Loading...
Logo TinLit
Read Story - Luka dalam Asmara
MENU
About Us  

Langit malam yang gelap dan dingin mulai terlihat suatu perubahan besar. Asap membumbung tinggi lalu diikuti oleh api yang menyala-nyala telah membakar semua rumah di desa terpencil. Beberapa penduduk desa yang sibuk berlarian dalam keadaan terluka namun juga tidak terlihat hidup itu, kini saling menyerang satu sama lain seperti monster ganas tak berakal. 

 

Seorang gadis duduk terdiam dalam waktu yang lama dengan mata terbelalak seolah tak percaya terhadap semua kejadian yang terlihat jelas ini. Berteriak apalagi menangis saja dia tidak bisa seakan jiwanya lenyap menjadi abu. Namun suara seorang wanita menyadarkan dirinya dalam lamunan. 

 

“Eva, pergilah.” 

 

Ucapan yang begitu lembut terdengar merdu, dia adalah ibu dari gadis itu. Saat gadis itu menoleh, barulah dia menangis kencang lalu berlari menuju ke arahnya. 

 

“Tidak, jangan kemari!” Sang Ibu meninggikan nada suaranya sembari mendorong putrinya menjauh. 

 

Eva bertanya mengapa ibunya melakukan itu tapi tanpa dijawab pun dia akhirnya paham setelah melihat keadaan tubuh sang ibu yang sudah mustahil untuk diselamatkan. Kuku-kukunya memanjang, pakaian juga berlumur darah, urat di setiap nadinya pun berubah gelap begitu juga dengan kulit dan kedua matanya bahkan berubah warna menjadi merah seperti darah segar. 

 

Jantung berdegup kencang tak karuan, napas tersengal, beratnya langkah kaki si gadis tuk berlari pergi hampir seperti dipasung seolah tak ingin pergi dari sisi ibu. Air mata mengalir deras saat melihat ibunya kini kehilangan kesadaran dan mulai menyerang dirinya. Dengan bertelanjang kaki, Eva pun berlari meninggalkan pedesaan dan menuju hutan.

 

Tidak ada jalan lain selain pergi menuju ke hutan. Berpikir bahwa tidak ada bahaya apa pun lagi namun sayang kenyataannya tidaklah semudah itu. Beberapa orang yang entah dari mana mulai muncul dan mengejar sembari meraung-raung layaknya seekor binatang buas kelaparan. 

 

Berlari adalah satu-satunya cara bagi Eva agar dapat bertahan hidup sendirian di dalam hutan. Dia berencana untuk menuju ke kota meskipun itu mengharuskannya berlari sepanjang waktu tanpa berhenti meski hanya untuk sejenak saja. Rasa kantuk mulai menyerang, lelah serta rasa sakit di sekujur tubuh akibat goresan ranting-ranting di sepanjang perjalanan membuat gadis itu nyaris hilang kesadaran namun rasa takut terus menghantui dirinya. 

 

Sesampai di ujung hutan, perbatasan kota mulai nampak. Sedikit cahaya dari korek api terlihat dengan jelas menunjukkan sosok siluet lelaki bertubuh besar dan tinggi nampak dari kejauhan. Harapan muncul dari lubuk hati yang terdalam hingga membuat Eva tanpa sadar terjatuh ke dalam pelukannya. Lelaki itu secara spontan menangkapnya. 

 

Dia yang terkejut hanya terdiam bahkan gadis itu pun juga diam. Selang beberapa saat Eva mulai menutup mata dan tidak sadarkan diri saat itu juga. Melihat beberapa orang yang masih berlari mengejar, lelaki itu kemudian membuka kacamata hitamnya lantas menatap tajam orang-orang itu dengan mata merah yang menyala. 

 

“Pergilah!” Sepatah kata terucap lantang membuat mereka kembali memasuki kawasan hutan.

 

Semilir angin yang dingin membuat tubuh mungilnya menggigil, lelaki itu lekas mengambil tindakan dengan segera membawanya ke sebuah tempat aman. Pria lansia yang duduk di teras cukup terkejut dengan kedatangannya yang juga membawa seorang gadis. 

 

“Siapa lagi yang kamu bawa, Ash?”

“Aku membawa siapa bukan urusanmu. Lagi pula dia hanya korban dari desa.”

“Korban dari wabah darah lagi?”

“Ya.”

 

Orang-orang yang mengalami perubahan baik dari fisik dan mental disebut orang yang terkena wabah darah. Orang yang terkena wabah darah pun akan dimusnahkan tanpa sisa agar tidak menyebar. 

 

***

 

Hari telah berganti, matahari telah terbit. Suasana pagi yang hening, anehnya membuat gadis itu terbangun. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah sebuah kamar luas dengan cat berwarna. Lalu datanglah seorang wanita yang berusia jauh lebih tua darinya menghampiri. 

