Loading...
Logo TinLit
Read Story - Luka dalam Asmara
MENU
About Us  

Wabah darah yang menyebar di pedesaan kala itu telah mengubah fisik seseorang dan kesadarannya pun menghilang. Orang-orang yang terkena wabah darah sudah pasti tidak akan selamat dan harus dibinasakan tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Mengetahui hal ini, Eva kembali berpikir tentang dirinya yang bisa jadi terkena wabah misterius itu.

 

“Aku tidak melihat tanda-tanda perubahan dalam tubuhmu jadi jangan khawatir,” kata Ash yang mencoba untuk menenangkan Eva. 

 

Ketakutan Eva tidak pernah hilang semenjak saat itu tetapi sosok Ash yang selalu mendampinginya membuat hati Eva tidak terlalu takut dalam masalah ini.

 

“Jika memang benar begitu, bukankah terlalu aneh?”

“Apa kamu pikir wabah itu menyebar dari udara?”

“Ya, aku pikir begitu.”

 

Ash menggelengkan kepala lantas menjelaskan bahwa wabah darah tidak menyebar melalui udara melainkan dari darah mereka itu sendiri. Eva tersentak kaget begitu mendengar pernyataan barusan. Wabah darah menyebar melalui darah itu sendiri yang itu berarti darah mereka telah terkontaminasi akan sesuatu yang membuat fisik mereka berubah. 

 

“Monster adalah sebutan yang cocok untuk mereka yang terkena wabah itu. Tapi kamu tidak seperti mereka. Berarti sudah jelas kalau kamu tidak tertular.”

 

“Tapi aku ingin tahu lebih lanjut mengenai wabah darah. Kenapa pemerintah tidak mengantisipasinya lebih awal?”

 

Ash kembali menggelengkan kepala dan kembali menjawab pertanyaan Eva, “Sayangnya itu belum terlaksana. Kami belum mengetahui jawaban yang pasti tentang hal ini ataupun cara menyembuhkannya.”

 

“Apa kamu terlibat dengan ini?”

“Ya, itu benar. Aku terlibat sebagai seorang petugas yang menangani kasus ini.” 

 

Terbongkarlah identitas asli Ash di hadapannya. Eva tak lagi terkejut sebab sudah menebak dari awal sejak mereka datang ke pedesaan yang kini sudah hangus menjadi abu. Ash tidak bermaksud menyembunyikan, hanya saja dia butuh waktu untuk mengungkapkannya. 

 

“Apa aku boleh ikut setiap kamu bertugas?”

“Tidak boleh.” Tanpa berpikir panjang, Ash menolaknya mentah-mentah.

“Kenapa?”

“Kamu hanya warga sipil dan tentang wabah darah itu tidak banyak orang yang tahu bahkan orang-orang di kota ini.” 

 

Kerumunan di jalan khusus pejalan kaki semakin ramai, dengan segera Ash membawa Eva pergi ke tempat yang lebih tenang dan tidak seramai di sana. Dia membawanya ke tempat yang agak jauh, itu di sebuah taman kecil. Setelah bernapas lega di tempat santai ini, Ash baru menyadari ada yang salah dengan kedua kaki Eva. 

 

“Eva, di mana sepatu yang kamu pakai? Bukankah kakakku sudah memberikannya sebelum pergi dari rumahku?” tanya Ash penasaran sambil menunjuk kaki Eva. 

 

Eva menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, dia menghindari kontak mata dengan perasaan bersalah dan merasa enggan tuk menjawab. 

 

“Eva?”

“Ah, soal itu .... maafkan aku, sepertinya sepatuku terlepas sewaktu dikejar sebelumnya.”

“Lalu kenapa aku tidak sadar?”

“Aku sudah terbiasa berjalan tanpa alas. Aku juga tidak bilang, wajar kamu tidak sadar.” 

