Sedikit jarak yang tersisa, kedekatan di antara mereka membuat jantung berdebar tak beraturan. Gadis berambut hitam yang tingginya kurang dari sebahu lelaki itu kini tercekat diam tanpa bisa berbuat apa-apa karena berhadapan dengannya. Tidak hanya itu, bahkan bernapas saja sulit rasanya. Eva ingin segera menyingkir namun tidak bisa.
“Kuku yang panjang dan tajam, hilang kesadaran, tidak bisa berbicara apalagi berpikir lalu identik dengan bola mata berwarna merah adalah ciri dari orang yang terkena wabah darah,” jelas Ash.
Dengan ciri-ciri yang baru saja disebutkan sudah jelas bahwa Eva yang terlihat normal pada umumnya tidak terkena wabah darah. Berpikir gadis itu sulit memahami, Ash kemudian mengangkat tangan kecil itu sambil menunjuk ke arah kuku.
Kemudian berkata, “Lihat nih, kukumu biasa saja.” Lalu tersenyum sambil menatap kedua mata Eva, dia pun kembali berkata, “Kamu juga tidak terlihat seperti orang gila.” Ash menganggukkan kepala beberapa kali.
Eva ikut menganggukkan kepala tanpa sadar meskipun sebenarnya dia hanya sedikit mendengar ucapan Ash.
“Kamu masih ragu?” tanya Ash.
“Tidak juga. Aku hanya gelisah. Lagi pula aku berasal dari desa ini dan anehnya hanya aku yang tidak terkena wabah itu bahkan selamat dari marabahaya,” ujar Eva menuturkan kejanggalan yang dia rasakan.
Ash kembali menganggukkan kepala setelah memahami kecemasan apa yang membuat Eva sampai seperti ini. Jujur saja apa yang diucapkan oleh Eva barusan tidaklah sepenuhnya salah. Eva selamat tanpa terkena wabah darah bisa jadi itu hanya karena datangnya keajaiban.
“Baiklah, aku mengerti maksudmu. Itu wajar saja.”
Dengan segera Eva menarik tangan yang masih digenggam oleh Ash saat itu. Lalu menyingkir beberapa langkah agar tidak terlalu dekat sembari menundukkan kepala, berniat menghindar agar hati gadis itu tidak lagi dibuat bimbang karena tindakan ambigu Ash sebelumnya. Namun Ash bertindak kembali tanpa pikir panjang, dia menarik lengan Eva dan bermaksud membawanya masuk ke pedesaan.
“Tunggu! Kita dilarang masuk!” pekik Eva.
“Sudah, tidak masalah. Ada aku di sini,” ucap Ash sambil tersenyum.
Eva pikir ini tidak masuk akal karena Ash menerobos masuk penghalang yang dibuat oleh petugas dengan berani. Dia takut ini akan membawa masalah besar ke depannya tetapi yang terjadi malah sebaliknya, semua orang di sana memberi hormat pada Ash. Tentu saja Eva sangat terkejut dengan yang terjadi dan mulai bertanya-tanya tentang siapa lelaki ini sebenarnya.
“Kenapa malah membawaku masuk begitu saja?”
“Kita aman selama aku di sini. Jadi tenanglah dan mari kita pergi ke rumahmu. Ayo tunjukkan jalan.”
Abu dan sisa puing-puing rumah lah yang hanya tersisa. Tampaknya kebakaran di malam hari itu tidak menyisakan barang berharga sedikitpun. Sudah tidak ada yang tersisa dan itu membuat Eva kecewa. Keningnya berkerut, dia menggigit bibir bagian bawah lantas menghela napas sejenak. Dia tahu ini semua tidak ada gunanya.
“Ternyata memang tidak ada yang tersisa. Sayang sekali.”
“Kalaupun kita tidak dilarang masuk tapi jika tidak ada yang tersisa seperti ini, lalu apa gunanya aku pulang?” gerutu Eva.
Kejadian di malam hari terbayang begitu jelas dalam benaknya. Begitu juga dengan rasa sakit kembali dirasakan, tapi ternyata luka di bagian tulang kering kanannya kembali terbuka. Darah merembes keluar dan merubah warna perban menjadi merah persis seperti warna mata ibunya pada saat itu.
"Tidak, ini hanya bayanganku. Darah yang aku lihat hanyalah ilusi," batin Eva.
