Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Ruang BK sore itu terasa seperti penjara dingin tanpa jeruji. Aroma tipis kertas dan plastik dari rak-rak file bercampur dengan aroma parfum Bu Meri yang lembut, menciptakan kontras yang ganjil. Waktu seolah berhenti berdetak di dalam ruangan itu.

Lara duduk di kursi plastik, tangannya gemetar di atas pangkuan, menggenggam kuat tas kecil yang tak memberinya rasa aman. Di depannya, Bu Meri duduk dengan ekspresi campuran antara lelah dan prihatin. Di sampingnya, Lusi—Ibu Lara—bersandar di kursi dengan dagu terangkat dan alis melengkung tajam seperti pedang yang siap menyerang.

Sebelumnya, Bu Meri sempat menelpon Leo, Ayah Lara. Tapi jawabannya cepat, tajam, dan tak membuka ruang untuk diskusi.

 “Saya sibuk. Suruh saja istriku yang datang. Itu urusannya.”

Dan kini, sang Ibu—yang seharusnya jadi pelindung—datang dengan wajah tak kalah dingin.

“Terima kasih sudah datang, Bu Lusi,” ucap Bu Meri, pelan dan penuh hati-hati. “Saya tahu Ibu pasti sangat sibuk… tapi saya rasa ini penting. Lara… dia melakukan sesuatu yang tak biasa. Dan cukup serius.”

Lusi mendengus kecil. “Masalah seperti apa, Bu? Sampai-sampai saya harus mengorbankan waktu kerja saya yang berharga, untuk anak merepotkan ini?”

Lara menunduk. Ucapan itu seperti pisau, tepat di ulu hati.

Bu Meri terdiam sesaat, lalu berkata dengan suara tenang. “Saya memergoki Lara menindas temannya… bahkan memalak.”

Lusi langsung menoleh pada anaknya dengan tatapan membunuh. “Itu benar, Lara?! Benar kamu melakukan itu?!”

“Enggak Bu, sumpah… Lara nggak kayak itu. Tadi itu Kesya—”

“Diam, Lara.” Bu Meri memotong, nadanya tetap tenang tapi tegas. “Dengar dulu, Ibu belum selesai bicara. Dari yang saya amati, Lara sepertinya kekurangan perhatian dari keluarganya. Mungkin ini juga alasan ia mulai—”

Lusi langsung menepis. “Jadi maksud Ibu, saya nggak perhatian sama anak saya sendiri?”

“Bukan begitu maksud saya, Bu…” Bu Meri menarik napas. “Tapi, dalam pengamatan saya, Lara sering tampak murung di sekolah. Ia pendiam, namun dulunya rajin membantu. Beberapa waktu terakhir… dia mulai berubah. Ia mulai menolak saat saya memintanya mengajari temannya belajar. Alasannya—dia sendiri belum paham.”

Lara mengangkat kepala dengan mata berkaca. “Bu, tapi pas itu Lara emang bener-bener belum paham—”

“Bu lihat sendiri, kan?” potong Bu Meri. “Sikap Lara barusan? Dia makin sering membantah. Padahal dulu, dia anak baik yang patuh,”

Lara kembali menuduk, menahan tangis yang nyaris tak terlihat, ia menunduk semakin dalam. Air mata menetes di pipinya yang pucat. Tapi tidak ada yang memandangnya—karena semua sudah terlanjur yakin siapa yang bersalah. Dan Lara, si anak baik yang dulu selalu tersenyum, kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu.

*****

Sepulang sekolah, Lara berjalan di bawah langit mendung. Sera mencoba menyapanya, tapi Lara hanya melirik sekilas dan terus melangkah. Bukan karena marah—tapi karena terlalu letih untuk berkata apa-apa.

Ia berjalan perlahan pulang ke rumah. Hujan yang sempat reda mulai turun kembali, tipis tapi menusuk dingin. Setelah pertemuan tadi Ibunya langsung pergi menaiki mobil, tak menunggu Lara.

Tapi ada satu kalimat yang Ibunya katakan kepada Lara sebelum pergi. "Puas kamu? Membuang waktu saya yang berharga? Dasar anak nakal!"

Dan begitulah. Si anak baik yang kini berubah jadi pembuat onar. Setidaknya, begitulah dunia melihatnya sekarang.

Apakah salah jika orang tuanya kecewa?

Mungkin tidak.

Tapi bagi Lara, yang tak bisa ia terima adalah—tuduhan yang Bu Meri sebutkan padanya tidak semuanya benar. Bahkan sebagian terasa seperti karangan yang dilebih-lebihkan. Lara ingin bicara. Ingin mengatakan yang sebenarnya. Ingin menjelaskan bahwa ia tidak memalak, tidak menindas, tidak seperti yang semua orang pikirkan.

