Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

Juara 1 dari IPS kini terjebak menjaga toko –bukan tempat ia bekerja, dan membersihkan toko tersebut –lagi-lagi, ia tidak dibayar untuk ini. Aditya setengah menjatuhkan ember berisi air dan sabun kemudian mencelupkan pel di ember itu. Ia sudah menjepit batang hidungnya untuk menghalau pesingnya air seni Ocep –bocah sialan! pikirnya. Kemudian dengan kasar ia menyerbu kolam air yang bau itu dengan pel. 

"Sial," gerutunya pada diri sendiri. Kalimat yang ia lontarkan pada Vania terus terngiang di kepala. 

'Lo punya keinginan untuk mati atau gimana, hah?' Apakah pertanyaan ini yang membuat ekspresi itu di wajah Vania? Sampai sekarang Aditya memang merasa bersalah tetapi ia tidak begitu mengerti kalimat apa yang merupakan pelatuk untuk kekecewaan Vania –kekecewaan... itulah yang terpampang di wajah Vania, yang kini membuat Aditya merasa ingin menampar dirinya sendiri berkali-kali.

'Cewek normal di mana-mana bakal diam aja dan lari, tahu ga? Kalau ga ada gue dan Bari gimana?' Ataukah pertanyaan ini yang membuat Vania berkaca-kaca dan pergi? Sebelumnya Aditya pernah membuat Vania berkaca-kaca juga tetapi tidak pernah hingga membuat Vania merasa perlu pergi. 

Urgh! Aditya melempar pel ke dalam ember, membuat air tumpah ke lantai.

'Setelah lo melawan cowo itu, lo bakal ngapain, Van? Hah?' Memangnya salah bila Aditya merasa marah setelah melihat Vania dengan cerobohnya menggigit cowok sialan itu? Di satu sisi, dia berharap Vania menggigit lebih keras. Di sisi lain, bagaimana kalau cowok itu bereaksi dan memukul Vania? Apa yang Aditya tanyakan pada Vania kan benar, bila tidak ada Bari dan Aditya, bisa bahaya untuk Vania. Kenapa sih perempuan itu tidak mengerti maksud Aditya? Kenapa juga mulut Aditya selalu saja berhasil mengatakan hal-hal yang menyakitkan padahal yang sebenarnya ia rasakan adalah... adalah... 

Aditya menendang ember berisi penuh dengan air di depannya. Untungnya, tidak cukup keras untuk ember itu menumpahkan semua air di dalamnya. 

Apa yang gue rasakan tadi? Aditya menghela napas panjang. Sejujurnya, dia khawatir Vania akan terluka dan dia sangat frustrasi tidak lebih dulu mencegah Cecep atau Ocep atau apalah nama cowok jelek itu dari menyentuh Vania hingga membuat perempuan itu merasa harus membela diri sendiri –Aditya sebenarnya marah terhadap dirinya sendiri karena tidak melindungi Vania dengan becus. Terlebih lagi, Aditya menyesal telah berkata pada Vania bahwa ia tidak akan melindungi Vania sebelumnya, sehingga Vania merasa perlu untuk bertindak sendiri.

Satu hal lagi yang membebani pikirannya adalah pernyataan Bari sekitar tiga puluh menit yang lalu, "Tidakkah menurut lo, cara Vania ngomong dan bersikap tuh seperti... ia sudah pernah mengalami kejadian seperti ini?"

Aditya yang kurang mengerti bertanya apa maksud Bari saat itu.

"Ga tau sih," kata Bari, "Tapi kayak lo bilang. Orang yang pertama kali disudutkan oleh kekerasan akan ga tahu harus ngapain karena fight or flight response mereka belum pernah diuji. Sebagian besar orang akan memilih flight kalau konfrontasi bukanlah hal yang biasa untuk mereka. Tapi Vania... berani bertindak."

"Keberanian seperti itu biasanya dipupuk dari waktu ke waktu," lanjut Bari, "jadi perasaanku bilang kalau Vania sudah sering dikonfrontasi seperti itu dan ia hampir selalu harus melawan balik."