 

Orang-orang desa memang sering berjalan tanpa menggunakan alas terlebih mereka yang lebih sering berinteraksi dengan alam dan selalu kotor di manapun. Entah di sawah, hutan atau bahkan berada di kebun kecil juga sama. Bahkan Eva baru sadar bahwa dirinya tidak mengenakan alas saat Ash menegurnya tadi. 

 

Ash menghela napas. Dia merasa heran dengan sikap Eva yang nampaknya aneh baginya. Lekas dia membantu Eva memakaikan sepatu milik Ash sendiri agar luka lecet itu tidak semakin banyak lagi. Ash merelakan kedua kakinya sendiri demi Eva tapi Eva merasa tidak enak karena harus membiarkan lelaki ini menggantikannya bertelanjang kaki.

 

“Lelaki mana yang membiarkan seorang gadis berjalan tanpa alas. Nanti aku dikira lelaki kurang ajar tahu.” 

 

Ungkapan yang begitu lugas berhasil membuat gadis itu tertawa. Ash yang merasa perasaan Eva sudah jauh lebih tenang daripada sebelumnya pun ikut merasa senang. Hubungan di antara keduanya mungkin tidaklah lebih dari sekedar teman, setidaknya itulah yang dipikirkan oleh beberapa orang di sekitar mereka. 

 

Canda tawa yang mereka berdua lakukan membuat suasana di taman jadi lebih ceria sebab aura positif dari gadis itu menyebar cepat sehingga mereka yang berada di taman ini ikut senang tanpa sebab. 

 

Hari sudah semakin siang, sebentar lagi matahari akan berada di atas kepala akan tetapi cuaca tidak sepanas yang dikira. Justru sebaliknya cuacanya sedikit mendung sekarang. Hujan mungkin akan turun sebentar lagi. Ash dan Eva memiliki pemikiran yang sama lalu mereka saling menoleh—menatap satu sama lain. 

 

“Apa sebentar lagi akan hujan?”

“Aku juga berpikir sama. Mungkin iya.” 

 

Ash mengulurkan tangan sembari tersenyum lebar padanya, memberi isyarat secara langsung agar segera pergi sebelum hujan turun. Eva menerima uluran tangan itu seperti biasa. Namun tak disangka hujan turun tepat setelah mereka baru saja meninggalkan taman. Jarak antara taman dengan rumah Ash masih cukup jauh sehingga keduanya pun terpaksa berlari ke sembarang tempat agar dapat meneduh sementara waktu.

 

Awan gelap gulita persis seperti asap dari kebakaran. Hujan turun deras tanpa aba-aba membuat kedua orang itu basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dinginnya membuat Eva menggigil, dia meringkuk dengan posisi duduk jongkok agar mengurangi dinginnya cuaca ini. Ash tidak membawa persiapan apa pun sehingga hanya bisa duduk diam di dekatnya.

 

“Maaf aku tidak membawa apa pun. Pakaian kita sama-sama basah, jadi mungkin lebih baik kalau kita melepasnya?” pikir Ash secara logika. Cukup masuk akal karena tidak baik juga apabila mereka tetap mengenakan pakaian basah maka mereka akan sakit. 

 

Eva terkejut lantas menatap Ash dengan tajam. Dia menolak ide Ash barusan tanpa berpikir dua kali lantaran dia tidak bisa melakukan hal itu sesuka hati. Ash tertawa hambar sembari mengangkat kedua tangannya ke depan, menghindari Eva yang terlihat sangar hanya dari ekspresinya. Terlihat seperti akan mengamuk.

 

“Aku cuman bercanda. Jangan marah,” kata Ash.

“Aku hanya punya satu pakaian dan ini diberikan kakakmu juga. Lalu kamu pikir aku akan melepasnya begitu saja?” 

 

Ash tidak lagi berani angkat bicara. Lebih tepatnya tidak bisa dan lebih memilih untuk menghindar tapi tidak terlalu jauh juga dari sisi Eva. Arah mata Ash mungkin tidak terlihat karena kacamata hitam tetapi dia sedang berusaha mengalihkan pandangan dari punggung Eva yang basah.

