Tepukan tangan yang ramai ketika lampu bioskop menyala akhirnya dapat meredam suara gesekan kertas di sebelah kanan dan asmr popcorn di sebelah kirinya, yang daritadi mengusik suasana tenang Mina. Suara-suara itu sebenarnya tidak menganggu siapapun, namun untuk orang yang selalu menghadapi hal yang sama setiap kali menonton film bersama dua cowok ini, Mina telah sampai pada rasa muaknya.
"Ngapain sih lo bawa notebook itu mulu?" Mina melirik cowok berkemeja katun kotak-kotak disebelahnya. "Orang nonton film buat hiburan, bukan buat belajar."
Cowok itu buru-buru membereskan buku dan alat tulis yang selama hampir dua jam lalu ia pangku. "Lha, film itu bisa dianggap bagus kalau ngasih pelajaran, Min. Buang-buang duit cuma buat diliat terus ngga dimaknai, buat apa?"
"Dasar sok filsuf!" Mina lalu melirik cowok di sebelah kirinya. Cowok itu baru saja merapikan kaos oblong putih yang terkena remahan popcorn. "Lo juga, kalau ngunyah itu jangan ngecap coba!"
Math dan Bas, dua cowok yang baru saja kena omelan Mina itu, hanya mengedip-kedipkan mata mereka dengan tatapan polos.
"Lama-lama gue males nobar sama kalian." Mina meraih botol air minumnya dengan kasar, kemudian beranjak pergi meninggalkan dua sohibnya itu.
Math dan Bas dengan langkah cepat menyusul Mina keluar dari ruang teater.
"Lo udah ngomong hal yang sama dari tahun lalu. Tapi buktinya? Lo masih aja ikut kalau diajak." Itu yang Math katakan ketika ia sampai di sebelah Mina.
Sial. Mina merutuki dirinya sendiri. Ancamannya memang tidak berguna.
Tapi siapa coba yang tidak mau nonton gratis? Ya maulah.
Satu-satunya alasan Mina mau menemani Math dan Bas nonton film, adalah karena dia bisa nonton gratis bersama mereka. Math membayarkan transportasi dan tiket bioskop, sementara Bas bagian traktir ongkos makan.
Pernyataan Math itu membuat Mina keki, ia berjalan cepat dan berusaha meninggalkan Bas dan Math. Namun, langkah Mina tertahan ketika ia menemukan pemandangan tak terduga di luar teater.
Rupanya aktor-aktor Film Hitam Putih yang baru saja Mina saksikan, datang ke bioskop. Mereka sedang menyapa dan berfoto bersama penonton. Kerumunan manusia entah sejak kapan terbentuk.
"Rame amat," komentar Math.
"Lho." Bas menepuk-nepuk bahu Math. "Itu gelandangan yang ada di film tadi kan?"
"Ih! Dia bukan gelandangan, orang ganteng gitu. Namanya Ares." Mina berbalik tidak terima. Meski ia bukan penggemar Ares, tapi Mina tau kalau aktor itu sangat terkenal karena ketampamam surgawinya.
"Ya, kan peran dia emang gelandangan," balas Bas tak mau kalah.
"Oh itu pemainnya?" Math bertanya meremehkan. "Pantesan filmnya laku, modal visual aktornya doang ternyata."
Mina dan Bas sontak melotot. Enak saja Math bicara begitu di tempat ramai begini. Nyaring lagi. Bagaimana jika orang-orang di dekat mereka ini adalah penggemar nya Ares dan mereka mendengar ucapan nyelekit Math barusan.
"Jaga mulut lo, woy," bisik Mina.
"Gue ngomong fakta, kok." Math membaca notebook-nya. "Filmnya emang nggak jelas, banyak plot hole, transisi adegan kurang, dialog hambar. Apalagi tuh cowok, aktingnya flat banget, mau suasanan sedih atau serem, matanya melotot-melotot doang, mukanya pajangan—Eh?! Woy! Mau lo kemanain notebook gue?" Math meneriaki Mina yang tiba-tiba merenggut notebook-nya, lalu berjalan pergi. Sementara Bas, Bukannya menahan Mina, ia malah mengekori cewek itu.
"Oy! Balikin notebook gue!"
Mina dan Bas berbalik sebentar, "Ngomongnya jangan di sini!" ucap mereka bersamaan, dua orang itu lalu kembali berjalan cepat ke pintu keluar bioskop sambil menunduk kikuk.