Saat itu Aditya sadar bahwa selain di sekolah, ia tidak tahu menahu kehidupan privat Vania –ya, selain fakta bahwa rumah Vania adalah yang terbagus di antara mereka bertiga. Namun mengenai kehidupan keluarga Vania atau bahkan... mengapa Vania bersikeras sekali ingin dapat beasiswa meski berasal dari keluarga berada... Aditya tidak tahu. Malah selama ini, Aditya telah mengisi kekosongan itu dengan asumsinya sendiri; bahwa Vania hanya ingin validasi dengan mendapatkan beasiswa. Kesadaran ini membuat Aditya semakin ingin menonjok dirinya sendiri.

Helaan napas yang lebih panjang terdengar dari mulut Aditya. Ia menatap langit malam dari balik pintu kaca toko. Perempuan yang memenuhi kepalanya kini sudah tidak terlihat. Setelah dia pergi, Bari menghentikan Aditya dari mengejarnya. Bari bilang mereka berdua kini butuh waktu untuk mendinginkan kepala, jadi Bari yang akan mengejar Vania dan memastikan Vania sampai rumah dengan aman. Sementara Aditya akan menjaga toko... dan membersihkan kolam pesing milik Cicak.

Di satu sisi, Aditya tahu Bari memang benar. Di sisi lain, Aditya juga merasa kesal karena kenapa Bari yang mengejar perempuannya–

Alur pikiran Aditya terhenti seketika. Dia mengerjap, terkejut dengan alur pikirannya sendiri.

Perempuan–nya. Ia benar-benar berpikir seperti itu. Perempuan–nya.

Aditya menghela napas kasar lagi, kemudian mengusap wajahnya. Entah bagaimana, ia merasa begitu letih malam ini. Apakah Vania sudah menjadi orang yang penting bagi gue tanpa gue sendiri sadar? Namun apapun jawabannya, tidak akan mengubah fakta bahwa mereka adalah saingan. Mungkin proyek dengan Bari ini membuat mereka harus bekerja sama sementara tetapi pada akhirnya mereka harus memperebutkan beasiswa yang sama. Aditya tidak perlu mengingatkan dirinya sendiri betapa pentingnya beasiswa itu untuk hidupnya. Jadi, apapun perasaan tersembunyinya terhadap Vania... perasaan itu tidak boleh berkembang.

***

Entah sudah berapa lama Vania berjalan di kegelapan malam. Dia bukanlah orang yang gampang takut ataupun tidak tahu arah jalan rumahnya sendiri, tetapi ledakan emosi yang melandanya membuat otaknya seakan beku. Kini dia berada di persimpangan jalan dan sumpah demi seluruh prestasi yang ia pernah raih, ia tidak bisa mengingat belokan mana yang perlu ia ambil. 

Di saat-saat seperti ini, biasanya Aditya sudah akan berjalan lebih dulu dan Vania akan pura-pura tidak pernah lupa jalan pulangnya. Memikirkan itu membuat Vania sadar dia sudah terlalu sering diantar Aditya pulang. Vania tidak pernah memintanya, tetapi dia tidak pernah menolaknya juga. 

Entah mengapa, malam ini terasa... sepi.

"Lupa jalan pulang?" 

Vania terkesiap mendengar suara yang familiar di belakangnya. Lebih terkejut lagi ketika ia memutar tubuh dan mendapatkan Bari beberapa langkah di belakangnya. Kenapa Bari? pikirnya.

"Kenapa lo di sini?"

Bari mengambil satu langkah. Kedua tangannya disematkan dalam saku celana. Posturnya begitu santai tetapi di saat yang sama pemuda ini membuat udara di sekitar mereka terasa lebih intens. Bahkan jangkrik di jalanan itu berhenti bersuara. 

"Buat mastiin lo baik-baik aja," kata Bari dengan datar, "Ini pertama kalinya gue lihat lo sesedih ini."

"Sedih?" Vania tertawa kecil, "Siapa yang sedih? Gue ga sedih tuh?"

Bari hanya memandang Vania tanpa berkata apapun. Kedua mata perempuan itu masih terlihat berkaca-kaca dan merah meski di kegelapan malam. Garis-garis wajahnya seakan menunjukkan kelelahan yang begitu besar. Keheningan Bari seakan berkata, 'lu ga berhasil membohongi siapapun, Van.'

Setelah mengerti tatapan Bari, Vania memutar kedua bola matanya. "Oke, gue kesal. Gue... marah. Ya, gue marah!" tutur Vania, "tapi ga sedih. Marah!"

