"Van, lo kenapa sih?" tanya Anisa, "belakangan ini lo makin banyak bengongnya."
Ketika Vania tidak menjawab, Anisa menoleh ke kiri, di mana Vania duduk di atas bangku gedung multiguna di gedung SMA dan menangkup dagunya dengan kedua tangannya.
"Cuy," Anisa mendorong lembut sahabatnya itu.
Meski tubuh Vania sempoyongan, gadis itu hanya mengembuskan napas tanpa mengalihkan pandangannya dari lapangan di depannya. Tim basket SMA Garuda Nusantara sedang berlatih di lapangan itu. Mereka sedang mempersiapkan diri untuk kejuaraan basket SMA satu Jakarta. Sesekali sorakan bernada tinggi terdengar dari sisi bangku penonton –mereka adalah para siswi penggemar yang datang untuk menonton latihan tim basket. Sebenarnya, Vania selalu merasa ada yang salah dengan para siswi itu mengidolakan tim basket SMA selayaknya idol Korea. Bila saja bukan Anisa yang menyeret Vania ke lapangan multiguna ketika Vania sedang bengong, Vania tidak akan pernah sudi menonton latihan tim basket. Apalagi karena musuh bebuyutannya, Aditya Asbun –alias Asal Bunyi, adalah ketua tim basket dan merupakan 'idol' tim basket yang paling populer.
"Cuy!" Anisa mendorong Vania lebih keras dari sebelumnya, menyebabkan Vania jatuh tersungkur ke bangku depan yang posisinya lebih rendah dengan suara benturan besi yang cukup kencang.
Vania yang tidak siap menangkap dirinya sendiri hanya dapat memejamkan mata ketika momentum tubuh membuatnya terguling ke barisan bangku di bawahnya. Bahunya terbentur keras pada besi kursi, menghasilkan suara yang begitu nyaring. Dia sudah merelakan fakta bahwa setelah ini kepalanya akan terbentur keras di lantai –dalam sepersekian detik itu otaknya yang cemerlang sudah menghitung energi dari momentum jatuhnya dikali dengan massa gravitasi; hasilnya adalah: ia akan mendapatkan lebam besar di kepalanya, mungkin hingga kontusi –oh, apakah berikutnya ia akan terbangun di rumah sakit?
Namun tepat sebelum kepala Vania menyentuh lantai, ia merasakan kepalanya mendarat pada sesuatu yang lebih empuk daripada besi, tetapi tidak kalah kokoh. Seketika, tubuh dan kepalanya berhenti berguling.
Begitu Vania membuka mata, ia melihat Aditya berada di depannya, seluruh wajah menyebalkannya dibasahi keringat, napasnya tersengal-sengal seakan dia baru saja berlari cepat. Satu kaki berada di kursi di depan Vania sementara kakinya yang lain berada di kursi dua barisan di bawah. Kedua matanya membelalak seperti dia baru saja menyaksikan suatu musibah. Ia mengembuskan napas lega –apa yang dia khawatirkan? pikir Vania.
Belum sempat Vania menjawab dirinya sendiri, Aditya bertanya, "Mau sampai kapan minjem tangan gue, Princess?"
Vania berkedip.
Barulah ia menyadari posisi kepalanya yang ditopang oleh Aditya hingga tidak membentur besi kursi. Namun, bagaimana caranya Aditya bisa bergerak begitu cepat dari tengah lapangan hingga ke barisan kursi. Apalagi posisi Vania sekarang berada barisan kursi ketiga dari bawah. Memangnya Aditya bisa teleportasi?
Vania berkedip untuk kedua kalinya.
"Woi," seseorang berseru dengan suara cempreng dari belakang Vania –salah satu penggemar tim basket yang reguler menonton latihan. Vania bahkan tidak tahu namanya. "Jangan lebay dan manja jadi cewe," seru perempuan itu yang sedang berjalan menuruni barisan kursi demi barisan kursi menuju Vania dan Aditya.
Setelah tiga kali berkedip, Vania akhirnya memaksa tubuhnya untuk berdiri meski seluruh otot kakinya protes. Begitu ia berdiri tegap, ia memutar badan menuju arah suara cempreng–
Demi Tuhan, Vania teringat dengan banteng pemarah yang sedang berlari menuju matador, banteng yang hanya melihat warna merah, begitulah tampang siapapun perempuan yang sedang menujunya. Perempuan itu berhenti tepat di batang hidungnya. Vania juga berani bersumpah bahwa ia melihat asap keluar dari lubang hidung perempuan itu.
"Heh, lo sengaja ya? Jatuh biar Aditya tangkap?" seru perempuan itu.
"Idih!" Vania menjawab secara refleks.