 

"Sepertinya aku tidak bisa menjelaskan apa pun tentang bajunya yang jadi transparan karena basah," batin Ash merasa kikuk. 

 

Mereka meneduh di toko yang sedang tutup. Tidak ada seorang pun terlihat di jalanan kecil ini jadi sangat sepi namun di satu sisi Ash merasa bersyukur karena dengan begitu tidak ada yang melihat sosok Eva yang sekarang.

 

“Entah aku harus merasa tidak enak atau merasa bersyukur karena mendapat pemandangan gratis,” gumam Ash. 

 

“Tadi ngomong apa?” tanya Eva. Sontak Ash berdiri di tempat saking terkejutnya mendengar Eva berbicara secara tiba-tiba. 

 

Ash lantas menjawab dengan terbata-bata, “Ti-tidak ada.”

 

“Oh ya?”

“Aku hanya berpikir kapan hujan akan berhenti,” jawabnya beralasan.

 

Waktu berlalu begitu cepat namun hujan tidak kunjung reda. Cuaca dingin disertai hujan deras ini tentu membuat Eva sedikit ketakutan. Entah berapa lama lagi mereka tertahan di satu tempat ini. Selain dompet yang dia bawa, Ash justru melupakan ponselnya sendiri sehingga membuat mereka makin kerepotan. Tidak ada yang menyangka akan terjadi situasi seperti ini.

 

“Mungkin kita akan terjebak semalaman jika terus begini. Eva, tunggu di sini dan aku akan membeli payung sebentar.” 

 

Eva menggenggam tangan Ash yang hendak pergi. Enggan ditinggal, dia memberi isyarat kecil dari genggaman itu agar Ash tidak meninggalkannya sendirian di sini. Terbaca jelas dari raut wajahnya yang muram dan tidak berbicara sepatah kata pun, Eva sedang ketakutan. 

 

“Eva, aku hanya akan pergi sebentar.”

 

Eva menggelengkan kepala, menolak ditinggal pergi. Kali ini dia mencengkeram pergelangan tangan Ash dengan kuat. 

 

“Waktu itu kamu meminta untuk sendirian saja lalu sekarang tidak mau ditinggal pergi walau hanya sebentar saja? Dasar gadis aneh,” gerutu Ash yang kemudian kembali duduk di tempat. 

 

Permintaan egois Eva akhirnya dituruti oleh Ash. Namun hujan semakin awet dan hari semakin larut. Eva juga sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi dari hawa dingin ini. Khawatir bila terjadi hal yang tidak diinginkan begitu pagi datang, Ash nekat pergi meninggalkannya. Eva tidak bisa menahannya lagi sekalipun dia berteriak dan memintanya menunggu. 

 

Dihantui oleh ketakutannya tersendiri. Kejadian pada malam di desa kembali terngiang dalam benaknya. Sesosok monster berkumpul mengitari Eva dengan suara erangan layaknya binatang buas sungguhan. Dengan mata merah itu mereka menatap Eva, kuku tajam mencuat dari jari-jari itu pasti akan segera menerkam dirinya namun Eva tidak sanggup berdiri apalagi berlari. 

 

Di antara mereka ada seseorang yang memiliki perawakan besar, jelas saja Eva dibuat ketakutan setengah mati. Tubuhnya yang muncul akan mudah dicabik oleh tangan besar itu. Tidak ada kesempatan bertahan hidup sama sekali. Napas Eva mulai tersengal-sengal, bola matanya melebar dan tubuhnya kembali gemetaran. 

 

“Menjauhlah!” pekik Eva seraya menepis tangan itu lalu bergerak mundur dengan menyeret tubuhnya. Kemudian menutupi wajah yang sekarang sedang menangis. 

 

“Eva!” Seseorang memanggil namanya dan seketika Eva tersadar dari bayangan-bayangan buruk yang terbayang seolah itu nyata. 

