—Amelia
Seorang pemimpin yang kukagumi adalah seseorang yang dapat memberikan perintah kepada pengikutnya dengan menghasilkan hasil yang sepadan. Tujuan dibentuk sebuah organisasi itu ada berbagai macam tergantung dari seorang pemimpin atau pengikutnya yang menetapkan. Sebenarnya kondisi juga bisa menjadi salah satunya, akan tetapi di zaman sekarang, kebanyakan itu menjadi tujuan karena terpaksa agar dapat mempertahankan suatu hal dari ancaman. Dengan berbagai alasan itulah yang membuat kebanyakan orang enggan menjadi pemimpin. Selain diberikan tanggung jawab penuh, pemimpin juga harus memperhatikan pengikutnya. Tapi... tidak semuanya bisa dilakukan. Orang-orang sekarang lebih sering diberikan arahan daripada menunjukkan inisiatif sendiri. Ini terbukti di berbagai tempat yang salah satunya adalah di dunia pendidikan, posisi ketua kelas umumnya tidak akan ada yang mengisinya jika didalamnya berisi anak-anak yang tidak kompetitif dan tidak terlalu ingin berinisiatif.
Menurutku, menjadi pemimpin itu sederhana. Jika para bawahan bisa di kendalikan sepenuhnya, maka organisasi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Seharusnya menjadi bawahan itu juga sangat sederhana. Cukup mengikuti arahan pemimpin dan tidak banyak protes, maka semuanya akan berjalan lancar dan sesuai dengan hasil kerja keras.
Tapi ... sayangnya ... di lingkungan yang tempati saat ini, hambatan dasar tersebut telah meruntuhkan segalanya. Bukan hanya aturan kelas yang rusak, melainkan juga kepercayaan para murid di kelas juga bisa hilang secara bertahap. Sebaik-baiknya pemimpin, jika bawahannya tidak patuh, maka semuanya akan berakhir. Kurasa semudah itulah organisasi hancur ... dan ini juga sama seperti dulu yang pernah kualami.
"Hah... percuma ... ini seperti tidak ada bedanya."
Setelah kembali dari kantin, seperti biasa aku langsung ke kelas dan duduk di tempatku. Dari belakang, kebisingan yang sudah menjadi hal umum di kelas bisa kudengar dan bahkan membuatku jengkel mendengarnya. Siapa lagi jika bukan Mirza dan kelompoknya, si pembuat masalah. Setelah mendiamkan mereka, kelihatannya mereka justru menjadi lebih leluasa dan bebas melakukan apa saja di kelas. Bahkan ketika jam pelajaran, beberapa guru seperti bu Eko sangat tidak ramah menanggapi tingkahnya yang sulit diatur. Belakangan ini aku menjadi bertanya-tanya, apakah pilihanku mendiamkannya ini salah...? Sekarang aku kehabisan cara untuk mendisiplinkannya.
"Tch ... apa-apaan dia itu," gumamku kesal.
Sepertinya memang tidak ada cara lain untuk membuat mereka patuh. Jika bukan karena Mirza, sesuatu seperti deklarasi yang diucapkannya kemarin mungkin tidak akan pernah ada. Sejujurnya aku tidak mengerti mengapa dia menyatakan hal tersebut. Jika dipikir-pikir, aku tidak pernah membuat kesalahan yang seharusnya membuatnya membenciku. Apa itu karena aku menawarkan diri menjadi pemimpin dan sering memberikan peringatan tegas kepadanya...? Tidak! ... Semua itu kulakukan karena peranku sebagai ketua kelas, jadi wajar saja jika aku merasa harus menertibkan mereka. Bukankah itu sudah menjadi tugasku? Apa aku salah dalam melakukannya? Jika ada sesuatu yang salah dimana letak kesalahannya? ... Sungguh ... aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti dengan apa yang dia harapkan.
" ... Eh! Mel!? ... Kau baik-baik saja?"
Saat kupikir kelapaku akan meledak sementara dilema yang kurasakan membuat leherku terasa seperti mengeluarkan keringat dingin, pada saat itu juga Sifa yang kebetulan telah kembali melihatku tampak khawatir.
"Aku baik-baik saja," kataku.
"Sungguh?" Tanya Sifa, memastikan.
"Ya... hanya sedikit kelelahan," kataku.
Meskipun aku berusaha terlihat baik-baik saja di depannya, aku yakin dia pasti sudah menyadarinya. Sekilas dari tatapannya mengatakan itu ... namun, sebagai ketua kelas aku harus bisa menjadi karakter yang patut untuk di contoh. Setidaknya, aku ingin dia mengerti jika aku ingin dianggap 'baik-baik saja' olehnya walaupun itu hanyalah kebohongan.
" ... Kupikir sebaiknya kau tidak terlalu memaksakan diri."
Sekilas mendengar kata itu darinya, entah mengapa secara spontan aku merasa ingin marah, melampiaskan semuanya yang kutahan daritadi kepadanya.
"Kenapa... bukankah itu wajar," kataku, dengan bibir yang bergetar.
"Amelia...?"