"Marah karena?"

"Karena... urgh!" Vania mengepalkan kedua tangannya di samping wajah. Ia mengeluarkan suara gemuruh seperti teriakan yang tertahan. "Karena Aditya tuh nyebelin banget! Gue cuma... cuma... kenapa si Cupang itu boleh nyentuh gue seenak jidat tapi pas gue lawan balik gue yang dimarahin?"

Bari tidak kuasa menahan tawa setelah mendengan nama Ocep disebut Cupang, meski ia tidak mengoreksi Vania. 

"Apa yang lucu?" tanya Vania dengan sangar.

"Apa lo sering dimarahin," tanya Bari, "setiap kali lo melawan balik?"

Pertanyaan itu membuat Vania tertegun. Ia hanya bisa mengerjapkan matanya dalam hening, berusaha memproses bagaimana Bari bisa mengetahui hal itu. 

Matanya mengerjap sekali. Kemudian dua kali.

Lalu ia mengalihkan pandangan ke bawah, melihat kedua kakinya sendiri di atas jalanan trotoar. Entah sejak kapan, sebuah tsunami seakan menghantam sanubarinya secara tiba-tiba. Tsunami itu membawa badai yang membuat seluruh dada dan pundaknya bergemuruh, menghancurkan dinding-dinding batu yang selama ini ia bangun. Ketika dinding-dinding itu runtuh, dirinya pun menjadi patah dan... saat itulah dua tetes air mata terjatuh di atas trotoar, membuat dua lingkaran abu yang kecil. Kemudian badai di dalamnya menyeruak keluar dan membuatnya membungkuk begitu dekat dengan trotoar. 

Anehnya, Bari tetap tenang dan tidak buru-buru menyerang Vania dengan pertanyaan, seperti 'Kok nangis?' 'Ada apa?' atau bahkan menyuruh Vania berhenti menangis seperti yang akan Anisa, sahabatnya, lakukan. Vania sayang dengan sahabatnya itu, tetapi Anisa jelas sekali tidak berpengalaman menghibur kesedihan yang dimiliki Vania. Beberapa kali Vania mencoba menjelaskan tetapi Anisa tidak bisa mengerti yang menjadi kegundahannya, bahkan ibu Vania sendiri tidak mengerti, jadi Vania belajar untuk menguburnya.

Ah, jadi Bari memang benar, pikirnya, aku memang sedih. Aku memang marah, tetapi ini adalah kemarahan yang berasal dari kesedihan.

Entah sudah berapa lama Vania terisak sembari berjongkok di atas trotoar. Ketika Vania sudah lebih tenang dan mendongakkan kepala, Bari sudah terduduk di ujung trotoar. Kedua kaki panjangnya –meski tidak sepanjang Aditya, direntangkan ke arah jalan beraspal yang kosong. Vania akhirnya duduk di samping Bari.

"Lo ga harus jelasin," kata Bari dengan lembut. Kalimat itu... Vania sangat menghargainya. Karena Vania tahu bila ia memaksa diri menjelaskan apa yang ia rasakan, Vania hanya akan kembali terisak. 

"Kayaknya dari awal lihat lo, gue udah tahu," jelas Bari, "dari sekian banyak berandal, gue bisa bedain mana yang udah pernah dihajar dan mana yang belum. Mereka yang udah pernah berantem biasanya akan lebih berani dan menantang gue, malah mereka suka adrenalinnya, beda kalau belum pernah –sekali gue ancam dikit mereka langsung ciut. Sekali dihajar mereka langsung trauma dan berikut-berikutnya akan menghindari gue."

"Ada juga mereka yang ga punya pilihan untuk memberanikan diri," Bari melirik ke samping kirinya, menangkap tatapan Vania. "Mereka menjadi keras karena lingkungan membuat mereka seperti itu. Mereka harus berteriak hanya untuk didengarkan, atau bahkan menggunakan kekerasan untuk mencari perhatian. Mereka nekad bukan karena bodoh, tetapi karena mereka harus melindungi diri setiap saatnya dan menurut mereka, 'daripada gue yang diserang, mending gue serang duluan.'"

Vania memiringkan kepalanya. "Kayak lo?" pertanyaan tak terduga itu keluar begitu saja dari mulut Vania. Namun Bari mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan itu.

