Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me Help You
MENU
About Us  

Bari membuka seragam yang sobek kemudian membuatnya menjadi bundalan untuk menghentikan pendarahan di pelipisnya. Kini ia berada di sebuah toilet umum. Sembari menekan luka di pelipis, ia menyalakan keran dan membasuh wajah serta tubuhnya pelan-pelan. Lalu ia memakai kaos hijau yang ia ambil dari dalam tas.

Pemuda satu ini menghela napas kasar. Satu tangannya memijat kedua rahang yang beberapa kali dipukul oleh Kevin dan geng-nya. Setelah pendarahan berhenti, dia membuang seragamnya yang kini berwarna merah muda ke dalam tempat sampah. Paha kanannya ditendang begitu keras oleh salah satu anak buah Kevin, membuatnya sedikit menarik kaki kanannya itu tiap melangkah. Dia tahu fasilitas kesehatan adalah hak istimewa yang tidak bisa ia miliki. Sekitar 2 minggu yang lalu, Bari mendapatkan luka terbuka di bagian belakang kepalanya. Untungnya saat itu, Jek melarikannya ke IGD dan menanggung biaya jahit luka tersebut. Begitu Bari melihat nominal yang harus Jek bayar, Bari sangat terkejut bukan main. Ternyata biaya kesehatan sangatlah mahal.

Setelah itu, Bari tidak pernah lagi ke IGD setelah tawuran. Ia lebih memilih membeli perban, betadin, dan obat anti nyeri sendiri. Ia melihat Youtube tentang bagaimana mendisinfektan luka dan membalutnya. Ketika tawuran pun, sebisa mungkin ia berusaha menghindari luka-luka terbuka. Bila pundaknya dislokasi atau hidungnya patah, ia membujuk Koh Liong yang merupakan seorang mantan perawat rumah sakit untuk membetulkannya. Koh Liong bermulut pedas, tetapi dia selalu memasang harga sangat rendah untuk menolong Bari, bahkan sekali dua kali Koh Liong menolak dibayar. Beberapa kali, Koh Liong juga berlagak tidak mau menolong Bari dan menyuruh Bari ke IGD rumah sakit saja, tetapi setelah beberapa menit Koh Liong mengutuk Bari yang melakukan tawuran, akhirnya Koh Liong tetap membantunya.

Bari menghela napas panjang begitu memasuki gang kecil yang menuju perumahan rumah kontrakannya. Matahari hari ini cukup terik, membuat segala memar dan luka di tubuhnya semakin terasa. Ia meraba paha kanannya yang tadi dipukul dan memutuskan ia tidak perlu menemui Koh Liong di toko kelontong yang berdiri dua bangunan dari pintu masuk gang perumahan. 

Mengapa aku melakukan ini?, pikirnya pada dirinya sendiri. Bari sudah tahu jawabannya dari dulu mengapa ia tidak bisa berhenti melakukan tawuran atas permintaan Jek dan geng berandalnya. 

Singkatnya, Bari butuh uang yang diberikan Jek.

Jek adalah anak pengusaha yang tidak dipedulikan sehingga melampiaskan semua amarahnya dengan melakukan perundungan serta tawuran. Bari tahu dari awal Jek dan geng itu, yang disebut Geng Joker, adalah masalah. Namun uang yang dia terima dari Jek... bisa dibilang cukup sepadan dengan luka dan memar yang ia dapatkan.

Perumahan setelah gang kecil ini sangatlah padat dan cukup kumuh –sisi gelap Jakarta yang banyak orang hiraukan. Di balik gedung-gedung pencakar langit, perumahan kumuh seperti ini masih ada, disembunyikan di balik mall atau gang-gang sempit sehingga 30% orang Jakarta yang kaya dapat meneruskan hidup dalam gelembung kehidupan mereka.

Bari berjalan lurus kemudian belok kanan, kanan lagi, lalu kiri. Semakin ia melangkah, semakin sempit pula jalanan yang ia lalui. Ia melewati rumah Pak RT yang selalu mengajak Bari untuk berhenti tawuran dengan lembut, melewati rumah Bu Aminah yang sedang memasak bawang goreng dengan kompor gas di depan rumah, juga melewati Bu Siti yang selalu memandang Bari dengan nyinyiran.

Sebuah rumah satu lantai dengan dinding biru dan lantai keramik putih berdiri. Dari luar, rumah itu terlihat rapi, tetapi begitu Bari mendekat, ia melihat lumut dan rumput liar di setiap kerak ubin, melihat debu yang melekat di kaca dan sudut-sudut ruangan, serta bau tai kucing yang menusuk. Bari mengetuk pintu kayu yang sudah termakan rayap di depannya dan menunggu. 

