang ku amati dari awal hingga akhir, hanya satu teori yang sangat mendekati fakta. Kemungkinan besar... Mirza sengaja ingin keluar dari sekolah ini setelah memenuhi ambisinya mengacaukan sekolah. Akan tetapi, entah mengapa kurasa kesimpulan itu terlalu cepat untuk diambil.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Call(er)
1105      637     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...