"Kayak gue," jawab Bari, "daripada gue terluka, mending gue lukain orang lain lebih dulu. Itu mentalitas gue yang dulu. Makanya gue ga punya teman sekarang. Gue udah melukai satu-satunya orang yang pernah peduli dan memperjuangkan gue juga. Dan gue pikir ga ada jalan keluar bagi gue selain tawuran. Tapi kalian tiba-tiba datang –meski direncanakan Pak Tirto."

Sejujurnya, Vania sedikit terkejut akan analisis Bari tentang Vania dan dirinya sendiri. Ia juga ingin bertanya pada Bari apakah satu-satunya orang yang pernah peduli dan memperjuangkan Bari adalah Tiara, yang rumornya adalah mantan pacar Bari. Namun akhirnya Vania meredam rasa penasaran itu.

"Ocep memang pantas kok lo gigit," kata Bari dengan seringai jahil, "Lo cuma bereaksi terhadap tindakan Ocep yang kurang ajar. Ga ada yang salah dengan itu. Aditya cuma khawatir sama lo aja makanya dia keceplosan marahin lo. Dia sebenarnya lebih marah ke dirinya sendiri."

"Marah ke dirinya sendiri?" ulang Vania.

"Coba aja kalau kita balik ke Indomarket sekarang pasti Aditya lagi bersungut-sungut menyesal," kata Bari, masih dengan seringai jahilnya.

Ketika Vania masih menatap Bari dengan tatapan tidak mengerti, Bari menghela napas sekaligus tertawa. "Lo ga lihat apa gimana cara Aditya natap lo?" tanyanya pada Vania, "Lo ga pernah tanya ke Aditya ngapain dia nganterin lo pulang hampir tiap malam? Atau kenapa pas tadi, dia langsung pasang badan di depan lo?"

Vania berkedip. 

Bari tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Vania. "Gapapa, Van," katanya di tengah-tengah tawanya, "gapapa, nanti lo akan tahu dengan sendirinya."

Vania akhirnya memilih untuk berlagak seperti tidak pernah mendengar Bari lima menit terakhir. Ia mendeham kemudian berkata, "Kayaknya lo cocok jadi psikolog."

"Memang itu cita-cita gue sebelum..." Bari mendecakkan lidah. Tanpa ia melengkapi kalimat itu, Vania sudah tahu kelanjutannya.

"Dulu gue bercita-cita menjadi psikolog anak, untuk jadi teman dengar anak-anak seumuran adik-adik gue," kata Bari. Matanya sedikit berkaca-kaca, seperti ia sedang mengenang masa lalu yang sudah tidak mungkin ia alami lagi. 

Ketika Bari tidak melanjutkan ceritanya, mereka berdua jatuh dalam keheningan. Hingga Vania bertanya, "Sekarang?"

"Sekarang gue cuma mau pastiin gue dapat sertifikat SMA aja dan langsung kerja full time," jawab Bari, "jangan marah ya. Sebenarnya tanpa kalian pun gue berencana ikut Ujian Nasional kok sebagai syarat dapat sertifikat SMA. Tapi kedatangan kalian benar-benar penyelamat gue untuk berhenti dari tawuran dan malah... sekarang gue bisa belajar lagi ngejar ketinggalan."

Bari tersenyum tulus kepada Vania. "Terima kasih ya untuk kalian berdua," katanya.

"Terima kasih lo harusnya ke Pak Tirto," koreksi Vania, "bagi kita sih ini masih merupakan proyek yang menjengkelkan. Meski... ga buruk juga." Vania membalas senyuman tulus Bari.

"Tapi Bar," Vania bertanya kembali, "Kalau lo punya kesempatan kuliah tanpa perlu mikirin biayanya, apakah lo tetap akan memilih psikologi?"

Bari menatap bulan sabit di atas mereka untuk sesaat, berpikir. "Iya," akhirnya ia menjawab, "tapi sepertinya passion gue bukan di psikolog anak lagi, tapi menjadi psikolog untuk anak-anak kayak gue. Remaja-remaja yang tersesat, yang terpaksa dewasa sebelum waktunya, yang terjebak di lingkaran kekerasan."

"Sama kayak lo dan Aditya –juga Pak Tirto, merentangkan tangan untuk gue," katanya masih dengan senyuman tulus, "gue rasa gue perlu merentangkan tangan untuk mereka."