Tapi apa gunanya bicara, jika tak ada yang mau mendengar?

Apa artinya kejujuran, jika sudah ada label yang menempel di dahinya?

Begitu membuka pintu rumah, belum sempat melepas sepatu atau menaruh tas, suara itu menyambutnya—lebih cepat dari langkahnya masuk.

“Anak nggak berguna!” teriak ibunya dari ruang tengah. Suaranya nyaring, tajam, menusuk seperti pisau yang dilempar tanpa aba-aba. “Kamu bisa nggak sih hidup tanpa bikin masalah?! Guru-guru sampai heran kamu berubah segitunya!”

Lara berdiri mematung. Basah hujan di ujung lengan seragamnya menetes ke lantai, seperti mencerminkan air mata yang belum sempat jatuh. Tapi hatinya sudah remuk.

"Sebenarnya kenapa sih, Lara?! Kamu marah sama kami? Kesel karena kita sering nyuruh-nyuruh kamu?" Lusi terus memburu dengan suara keras yang tak memberi ruang untuk bernapas.

Lara mencoba menahan getaran di suaranya. “Tapi itu bukan salah aku, Bu…”

“Kenapa?! Kenapa kamu jadi sering membantah akhir-akhir ini? Ibu tuh capek, Lara! Capek harus ngertiin Luna yang lagi puber! Jangan sampai kamu ikut-ikutan!”

Ada jeda.

“Setidaknya Luna itu membanggakan! Dia juara satu di fashion show kemarin!” Nada Ibunya berubah jadi lebih dingin. “Lah kamu? Nyusahin aja yang ada.”

Lara menunduk. Jemarinya mencengkeram ujung tas yang masih digendong, seperti berpegangan pada sisa harga dirinya. “Maaf, Bu…” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Maaf Lara nggak bisa seperti Luna. Maaf belum bisa bikin membanggakan…”

Ia mengangkat wajahnya perlahan. Matanya basah, tapi nadanya jujur.

“Tapi Ibu tahu kenapa Lara belum bisa membanggakan?”

Lusi diam, menatap tanpa ekspresi.

“Karena Lara nggak tahu arah, Bu… Yang Lara tahu, cuma Lara suka puisi. Lara kadang bingung, sebenarnya harus ke mana? Harus jadi apa? Harus gimana? Lara juga perlu dituntun, Bu...”

Matanya mulai berkaca. “Lara juga belum dewasa…”

Plakk!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Wajahnya terpaksa berputar, seolah kenyataan memaksanya menoleh pada luka yang selama ini ia hindari.

Lara memegangi pipinya. Napasnya tercekat. Dunia seperti berhenti beberapa detik.

“Maaf…” bisiknya.

“Maaf, Bu…”

Tapi maaf sudah tak ada artinya lagi.

Lusi menarik kerah seragam Lara dan menyeretnya menuju kamar. Dengan kasar ia mendorong pintu dan membentaknya masuk. “Diam! Nggak usah membantah! Kamu harus sadar salah kamu di mana! Dan jangan nyalahin orang lain!”

Suara pintu dibanting menutup. Suara kunci diputar.

Dari balik pintu, suara ibunya masih terdengar—penuh kebencian yang menusuk.

“Saya juga lelah pura-pura jadi Ibu yang baik untuk kamu!”

Deg.

Kalimat itu lebih keras dari tamparan mana pun.

Dan Lara diam. Air mata yang ditahannya sejak tadi akhirnya jatuh, membasahi pipi yang masih perih. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena kalimat itu. Kata-kata yang terdengar seperti kebenaran yang selama ini disembunyikan dengan senyum palsu dan kata-kata sok bijak.

Ia terduduk di lantai, memeluk lututnya sendiri.

Dan dalam heningnya kamar, Lara bertanya dalam hati—“Kalau ibu lelah pura-pura jadi Ibu yang baik, berarti dari awal aku ini benar hanya beban ya?”

*****

Malam itu, di balik tirai yang basah oleh air mata, Lara duduk bersila dengan buku tulis di pangkuan. Ia menulis.

Tangannya gemetar. Tapi puisi ini bukan lagi tentang alam, atau tentang mimpinya.

tapi tentang luka.

 

Aku duduk di antara batas percaya dan pasrah

Di antara kata ‘ibu’ yang jadi doa, tapi kini jadi luka

Apa salahku mencintai kata?

Apa salahku tak sehebat Luna?