 

Perawakan besar layaknya seorang pria dewasa sungguhan. Lelaki yang kerap kali mengenakan kacamata hitam itu tampak terkejut sekaligus khawatir. Meskipun kacamata itu menghalangi mimik wajah namun Eva tahu bahwa lelaki ini sedang mengkhawatirkan dirinya. Dia kembali setelah membawakan payung besar dan minuman hangat.

 

“Ternyata itu kamu, Ash. Syukurlah,” ucap Eva. Dia masih menangis sesenggukan lalu merangkul lengan lelaki itu agar merasa nyaman. 

 

“Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, Eva. Sekarang kita lebih baik pulang saja,” kata Ash.

“Aku tidak punya rumah lagi.”

“Maksudku pergi ke rumahku.” 

“Aku tidak mau merepotkanmu lagi.”

“Jangan khawatir. Itu bisa diatur.”

 

Eva pun menurutinya karena memang tidak punya pilihan lain. Dari genggaman tangan Eva hari ini, samar-samar Ash paham tentang penderitaan yang dialami oleh gadis itu. Duduk sendiri dengan cuaca dingin dan lembab membuatnya teringat akan kejadian di desa. Memicu trauma terbesar yang mengakibatkan Eva mengalami delusi parah.

 

Gadis lemah dan tak berdaya yang memiliki hati serapuh kaca. Dengan tubuh mungil itu dia dapat bertahan dari wabah darah saja sudah merupakan keajaiban. Ash merasa tidak boleh lagi terjadi sesuatu pada gadis ini dan entah kenapa Ash berpikir seperti itu. 

 

“Apa kamu tidak merasa aneh?” Tiba-tiba Ash bertanya.

“Aneh? Aneh bagaimana?” Eva melontarkan kembali pertanyaanya.

 

***

 

Sesampainya di rumah Ash, kakak perempuan dan kakek Ash sangat terkejut begitu melihat kedatangan mereka berdua dengan pakaian basah kuyup seperti habis berendam di air kolam. Sena bertanya mengapa mereka basah kuyup sedangkan payung masih berada di tangan mereka dan kemudian Ash menjawab ini karena sebuah kecelakaan kecil. 

 

“Anginnya kencang sampai payung yang baru kubeli rusak. Aku bahkan nyaris kehilangan payungnya,” tutur Ash. 

 

Awalnya Sena tidak percaya. Memangnya sekencang apa angin itu sampai merusak payung yang baru saja dibeli. Namun bisa saja payung itu murahan tetapi ternyata alasannya tidak sesederhana yang Sena pikir. 

 

“Apa benar hanya karena angin?” tanya Sena. Dia mencurigai sesuatu. 

“Baiklah, aku minta maaf. Sebenarnya aku tidak sengaja terpeleset dan jatuh. Eva terkena imbasnya karena aku spontan memegangi tubuhnya. Jadi kami jatuh bersama.” Ash pun berkata jujur. 

 

Wajah Eva terlihat memerah seperti kepiting rebus, rupanya dia sangat malu karena kejadian yang menimpa mereka dalam perjalanan ke rumah. Sena lantas tertawa tanpa dosa dan menanggapi musibah ini sebagai kejadian yang sangat lucu.

 

“Kak, kenapa harus ketawa? Kami jatuh bersama jadi semua baju kami basah semua dan kakak justru ...,” 

 

Protes pun tiada guna. Ash merasa tidak perlu melanjutkan kalimatnya karena Sena terus saja tertawa bahak-bahak. 

 

***

 

Selama seseorang masih hidup maka kebahagiaan dan kesedihan akan selalu berdampingan. Suka maupun duka yang saling bertentangan terkadang mengikat hati yang tenang. Sesekali perasaan itu muncul maka akan ada sebuah perubahan baru sama seperti dalam mimpi. 