 

Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Sena, kakak dari lelaki yang pernah menyelamatkannya. Eva tersentak kaget. Di dalam pikirannya dia sedang bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Meski malam hari itu dirasa cukup singkat hingga membuat Eva melupakannya sejenak. Sena yang terus bercerita mengenai keadaan Eva saat itu hingga sekarang pun akhirnya membuat dia kembali teringat. 

 

Satu persatu memori ingatan akan malam itu mengalir dalam pikirannya. Kepala Eva mulai terasa sakit, rasa nyeri di sekujur tubuhnya kembali dirasakan. Eva mengerang kesakitan lalu terjatuh ke lantai. Sena yang panik bergegas memanggil seseorang dan tak lama kemudian lelaki itu kembali muncul baik dari kenyataan maupun dalam ingatannya yang terlintas sesaat.

 

“Kamu siapa?” Eva bertanya. 

“Aku Ash, orang yang menyelamatkan kamu di hutan.” Lelaki itu menjawab. Ekspresinya bahkan tidak berubah seakan tidak peduli. 

 

Eva menundukkan kepala begitu pikirannya mulai terasa tenang. Kakek yang juga datang hanya bisa berdiri diam sambil memantau situasi dari luar kamar. Sena cukup panik sampai kesulitan mengucapkan sepatah kata pun akhirnya meninggalkan kamar karena takut mengganggu. Sedangkan Ash yang menunggu respon kini mendesah lantas berjalan mendekatinya sembari mengulurkan tangan. 

 

“Kamu pasti sudah ingat semuanya sampai sakit kepala tapi terus duduk di lantai dingin itu tidak baik,” kata Ash. 

 

Eva menganggukkan kepala dan barulah dia dapat mengatakan semua yang ingin dia katakan termasuk rasa terima kasih yang mendalam padanya. Eva yang sekarang hanyalah seorang gadis sebatang kara. Tanpa siapa pun yang tersisa dalam keluarganya, dia mulai bingung dengan apa yang akan dia lakukan mulai sekarang. 

 

“Semua orang di desamu terkena wabah darah. Wabah itu tidak bisa dinetralisir kecuali dilenyapkan tanpa sisa.”

“Apa maksudmu semua orang di desaku sudah meninggal?”

“Ya.”

 

Sekali lagi kepalanya tertunduk lesu, air mata kembali mengalir dan membasahi wajahnya. Perasaan sedih yang sulit terbayangkan membuat hati seorang gadis kacau balau. Sekalipun pakaian lusuh sudah digantikan atau luka luar yang sudah diobati, melihat Eva seperti ini pun membuat Ash merasa bersalah meski semua itu terjadi semata-mata karena takdir.

 

“Apa semua keluargamu ada di sana?”

“Iya.”

 

Bahkan dialog singkat di antara mereka tak membuat tangisan kecil Eva berhenti. Ash kembali menghela napas panjang, dia merasa gelisah dan tak enak hati kini mulai menghiburnya dengan tepukan lembut di ujung rambut hitam gadis itu. Eva menoleh dengan wajah bingung seakan bertanya apa yang sedang Ash lakukan sekarang justru membuat Ash tersenyum canggung. 

 

“Kamu bisa tinggal di sini kalau ingin,” ucap Ash sembari menyeka air mata Eva. “Tapi kalau tidak mau, akan aku carikan tempat lain.” Dia kembali berkata namun tidak berani menatap wajah Eva lagi. 

 

Gadis itu hendak mengatakan sesuatu tetapi sulit dan berakhir diam tanpa mengatakan jawabannya. Dia hanya bisa duduk diam dengan tenang lantaran merasa aman hanya karena berada di sisinya.

 

Kehadiran sosok lelaki asing yang membuatnya nyaman, entah mengapa membuat Eva canggung. Di sana hanya ada keheningan sampai suara ketukan pintu kamar terdengar pelan dan membuat kedua orang itu langsung menoleh ke sumber suara dengan sedikit terkejut. Ternyata Sena, kakak perempuan Ash yang datang. 

 

“Apa aku mengganggu kalian?” tanya Sena. 

 

Keduanya menggelengkan kepala. Selang beberapa saat Eva beranjak dari sana. Tak lupa berpamitan dengan alasan sudah cukup menerima bantuan dari mereka selama ini. Dia merasa tidak perlu merepotkan mereka lebih jauh lantaran pada dasarnya mereka hanyalah orang yang baru saja dikenalnya. Di luar dugaan Ash tampak tak setuju namun keputusan Eva sudah bulat. 

 

Tidak ada orang yang bisa menghalanginya pergi. Begitu keputusan dibuat dan setelah mengucapkan dua kalimat itu, Eva pun menghilang dari hadapan mereka. Berbeda dengan Sena yang raut wajah sedihnya terlihat jelas, Ash masih berekspresi seperti biasa seolah itu adalah hal biasa. 

