"Setiap pembukaan adalah awal yang baik. Maka, sebaik-baik pembuka adalah dengan menyebut nama-Nya." —Geandra
...
“WOY! BERENTI LO!” teriak laki-laki berambut sedikit gondrong. Badannya dua kali lebih berisi dari sosok yang dikejar. Dari air mukanya, bisa ditebak kalau ia tengah meng-cosplay diri menjadi seekor singa yang siap menerkam mangsa.
“Sial! Gue kalah jumlah. Gimana nih?” gerutu cowok yang masih berseragam sekolah kebangsaannya.
“LO NGGAK BAKAL LOLOS KALI INI! BERHENTI ATAU LO MATI!” seru yang bekulit langsat dengan amarah yang sudah meluap-luap.
Cowok berbaju putih abu itu masih mengencangkan larinya. Menjauhi gerombolan laki-laki yang berusaha menangkapnya. “Kalian nggak mungkin bisa nangkep gue. Dasar Kutu!” balasnya mengejek.
“Mati lo se*an!”
“Kalian yang ib*is! Wlek…”
“Sialan lo Gean! Awas aja kalau lo berhasil gue tangkep, gue bakal mutilasi habis-habisan!”
Cowok yang diumpati itu hanya membalas dengan tawa. Dia sama sekali tidak menghiraukan segala makian yang ditujukan kepadanya, apalagi takut dengan ancaman yang baru saja ia dengar. Langkah kakinya semakin dipercepat. Tidak peduli dengan tali sepatu yang kapan saja bisa membahayakan posisinya. Yang terpenting saat ini adalah bisa meloloskan diri dari kejaran maut segerombolan orang di belakang.
Ketika merasa sedikit aman, cowok itu berhenti untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Matanya masih fokus melihat ke belakang.
“Dasar kumpulan kutu! Enak banget mau nangkep gue. Emang gue buronan?” gumamnya. Ia menekuk lutut dengan kedua tangannya. Main kejar-kejaran dengan orang gila membuatnya merasa sangat lelah.
“Sekarang gue mau kemana, nih? Komplotan kutu itu pasti masih ngejer,” kata cowok itu pada dirinya sendiri. Baru merasa tenang, suara teriakan kembali berdengung di telinganya.
“WOI! MAU LARI KEMANA LO?!”
“Shit! Belum nyerah juga mereka.” Ia menggerutu lagi.
Teriakan itu berhasil membuat dirinya yang sempat duduk berpikir cepat. Bibirnya mengulum senyum tatkala menemukan sebuah jalan keluar.
“Bismillah.” Dengan cepat, ia langsung memanjat tembok yang berada di sampingnya untuk menyelamatkan diri.
“Kemana tuh orang?”
“Arrghh… hampir kena tadi!”
“Jangan sampai dia lolos! Kalau nggak, kita bisa kena marah si Bos.”
“Pokoknya kita cari sampai ketemu!”
Beberapa laki-laki yang sempat sahut-menyahut itu langsung berlari ke arah jalan raya. Mencari sosok yang sebenarnya ada di balik tembok yang mereka lewati tadi.
“Hahaha ... cari aja sampai matahari terbit dari utara. Bener-bener o’on lo semua,” ledeknya bahagia.
Cowok itu lalu berdiri, mengelap sisa keringat di kening lalu mengusap bajunya yang sedikit kotor. Tatapannya meliar saat itu juga.
“Gue dimana, nih?” cowok itu bingung sendiri dengan tempat yang saat ini ia pijaki. Tak mau ambil pusing, kaki panjangnya berjalan menelusuri sebuah lorong kecil yang ada di dekat tembok pembatas.
“Kok banyak suara cewek?” gumamnya masih tetap berjalan pelan, sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Kini, ia sudah sampai di ujung lorong yang menghubungkan bangunan yang satu dengan bangunan yang lain.
“Ini tempat apaan?” Cowok itu memberanikan diri mengintip dari sebuah jendela, matanya melotot sempurna saat melihat isi dari bangunan yang mirip dengan kos-kosan di depan rumahnya.
“AAAAAA! MALING!” pekik beberapa orang yang ada di dalam ruangan itu, terkejut dengan sebuah kepala yang tiba-tiba nongol dari luar.
Cowok itu pun tak kalah kaget dengan suara jeritan dan beberapa perempuan yang berhamburan keluar. Sebelum dikeroyok habis-habisan, ia langsung berlari untuk mencari tempat persembunyian.
Karena tidak tahu mau kemana lagi, ia langsung masuk ke sebuah ruangan yang pintunya terbuka. Sontak tangannya menutup rapat pintu yang bercat biru itu. Dengan napas yang masih memburu, cowok dengan rambut acak-acakan itu langsung menyandarkan kepalanya di tembok.
“Sial banget idup gue. Tadi dikejar orgil, sekarang dikira maling,” umpatnya kesal. “Ma, Gean mau pulang.”
“Kamu siapa?” Suara seseorang menghilangkan ketenangannya.
“Kamu maling ya?” tanya seorang gadis berkerudung panjang dengan ekspresi siaga.