"Apa-apaan itu! Jika seandainya kau yang berada di posisi ini bukankah kau juga akan memikirkan hal yang sama!? Kenapa kalian hanya seenaknya sendiri memutuskan bagaimana menanggapinya! Jika sistem kelas ini hancur, apakah kau hanya akan tinggal diam dan melihatnya saja!? Bisakah kau melakukan itu?"
Tanpa ku sadari, aku mengatakan semua hal tersebut dengan nada yang begitu tinggi sambil berdiri merasa kesal. Yah... kupikir sampai di sini aku sudah cukup menyadarinya. Sepertinya aku sudah muak menghadapi situasi yang menggantung seperti ini.
"Mel... tenanglah, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku mengerti bagaimana perasaanmu menghadapi masalah di kelas ini, dan aku juga mengerti seberapa berat tanggung jawab yang kau emban."
Sementara murid-murid lain di kelas melihat ke arahku karena terkejut, hanya Sifa-lah yang menenangkanku dengan perkataan tulusnya.
"Maaf... sepertinya aku terbawa suasana," kataku, segera duduk kembali.
"Hahaha... ada apa denganmu? Apa kau sudah rusak karena terlalu memikirkan kelas? Benar seperti yang tadi dia katakan, jangan terlalu memaksakan diri menjadi pemimpin. Cepat atau lambat, kau pasti akan menyerah juga."
Disaat yang sama, suara lantang bersumber dari arah belakang, terdengar Mirza seperti mengolok-olok dengan gaya bicaranya yang seperti biasa menjengkelkan. Aku ingin sekali membalas perkataannya, tapi hari ini sudah ku putuskan untuk mendiamkannya seharian. Aku yakin jika orang seperti dia pasti tidak akan mengerti susahnya menjadi seorang pemimpin, karena itulah dia bisa berbicara seenaknya.
Tak lama kemudian, jam istirahat berakhir dengan kedatangan Bu Milan yang akan mengisi mapel selanjutnya.
***
—Cika
Saat ini adalah jam kelima setelah istirahat pertama. Seperti yang tertulis di jadwal salah satu aplikasi pada ponsel pelajar, sekarang adalah mapel bahasa Inggris yang akan di isi oleh Bu Milan. Seperti yang kami semua telah ketahui, Bu Milan adalah wali kelas bahasa yang sangat ramah dan lemah lembut kepada para murid. Jika ditanya siapa di antara guru saat ini yang paling perhatian dengan kelas kami ditengah kacau balau ... itu sudah pasti beliau.
"Selamat siang semuanya."
"Selamat siang Bu!"
Seperti biasa Bu Milan melakukan absensi kelas sebelum memulai pelajaran.
Ketika sampai dimana nama Mirza disebut, beliau masih seperti biasa memberinya perhatian, meskipun tahu seburuk apapun sikap dan responnya. Karena tidak ada lagi yang sudah mempedulikannya di kelas, hanya Bu Milan saja satu-satunya sosok yang masih memberinya teguran, meskipun tidak terlalu tegas seperti Bu Eko. Dalam kondisi tersebut, terlihat Mirza hanya mengiyakannya sebelum pada akhirnya memalingkan pandangannya ke arah teman-temannya, memulai kegaduhan sendiri.
Sudah hampir satu bulan sejak awal pendaftaran dan sejak saat itu tidak ada perubahan yang siginifikan didalam kelas. Semuanya tetap berjalan dinamis walaupun keadaan saat ini semakin diperparah oleh Mirza yang resmi menjadi parasit bagi kelas. Untuk mendapat dukungan ... dia membentuk kelompok yang terdiri dari anak-anak bermasalah di kelas. Seperti benalu yang tak dapat hidup tanpa inangnya, kondisi Mirza mungkin hampir sama seperti itu di kelas.
"Untuk pelajaran bahasa inggris hari ini, mari kita buat sebuah permainan," kata Bu Milan mendadak.
Kupikir ini sungguh sangat tidak biasa. Aku bertanya-tanya apakah ini dilakukan agar semua murid di kelas khususnya Mirza dan kelompoknya juga ikut serta? ... Bahkan setelah mendengar kata 'permainan' saja, terlihat Mirza dan kelompoknya sama sekali tidak tertarik.
Tidak berhenti di situ, Bu Milan sekali lagi berusaha membujuknya untuk ikut serta, namun Mirza hanya meresponnya dengan jawaban yang tidak jelas. Jika dilihat secara objektif, kemungkinan besar permainan ini dilakukan agar Mirza dan kelompoknya tertarik dengan pelajaran. Tapi Bu Milan juga tentunya pasti menyadari bahwa ketertarikan seperti itu pasti hanya akan bertahan sementara.
"Hah... biar kuberitahu. Sekeras apapun ibu membujukku, itu hanya akan sia-sia," kata Mirza, menghela nafas sebal.
Tentu saja Bu Milan masih mencoba merayunya dengan penuh kesabaran. Hampir semua siswa di kelas memperhatikannya ... namun disisi lain, sebagian besar siswi tidak begitu tertarik dan menyeru kepada Bu Milan untuk mempercepat, segera memulai permainannya.