Eva menangis kembali sambil meremas tangan yang hingga saat ini masih digenggam oleh Ash. Tubuhnya gemetaran, selain luka fisik bahkan luka di hatinya akibat kehilangan orang-orang yang disayangi pun tak kalah sakit rasanya. Gadis tak berdaya itu lantas jatuh ke tanah. Dalam posisi duduk di dekat puing-puing dia menahan rasa sakit kehilangan hingga tak sanggup tuk berdiri lagi.
“Eva.”
Namun suara seorang lelaki yang berada di dekatnya membuat dia kembali dalam kenyataan. Hatinya tidak lagi terlarut dalam kejadian semalam sebab suara tegas dan lembut itu didengarnya. Sekali lagi orang itu menghangatkan hatinya. Bahkan genggaman tangan yang juga mengelus pelan punggung tangan Eva pun membuat dia tenang.
“Aku mungkin tidak tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Selain yang aku tahu kamu sedang sedih.”
“Kamu bicara apa sih sebenarnya?”
“Tidak ada. Tadinya aku mau menggombal,” ujar Ash sembari tertawa hambar.
Berada di sisi Ash membuat hati terasa hangat dan tenang. Postur tubuh yang tinggi dan besar itu bahkan mampu menutupi tubuh Eva yang mungil. Suaranya tegas dan besar tapi penuh kelembutan dapat menyentuh hati Eva yang rapuh dan mudah hancur. Orang ini sulit dipahami oleh Eva tapi saat itulah dia berpikir ini adalah cinta yang dirasakan oleh banyak orang.
“Aku merasa aneh saat bersamamu. Tapi terima kasih karena sudah membantuku,” ucap Eva dengan tulus. Dia kembali bangkit lalu tersenyum tipis.
Mungkin dia tidak mengatakannya secara langsung tetapi Ash sadar kalau Eva butuh waktu untuk sendirian. Dia pun melepas genggaman tangannya dengan cepat seakan itu dilarang lalu membalas senyumnya dengan beberapa kata gombal.
“Aku sudah bilang, gadis secantik dirimu tidak mungkin disentuh oleh wabah darah. Tapi aku tidak menyangka gadis sepertimu pun punya senyum yang indah seperti bidadari surga.” Dia mengatakannya dengan santai, lalu menyibak rambutnya sok keren.
Eva hanya tertawa ringan sebelum akhirnya pergi meninggalkan pedesaan. Entah ke mana lagi dia akan pergi dan Ash berpikir tidak baik jika terus mengikutinya meski khawatir.
“Setan itu tidak akan muncul saat malam hari. Maksudku monster itu.”
Melalui pertemuan singkat serta percakapan ringan tanpa basa-basi. Wajah dengan kacamata hitam yang dipakainya telah tertanam lekat di lubuk hatinya terdalam. Sosok lelaki yang pandai sekali berbicara atau bahkan menggoda, Eva sudah menebak bahwa lelaki itu bukan pertama kalinya berinteraksi dengan gadis. Berbeda dengan dirinya yang sedikit pemalu, tentu ingatan baik tentang lelaki itu akan menjadi satu-satunya hal baik yang tersisa.
“Aku tidak ada niatan menyukai seseorang tapi ternyata rasa suka bisa semenyenangkan ini,” gumam Eva di perjalanan seraya memandangi langit.
Dari desa ke kota, dia melakukan perjalanan jauh tanpa perbekalan sedikitpun. Sejak tadi dia menahan rasa lapar dan pada akhirnya dia terkulai lemas di depan etalase toko yang ada di kota. Pertama kalinya dia menjadi gadis gelandangan dan tak seorang pun membantunya kecuali ada seseorang bertudung hitam datang mendekat.
“Orang itu terlihat aneh. Firasatku tidak enak. Aku harus segera pergi,” pikir Eva yang kemudian segera beranjak dari sana.
Eva berjalan cepat sampai akhirnya dia berlari begitu sadar bahwa dirinya memang sedang diikuti oleh orang itu. Dilihat dari postur tubuhnya yang kurang lebih sama seperti Eva sendiri, sudah jelas dia bukanlah Ash. Dia adalah orang lain yang berkemungkinan besar berniat jahat.
Datang ke perkotaan ini bukanlah pertama kalinya bagi Eva. Dia berencana untuk mengetahui lebih lanjut mengenai wabah darah yang telah menimpa seluruh warga desa, tempat dimana dia tinggal. Dia tidak berani meminta bantuan dan pada akhirnya memutuskan untuk pergi sendirian. Namun siapa sangka musibah kembali mendatanginya.