“Eh. Lo jangan nuduh sembarangan ya! Gue bu—“
“Maliiing!” teriak gadis yang ada di depannya secara tiba-tiba.
Cowok yang bername tag Geandra itu geram sendiri. Ia ingin kabur tapi sudah terdengar suara banyak orang di luar sana. Pasti mereka tengah mencari sosok yang tadi dikira maling. Tak mau ambil resiko lebih besar, tangan cowok itu langsung membungkam mulut gadis itu.
“Mffhhh…” gadis itu mencoba berteriak, tapi bungkaman tangan itu terlalu kuat.
“Diem nggak! Atau lo gue apa-apain!” ancam Gean tidak serius. Tentu saja cewek itu langsung kicep setelah mendengar ancaman tadi.
“Mana malingnya?” Gean mendengar suara itu di luar.
“Tadi dia lari ke arah sini, Tad,” jawab seorang perempuan.
“Mungkin masih di sekitar sini, Ham,” beo yang lain.
“Kita cari ke aula, mungkin dia lari ke sana.”
Untuk beberapa detik kemudian, suara keributan itu tidak terdengar lagi. Gean mengintip pelan dari celah jendela, berharap sekumpulan orang itu benar-benar pergi. Helaan napas lega spontan keluar dari mulutnya saat tidak menemukan seorang pun di luar sana.
“Syukurlah mereka udah pergi, jadi gu—“ Gean memotong kaimatnya saat ia tersadar sesuatu. “Sorry,” ucapnya setelah melepas bungkaman tangannya.
Gadis yang bersamanya itu langsung mengusap kasar mulutnya yang sempat ditutup oleh tangan Gean. Tatapannya menajam ke arah cowok di depannya. Sorotan mengintimidasi itu membuat Gean berdecak.
“Dengerin, ya! Gue bukan maling. Gue ke sini terpaksa dan akhirnya tersesat. Gue nggak tahu ini asrama cewek.”
Tatapan gadis di depan matanya masih menajam. Bahkan semakin horor. Rupanya dia sangat curiga terhadap sosok yang di depannya.
“Lo nggak percaya?” tanya Gean. Gadis itu masih diam. “Demi Tuhan, gue bukan maling. Masa tampang seganteng gue dikira maling?” gerutunya mengecilkan volume di kalimat terakhir.
“Sekarang kamu pergi.” Akhirnya gadis itu bersuara.
“Tanpa lo suruh, gue juga bakal pergi.” Gean hendak membuka pintu namun berbalik lagi. “Gue nggak tahu jalan di tempat ini. Lo bisa bantuin gue nggak? Nanti gue kesasar dan salah masuk lagi gimana? Terus nanti gue diteriakin maling dan akhirnya ngerepotin lo lagi gi—“
“Ikut aku!” serobot gadis tadi berjalan mendahuluinya. Lagi-lagi ucapan Gean terpotong karenanya.
“Untung cantik,” gumam Gean mengikuti arah cewek itu.
Keduanya berjalan melewati lorong yang lain. Satu persatu bangunan asing di mata Gean terlewati sudah, namun mereka belum juga menemukan jalan keluar untuk cowok yang baru saja membuat heboh seasrama putri. Tiga menit berikutnya, mereka berhenti di depan tembok yang tingginya setengah meter dari tembok sebelumnya.
“Kamu bisa keluar lewat sini. Tidak akan ada orang yang tahu. Di depan sana ada rumah warga, jadi kamu bisa minta tolong,” jelas gadis itu padat, singkat dan jelas. Lengkap dengan ekspresi tidak suka.
Sosok yang diberi penjelasan hanya menganggukkan kepala paham.
“Ya sudah kalau begitu, kamu pergi sekarang.”
“Ngusir banget sih,” kesal Gean tidak terima.
“Itu terserah kamu. Kalau mau berurusan dengan polisi, silahkan tetap saja di sini,” timpal cewek itu hendak pergi, namun segera dicegah oleh Gean.
“Eh tunggu dulu!” tahan Gean menghentikan langkahnya.
Gean yang sebelumnya ingin mengatakan beberapa hal hanya bisa menelan salivanya setelah melihat tatapan sengit dari gadis itu. “Iya iya gue pergi kok. Thanks ya, lo udah bantuin.”
“Lain kali, jangan asal masuk. Dan jangan ke sini lagi,” ucapnya dingin dan pergi meninggalkan cowok yang tengah memandangnya heran.
“Cuek banget sih jadi cewek, tapi baik juga,” gumam Gean. Entah karena alasan apa, senyumnya mengembang seketika.
Sesuai harapannya, Gean berhasil memanjat tembok itu dan keluar dengan selamat. Namun, sebelum meninggalkan tempat itu, matanya memilih untuk fokus beberapa saat, menatap tempat itu cukup lama.
“Tapi kok, perasaan gue bilang, gue bakal sering ke sini ya?” ia bergumam sembari mengusap dagunya dan berlalu setelah memastikan kondisi di luar aman terkendali.
***
Bersambung ~