Pada akhirnya Mirza sudah dipastikan tidak akan ikut permainan itu. Meskipun sudah ditawarkan secara khusus oleh Bu Milan, tetap saja dia tidak tertarik dan menolaknya seakan-akan dia bisa melakukannya jika serius. Lalu... karena tidak ingin menunggu lagi, Sifa angkat bicara dan terang-terangan mengatakan dengan jelas agar Bu Milan membiarkan saja sosok siswa bernama Mirza itu beserta kelompoknya. Kemudian, beberapa siswi lain yang mendengarnya juga ikut membenarkan perkataan Sifa. Dalam situasi tersebut, Bu Milan yang terpojokkan, terpaksa menuruti permintaan para siswi itu.
Sebelum dimulainya permainan, tiba-tiba aku teringat kembali dengan perkataan Rafa dari beberapa hari yang lalu saat membicarakan sesuatu mengenai 'kehancuran kelas' dan 'rencana pencegahannya'. Meskipun jika dilihat secara objektif kelas hanya menjadi lebih canggung setiap harinya, itu mungkin terlalu berlebihan untuk menyebutnya sebagai tahapan dari kehancuran kelas. Bukannya aku tidak percaya dengan perkataannya, hanya saja aku ingin melihat langsung kebenarannya yang bisa menjawab pertanyaan 'mengapa menurutnya kondisi kelas yang seperti ini bisa menjadi tahap kehancuran kelas?' ... Itu membuatku cukup penasaran.
"Permainan ini akan menggunakan poin sebagai hasil dari jawaban yang benar. Sederhananya permainan ini seperti sambung kata, hanya saja semua kata memakai bahasa inggris."
Setelah Bu Milan menjelaskan dasar-dasarnya, dengan cepat para siswi barisan depan terlihat memahaminya. Karena kelihatannya ini akan menjadi permainan yang menggunakan 'cara merespon' dan 'berpikir cepat', kupikir ini akan menjadi sulit untukku yang kurang cakap dalam berinteraksi. Bahkan, sekarang ini aku baru saja bisa menjadi lebih dekat dengan orang lain setelah sekian lama ... tapi jika tiba-tiba dihadapkan sesuatu seperti ini... rasanya memang kurang percaya diri. Aku jadi bertanya-tanya, mengapa Rafa mengandalkanku untuk melakukan sesuatu yang mencolok? ... Ini cukup sulit.
"Untuk mengikutinya, kalian bisa bebas membuat kelompok dengan sebelah kalian atau dari barisan lain. Tapi jika kalian membuat kelompok dengan murid barisan lain, kalian harus berkumpul dalam satu dua meja yang sama. Batasan per-kelompok dibagi menjadi 4 murid..."
Setelah menjelaskan mengenai pembagian tersebut, beberapa murid segera berdiri dan bergabung dengan orang-orang yang paling dekat dengan mereka. Baik dari teman yang sudah saling kenal, maupun teman sebangku sendiri.
"Itu... apa boleh kita satu kelompok?"
Seseorang yang tiba-tiba mengusulkan ide itu adalah siswi yang duduk bersebelahan denganku. Mungkin karena kami baru saja berkenalan kurang dari seminggu ini, dia terlihat masih canggung. Awalnya aku tidak terlalu menyadari keberadaannya yang duduk semeja denganku karena aku hanya selalu berinteraksi dengan Maya dan Arisa di sisi samping barisan meja lain. Tapi setelah dia mendadak muncul bertanya mengenai kondisi Arisa yang sempat terkena masalah, itulah saat dimana kami baru berinteraksi, lalu berteman.
"Bisa saja. Bagaimana kalau ajak Maya dan Arisa juga?" Ujarku.
Siswi yang memiliki tubuh kecil tersebut tidak lain adalah Erlin. Belakangan ini aku mulai memperhatikannya ... mengesampingkan fisiknya yang kecil, untuk seorang siswi SMA dia cukup pintar dan tekun. Mungkin dia kurang mahir dengan mapel bahasa inggris, tapi dia cukup mahir dengan mapel sains. Dan saat ini, karena permainan yang diadakan Bu Milan berbasis mapel bahasa inggris, itu mungkin menjadi alasan mengapa dia memilih untuk segera bergabung dalam sebuah kelompok.
Karena Erlin sepertinya tidak menolak usulanku, dengan segera aku mengajak Maya dan Arisa bergabung. Dari cara keduanya memandangku, kelihatannya mereka sengaja menungguku berinisiatif mengajak mereka. Bisa kutebak ini pasti ide jahil yang biasa Maya lakukan untuk menggodaku, lantas aku balas melihat keduanya dengan ekspresi datar. Tak lama kemudian, siswi yang duduk di belakang segera pergi bergabung dengan ajakan siswi lain ... pada saat itulah Maya dan Arisa menempati tempat duduk di belakangku dan Erlin.
