Gelagat aneh Ash membuat kedua orang itu bertanya-tanya. Tepat setelah perpisahan mereka, Eva pun kembali dibuat bingung dengan sikap Tio yang baru saja mengantarnya kembali. Sudah cukup lama Eva menatap kartu nama milik Tio yang tidak terlihat seperti sungguhan. Hanya tertera sebuah nama, nomor, dan alamat saja.
“Orang itu terlihat menyembunyikan sesuatu. Apa dia tahu sesuatu tentang Ash?”
Diam-diam Sena bersembunyi sembari memperhatikan gelagat Eva di dalam kamar. Sena menyadari satu hal bahwa Eva tampaknya mulai mencurigai sesuatu tentang Ash. Namun Sena tidak bisa mengatakan apa pun dan memilih untuk diam memperhatikan sampai Eva sendiri bertindak. Sikap waspada serta kehati-hatian Sena pun membuat kakek Ash menyadarinya.
“Menurutmu apa yang akan dia lakukan?”
“Kek, mungkin terjadi sesuatu pada Ash tapi aku tidak bisa pergi. Dan aku rasa dia akan pergi menemuinya.”
“Kamu mengkhawatirkan gadis itu? Biarkan saja dia pergi ke manapun. Kita bukan siapa-siapa yang berhak melarangnya.”
“Tapi jika dia tahu nanti ...,”
Kakek menggelengkan kepala dengan kening yang berkerut. Tampak sedikit kesal saat mendengar keluhan Sena barusan. Sena menghela napas lantas pergi dari sana. Dia tidak lagi memperhatikan Eva karena memang kakek yang meminta.
Apa yang Sena pikirkan kini menjadi kenyataan. Eva pergi meninggalkan rumah ini dan menuju ke suatu tempat. Takut bila Eva akan mengetahui sesuatu, Sena berniat untuk membuntutinya namun kakek menghalangi dengan sengaja. Pria lansia itu berpikir jika lebih baik gadis itu mengetahuinya sedangkan Sena tidak setuju jika dia mengetahui lebih banyak maka nyawanya dalam bahaya.
Eva pergi menuju ke alamat yang tertera di kartu nama. Tempatnya merupakan sebuah ruko besar yang menjual pakaian pria dan wanita. Tio tersenyum puas begitu melihat keberadaan Eva lebih cepat dari dugaan, seolah dia memang menunggunya dan tahu Eva akan datang. Dia pun lekas menemui Eva yang tengah menunggu di depan sana.
“Katakan, di mana dia sekarang?”
Rahasia mengenai Eva, sosok lain yang bisa disebut sebagai alter ego miliknya menandakan kejanggalan pada wabah darah, akan tetapi wabah darah mungkin telah berakhir karena dalang yang menciptakan wabah itu sudah mati di desanya. Dia adalah penyihir wanita tanpa wajah. Seharusnya urusan ini sudah berakhir. Seharusnya begitu namun ada hal lain yang terjadi pada Ash saat ini.
“Nona sepertinya kamu mulai penasaran.”
“Katakan saja. Aku tidak perlu penjelasanmu karena aku harus tahu sendiri apa yang terjadi padanya,” ucap Eva dengan tegas.
“Baik.”
Raut wajah yang serius, kedua tangannya mengepal. Kesiapan secara mental tuk menghadapi kenyataan semakin mantap. Meskipun tidak tahu apa yang telah terjadi tapi Eva secara samar-samar dapat menebaknya ada apa. Tio kembali menyunggingkan senyum puas lantaran melihat tekad Eva membuatnya tidak lagi ragu mengatakan tempat di mana Ash berada saat ini.
***
Wabah darah telah berakhir, itulah yang terungkap begitu dalang sudah tewas. Mulai sekarang masyarakat tidak perlu ketakutan dengan hal itu lagi. Namun apakah memang benar-benar sudah berakhir?
Ash pernah bilang bahwa monster dari wabah darah sulit bertahan di bawah sinar matahari, karena itulah mereka akan muncul saat langit gelap namun itu bukan berarti tidak ada yang tidak mampu berjalan di siang hari. Adapun ciri-ciri mereka yang menyerupai monster kutukan dengan perubahan fisik mereka tampak seperti hewan peliharaan penyihir. Menyebarkan teror adalah tujuan penyihir itu muncul tapi kenyataannya wabah darah hanya menyebar di lingkup wilayah kecil bahkan sebagian masyarakat tidak mengetahui tentang adanya wabah darah ini.