Vania terdiam untuk beberapa saat. Sama sekali tidak berekspektasi bahwa jawaban Bari akan sedalam itu. "Kita ngasih lo duit, sih," kata Vania datar untuk meringankan suasana, "jadi terima kasih duit yang membuat segalanya mungkin."

Bari tertawa terbahak-bahak untuk kedua kalinya. Kali ini ia sampai memegangi perut dan hampir menangis. Kemudian dia menggelengkan kepala. "Kalau bukan kalian berdua yang datang sendiri dengan duit itu dan proposal gila kalian, gue ga akan terima. Jadi jangan diskredit diri lo sendiri dan Aditya."

Pemuda itu berdiri dan merentangkan tangan ke arah Vania. "Mending sekarang kita balik ke toko dan minta tolong Aditya anterin lo pulang malam ini," katanya, kembali dengan seringai jahil yang menjengkelkan di wajah, "kecuali lo udah inget jalannya."

"Ih! ngapain minta tolong Aditya?" seru Vania, "gue pesen ojek online aja–"

Begitu Vania mengeluarkan ponselnya, suara yang nyaring berbunyi dan layar ponsel Vania tiba-tiba menggelap. Suara itu berarti baterai Vania sudah habis.

Melihat itu membuat Bari tertawa keras untuk ketiga kalinya malam ini. Kemudian tanpa berkata apapun, ia mulai berjalan kembali ke Indomarket dengan Vania mengikuti sambil menunduk malu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
My Reason
714      471     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."
Melankolis
3064      1125     3     
Romance
"Aku lelah, aku menyerah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya, tanpa hembusan angin pengharapan." Faradillah. "Jalan ini masih terasa berat, terasa panjang. Tenangkan nafsu. Masalah akan berlalu, jalan perjuangan ini tak henti hentinya melelahkan, Percayalah, kan selalu ada kesejukan di saat gemuruh air hujan Jangan menyerah. Tekadmu kan mengubah kekhawatiranmu." ...
Mistress
2631      1316     1     
Romance
Pernahkah kau terpikir untuk menjadi seorang istri diusiamu yang baru menginjak 18 tahun? Terkadang memang sulit untuk dicerna, dua orang remaja yang sama-sama masih berseragam abu-abu harus terikat dalam hubungan tak semestinya, karena perjodohan yang tak masuk akal. Inilah kisah perjalanan Keyra Egy Pillanatra dan Mohamed Atlas AlFateh yang terpaksa harus hidup satu rumah sebagai sepasang su...
Let Me be a Star for You During the Day
1062      582     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
High Quality Jomblo
45302      6337     53     
Romance
"Karena jomblo adalah cara gue untuk mencintai Lo." --- Masih tentang Ayunda yang mengagumi Laut. Gadis SMK yang diam-diam jatuh cinta pada guru killernya sendiri. Diam, namun dituliskan dalam ceritanya? Apakah itu masih bisa disebut cinta dalam diam? Nyatanya Ayunda terang-terangan menyatakan pada dunia. Bahwa dia menyukai Laut. "Hallo, Pak Laut. Aku tahu, mungki...
Secret Room
480      355     4     
Short Story
Siapa yang gak risik kalau kamu selalu diikutin sama orang asing? Pasti risihkan. Bagaimana kalau kamu menemukan sebuah ruang rahasia dan didalam ruang itu ada buku yang berisi tentang orang asing itu?
The Difference
9344      2054     2     
Romance
Diana, seseorang yang mempunyai nazar untuk berhijab setelah ada seseorang yang mengimami. Lantas siapakah yang akan mengimami Diana? Dion, pacar Diana yang sedang tinggal di Amerika. Davin, sahabat Diana yang selalu berasama Diana, namun berbeda agama.
My LIttle Hangga
788      513     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.
GEANDRA
444      357     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
My Sweety Girl
11550      2613     6     
Romance
Kenarya Alby Bimantara adalah sosok yang akan selalu ada untuk Maisha Biantari. Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya waktu salah satu dari keduanya perlahan terlepas. Cinta yang datang pada cowok berparas manis itu membuat Maisha ketakutan. Tentang sepi dan dingin yang sejak beberapa tahun pergi seolah kembali menghampiri. Jika ada jalan untuk mempertahankan Ken di sisinya, maka...