Terdengar sedikit di antara kerumunan banyak orang, lelaki bertudung hitam meraung dengan menunjukkan mata merahnya. Dia berlari mengejar Eva tidak peduli apa pun yang menimpanya selama perjalanan. Entah itu kerikil atau bahkan pecahan kaca yang diinjaknya pun tidak dia rasakan, bahkan lelaki itu hanya mengenakan alas kaki yang tipis dan tetap saja lelaki itu tidak merasakan rasa sakit.
“Bagaimana bisa ada mereka lagi?” Eva kewalahan dibuatnya, tidak peduli seberapa jauh atau sulitnya jalan yang dilalui dari satu gang kecil ke gang kecil lainnya, orang asing itu tetap dapat mengejarnya hingga Eva tidak dapat berlari lagi.
Jarak antara pria itu dengannya sudah semakin dekat. Begitu tidak melihat jalan ke depan dan karena terlalu fokus pada orang itu, Eva tersungkur ke tanah setelah sepatu yang dia kenakan terlepas. Situasi ini mulai tidak terkendali dengan orang itu yang akan menerkamnya.
“Apa aku akan menyusul keluargaku?” Pikiran negatif memenuhi isi kepalanya. Pasrah terhadap keadaan, Eva memejamkan mata.
“Hei, apa yang kamu lakukan?!” teriak seseorang yang kemudian diikuti dengan suara benturan keras serta erangan kesakitan.
Eva kembali membuka matanya dan melihat uluran tangan besar. Dia Ash, dia datang menyelamatkannya lagi. Muncul perasaan senang sekaligus lega membuatnya kembali menangis.
“Dasar cengeng,” ejek Ash pada gadis itu.
“Maaf, terima kasih.” Dua patah kata terucap di bibir keringnya. Ash menyeka air mata itu lagi lalu menarik tangan dan mendekap tubuh Eva sejenak.
“Orang itu sudah kuatasi,” tutur Ash sembari menepuk pelan punggung Eva yang gemetar.
“Iya, Ash.” Namun tangisan Eva sulit berhenti sampai pada akhirnya perutnya bersuara—dia sudah sangat kelaparan.
Di manapun keberadaan Eva, Ash pasti akan menemukannya. Ini bukanlah takdir atau semacamnya dan Eva bukanlah gadis sebodoh itu. Tentu dia sadar bahwa Ash masih mengikutinya meski dia agak sedikit terlambat. Lalu orang asing bermata merah barusan sudah tidak bernyawa hanya dengan satu tinju dari Ash.
“Apa kamu tidak bosan mengikutiku sepanjang perjalanan?” tanya Eva.
“Rupanya aku ketahuan ya.”
“Meskipun kamu pandai menggombali banyak wanita, tapi kamu bukan tipe orang yang bisa berbohong.”
“Sama seperti perutmu.” Ash kembali mengejeknya, kali ini dia tertawa paling keras.
Sekali, dua kali dan ini sudah yang ketiga kalinya mereka berjumpa. Eva sudah berulang kali mengkonfirmasi terhadap perasaannya sendiri bahwa ini bukanlah sebuah kebohongan. Eva benar-benar telah jatuh cinta pada lelaki ini.
"Hanya karena kamu menyelamatkan diriku, aku malah jatuh cinta padamu. Apa ini boleh kurasakan?" Eva berpikir dalam batin, meyakini bahwa perasaannya tidak boleh terungkap begitu saja namun tanpa sadar tangan mereka saling bertaut selama perjalanan menuju ke sebuah kedai.
***
Di kedai.
Orang-orang akan berpikir bahwa ini adalah sebuah kencan tetapi Eva berpikir ini hanya sebuah bantuan saja. Dia tidak berharap lebih dan berencana menekan perasaannya lebih dalam agar tidak merusak hubungan sementara ini. Sedangkan Ash, dia tampak biasa saja. Dia bahkan memesan beberapa makanan lagi agar Eva lebih kenyang.
“Pesan satu lagi.”
“Tidak perlu.”
“Kenapa?”
“Kamu ingin aku jadi gemuk ya?”
“Haha, tentu saja! Tubuhmu terlalu kecil, sih.”
Ash selalu mengejeknya dan bagaimana bisa lelaki sepertinya akan menanggapi perasaan seorang gadis? Eva mulai berkecil hati karena keramahtamahan lelaki ini.