Di kota abu. Di salah satu reruntuhan rumah yang kini hanya menyisakan pondasi dan separuh dinding. Di sana terdapat seorang lelaki yang bersandar ke dinding, dia mengerang sekaligus meringis kesakitan. Terlihat begitu menderita dengan menahan sesuatu yang ada dalam dirinya.
Dari kejauhan Eva memandangnya dengan terkejut dan takut bukan tanpa sebab. Selain karena Ash terlihat tidak wajar karena kesakitan, perubahan Ash lah yang membuatnya takut untuk mendekat. Eva teringat dengan ciri-ciri monster yang pernah disebutkan dan salah satu ciri-cirinya ada pada Ash.
“Kukunya memanjang tidak wajar?” gumam Eva.
Begitu kacamata hitam itu terlepas sendiri dari wajah Ash, keyakinan Eva semakin kuat. Bola mata yang berwarna merah telah memperjelas semuanya. Trauma kembali terpicu, segala ingatan yang membuat Eva nyaris tidak waras kembali muncul dan ketakutan luar biasa yang dia rasakan lebih terasa seperti menggerogotinya dari dalam seakan terkena dampak dari wabah.
Ash terlihat begitu kesakitan hanya karena menahan perubahan serta hawa nafsu yang bergelojak. Pada saat yang sama Eva juga kembali mengingat ucapan penyihir tanpa wajah yang juga mengajaknya pergi dan mendadak hati Eva menjadi tenang. Selang beberapa saat Eva mengambil langkah ke depan—menghampiri sosok lelaki yang sedang berjuang demi hidupnya di sana.
Menyadari keberadaan Eva, dengan tangan gemetar dia mengulurkan tangan sembari bertanya apa alasan gadis itu datang kemari dan Ash juga mengusirnya. Dia memberi peringatan agar menjauh supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun Eva hanya memandang Ash seperti biasa, bahkan menyentuh tangan bahkan memeluknya.
“Pergilah,” usir Ash dengan suaranya yang serak seraya mendorong tubuh Eva agar menjauh.
Eva menggelengkan kepala sambil tersenyum. Menolak permintaannya dan tetap berada di sisinya. Fisik Ash melemah karena terus melawan hasrat ataupun haus darah sehingga dia pun terjatuh ke pangkuan sang gadis. Napasnya bahkan menjadi berat seiring tubuh lelaki ini gemetar. Eva melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Ash seolah terbiasa melakukannya.
“Tidak disangka aku bisa memeluk seorang lelaki yang kusukai,” ucap Eva bermonolog.
“Pergi ....pergilah, Eva.” Ash terus memintanya pergi tapi tidak digubris sama sekali.
Dibandingkan merasa takut seperti sebelumnya, Eva terlihat jauh lebih santai. Dia menerima keadaan Ash apa adanya seolah itu yang terbaik. Padahal jika dia tetap di sini maka mungkin sesuatu yang buruk dan dapat dibayangkan akan terjadi padanya sendiri.
“Kamu sudah melihat semuanya tapi kenapa tidak pergi? Apa kamu bodoh?”
Eva tetap tersenyum sembari menyentuh wajah Ash yang berkeringat dingin. Kecemasan Ash kian menjadi dan khawatir bila dirinya benar-benar akan hilang kendali.
“Sebelumnya aku minta maaf karena menyembunyikan hal ini darimu. Aku tidak mau jika terjadi sesuatu padamu,” ucap Ash yang semakin lama suaranya semakin lirih.
Eva kali ini menganggukkan kepala lalu bertanya, “Kamu masih ingat tentang ceritaku yang menyebutkan kalau dalang dari wabah sudah meninggal?”
“Kapan aku pernah melupakan semua ceritamu? Tentu saja aku tahu.”
Gadis itu lantas terdiam selama beberapa saat, dia mendongakkan kepala—menatap langit yang mendung. Kemudian kembali menatap Ash dengan ekspresi bahagia seolah kebahagiaan benar-benar datang padanya. Ash mengerutkan kening, tidak mengerti apa maksud ekspresi itu. Sampai Eva mengatakan sesuatu yang membuatnya terguncang.
“Para penyihir mengubah manusia menjadi monster. Kamu adalah monster itu dan bagaimana jika aku adalah penyihir kedua?”