Di saat yang sama, Anisa mendatangi mereka dan mencoba mengklarifikasi, "Um... Tiara, bukan gitu, Ti." Entah kenapa Anisa tampak ketakutan berbicara dengan Tiara. "Vania beneran jatuh karena gue dorong dia kekerasan."
"Ti, udahlah," kata Aditya dengan nada rendah. Vania sampai berkedip karena nada Aditya berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Namun nada itu bekerja sangat ampuh. Tiara langsung menunduk seakan malu meskipun wajahnya cemberut.
Lalu Aditya bertanya, "Kayaknya kata 'terima kasih' itu wajar ga sih, Princess? Apalagi kepala lo mungkin bocor kalo bukan karena gue."
Vania menangkap Tiara yang semakin cemberut mendengar Aditya menyebutnya 'Princess' –kalau saja Tiara tahu bahwa julukan itu adalah olokan yang sangat Vania benci –kemudian Vania menjawab ketus, "Gue kan anak IPA. Gue udah mengukur energi yang dikeluarkan Anisa dan konstanta gravitasi, dan sorry to say ya, tanpa lo pun kepala gue akan baik-baik saja."
Tanpa Vania duga, Aditya tertawa lepas. "Sure, sure," katanya, "karena kepala lo kan emang batu."
"Ap–"
"Dit!" seru seorang pemain basket dari tengah lapangan. "Latihan udah selesai dan kita semua ke loker yak!"
"Gue ikut!" seru Aditya.
Tanpa berkata lagi, Aditya langsung berbalik badan. Dia menuruni beberapa baris kursi begitu cepat hingga menyusul pemain yang memanggilnya tadi. Tiara tiba-tiba berseru meminta Aditya dan temannya untuk tunggu dulu karena Tiara dan teman-teman penggemarnya ingin menanyakan sesuatu. Melihat Tiara kesusahan berusaha menuruni beberapa barisan kursi yang sama dengan Aditya membuat Vania diam-diam mengagumi kemampuan fisik Aditya. Memang sih, kakinya panjang baget.
"Duh, Van," gerutu Anisa setelah menghela napas berat kemudian duduk di samping Vania. "Kenapa sih lo keras kepala banget gamau bilang 'terima kasih' ke Aditya padahal dia udah nolongin lo?"
Melihat Anisa yang keringat dingin dan seakan sudah kehilangan 5 tahun hidupnya membuat Vania tertawa kecil. "Gue yang jatuh tapi kenapa malah lo yang kelihatan capek?"
Anisa menatap datar Vania –matanya seakan berteriak pada Vania bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk menguji kesabaran Anisa. Untuk menyelamatkan pertemanan mereka, Vania mengangkat kedua tangannya –tanda ia mengalah, tanda ia mengakui dirinya yang bersalah. Kemudian Vania mengembuskan napas panjang sementara kedua matanya secara alami menangkap sosok saingannya yang mulai berjalan menjauh.
Vania mengangkat kedua bahunya, "Entahlah, Nis. Gue tahu gue berlebihan tapi setiap kali lihat Aditya rasanya gue mau marah –rasanya gue mau teriak."
Anisa mendecak seolah semakin lelah mendengarkan alasan Vania.
"Gue pingin banget ngalahin dia secara telak. Pingin banget menginjak-injak kesombongannya dan– dan–"
"Dan apa?" pancing Anisa.
Vania mengeluhkan napasnya untuk mengeluarkan rasa berkecamuk di dadanya. "Gue sendiri ga ngerti kenapa gue begitu sensitif tiap kali ketemu dia. Tapi lo lihat sendiri kan, Nis? Aditya tuh sengaja memantik kemarahan gue, sengaja usil ke gue, sengaja terus-menerus manggil gue 'Princess' untuk mengingatkan gue kalo menurutnya gue ini cewek manja yang cuma bisa morotin uang bokap gue dan cengeng setiap kali nilai gue lebih rendah darinya."
"Well..." Anisa menelengkan kepalanya ke kanan, "Kan emang benar lo selalu mewek kalau lo kalah peringkat dari dia –meskipun selama beberapa bulan ini sepertinya nilai kalian sama terus untuk semua ujian. Aneh sih menurut gue nilai kalian sama terus. Tapi intinya yang lebih inti, lo tuh harus bisa lebih nahan reaksi lo terhadap Aditya. Gue tahu lo benci dia tapi lo jangan kasih alasan buat orang lain benci lo karena lihat sikap lo ini ke Aditya. Saingan lo itu kembang sekolah versi cowok. Banyak cewek fans ama dia. Saran gue sih bersainglah yang sehat dan coba deh jangan ketus melulu ama dia."
Vania mendecak kencang. Kedua tangannya bertengger di pinggang. Alisnya bertaut sementara lubang hidungnya membesar. Rasanya api sudah mengumpul di dadanya dan mendesak untuk dikeluarkan melalui tenggorokkannya.