"Ga kapok apa tawuran melulu?" tanya Bu Siti. 

Bari memilih untuk diam. 

"Kasihan Pak RT yang selalu coba bantuin kamu," lanjut Bu Siti, "dasar anak ga tahu terima kasih." Perempuan paruh baya itu meludah ke jalanan. 

Bari mengetuk pintu di depannya lagi tanpa menjawab Bu Siti.

"Ada-ada aja kamu, Bari," kata Bu Siti, "Terus itu dua temanmu mau kamu apain?" 

Akhirnya Bari menoleh ke arah Bu Siti. Perempuan itu menunjuk ke belakang bari menggunakan mulutnya –sungguh aneh bagaimana orang Indonesia menunjuk arah menggunakan mayunan bibir. Dengan cepat, Bari mengikuti arah tersebut dan benar saja, dua siswa dari sekolahnya terlihat berusaha bersembunyi di balik motor Pak RT. Namun di perumahan yang sempit dan padat seperti ini, tidak ada tempat untuk bersembunyi.

Di saat yang sama pintu akhirnya terbuka dan dua anak berusia tidak lebih dari sepuluh tahun menyambut Bari dengan girang. 

"Kak Bari!" seru mereka berdua sembari memeluk Bari. Dengan sungkan, Bari melepas pelukan adiknya dan menarik kedua adiknya ke belakang dirinya.

Sebagai Berandal Sekolah, Bari terbiasa diikuti beberapa pemuda yang berusaha mencari nama dengan menjatuhkannya. Bila pemuda itu berhasil mengalahkan Bari yang memiliki reputasi dan rumor ditakuti seantero SMA di Jakarta, maka pemuda itu pasti akan menjadi 'Jagoan' terbaru di Jakarta. Setelah beberapa kali percobaan seperti itu, Bari sudah terlatih untuk selalu was-was. Ternyata hari ini ia lengah.

Bari berkata dengan nada rendah, "Keluar, atau lo bakal menyesal."

Di belakangnya, Bari dapat mendengar Bu Siti mendecakkan lidah dan bersungut, "Sok jagoan." Bari tidak punya waktu untuk menggubris Bu Siti. Ia berfokus untuk memastikan keselamatan adik-adiknya. Bila orang yang mengikutinya ingin mendapatkan prestise dengan mengalahkan Bari dalam pertarungan tangan kosong–

Pikiran Bari terhentikan begitu dua sosok itu memunculkan diri. 

Tanpa disangka, sosok yang muncul dari balik motor Pak RT adalah dua orang terpintar dari sekolahnya. Dua orang yang selalu menjadi siswa dan siswi model, yang sudah pasti memiliki masa depan cerah dan tidak seharusnya memiliki urusan dengan orang seperti Bari.

"Aditya? Dan... Vania dari IPA?" Bari mengenali kedua murid itu.

Aditya dengan tawa renyah mengangkat tangannya dengan canggung. "Hai, Bari."

Meski Bari tak habis pikir mengapa kedua siswa berprestasi berada di perumahan kontrakannya, ia menghela napas lega. "Ngapain kalian di sini?" tanyanya.

"Um... gini, Bar," Aditya berusaha menjelaskan, tetapi jelas nadanya terkesan gugup dan ia kesusahan menyusun kata-kata, "Ki– kita cuma mau... um... ngobrol! Ya, kita cuma mau ngobrol. Jadi gini... kita um... lo... kita... um–"

Penjelasan Aditya yang terbata-bata dipotong oleh kalimat Vania yang datar tetapi tajam, seperti pisau pembuka surat, "Pak Tirto nyuruh kita bantuin lo buat dapat surat rekomendasi beasiswa."

Bari kembali berkedip. Ia melirik Aditya yang sudah lebih dulu menepuk jidat sebagai respon dari kalimat Vania. Ada apa ini? pikirnya, Apa yang direncanakan Pak Tirto?

***

Ruang tamu rumah Bari hanya sebesar 5 petak ubin berukuran 30x30 cm. Tidak ada sofa ataupun kursi, hanya sebuah karpet berwarna hijau di lantai. Di satu sisi, Aditya dan Vania duduk bersila –lengan mereka bersentuhan karena sempitnya ruangan –meski Vania menyalahkan pundak Aditya yang lebar. Di hadapan mereka, Bari duduk bersila memangku adiknya yang paling kecil bernama Rayendra –sebuah pemandangan yang sangat kontras; Bari Sang Berandal Sekolah dan adik bungsunya yang polos. Tidak lama, adik pertama Bari, seorang perempuan berusia 11 tahun bernama Shania muncul dari bagian belakang rumah membawa dua botol Aqua. 