 

Malam itu Ash mendengar suara erangannya yang seperti sedang menahan rasa sakit. Ketakutan Eva memang tidak sepenuhnya menghilang dan itu membuat tangan Ash gemetar. Sulit dibayangkan mengenai rasa sakit yang Eva rasakan. 

 

“Sedang apa, Ash?” Sena muncul dari belakang dan bertanya. 

“Eva bermimpi buruk. Sepertinya dia sulit untuk tidur sendiri,” pikir Ash.

“Lalu kamu ingin tidur bersamanya?” 

 

Begitu Sena mengatakan hal itu, sontak saja Ash menyingkir beberapa langkah dengan terkejut. Wajahnya pun terlihat memerah. 

 

“Sejujurnya ini pertama kali aku melihatmu berwajah merah. Malu-malu seperti orang yang sedang kasmaran. Bukannya kamu sering berinteraksi dengan banyak perempuan? Lalu kenapa malu kalau itu berhubungan dengan Eva?” 

 

Hati Ash tersenut panas seakan merasa pernyataan Sena adalah sebuah fakta. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa selain berdiri diam dengan tundukkan kepala. Rasa malu dan cemas bercampur aduk. Sementara Sena cukup penasaran karena gelagat adiknya yang aneh itu. 

 

“Aku tidak apa-apa. Tapi Eva sepertinya sedang kesakitan. Kakak tidak mau menemaninya?” Ash mengalihkan pembahasan itu dengan hal lain. 

 

“Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu pikir kakakmu bodoh?” Sena mengerutkan kening sembari menekan pundak adiknya. Ash bertubuh tinggi sehingga Sena pun harus berjinjit saat akan mengatakan sesuatu hal lainnya. 

 

“Boleh saja jika ingin berkencan dengan banyak wanita tapi tolong ingatlah kalau kamu tidak bisa memacari apalagi sekadar mencintai seseorang dengan kondisi tubuhmu saat ini.”

 

Ash menghela napas panjang. Perkataan Sena barusan akhirnya menyadarkan Ash yang sedang kalut tanpa sebab. 

 

“Aku tahu ini pertama kalinya bagimu. Tapi tahanlah perasaanmu jika tidak ingin menyakitinya,” ucap Sena.

“Aku mengerti, kak.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mimpi & Co.
1443      909     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
SEBOTOL VODKA
667      390     3     
Mystery
Sebotol vodka dapat memabukanmu hingga kau mati...
Dark Shadow
364      236     5     
Horror
Tentang Jeon yang tidak tahu bahwa dirinya telah kehilangan Kim, dan tentang Kim yang tidak pernah benar-benar meninggalkan Jeon....
Nightmare
448      308     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
The Call(er)
2173      1237     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
If Sarcasm is A Human Being
588      404     0     
Short Story
Apa yang terjadi jika sebuah kata sifat yang abstrak memiliki rupa dan karakteristik bak seorang manusia? Sar tidak memilih hidupnya seperti ini, tetapi ia hadir sebagai satu sifat buruk di dunia.
Premium
Whispers in the Dark
3458      602     7     
Fantasy
A whisper calls your name from an empty room. A knock at your door—when you weren’t expecting company. This collection of bite-sized nightmares drags you into the the unsettling, and the unseen.
The Story of Fairro
2846      1196     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
Rumah Laut Chronicles
2735      1157     7     
Horror
Sebuah rumah bisa menyimpan misteri. Dan kematian. Banyak kematian. Sebuah penjara bagi jiwa-jiwa yang tak bersalah, juga gudang cerita yang memberi mimpi buruk.
Dongeng Jam 12 Malam
2149      1002     1     
Horror
Dongeng Jam 12 Malam adalah kumpulan kisah horor yang menggali sisi tergelap manusia—keserakahan, iri hati, dendam, hingga keputusasaan—dan bagaimana semua itu memanggil teror dari makhluk tak kasat mata. Setiap cerita akan membawa pembaca ke dalam dunia di mana mistik dan dosa manusia saling berkelindan.