“Apa kamu selalu bersikap seperti ini dengan semua perempuan?” Tiba-tiba saja pertanyaan yang terdengar sensitif ini terucap secara spontan.
“Kenapa mendadak bertanya begitu?”
Eva menggelengkan kepala dan berkata, “Aku hanya penasaran dan jika kamu terus bersikap begini pada setiap perempuan pasti dia akan salah paham.”
Penjelasannya masuk akal dan berkat perkataannya barusan, Ash jadi paham mengenai sosok gadis yang sekarang berada di hadapannya. Dia sedikit tertawa sebelum menjawab pertanyaan barusan, seolah ini lucu.
“Kamu mengatakan itu barusan. Apa berarti kamu punya perasaan padaku?” Ash menebaknya secara frontal tanpa berbasa-basi sedikitpun.
Hal itu membuat Eva tersentak kaget. Dia berdiri dan menggebrak meja seakan sedang menyangkal pernyataan Ash barusan. Pernyataan itu hanyalah tebakan dan Ash bermaksud menggodanya sedikit tapi siapa sangka kalau respon Eva sejelas ini.
“A-aku! Aku bukannya ....,”
Ucapan terbata-bata itu belum diselesaikan. Tidak, lebih tepatnya Eva tidak bisa melanjutkan omong kosongnya. Dia tidak bisa membantah dan kini hanya terdiam dengan raut wajah gelisah serta panik. Ash yang memang berniat menggodanya pun lantas diam tanpa ekspresi, lelaki ini bahkan terkejut dengan respon Eva barusan. Selama beberapa saat Ash kemudian memalingkan wajah yang memerah karena malu.
"Aku yang goda dia tapi kenapa aku jadi ikut-ikutan malu begini?! Lagi pula aku hanya bercanda!" Ash teriak dalam batin. Jantung pun berdegup begitu kencang hingga sulit dikendalikan.
Rasa malu tak tertahankan membuat Eva tak lagi punya muka di tempat umum. Terlebih setelah membuat kegaduhan tadi. Dia pun bergegas pergi dari kedai bahkan tanpa menghabiskan sisa makanannya. Ash lantas mengejarnya agar tidak ada bahaya yang mengincar Eva lagi.
Seberapa besar suara serta usaha Ash agar Eva dapat berhenti sejenak saja pun tak diindahkan olehnya. Eva tetap memilih cuek. Dia berjalan cepat hingga nekat menerobos kerumunan di pinggir jalan agar tidak dapat ditemukan oleh Ash.
“Jangan pikir kamu bisa lari begitu saja! Eva, jangan sendirian!”
Sayang seribu sayang langkah Ash jauh lebih cepat dari Eva. Akhirnya lelaki itu dapat meraih tangannya sehingga Eva tidak bisa berjalan lebih jauh lagi. Mereka terjebak di tengah kerumunan banyak orang yang berdiri di jalan khusus pejalan kaki.
“Lebih baik jangan ikuti aku lagi. Aku yakin mereka tidak ada lagi.”
“Pikiranmu dangkal sekali ya. Meskipun matahari adalah musuh mereka tapi orang yang seperti sebelumnya sudah pasti tidak hanya satu atau dua orang saja.”
“Tapi sebelumnya kamu bilang mereka tidak akan ada saat siang. Lalu aku datang ke kota bukan untuk bersenang-senang melainkan mencari tahu tentang wabah darah. Tapi aku berterima kasih padamu.”
“Kalau begitu ikut aku.”
“Terima kasih Ash tapi itu tidak perlu.”Eva menolak.
Rupanya Eva adalah gadis yang keras kepala. Begitu keputusan dibuat dia tidak akan berpikir dua kali lipat lagi. Saat berusaha menarik tangan dari genggamannya, Eva justru terdorong ke belakang akibat orang-orang mendesaknya mundur sehingga membuat Eva jatuh ke dekapan lelaki ini lagi.
“Astaga, kenapa selalu seperti ini?” gerutu Eva yang terus menundukkan kepala. Tidak berniat menoleh ke belakang karena sudah tahu itu siapa.
“Kamu bilang mau cari tahu tentang wabah darah tapi kalau sendirian itu mustahil. Makanya aku akan membantumu, paham?” Dia berbisik, menawarkan bantuan pada Eva dengan suaranya yang menggelitik.
Padahal kerumunan ini saja sudah sangat berisik tetapi entah kenapa suara bisikan Ash terdengar dengan sangat jelas.