"Kita cuma punya air kak," kata Shania dengan tatapan memelas. 

"Gapapa," Aditya dan Vania menjawab bersamaan. "Ga usah repot-repot," lanjut Vania. "Air putih bagus untuk tubuh kok," lanjut Aditya. Mereka memberikan senyuman yang canggung yang dibalas oleh Shania dengan senyuman manis. 

Bila setengah jam sebelum ini Aditya dan Vania hanya dapat tercengang dalam ketakutan, kini senyuman manis Shania sudah melelehkan kedua hati Aditya dan Vania.

"Jadi?" Suara Bari menarik pandangan Aditya dan Vania. Shania duduk di samping Bari, jelas dia terlihat begitu penasaran. "Apa yang mau Pak Tirto?"

Aditya melihat Vania, begitu juga sebaliknya. Mereka saling berharap yang lain akan menjawab pertanyaan Bari. Akhirnya Vania yang menjawab, "Aditya dan aku sedang berusaha mendapatkan rekomendasi beasiswa untuk kuliah."

Bari mengangkat satu alisnya seakan bertanya, 'Lalu?'

"Dan... syarat Pak Tirto untuk memberikan surat rekomendasi itu adalah lo, Bar." Vania membuka dan menutup mulutnya beberapa kali, berusaha mencari kata yang tepat. Aditya pikir Vania akan langsung mengutarakan tujuan mereka seperti sebelumnya –mungkin mereka akan ditonjok sekali atau dua kali, karena siapa yang akan tidak marah bila mengetahui ada orang yang merekam tindakan yang bisa membuat dirinya dikeluarkan dari sekolah? Karena itu Aditya sudah mengintai jarak mereka duduk dari pintu rumah. Di kepalanya ia sudah membuat memori otot untuk menghalangi serangan Bari, menarik lengan Vania, kemudian berlari keluar rumah Bari. Dia tidak akan bermain-main dengan risiko, terutama karena orang di depan mereka adalah variabel yang tidak bisa diprediksi, terlepas dari kedua anak kecil yang lucu di pelukannya.

Namun sebelum Aditya sempat melaksanakan rencana di kepalanya, Vania tiba-tiba bertanya pada Bari, "Di mana orang tua kalian?"

Raut muka Bari berubah menjadi lebih keras, kedua alisnya bertaut, garis mulutnya menjadi datar. Sudah jelas ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu tetapi Shania lebih dulu menjawab dengan polos, "Orang tua kami meninggal di sebuah kecelakaan dua tahun lalu."

Vania dan Aditya langsung saling bertatapan. 

"Selama ini Kak Bari yang berusaha keras mempertahankan rumah kontrakan ini, kasih kami makan, bayar uang sekolah aku dan Rayendra–"

"Shan," panggilan Bari diselimuti nada peringatan. Peringatan yang dihiraukan oleh Shania.

"Kak Bari sudah berkorban banyak banget. Uang kuliahnya dipakai untuk menyekolahkan kami berdua dua tahun ini. Kadang dia harus kerja pas sekolah, bahkan ikut tawuran untuk uangnya–"

"Shania!" Nada Bari meninggi, jelas terlihat tidak senang.

Namun lagi-lagi Shania menghiraukan Bari. Malah, yang takut melihat Bari meninggikan suaranya adalah Aditya dan Vania.

"Aku tahu banyak rumor buruk mengenai kakak. Kepala Sekolah SMA kakak bahkan sempat datang ke sini hendak mengeluarkan kakak dari sekolah tapi setelah melihat kehidupan kakak dua tahun ini, Pak Tirto mengerti. Dia malah memberikan kak Bari keringanan untuk tidak perlu membayar uang sekolah. Aku harap kak Vania dan kak Aditya juga mengert–"

"Shania, cukup!" teriakan Bari yang mendadak membuat Rayendra menangis sembari menutup kedua telinganya. Teriakan itu juga membuat Aditya dan Vania melonjak kaget. Kedua mata Aditya dan Vania membelalak dan rasa panik yang sebelumnya muncul kembali, mengingatkan mereka sosok binatang buas yang mereka lihat sore tadi.