"Buat apa gue peduli ama pendapat orang lain?" tanya Vania.
"Setidaknya jangan cari masalah sama Tiara, lah," pinta Anisa, "Lo lihat ga cara dia natap lo udah kayak predator."
Vania berkedip. Mendengar pintaan Anisa membuatnya lebih penasaran daripada takut. "Memangnya kenapa sih sampai lo takut banget ama Tiara? Biasanya lo ga peduli kalau gue cekcok ama orang lain."
Anisa kembali mengembuskan napasnya secara kasar. Kemudian ia mengibaskan tangannya agar Vania mendekatinya.
"Tiara itu," bisik Anisa, "rumornya berpacaran sama Bari."
Ketika melihat Vania hanya mengangkat satu alis dengan raut wajah tidak mengerti, Anisa mengembuskan napas untuk kesekian kalinya kemudian memukul jidatnya sendiri karena kesal. "Bari itu siswa SMA kita yang paling ditakuti," jelasnya pada Vania, "sudah beberapa kali mimpin tawuran sekolah, rumornya juga dia merundung siswa lain sampai siswa itu harus ke rumah sakit beberapa kali dan hampir bunuh diri. Bari itu ga peduli lo anak pejabat kek, lo anak guru kek, atau lo anak presiden sekalian, kalau lo jadi targetnya..." Anisa membuat gerakan meniru pistol dengan tangannya kemudian menyentuhkan telunjuknya pada pelipis Vania, "...boom. Hidup SMA lo bakal menderita."
Vania menelan ludahnya kasar kemudian mengernyitkan dahinya. "Kalau dia sebegitu berbahayanya pasti panitia orang tua sekolah sudah mendesak untuk dirinya dikeluarkan ga sih?" Seingat Vania, panitia orang tua SMA Garuda Nusantara cukup... berdedikasi –isinya adalah ibu-ibu yang overprotektif terhadap anak-anak mereka. Vania sendiri punya pengalaman buruk menghadapi ibu-ibu itu yang pernah mendesak Kepala Sekolah SMA untuk menurunkan peringkat Vania karena Vania menolak mengajari anak-anak mereka. Kata mereka, "Anak yang egois kayak gini kok dijadiin peringkat satu sekolah. Lagian tidak adil anak-anak kita diuji dengan sistem penilaian yang sama dengan anak yang terlahir berbakat. Vania ga pernah harus belajar keras tetapi anak-anak kami sampai nangis-nangis ketika belajar."
Saat itu, Vania hanya bisa mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh dan berfokus pada ubin lantai di bawahnya yang retak. Rasanya seperti melihat cerminan diri sendiri. Ubin yang retak, itulah Vania. Para ibu-ibu itu tidak pernah melihat Vania yang sering demam karena kurang tidur dan tetap belajar, terkadang mimisan tetapi tetap belajar, mereka tidak melihat Vania yang beberapa kali ke IGD karena nyeri ulu hati –dispepsia karena sering tidak makan, kata para dokter itu. Mereka tidak pernah melihat Vania yang tidak pernah ikut liburan bersama Ayah Ibu dan adik laki-lakinya karena harus belajar.
Ingatan itu menyeletuk sanubari Vania; kenapa aku selalu angkat suara –bahkan hingga berlebihan, pada Aditya, tetapi saat ibu-ibu itu merendahkan 'usaha' yang dilakukanku untuk mempertahankan peringkat aku hanya bungkam?
Entahlah...
"Oh, para orang tua sudah sampai bikin petisi malah. Masalahnya," bisikan Anisa mematahkan lamunan Vania terhadap ingatan lampaunya, "Tidak pernah ada bukti konkret terhadap Bari. Tidak ada saksi yang valid juga. Dan Kepala Sekolah Tirto kabarnya sangat melindungi Bari dari para orang tua itu. Bahkan ketika Pak Agus, wali kelas IPS XII-2 meminta sendiri ke Pak Tirto agar Bari dikeluarkan karena nilai yang anjlok, Pak Tirto menolak."