 

“Kamu tidak menghentikannya?”

“Apa urusanmu, kak? Itu merepotkan.” 

 

Ash terkenal dengan sifat ketus namun juga pintar menggombal dan sudah banyak sekali wanita yang dikencani. Lelaki ini memang tidak biasa baik dari aura bahkan tindak-tanduknya yang sok misterius itu. Awalnya Ash bilang itu merepotkan tetapi tidak lama setelah kepergian Eva, Ash pergi tiba-tiba tanpa berpamitan.

 

Sena mencoba menghentikannya akan tetapi kakek melarangnya karena akan lebih baik jika mereka membiarkan lelaki itu pergi saja meski tidak tahu apa yang sedang dia rencanakan nanti. 

 

Pagi hari itu di jalanan sangatlah ramai, terlebih ini di perkotaan besar yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal Eva di desa. Melihat keramaian tak terhitung berapa jumlah orang di sana dengan suara bising dari segala arah telah memicu rasa sakit di bagian kepalanya. Dia hampir tumbang di tengah jalan namun tetap berusaha untuk bertahan sampai dia menemukan jalan menuju ke pedesaannya.

 

"Aku tidak bisa tetap ada di sini. Aku harus pulang apa pun caranya," batin Eva. 

 

Di samping Eva yang terlihat berjalan sempoyongan, nampak sosok lelaki familiar yang tengah membuntuti dari belakang. Secara diam-diam dia menjaga Eva dari kejauhan sembari berwaspada akan situasi di sekitar seakan bahaya yang mengincar gadis itu masih belum menghilang. Meskipun dia melakukannya secara tidak langsung, Ash tetap berharap gadis itu baik-baik saja. 

 

“Astaga, baru kali ini ada seorang gadis yang tidak seperti gadis ataupun wanita lainnya.”

 

Alasan mengapa Ash berpikir seperti itu adalah karena biasanya kebanyakan wanita muda maupun tua pasti akan kepincut dengan wajah tampannya. Sekalipun dia mengenakan kacamata hitam, Ash terkenal sebagai penakluk wanita di berbagai usia tak peduli apa yang dia kenakan.

 

Cemas tapi juga penasaran, itulah yang saat ini Ash rasakan terhadap sosok gadis mungil itu. Hal yang membuat dirinya sendiri merasa terkejut karena ada rasa tertarik yang sulit dijelaskan. Sesaat dia tersenyum sambil menatap punggung Eva yang membungkuk lelah. 

 

“Sudah kuduga dia memaksakan diri,” pikir Ash. 

 

Belum sampai menuju ke perbatasan, Eva sudah mulai kelelahan. Mengisi perut saja belum apalagi memulihkan luka. Hanya dalam semalam mana mungkin bisa membuatnya pulih dengan keadaan hati yang tidak tenang. Sejenak Eva mengambil tempat duduk di pinggir taman, Ash tetap berada di kejauhan karena tidak berani mendekat. 

 

Selama hitungan menit akhirnya Eva kembali melanjutkan perjalanan dan sampailah dia ke perbatasan menuju hutan. Tubuh Eva bergidik tanpa sadar, ketakutan akan kejadian semalam kembali terngiang dalam benaknya. Dia tidak berani melangkah namun di sana ada pedesaan, tempat dia tinggal sedari kecil. Keinginannya tuk pulang pun mengalahkan ketakutan, dia melangkahkan kaki—menyusuri hutan dengan langkah cepat.

 

“Yang Maha Kuasa, mohon lindungi aku,” gumam Eva dengan suara kecil. 

 

Dimulai dari langkah cepat hingga dia berlari kencang agar segera sampai menuju ke desa. Sembari menekan rasa takut, dia terus berkomat-kamit sepanjang perjalanan dan tanpa sadar dia sampai. Tidak ada seorang pun yang menyerang seperti di malam itu, Eva merasa bersyukur. 

 

“Di pagi hari, orang yang terkena wabah darah tidak akan muncul karena takut sinar matahari,” gumam Ash yang sejujurnya merasa tenang karena Eva berhasil selamat dari hutan. 

 

Menyusuri hutan di saat malam hari terasa lebih jauh, tetapi saat di pagi hari justru terasa singkat seolah hanya menyusuri kebun kecil saja. Eva merasakan hal tersebut dengan perasaan aneh serta janggal. Sesekali dia menengok ke belakang seolah sadar ada yang mengikuti. 

 

Merasa bahwa dirinya terlalu cemas, lekas Eva kembali ke tujuannya. Tadinya dia berpikir desa itu sudah ditinggalkan tetapi ternyata tidak, ada sebagian orang yang memblokade kawasan pedesaannya dan membuat Eva tertahan di kejauhan. Eva dilarang mendekat karena orang-orang itu tengah dalam penyelidikan. 