Akhirnya Shania terdiam. Kedua matanya yang kini menatap lantai sudah berlinang.

Mendengar itu semua membuat Vania akhirnya mengerti mengapa Pak Tirto melindungi Bari meski dengan semua rumor buruk Bari. Vania juga akhirnya mengerti mengapa Pak Tirto menyuruh Aditya dan dirinya untuk melihat secara langsung kehidupan Bari.

Di saat seperti ini, perkataan Pak Rahmat terngiang di kepala Vania, "Tidak semuanya seperti yang terlihat. Jadi jangan lupa untuk selalu membuka pikiran dan hati." Selama ini Vania belum membuka pikiran dan hati sepenuhnya untuk Bari. Gadis itu hanya terfokus pada tujuannya mendapatkan rekomendasi beasiswa. Ia bahkan tidak tahu bahwa ada teman satu sekolahnya yang kehilangan kedua orang tua dan harus menjadi tulang punggung untuk dua anak kecil. 

Di sisi lain, Aditya juga termenung dengan apa yang ia lihat hari ini. Ia bingung bagaimana harus menilai Bari. Haruskah ia menilai Bari berdasarkan kekerasan yang ia lakukan? Atau haruskah ia menilai Bari berdasarkan kesulitannya? Sebagai seorang yatim, Aditya tahu betapa sulit Ibunya menyokong kehidupan mereka berdua di tengah-tengah luka perih ditinggalkan. Aditya tidak habis pikir betapa sulitnya untuk hal itu dilakukan oleh anak seumurannya. Pantas saja Bari tidak menyiakan kesempatan untuk mendapatkan uang, meski harus mengorbankan fisiknya.

Aditya teringat di awal kelas 2 SMA, terdapat pengumuman duka mengenai kematian orang tua seorang murid IPS. Saat itu pikiran Aditya terpenuhi dengan kekalahan dirinya dari Vania di ujian akhir sebelumnya. Saat itu juga Aditya sedang kewalahan dengan jadwalnya mengajar teman-temannya secara sukarela –tuntutan para orang tua, dan Aditya juga sedang menghadapi suatu perubahan besar di kehidupannya. Sejujurnya, Aditya merasa sedikit bersalah tidak memperhatikan berita itu. Prasangka membuat Aditya langsung berpikir bahwa anak yang kehilangan orang tuanya itu akan diadopsi oleh paman atau tante kaya lalu melanjutkan hidup seperti orang lain. Memang, kebanyakan murid SMA Garuda Nusantara berasal dari keluarga berada. Prasangka membuat Aditya menutup kemungkinan bahwa keluarga anak itu seperti keluarganya sendiri; tidak memiliki sanak saudara terdekat yang dapat meringankan beban hidup.

Kini Aditya melihat Bari dengan pandangan berbeda. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu, apapun, untuk memberitahu Bari bahwa Aditya berempati dengan keadaannya. Namun lagi-lagi otaknya macet dan lidahnya kaku. Mengapa ia selalu gagap setiap kali ingin mengutarakan perasaan terdalamnya? Padahal sehari-hari ia sangat lincah bercanda gurau dan berbasa-basi.

"Hidup seperti itu pasti melelahkan," kata Vania dengan lembut dengan tiba-tiba. Kalimat itu jujur, penuh empati, tetapi juga tidak berlebihan. "Maaf karena kita tidak pernah tahu kamu kesusahan, Bari."

Bari tersentak mendengar kalimat yang hangat keluar dari mulut Vania yang terkenal sebagai Ratu Es. Namun sepersekian detik kemudian, ekspresi Bari kembali mengeras. Tatapannya kembali mencurigai Aditya dan Vania. "Kita ga butuh rasa kasihan dari kalian yang ga perlu khawatir harus makan apa besok. Kalian sekarang balik saja ke orang tua kalian yang kaya dan ga usah peduliin kita."

Aditya sedikit meringis mendengar prasangka Bari terhadap dirinya. Namun Vania terlihat tenang mendengarnya, seakan sudah biasa mendengar prasangka demikian. Aditya jadi mengingat hari kemarin ketika dirinya mengatakan Vania kurang pantas mendapatkan beasiswa dibandingkan dirinya karena Vania masih memiliki seorang Ayah yang berada –Ia merasa sedikit bersalah karena ternyata menerima prasangka buruk itu... sedikit menusuk dadanya.