“Jangan katakan hal yang aneh-aneh.”
“Orang-orang tidak percaya dengan keberadaan penyihir apa lagi menganggapku sebagai penyihir itu sendiri. Tapi bagaimana denganmu, Ash?”
Di dunia yang peradabannya sudah maju, mana mungkin ada seseorang yang mempercayai akan keberadaan penyihir. Setidaknya sebelum wabah darah muncul beberapa tahun lalu.
Di bawah langit yang gelap, guntur menggelegar hebat. Tanpa berlindung di atap yang utuh, kedua insan itu terdiam cukup lama di sana. Sosok Ash yang kini melemah tak seperti biasanya, dia begitu menderita hanya karena menahan hasrat liar dari darah yang terkutuk. Sementara Eva bersikap begitu santai seolah-olah itu hal yang biasa terjadi.
“Jika kamu adalah seorang monster maka aku adalah penyihir itu.”
Kalimat itu terucap di bibir dengan tatapan sendu sembari membelai wajah lelaki yang berada di pangkuannya. Detik demi detik berlalu, cuaca yang semakin memburuk pun menurunkan hujan deras. Anehnya rasa sakit serta hasrat liar dari darah terkutuknya menghilang, Ash terlihat jauh lebih tenang dan lebih baik daripada sebelumnya.
“Ash, apa kamu percaya hal itu?”
“Tidak.”
“Kenapa? Bukankah sudah jelas?”
“Jelas apanya? Selamanya kamu hanyalah seorang gadis di mataku,” tutur Ash.
Hujan deras ini telah membisukan suara mereka, mengurangi indera perasa dan peraba serta mengurangi pendengaran mereka. Namun percakapan mereka berjalan lancar seolah hujan tidak menghalanginya. Begitu pula aroma manis yang menguar dari luka jari telunjuk gadis itu.
“Darahku hanya bisa menahannya sementara,” ucap Eva sambil menyodorkan jarinya yang terluka ke depan bibir Ash.
“Jangan melukai dirimu sendiri.” Ash menolak dan menyingkirkan jari Eva yang terluka itu.
Eva hanya tersenyum masam, nampaknya dia begitu terbiasa dengan perlakuan baik Ash sehingga itu membuat suasana di antara mereka kembali canggung rasanya. Pada akhirnya dia tetap menyodorkan setetes darah itu langsung menyentuh ujung lidah Ash.
“Maafkan aku yang juga menyembunyikan hal ini.”
“Penyihir atau bukan, kamu tetaplah seorang gadis di mataku,” ujar Ash seraya menutup luka di jari gadis itu dengan lidahnya.
Sedikit cairan yang seharusnya tidak memiliki rasa justru terasa begitu manis bagaikan madu. Ash tersipu malu, napas serta detak jantungnya yang Eva rasakan dari telapak tangan terdengar tidak stabil.
"Dia gugup," pikir Eva dalam batin.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, tatapan dari bola matanya yang berwarna merah itu dalam kendali mengisyaratkan sesuatu dari lubuk hati Ash. Keduanya sadar bahwa perasaan ini tidak bisa disangkal lagi. Bahkan jika disangkal pun tetap mengarahkan mereka ke dalam perasaan yang sama.
“Seumur hidupku, kupikir dengan bermain-main dengan banyak wanita maka perasaan itu akan muncul sendiri tapi sepertinya salah.”
“Ash, apa kamu merasakan hal yang sama padaku?”
“Sudah beberapa kali kita saling bertatapan, tanpa dikatakan pun kita berdua sudah tahu.”
“Kalau begitu kamu tidak akan menghindar?”
“Tidak akan.”
Ash tersenyum lantas menarik tangan Eva dengan perlahan agar dapat berdiri dan mengajaknya pergi dari sana. Beban dari rahasia terbesar mereka telah terangkat, hujan yang turun seakan melunturkan sebuah penyesalan dan membuat mereka saling percaya satu sama lain.
Hujan menjadi saksi, abu dalam kota yang tidak pernah tersingkir sebelumnya pun telah basah dan menghilang. Fenomena keajaiban itu terjadi saat mereka saling mengungkap rasa seakan langit merestui. Sementara di sisi lain perkotaan, sosok orang lain bersembunyi dalam diam dan tersenyum saat menatap kedua insan di sana.