 

“Kamu dilarang masuk! Jangan sampai setetes darah membuatmu terkena wabah!” pekik salah satu petugas memperingati Eva.

 

Wabah darah yang menyebar di pedesaannya membuat desa itu lenyap dan hanya menyisakan abu bekas dari rumah-rumah yang malam itu habis terbakar. Eva nampak kecewa karena tak ada seorang pun selain dia yang bertahan hidup bahkan sisa dari rumah bahkan jasad kedua orang tuanya tidak terlihat sedikitpun.

 

“Wabah darah sudah dilenyapkan di desamu. Wajar saja sudah tidak ada apa pun lagi tapi mereka tetap melarangmu masuk ke sana,” jelas Ash yang tiba-tiba menunjukkan batang hidungnya. 

 

Eva terkejut, spontan bergerak menjauh karena takut. Dia kebingungan dengan keberadaan lelaki ini dan tidak butuh waktu lama hingga dia sadar bahwa orang yang mengikutinya sudah pasti adalah orang ini. 

 

“Kamu lagi?”

“Ya, ini aku. Ash.”

“Buat apa kamu ke sini?” Eva bertanya tanpa menatap wajahnya. 

 

Tidak ada respon dari Ash setelah pertanyaan dari Eva. Lelaki itu justru menyentuh sekaligus menarik dagunya, bermaksud agar mereka saling bertukar tatap saat berbincang. Sedikit kesal karena perlakuan dingin Eva, lelaki itu menekan sedikit kedua pipinya. 

 

“Apa yang kamu lakukan?!” tanya Eva sedikit membentak.

“Tatap wajahku kalau ingin mengobrol,” tutur Ash.

 

Sedikit tersenyum, Ash merasa puas seolah berhasil membuatnya menurut. Sedangkan Eva tampak lebih canggung berada di hadapannya sekarang karena memang tidak terbiasa bergaul dengan seorang lelaki. 

 

“Kamu berencana untuk masuk ke desa tapi tidak bisa 'kan? Jangan paksakan dirimu, lebih baik istirahat saja.” 

“Mengenai wabah darah, semua orang yang terkena itu pasti akan langsung dibasmi?” Mengindahkan nasihat Ash, Eva melontarkan sebuah pertanyaan.

 

Ash menganggukkan kepala sedikit sebagai ganti dari jawabannya. Eva menghela napas lalu kembali bertanya, “Kalau begitu bagaimana dengan saya?”

 

“Tiba-tiba berbicara formal, padahal biasa saja juga boleh,” gumam Ash. 

 

Kecanggungan yang Eva rasakan sejak tadi semakin menjadi begitu jarak di antara mereka semakin sedikit, terlebih saat Ash menyentuh sedikit ujung rambut hingga membelai wajah Eva sembari menyunggingkan senyum. Eva tercekat diam dengan hati berniat berontak tapi segala pergerakannya seolah terkunci dan hanya menatap wajah Ash yang tengah menggodanya. 

 

“Mana mungkin wabah darah bisa menyentuh gadis secantik dirimu.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Story of Fairro
2846      1196     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
796      536     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Mimpi & Co.
1443      909     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
The Savior
4457      1607     10     
Fantasy
Kisah seorang yang bangkit dari kematiannya dan seorang yang berbagi kehidupan dengan roh yang ditampungnya. Kemudian terlibat kisah percintaan yang rumit dengan para roh. Roh mana yang akan memenangkan cerita roman ini?
Rose The Valiant
4344      1454     4     
Mystery
Semua tidak baik-baik saja saat aku menemukan sejarah yang tidak ditulis.
Berhargakah Sebuah Jiwa???
607      404     6     
Short Story
Apakah setiap jiwa itu berharga? Jika iya, maka berapa nilai dari sebuah jiwa?, terlebih bila itu jiwa-mu sendiri.
Ignis Fatuus
2097      795     1     
Fantasy
Keenan and Lucille are different, at least from every other people within a million hectare. The kind of difference that, even though the opposite of each other, makes them inseparable... Or that's what Keenan thought, until middle school is over and all of the sudden, came Greyson--Lucille's umpteenth prince charming (from the same bloodline, to boot!). All of the sudden, Lucille is no longer t...
House with No Mirror
484      364     0     
Fantasy
Rumah baru keluarga Spiegelman ternyata menyimpan harta karun. Anak kembar mereka, Margo dan Magdalena terlibat dalam petualangan panjang bersama William Jacobs untuk menemukan lebih banyak harta karun. Berhasilkah mereka menguak misteri Cornwall yang selama ini tersembunyi?
Forestee
491      346     4     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.
Mysterious Call
506      338     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.