"Bari, aku mau nanya satu hal setelah itu kita akan pergi," kata Vania dengan tenang. Sangat mengagumkan bahwa saingan Aditya ini mampu menjaga ketenangan di tengah ketegangan. "Apakah kamu ingin melanjutkan kuliah? Bila kamu mau, kita bisa membantumu."

Untuk sesaat, Bari hanya berkedip. Sekali. Dua kali. 

Kemudian alisnya bertaut, cuping hidungnya melebar, dan garis mukanya menjadi garang. "Lo pikir lo siapa, hah?" teriaknya sambil berdiri. Rayendra menangis di pelukan Shania tetapi Bari tidak berhenti. "Lo dengan gelembung fana yang ga perlu mikir soal duit. Lo ngejek gue ya? Hidup gue kayak gini."

Napas Bari terengah-engah. Sementara wajahnya memerah.

Aditya sudah memposisikan diri di depan Vania, siap melindungi bila Bari menyerang mereka. Meski segala perkataannya tidak akan menolong Vania, sejatinya Aditya tidak akan bisa memandang dirinya di cermin bila membiarkan Bari menyerang Vania. "Bar, tenang dulu," pinta Aditya.

"Lo pikir kuliah ga butuh duit? Gue masih ke SMA cuma karena Pak Tirto udah gratisiin biaya sekolah gue. Kalau ga, gue bakal stop sekolah dan fokus kerja aja. Sebenarnya Pak Tirto gratisiin sekolah ke gue tuh membebani banget. Gue pingin banget langsung kerja aja. Tapi gue butuh sertifikat SMA biar gue bisa diterima di lebih banyak kerjaan."

"Ngerti ga lo?" tanya Bari. Kini nadanya sudah mereda, hingga Vania dapat mendengar getaran yang pilu. Kedua matanya berlinang ketika ia berkata, "Orang kayak gue ga akan pernah bisa kuliah."

Bari akhirnya kembali duduk dan menenangkan Rayendra yang menangis. Sementara Aditya memastikan Vania yang mematung melihat respon Aditya.

"Ini sudah hampir malam," kata Bari akhirnya, memecah keheningan di antara mereka, "pulanglah."

Kali ini, Vania dan Aditya menurut. Lebih tepatnya, Aditya sedikit menarik Vania yang masih mematung untuk undur diri. Mereka pamit pada Bari dan Shania, tetapi hanya Shania yang membalas dengan senyuman tipis. Kemudian mereka berjalan keluar dari gang perumahan tersebut.

Lagi-lagi, meski Aditya sebelumnya menekankan pada Vania bahwa ia tidak akan menolong perempuan ini, ia menemukan dirinya mengantar Vania menaiki angkot, kemudian berjalan kaki menuju rumah Vania. Selama perjalanan, Vania hanya termenung –satu alasan lagi mengapa Aditya tidak rela meninggalkan Vania begitu saja. Masa dia membiarkan perempuan yang lagi bengong jalan pulang sendiri ketika langit menggelap? Malah Ibunya akan kecewa bila Aditya meninggalkan Vania berjalan pulang sendiri.

Mereka memasuki sebuah perumahan yang rata-rata bangunannya memiliki dua lantai. Jalanan di perumahan itu luas dan setiap bangunan memiliki teras dan taman atau lapangan parkir dengan satu atau dua mobil. Begitu kontras dengan perumahan kontrakan tempat Bari tinggal. Meski masih merasa sedikit bersalah, Aditya semakin yakin bahwa Vania sebenarnya tidak memerlukan beasiswa untuk kuliah. Tidak seperti dirinya.

Vania berhenti di sebuah rumah dengan gerbang berwarna hitam yang tinggi. Seorang satpam membukakan gerbang begitu melihat Vania. "Non, baru pulang?" sapa satpam itu, "Bapak dan keluarga sudah pada makan, Non. Non sudah makan?"

Vania menggeleng. Wajahnya terlihat kusut, pikir Aditya perempuan ini mungkin kelelahan dengan segala hal yang mereka saksikan dan temukan hari ini. Menyadari bahwa Vania dan Aditya masih memiliki sesuatu untuk dibicarakan, satpam rumah Vania dengan sopan undur diri ke pos penjagaannya. Satpam itu membiarkan gerbang terbuka untuk Vania.

"Menurut lo," tanya Vania dengan suara pelan, "apa kita perlu menyerahkan bukti yang dapat mengeluarkan Bari dari sekolah ke Pak Tirto?"