Beberapa menit kemudian, setelah cukup lama Bu Milan mengatur dan menunggu yang lain membentuk kelompok masing-masing, pembagian kelompok selesai dengan jumlah kelompok terdiri dari 10 kelompok. Diantaranya ada kelompok beserta murid yang kukenal seperti kelompok Amelia, kelompok Mikael dan kelompok siswa barisan depan yang hanya kutahu laki-lakinya bernama Arif. Sementara itu, Mirza dan kelompoknya sepertinya memang tidak akan berpartisipasi. Tapi ... tidak seperti dia tertarik sedikitpun, meskipun tidak ikut bagian dia masih memperhatikan jalannya perubahan letak tempat duduk sementara ini dan seperti sedang 'menandai' sesuatu.
Kelompok Amelia Kelompok Mikael
-Amelia -Mikael
-Sifa -Anis
-Nida -Fitri
"Bu! Bagaimana dengan pelanggarannya?" Tanya Amelia mengangkat tangannya.
"Seperti yang saya jelaskan tadi aturannya sangat sederhana, jadi pelanggarannya juga sama sederhananya."
Mendengar hal tersebut, beberapa murid yang berpartisipasi menjadi lebih serius menanggapinya. Karena terlalu terikat dengan permainan yang berbasis sederhana, mereka mungkin berpikir bahwa pelanggarannya tidak akan terlalu berguna. Tapi ... diluar dugaan, sepertinya Bu Milan berniat memberikan tantangan yang lebih sulit untuk permainan ini.
"Ada 2 bentuk pelanggaran di permainan ini. Pelanggan pertama, jika salah satu siswa diduga membuat sesuatu sejenis bantuan dalam bentuk apapun kepada siswa dari kelompok lain, maka akan langsung didiskualifikasi kedua-duanya. Untuk menghindarinya, pastikan kalian tidak menerima bantuan dari kelompok lain dan tidak membuat bantuan untuk kelompok lain maka kelompok kalian akan aman."
Seperti yang Bu Milan jelaskan, pelanggan pertama ini adalah pelanggan yang masih sering dilakukan khususnya dikalangan anak laki-laki yang biasanya suka bermain licik. Sesuatu seperti 'meminta bantuan' itu sangat masuk akal jika dijadikan salah satu bentuk pelanggaran. Karena dengan begitu, semua kelompok dapat bermain dengan adil sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
"Lalu pelanggan yang kedua, untuk keadilan bersama, bagi yang tidak ikut berpartisipasi dalam permainan ini akan diberikan hukuman bebas secara langsung oleh ketua kelas sendiri."
Saat Bu Milan menjelaskan hal tersebut yang seolah menyindir salah satu kelompok yang tidak ikut berpartisipasi, senyuman yang Bu Milan tunjukkan terlihat seperti senyuman yang penuh kelicikan ... atau lebih tepatnya, memaksa kehendak seseorang untuk mematuhi aturan yang telah dibuat sendiri. Pastinya sebagian besar murid secara spontan melihat ke arah Mirza dan kelompoknya. Entah itu seperti yang Bu Milan harapkan, dari kejauhan ekspresi Mirza dengan cepat berubah serius, seakan tidak menduga kemungkinan ini. Jika di ingat-ingat kembali, ide dari permainan ini awalnya ditujukan kepada Mirza dan kelompoknya agar ikut serta dalam persaingan ini. Meskipun belum sepenuhnya mengerti dengan apa yang sebenarnya direncanakan Bu Milan, yang pasti semua ini dilakukan agar Mirza dan kelompoknya dapat terkontrol ... mungkin kurang lebih begitulah yang seharusnya menjadi tujuan Bu Milan jika melihat dari segi tindakannya.
"Bisakah ibu tidak menggunakan hak itu untuk memaksa murid yang tidak ingin berpartisipasi? Kupikir itu berlebihan," protes Mirza.
"Tugas saya hanya membimbing semua murid di sini sesuai dengan peran saya sebagai guru. Meskipun harus menggunakan cara memaksa sekalipun, saya tidak akan segan-segan melakukannya," kata Bu Milan, tampak serius.
Sejujurnya aku sempat merasa bingung dengan sikap Bu Milan hari ini. Biasanya beliau akan lebih mengutamakan cara yang paling halus dan tindakan yang tidak terlalu berlebihan saat berada di kelas. Tapi... berbeda dengan hari ini, penegasan beliau hampir seperti guru lainnya yang seperti yang beliau katakan 'akan menggunakan cara apapun untuk membimbing semua murid di kelas'. Jika dipikir secara logis, mungkin saja beliau terdorong melakukan ini karena telah melihat kondisi canggung seluruh murid di kelas, sekaligus melihat sikap Mirza yang semakin melewati batas.
"Hah... aku hanya tinggal ikut, kan," kata Mirza, terlihat menahan kekesalannya.
"Itu baru bagus," kata Bu Milan, tersenyum puas.
"Eh... kau serius?" Tanya salah satu temannya kepada Mirza.
"Mana mungkin," jawab Mirza.
"Lalu kenapa kau berubah pikiran?" Tanya salah satu temannya.
"Jika sudah seperti ini mana mungkin bisa menolak. Aku benci mengatakannya, tapi sekali lagi aku tidak ingin diatur oleh perempuan sok serius itu," kata Mirza, sekilas melirik Amelia dari kejauhan, seolah sengaja menyinggungnya.