Aku bukan cahaya, Bu…

Tapi tak berarti aku gelap

Aku cuma tak tahu jalan dan tak ada yang mau menuntun

 

Maaf kalau aku gagal jadi kebanggaan

Tapi tolong jangan pura-pura sayang

Karena pura-pura itu lebih tajam dari benci

Dan aku, Bu…

Aku cuma ingin didengar, walau sekali

Bukan disalahkan, dipukul, lalu dikurung seperti mimpi buruk yang ingin dilupakan

 

Lara menutup bukunya pelan. Kertas terakhirnya sedikit basah oleh tetesan air mata, tintanya buram di beberapa kata, seperti luka yang tak bisa dijelaskan. Ia mendekap buku itu ke dadanya seolah-olah benda itu satu-satunya yang tersisa dari dirinya yang masih percaya pada harapan.

Dan untuk sekian kalinya malam itu, ia memeluk dirinya sendiri. Bukan karena dingin, bukan karena takut—tapi karena tak ada lagi yang mau memeluknya. Tangannya menggenggam lengan sendiri dengan erat, seolah jika dilepas, dirinya akan runtuh dalam sekejap.

Di luar, hujan turun semakin deras. Gemuruh petir sesekali menggetarkan kaca jendela kamarnya yang buram. Tapi tak satu pun suara lebih menggelegar dari sunyi yang mengoyak di dalam dadanya.

Ia duduk mematung di pojok ranjang, tubuhnya meringkuk seperti ingin menghilang dari dunia. Dalam kepalanya, ribuan pertanyaan berputar, tapi tak satu pun menemukan jawaban. Ia merasa kecil. Tidak dilihat. Tidak diakui.

Seperti orang yang tenggelam di lautan, tapi semua orang mengira ia sedang berenang. Ia melambai-lambai di antara gelombang—bukan untuk bermain, tapi untuk meminta tolong. Namun mata-mata di sekitarnya tak menangkap sinyal itu. Mereka melihatnya sebagai anak keras kepala, pembangkang, pembuat masalah.

Padahal kenyataannya, Lara hanya ingin diselamatkan.

Ia hanya ingin didengar.

Ingin ditanya, “Kamu kenapa?” tanpa didahului kemarahan. Ingin dipeluk, bukan dipukul. Ingin ditemani dalam diam, bukan dihakimi dengan kalimat-kalimat tajam.

Tapi malam ini, tak ada satu pun yang datang. Tak ada tangan yang meraih. Tak ada suara yang memanggil namanya dengan lembut.

Jadi Lara memeluk dirinya sendiri, erat-erat. Menyimpan semua luka itu dalam diam. Dan berharap… mungkin suatu hari, dunia akan benar-benar melihatnya.

Bukan sebagai masalah.

Tapi sebagai anak yang terluka, yang selama ini cuma ingin pulang ke rumah yang hangat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 1
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Rain, Coffee, and You
543      382     3     
Short Story
“Kakak sih enak, sudah dewasa, bebas mau melakukan apa saja.” Benarkah? Alih-alih merasa bebas, Karina Juniar justru merasa dikenalkan pada tanggung jawab atas segala tindakannya. Ia juga mulai memikirkan masalah-masalah yang dulunya hanya diketahui para orangtua. Dan ketika semuanya terasa berat ia pikul sendiri, hal terkecil yang ia inginkan hanyalah seseorang yang hadir dan menanyaka...
HABLUR
1031      481     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
After Feeling
5990      1927     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
Premonition
784      450     10     
Mystery
Julie memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan dan masa lalu. Namun, sebatas yang berhubungan dengan kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang di masa depan dan mengakses masa lalu orang yang sudah meninggal. Mengapa dan untuk apa? Dia tidak tahu dan ingin mencari tahu. Mengetahui jadwal kematian seseorang tak bisa membuatnya mencegahnya. Dan mengetahui masa lalu orang yang sudah m...
May I be Happy?
630      380     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Survive in another city
149      124     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Penerang Dalam Duka
983      530     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
A Tale of a Girl and Three Monkeys
339      201     6     
Humor
Tiga kakak laki-laki. Satu dapur. Nol ketenangan. Agni adalah remaja mandiri penuh semangat, tapi hidupnya tak pernah tenang karena tiga makhluk paling menguji kesabaran yang ia panggil kakak: Si Anak Emas----pusat gravitasi rumah yang menyedot semua perhatian Mama, Si Anak Babi----rakus, tak tahu batas, dan ahli menghilangkan makanan, dan Si Kingkong----kakak tiran yang mengira hidup Agni ...
MANITO
1370      937     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
A Missing Piece of Harmony
302      233     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...