***
Satu hingga dua bulan telah berlalu. Wabah darah tidak lagi muncul dan masyarakat yang mengetahui tentang hal itu pun sekarang sudah hidup tenang. Kasus lama sudah ditutup rapat, menjadikan kasus itu sebagai rahasia negara.
Setelah pengakuan perasaan di bawah hujan, hubungan di antara Eva dan Ash semakin kuat namun mereka tidak pernah mengatakannya pada siapa pun termasuk pada keluarga Ash sendiri. Ada alasan tersendiri sebab ini berkaitan dengan rahasia mereka berdua.
Sebuah rumah kecil di perkotaan merupakan tempat tinggal Eva saat ini, menafkahi hidupnya sendiri dengan keahlian menjahitnya sudah seperti hobi di waktu senggang. Ash mampir hampir setiap harinya, bahkan di saat sibuk pun dia tidak lupa berkunjung.
“Aku ingin menikahimu saat ini,” tutur Ash tiba-tiba yang sedang duduk berhadapan dengan Eva sambil menyangga tangan kanannya.
“Kurangi omong kosongmu, Ash. Kamu pikir dengan situasi kita saat ini, pernikahan bisa dilakukan?”
“Aku hanya tidak mau terus bersembunyi.”
Dua bulan terakhir ini mereka memang dengan sengaja menyembunyikan hubungan. Darah Eva memang bisa menekan hasrat liar Ash tetapi itu hanya berlaku sementara dan sekarang mereka sedang mencari cara agar dapat memulihkan Ash sepenuhnya. Namun mereka tidak menemukan petunjuk apa-apa.
Saat itu Eva mencoba bertanya padanya, bagaimana jika Ash tetap seperti ini dan penyakitnya tidak bisa disembuhkan lalu Ash sekadar menjawab jika memang begitu maka dia akan membiarkannya. Takdir tidak ada yang tahu tapi lelaki ini justru menganggapnya sebagai ujian untuk mencintai seseorang.
“Selama ada kamu, aku akan baik-baik saja. Hanya sekadar melihat keberadaanmu yang sehat maka aku pasti sehat juga.”
“Bagaimana jika aku menjadi tidak waras?”
“Kalau begitu aku akan ikut menggila bersamamu,” jawabnya spontan.
Eva tertawa mendengar omong kosong Ash barusan. Jelas saja dia hanya berniat menggodanya bahkan jika Ash mengatakan itu dengan serius pun, tetap tidak akan pernah dianggap serius oleh Eva sendiri. Lantaran mereka berdua saling bergantung satu sama lain demi tetap waras.
Hari sudah semakin siang, Ash pergi melanjutkan pekerjaan di luar sana. Lalu Eva kembali masuk dalam kamarnya dan melihat ke arah kartu nama yang tergeletak di atas meja kecil. Kartu nama Tio sedikit memudar dan rusak karena basah bekas hujan sewaktu itu, tetapi tulisannya masih bisa dibaca.
“Kalau tidak salah ingat dia yang memberitahuku tempat di mana Ash bersembunyi. Tapi kenapa dia tahu? Dan siapa dia sebenarnya?”
Sebelumnya Eva tidak pernah memikirkan ini namun tiba-tiba saja dia terpikirkan hal tersebut tepat setelah kepergian Ash. Kemudian Eva berpikir jika orang yang memberikannya kartu nama ini mungkin mengetahui rahasia lain terkait wabah darah.
“Dia mengetahui kondisi Ash dan bahkan tahu tempat persembunyian yang digunakan untuk menahan penyakitnya. Sudah pasti dia bukan orang biasa,” pikir Eva seraya mengambil kartu nama itu.
Mumpung hari masih cerah, Eva mengambil kesempatan ini pergi menuju ke tempat Tio. Saat ini hanya dialah satu-satunya orang yang mungkin memiliki suatu hal lain. Dia berencana untuk pergi sendirian tanpa memberitahu Ash karena memang tidak bisa mengambil resiko lebih jika membawa Ash bersamanya.
“Belum jelas dia tahu apa tidak tapi memang seharusnya aku pergi sendirian saja.”
Tio adalah orang yang memberikannya harapan sekarang. Orang yang sepertinya memiliki rahasia dan mengetahui sesuatu di balik wabah darah. Eva berandai-andai serta berharap lebih padanya agar dapat menemukan jalan keluar bagi mereka.