Ketika sedang fokus mendengarkan perkataan Mirza lebih jauh mengenai hal tersebut, tiba-tiba Maya memanggilku ... sekaligus mengejutkanku dari belakang.
"Ci~ka!"
"Wa...! Bukannya sudah pernah kubilang untuk tidak mengagetkanku seperti itu," kataku.
"Habisnya sudah ku panggil berulangkali kau tidak menjawab," kata Maya.
"Benarkah?"
"Bukankah kita akan membentuk kelompok? Ke-tu-a."
"Ketua...? Maksudmu aku?"
"Kau yang mengajak kami kan. Wajar saja kalau kau yang harus menjadi ketuanya," kata Maya, menyeringai jahil.
"Tapi... aku tidak terlalu...."
"Stop merendah! Tenang saja, kami juga akan membantumu. Kita pasti bisa melakukannya," kata Maya, terlihat bersemangat seperti biasanya.
Mendengar hal tersebut, di sampingnya Arisa juga ikut mendukungku dengan anggukan seriusnya.
"Aku juga akan berusaha semampuku," kata Erlin yang duduk di sebelahku.
" ... Kupikir ini akan menjadi pertamakalinya aku memimpin kelompok," kataku.
"Sungguh? "
Maya terlihat terheran seolah tidak percaya. Kemudian aku meresponnya dengan mengangguk.
Yah... Jika dipikir kembali itu memang benar. Sejak tiga tahun terakhir aku telah berhenti berinteraksi dengan orang lain dan bahkan tidak berusaha mengakrabkan diri di kelas seperti saat ini ... hingga akhirnya, tidak ada seorangpun yang mendekat. Berbeda dengan kondisiku di masa lalu, sekarang aku merasa seperti hidup kembali menjadi diriku yang baru. Kupikir perkataan Rafa waktu itu ada benarnya ... mungkin ada kalanya jika seseorang harus bersembunyi dari orang lain ... tapi kondisi itu tidak akan bertahan selamanya. Bahkan di situasi tersulit sekalipun, seorang pasti berusaha ingin dimengerti dan pastinya akan mengharapkan kehadiran seseorang untuk membantunya. Itulah yang menjadi sifat alami manusia.
"Bagaimana dengan kelompok kalian? Apa sudah memutuskan siapa yang akan menjadi ketuanya?" Tanya Bu Milan—menghampiri kami.
Sebelum menjawab, aku sempat melirik ke arah keduanya di belakang dan mereka terlihat sangat antusias mendorongku untuk menjadi ketua. Di sisi lain, Erlin juga menatapku cukup serius sejak tadi.
"Mungkin aku... yang akan menjadi ketuanya, Bu..." kataku yang masih dipenuhi keraguan, seraya mengangkat tangan dengan perlahan.
"Namamu Cika kan," kata Bu Milan.
"Iya," kataku.
Setelah mencatatnya Bu Milan beralih ke kelompok yang lain dan memberikan pertanyaan serupa.
"Kerja bagus," kata Maya di belakang.
"Ngomong-ngomong, May ... apa kau cukup pandai dengan mapel bahasa inggris?" tanyaku.
"Memangnya kau pikir kenapa aku mau bergabung kalau tidak mengharapkan sesuatu yang seperti itu," kata Maya, dengan basa-basi.
"Mengharap sesuatu... seperti apa?"
"Huh... bukannya sudah jelas. Aku tidak terlalu pandai dengan mapel ini, karena itulah aku sengaja bergabung denganmu," jawab Maya, juga Arisa yang mengikutinya dengan anggukan.
"Jadi... alasan kenapa kau mendorongku untuk menjadi ketua itu...."
"Yah, sejujurnya karena aku tidak terlalu menyukai pelajaran bahasa inggris, kupikir akan lebih baik kalau menyerahkannya kepadamu," kata Maya.
"Sepertinya aku sudah salah menilaimu," kataku, mencelutuk dengan intonasi datar.
Yah... meskipun sifat Maya yang seperti ini sudah menjadi kebiasaannya, tetap saja dia masih peduli dengan teman-temannya. Meskipun terkadang tidak memberikan jawabannya secara lisan, tapi tindakannya bisa saja menjadi sesuatu seperti sedang 'memberikan jawaban'. Itulah sosoknya yang ku ketahui dari sudut pandangku tentang dia sebagai siswi yang suka jahil.
Setelah selesai mencatat semua kelompok di kelas, Bu Milan kembali ke depan dan mulai menghidupkan layar papan belajar. Kemudian dilanjutkan dengan membuka salah satu aplikasi pada icon yang tampak seperti buku LKS yang kami gunakan saat ini. Di tampilan awal dapat dilihat ada beberapa pilihan seperti 'kamus', 'ranking/rekor murid', 'bentuk soal & jawaban' dan terakhir ada 'jenis-jenis pembelajaran'. Disitu, Bu Milan memilih pilihan 'jenis-jenis pembelajaran'. Setelah mengkliknya, ada pilihan baru lagi yang muncul. Diantara pilihan itu Bu Milan memilih jenis pembelajaran 'mode permainan' yang ada dalam pilihan. Namun sebelum itu tampak Bu Milan sempat meninggikan sesuatu seperti tampilan bar suara pada ponsel.