Aditya juga memiliki pertanyaan yang sama. Selama ini memang Pak Tirto memberikan keringanan biaya sekolah pada Bari meski banyak rumor buruk. Hal itu karena Pak Tirto belum pernah mendapatkan bukti konkret Bari melakukan tawuran. Beda ceritanya bila mereka memberikan video sebagai bukti pada Pak Tirto –akan ada kemungkinan Pak Tirto mempertimbangkan ulang bantuannya pada Bari.

"Kalau mau mengubah syarat dapat surat rekomendasinya," jawab Aditya jujur, "maka iya."

Vania menangkap tatapan Aditya. Di bawah cahaya rembulan yang kontras di langit malam dan dengan sepoian angin malam yang menggerakkan rambut Vania, perempuan itu terlihat... cukup manis. Aditya harus menampar dirinya sendiri dalam batin karena berpikir seperti itu. Namun mau mengelak bagaimanapun, Vania memang menawan di bawah cahaya bulan purnama.

Gadis itu meremas roknya, juga menggigit bibir bagian bawahnya, jelas merasa gundah akan suatu hal. Hampir saja Aditya merentangkan tangan untuk menghentikan Vania dari melukai bibir. Ia menampar dirinya lagi dalam batin. 

"Kalau kita tidak mengubah syarat untuk dapat surat rekomendasinya?" tanya Vania. Kedua mata bulatnya terlihat manis ketika mendongak menatap Aditya– tamparan yang ketiga kali dalam batin Aditya. Stop berpikir seperti itu! seru Aditya pada dirinya sendiri.

"Kalau gitu kita perlu bantu Bari lulus ujian nasional dan daftar kuliah," jawab Aditya dengan lembut, "lo yakin, Princess?"

Vania berkedip sekali. Akhirnya ia berhenti meremas rok dan menggigit bibirnya. Kemudian menjawab mantap, "Gue sih yakin dapat beasiswanya. Apapun syarat untuk dapat rekomendasinya."

Melihat Vania tersenyum membawa senyuman pula pada wajah Aditya. "Oke," lanjut Aditya masih tersenyum, "Besok kita buat proposal proyek kita."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • innda_majid

    Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak

    Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku
Similar Tags
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
207      185     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Mentari dan Purnama
506      335     1     
Short Story
Mentari adalah gadis yang dikenal ceria di kalangan teman-temannya. Tanpa semua orang ketahui, ia menyimpan rahasia yang teramat besar. Mentari berteman dengan seorang hantu Belanda yang berkeliaran di sekolah! Rahasia Mentari terancam ketika seorang murid baru blasteran Belanda bernama Purnama datang ke sekolah. Apakah kedatangan Purnama ada hubungannya dengen rahasia Mentari?
Sepotong Hati Untuk Eldara
1600      761     7     
Romance
Masalah keluarga membuat Dara seperti memiliki kepribadian yang berbeda antara di rumah dan di sekolah, belum lagi aib besar dan rasa traumanya yang membuatnya takut dengan kata 'jatuh cinta' karena dari kata awalnya saja 'jatuh' menurutnya tidak ada yang indah dari dua kata 'jatuh cinta itu' Eldara Klarisa, mungkin semua orang percaya kalo Eldara Klarisa adalah anak yang paling bahagia dan ...
Reason
423      296     3     
Romance
Febriani Alana Putri, Perempuan ceria yang penuh semangat. Banyak orang yang ingin dekat dengannya karena sikapnya itu, apalagi dengan wajah cantik yang dimilikinya menjadikannya salah satu Perempuan paling diincar seantero SMA Angkasa. Dia bukanlah perempuan polos yang belum pernah pacaran, tetapi sampai saat ini ia masih belum pernah menemukan seseorang yang berhasil membuatnya tertantang. Hing...
Metanoia
3146      1141     2     
True Story
âťťYou, the one who always have a special place in my heart.âťž
A Poem For Blue Day
126      83     4     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Kepak Sayap yang Hilang
108      102     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Comfort
1270      559     3     
Romance
Pada dasarnya, kenyamananlah yang memulai kisah kita.
Our Tears
2953      1322     3     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
DarkLove 2
1286      611     5     
Romance
DarkLove 2 adalah lanjutan dari kisah cinta yang belum usai antara Clara Pamela, Rain Wijaya, dan Jaenn Wijaya. Kisah cinta yang semakin rumit, membuat para pembaca DarkLove 1 tidak sabar untuk menunggu kedatangan Novel DarkLove 2. Jika dalam DarkLove 1 Clara menjadi milik Rain, apakah pada DarkLove 2 akan tetap sama? atau akan berubah? Simak kelanjutannya disini!!!