Vania mengingat kepala sekolahnya yang merupakan pria usia paruh baya dengan rambut setengah botak, hidung lebar, dan kumis yang mengingatkan Vania pada Hercule Poirot –karakter detektif terkenal dari novel Agatha Christie. Sebutan nama kepala sekolah mereka memantik kembali ingatan Vania;
"Jadi menurut ibu-ibu sekalian, terdapat kecurangan di sistem penilaian SMA Garuda Nusantara?" tanya Pak Tirto dengan nada berat saat itu. Suaranya tidak keras tetapi berhasil mengikat satu ruangan dengan ketegangan yang begitu tajam. Vania mengangkat wajahnya untuk menahan tatapan Pak Tirto. Tidak ada kehangatan atau simpati pada kedua mata cokelat gelap itu, tetapi Vania tahu kedua mata itu telah melihat kebenaran secara lurus. "Lalu untuk memperbaiki ketidakadilan itu menurut para ibu sekalian Vania harus 'mengajari' anak-anak ibu? Anak SMA itu tugasnya belajar dan mengembangkan diri, bukan bekerja. Lagipula, apakah para ibu ini mampu membayar Vania yang notabene adalah juara olimpiade dan peringkat teratas di SMA ini –saya akan kecewa bila para ibu ini mendesak Vania untuk 'bekerja' tanpa upah padahal seharusnya tugas orang tua lah yang memastikan anaknya belajar dan mengerjakan PR di rumah."
Para ibu itu seakan kehilangan suara. Sementara Vania hanya bisa berkedip.
Setelah Pak Tirto berhasil mengusir para ibu itu, dia bertanya pada Vania, "Apakah mereka betul memintamu hanya mengajari anak-anak mereka atau... memintamu untuk membantu anak-anak mereka saat ujian?"
Pak Tirto menatap Vania lurus. Saat itu Vania sangat tergoda untuk memberitahu semua kegundahannya. Bahwa benar para ibu itu bukan hanya meminta Vania 'mengajari' anak-anak mereka tetapi juga meminta Vania memberikan contekan setiap ujian. "Beberapa soal saja," kata para ibu itu dengan nada yang seakan dilapisi gula, "hanya supaya anak saya tidak remedial. Dia nangis melulu karena ga bisa main sama teman-temannya setiap kali harus remedial pulang sekolah."
Entah kenapa Vania akhirnya memilih untuk bungkam. Hingga akhirnya Vania diizinkan pulang oleh Pak Tirto. Namun semenjak hari itu, Vania memegang sedikit harapan bahwa Pak Tirto tidaklah seperti orang dewasa lainnya di hidup Vania. Maka dari itu, Vania tidak habis pikir mengapa Pak Tirto yang berwibawa dan tegas itu melindungi seorang siswa yang terkenal bebal.
Apakah ada cerita lain dari Bari yang diketahui mata elang Pak Tirto?
Tepat saat itu, suara notifikasi di ponsel Vania berdering. Vania langsung berkesiap karena hampir melupakan momen penting ini. Degup jantungnya berlari kencang sementara jari-jari kurusnya membuka website sekolah. Dengan cepat dia log in dengan akun siswinya kemudian menuju laman 'Ujian.' Tepat tiga bulan lalu, Pak Tirto berhasil mensosialisasikan penggunaan sistem digital untuk pemberiang pengumuman penting pada siswa-siswi dan orang tua. Tiap siswa maupun orang tua hanya perlu log in dan dapat mengakses laman 'Pengumuman' secara general. Khusus untuk akun siswa, terdapat laman 'Ujian' di mana hanya mereka seorang yang dapat mengakses nilai ujian masing-masing. Hal ini dinilai lebih menghargai privasi tiap siswa dan menurunkan kecenderungan para siswa untuk saling membandingkan nilai. Namun di laman 'Pengumuman' akan diumumkan hanya peringkat lima teratas untuk setiap tingkatan dengan nilai yang sudah diakumulasi. Nilai ini diperbaharui pada setiap ujian.
Vania langsung menuju laman 'Ujian' dan bernapas lega ketika ujian bahasa indonesianya mendapat nilai 100. Namun ketika ia menuju laman 'Pengumuman,' ia kembali tertegun melihat nama yang tertera pada peringkat satu: 'Vania Larasati XII IPA–1 dan Aditya Bima XII IPS–2.'
"Kenapa peringkat gue masih setara dengan si asal bunyi itu?" rengek Vania.
Tanpa sadar, ia meremas ponsel di tangannya. Saat itulah notifikasi lain kembali muncul. Sebuah pesan masuk pada laman 'Surel.' Vania membuka pesan itu.
'Vania Larasati dari XII IPA–1 diharap menghadap ke ruang Kepala Sekolah besok, Rabu 23 Maret, setelah jam istirahat selesai.'
Vania berkedip sekali.
Nampaknya Anisa sudah membaca pesan yang tertera di ponsel Vania. "Wow, lo ngapain Van sampai dipanggil Kepala Sekolah?" tanyanya, "Jangan-jangan ada ibu-ibu lagi yang protes lo gamau ngajarin anaknya?"
Vania menggeleng lemah. "Entah, Nis."
"Ya," lanjut Anisa dengan santai, berkebalikan dengan Vania yang hanya dapat mematung, "Lo tinggal datang dan hadapi saja."
Persaingan ketat, Nih. semangat nulisnya Kakak
Comment on chapter Bab 1 : Peringkat Satu Itu Milikku