"Seperti yang saya jelaskan di awal, permainan ini seperti sambung kata, tapi karena kita akan bermain dalam kelompok, maka akan ada aturan tambahan seperti 'batas waktu' yang akan menjadi rintangan utamanya. Sistem pergantiannya juga sudah saya urutkan..."
Kemudian... di depan sana Bu Milan menyebutkan semua kelompok berdasarkan urutan dalam sambung kata. Seperti yang Bu Milan sebutkan, kelihatannya kelompok kami mendapatkan urutan ketujuh sebelum kelompok Amelia dan sesudah kelompok Mikael.
"Mengenai aturan 'batas waktu', mungkin kalian sudah paham maksud intinya. Maka dari itu langsung saja saya sampaikan, untuk batas waktu menjawab setiap orang di kelompok akan mendapat waktu lima detik yang dimulai sesudah orang sebelumnya menjawab. Jadi permainan ini akan memiliki ronde dan setiap selesai di ronde kedua akan ada waktu tenang selama satu menit."
"Bu! Jadi masing-masing kelompok akan memilih satu perwakilan yang akan dimainkan di setiap ronde, begitu?" Tanya Amelia.
"Ya. Karena kita akan bermain setiap dua rondenya, maka akan ada dua perwakilan," jawab Bu Milan.
Seperti yang beliau jelaskan sampai di sini, kelihatannya, sebelum masuk ke ronde tiga, lima dan seterusnya maka akan ada waktu satu menit untuk berdiskusi. Meskipun itu waktu yang tidak banyak, seharusnya itu sudah cukup untuk mengatur urutan perwakilan yang akan bermain.
"Nah... siapa yang akan bermain dulu di ronde pertama dan kedua ini?" Tanya Maya segera.
"Menurutmu bagaimana?" Balik tanyaku.
"Eh... bukankah kau ketuanya, itu tidak akan ada artinya jika kau bertanya kepadaku," kata Maya.
" ... Kau benar, berikan aku waktu untuk berpikir," kataku.
Menanggapi reaksiku, Maya terlihat menyeringai jahil ketika menoleh ke arah Arisa dan Erlin. Entah apa yang dia pikirkan, tapi yang pasti, aku merasa ini adalah tugasku sebagai ketua untuk mengatur mereka. Sambil memikirkan urutan perwakilan di kelompok kami, kelihatannya Bu Milan di depan masih melanjutkan sesuatu.
"Perlu kalian perhatikan, bagi kelompok yang akan terpilih di garis start, kelompok tersebut dapat bebas menyambung kata yang nantinya akan muncul di layar papan belajar, lalu disambung kelompok lainnya yang juga bebas memilih kata akhiran dengan bahasa yang benar. Karena permainan ini hanya berdurasi lima detik, pastikan kalian tidak melamun atau tergagap saat kelompok kalian mendapat giliran atau mendapat giliran memulai."
Saat Bu Milan mengucapkan kata 'tergagap', secara spontan Arisa mengeluarkan suara seolah-olah ia terkejut. Sementara itu, disisi lain terlihat Amelia beserta kelompoknya sangat tenang mendengarkan semua penjelasan beliau. Kupikir mereka sudah memahami inti permainan ini. Selain mengandalkan cara berpikir cepat, kelihatannya permainan ini juga mengandalkan pengalaman seseorang agar dapat menggali 'kata penyebutan' dengan tepat dan akurat, itulah kuncinya.
"Eli," panggilku.
"Ya?"
"Kau sudah mengerti intinya, kan?"
"Kurang lebih."
"Kalau begitu... bisakah kau yang bermain di ronde pertama?" Tanyaku.
"A-aku...? Tapi...."
"Tenang saja, kau pasti bisa," kataku.
"Tidak... itu... kalau ini bahasa Inggris...."
"Berusahalah untuk kita semua."
Meskipun telah menyemangatinya, sepertinya Erlin masih resah dengan ketidakmampuannya dalam bidang bahasa inggris. Kupikir itu wajar, karena setiap orang pasti memiliki bidang yang dikuasai dan tidak dikuasai.
" ... Kalau begitu, mungkin aku yang akan—"
"Ketua! Bagaimana kalau aku yang bermain di ronde kedua?" Tanya Maya, mendadak memotong.
"Kau yakin?"
"Apa kau meragukan kemampuanku?"
Mengatakan hal tersebut, Maya seolah terlihat sangat percaya diri dengan kemampuannya.
"Bukan seperti itu. Hanya saja, kupikir kau akan lebih memilih bermain di ronde ketiga atau keempat," kataku.
"Memangnya kau pikir aku seegois itu?"
"Bukankah biasanya memang hampir selalu seperti itu?" Lanjut-ku.
"Yah intinya aku yang akan bermain di ronde kedua ini. Kau tidak keberatan kan, ketua?"
"Jika ditanya keberatan atau tidak, sepertinya bukan itu masalahnya."
"Anu... sepertinya sudah akan dimulai," kata Arisa ditengah pembicaraan kami, sementara menunjuk ke arah Bu Milan yang selesai menjawab pertanyaan dari beberapa murid.
"Baiklah semuanya, kita akan mulai permainannya!" Kata Bu Milan.
***
Setelah mengatur sesuatu yang ditampilkan pada layar papan belajar, di sana terdapat urutan nomor kelompok berdasarkan nama ketuanya. Karena saat ini aku menjadi ketua di kelompok ini, namaku juga muncul di sana. Lalu, tak lama kemudian kesepuluh nama itu tiba-tiba memunculkan animasi seperti sedang mengocok nama ... dalam situasi ini, semua kelompok tampak fokus melihat layar papan agar dapat 'merespon' garis start yang mungkin akan didapat.
" ...... "
Ketika animasi itu menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, suasana semakin menegangkan. Lalu... saat nama kelompok yang mendapatkan garis start dimunculkan, seketika suasana kelas pecah. Nama kelompok yang ditampilkan adalah kelompok Amelia, sedangkan kata pertama yang muncul adalah 'apple'.
"Eagle!" Sahut Amelia dengan cepat.
"A-itu, anu...."
Saat kelompok kami yang mendapat urutan kedua mendapat giliran, terlihat Erlin yang panik tidak dapat merespon kata akhiran selanjutnya dengan cepat dan waktu lima detik pun berlalu.
"Waktu habis," kata Bu Milan.
Mendengar itu, Erlin kembali duduk dengan ekspresi murung. Kupikir... sepertinya aku sudah terlalu memaksanya.
"Maaf, sepertinya aku terlalu menekanmu," kataku.
Saat melihat ekspresinya, sekilas aku teringat dengan kejadian di masa lalu yang dimana aku terlihat seperti tidak mempedulikan orang lain. Meskipun aku tidak menyadarinya, fakta bahwa orang lain yang telah merasakannya itu tidak berubah. Dari dulu aku memang bodoh jika memikirkan sesuatu seperti perasaan. Tidak heran jika orang yang begitu dekat, mendadak akan hilang dari hidupku karena ketidakpahaman dan ketidaktahuanku.
"T-tidak apa-apa. Justru... aku malah ingin berterimakasih kepadamu," kata Erlin.
"Eh?" Sontak, aku terkejut dengan ucapannya.
"Aku tahu kalau suatu saat nanti aku akan mulai menghadapi kenyataan. Kupikir langkah awal akan menjadi sulit dilakukan jika tidak ada seseorang yang mendorongku. Karena itulah, aku berterimakasih kepadamu," lanjut Erlin, dengan tersenyum lebar.
Seolah ada ombak yang membersihkan hatiku dengan begitu lembut, mendengar hal tersebut seketika rasa penyesalanku terasa sirna begitu saja, dan tanpa kusadari aku mencubit kedua pipi Erlin yang entah mengapa terlihat seperti boneka yang mungil.
"Anu... Cika ...?"
" ... maaf, aku kelepasan," kataku, melepas kedua pipinya.
"Wah... kau pasti sangat menikmatinya kan," kata Maya, menyinggung tindakanku.
"Sudah kubilang aku kelepasan kan!" Bantahku.
"Ya, ya, kita sudahi dulu bercandanya. Jadi? setelah ini giliranku kan," kata Maya, terlihat sudah menantikannya.
"Lakukanlah, aku mengandalkanmu," kataku.
Setelah pembicaraan singkat ini berakhir dengan kami yang saling menyemangati, Bu Milan yang sempat menghibur Erlin di samping mengambil kembali posisinya. Sebelum memulai ronde kedua, sepertinya antusiasme masing-masing kelompok meningkat setelah mengetahui langsung bentuk dari permainan ini.
"Ronde kedua, apa semuanya siap?" Tanya Bu Milan, seusai menyetel kembali layar papan.
"Ya!!" Jawab seluruh murid.
Seperti yang telah kami sepakati, di ronde kedua Maya yang akan bermain. Dari yang kutahu nilai akademisnya tidak buruk akan tetapi tidak terlalu baik juga. Dalam beberapa bidang dia memiliki standarnya sendiri. Dalam beberapa kemungkinan dia memiliki perbandingan antara keberhasilan dan kegagalan yang sama. Seolah menyerupai kepribadiannya, dia memang perempuan yang tak semudah itu dapat ditebak secara langsung.
Setelah menunggu beberapa saat, layar papan kembali beroperasi. Terlihat di sana animasi mengocok 'nama kelompok' kembali dilakukan. Sama seperti sebelumnya, tak ada perbedaan pada tahap ini. Tak lama kemudian, animasi tersebut menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Saat akan berhenti, aku mencoba mengamati sekilas 'tanda-tanda berhenti' tersebut guna memperkirakan kelompok mana yang akan mendapatkan garis start. Sebelumnya, saat ronde pertama berjalan aku telah melakukan hal yang serupa seperti mengamati animasi mengocok pada nama-nama kelompok itu, namun aku tidak berhasil memperkirakannya dengan tepat sehingga memunculkan komplikasi seperti 'di antara keduanya'. Yang dapat kutangkap saat itu hanyalah urutan nama-nama kelompok yang disusun pada layar papan. Entah itu memang sengaja diatur seperti itu atau hanya sebuah kebetulan, setelah melihat untuk yang kedua kalinya, urutan tersebut sama sekali tidak berubah. Kupikir secara tidak langsung, sepertinya aku dapat mengingat urutan tersebut berdasarkan 'nomor kelompok' yang sempat diperlihatkan pada animasi mengocok berdurasi 0,5 atau mungkin 0,8 detik itu. Mungkin jika merumuskannya dengan cara sistematis, aku mungkin dapat menebak kelompok siapa yang akan mendapatkan garis start. Tapi... meskipun dapat menghitungnya, ada kemungkinan jika semua yang ku hitung tidak akurat. Ini bisa saja disebabkan karena kesalahan dari mataku yang tak dapat menangkap 'tanda nomor' itu, atau mungkin ada sesuatu yang salah mengenai 'permulaan' animasi itu dari kelompok mana yang pertamakali diperlihatkan. Jika di ronde pertama yang diperlihatkan pertamakali adalah kelompok Arif dan berhenti di kelompok Amelia maka perhitungannya mungkin sama seperti saat ini. Sementara memikirkan itu, aku terus melihat layar papan yang sepertinya animasi tersebut akan berhenti tepat di perhitunganku...
"...."
Dan... seperti yang kupikirkan, animasi mengocok tersebut berhenti di kelompok Mikael yang pada akhirnya mendapatkan garis start.
"Banana!" Kata siswi yang berada di kelompok Mikael menyebutkan kata akhiran yang ditampilkan pada layar papan.
"Apple!"
"Elevator!"
"Rocket!"
"Trap!"
"Pieces!"
"Shark!"
"Key!"
"Yellow!"
Selanjutnya, kelompok yang mendapatkan kata akhiran 'W' adalah kelompok kami. Maya dengan ekspresi serius langsung melanjutkannya dalam waktu jeda 2 detik.
"Wolf!"
Entah ini memang kebetulan atau tidak, nyatanya kata 'wolf' yang dia sebutkan terdengar seperti mencerminkan dirinya sendiri. Setelah melewati gilirannya, ditengah keseriusannya Maya sempat melirik kami, dan agak-agaknya terkejut melihat respon kami usai mendengar kata yang diucapkannya barusan.
Lalu... saat permainan masih berjalan dan sepertinya putaran kedua akan sampai kepada kelompok kami, ketika giliran kelompok Mirza melanjutkan, Arga melakukan kesalahan dalam pengucapan bahasa. Kesalahan tersebut terjadi karena sepertinya dia tidak mempertimbangkan pengucapan kosakata yang tepat dan kupikir dia hanya mengucapkan sesuatu yang terpikirkan olehnya.
"Tch, bukankah sebaiknya kita tidak perlu ikut saja," keluh Arga, terlihat kesal menoleh ke arah Mirza.
Meskipun telah mendengar keluhannya, Mirza tidak merespon apapun dan tetap diam dengan muka tebal. Jika dipikir-pikir, Mirza seharusnya dapat berhenti ditengah permainan dan kembali menyibukkan diri dengan obrolan kelompoknya... tapi, tidak seperti biasanya, saat ini dia terlihat seperti sedang memperhatikan sesuatu dengan menoleh ke arah masing-masing kelompok.
Setelah ronde kedua berakhir, waktu istirahat singkat pun dimulai. Hampir sebagian besar kelompok menggunakan waktu mereka untuk merencanakan strategi, disisi lain, kelompok yang sudah tidak mempunyai semangat juang seperti kelompok Mirza, hanya bersantai-santai seolah permainan sudah selesai. Sementara itu, kami sepertinya juga akan mengatur siapa yang akan bermain di ronde ketiga dan keempat setelah ini.
"Nah, bagaimana kalau kedua ronde itu kita serahkan saja kepada sang ketua."
" ... Eh... aku?"
Mendengar usulan dari Maya yang mendadak itu, untuk beberapa saat aku merasa terkejut membeku sampai-sampai kupikir diriku salah dengar.
"Apa katamu tadi?"
"Bisakah kau bermain 2 ronde sekaligus, ketua?"
Dengan seringai liciknya, dia terlihat sengaja melemparkan 'bobot' atas statusku sebagai ketua kelompok ini.
"Apa Arisa tidak ikut ambil bagian?"
"I-itu..."
"Tidak boleh begitu, ketua... kau seharusnya tidak memaksa anggotamu melakukan sesuatu diluar kemampuannya."
Meskipun maksud perkataan Maya terdengar menyebalkan, entah mengapa disisi lain dia seperti ada benarnya.
"Jika tidak ada yang keberatan, aku akan melakukannya," kataku, melihat mereka bergantian.
"Ya, kami tetap akan mendukungmu," kata Maya.
Tepat setelah beberapa menit kami berdiskusi, istirahat satu menit akhirnya selesai.
The Call(er)
1105
637
10
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya.
Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...