"Jadi kamu putus dengan pacar kamu yang genit itu?"
"Dia punya nama, Ma.."
Silvi alias Mama Revan, mengangkat bahunya. Tidak peduli. "Terserah. Mama malas menyebut namanya."
"Ma.."
Dan tiba-tiba, tangan Silvi terulur ke pundak Revan. "Revan... Firasat seorang ibu, tidak akan pernah salah, sekalipun kamu keras kelapa ribuan kali," ucapnya lembut.
Pertama kali Revan masuk rumah di pagi tadi dengan kondisi kusut dan acak-acakan, Silvi paham, bahwa sesuatu terjadi pada anaknya. Ia langsung menghujani Revan dengan beragam pertanyaan yang mau tak mau membuat Revan menceritakan tentang kandasnya hubungan cintanya dengan sosok bernama Tamara.
Silvi langsung mengembangkan senyumnya dan bernafas lega, karena melihat anak lelaki gagahnya batal merancang masa depan dengan gadis yang ia anggap tak baik untuk menjadi pendamping Revan.
Kenapa Silvi tak menyukai Tamara? Alasannya sama dengan kebanyakan orang.
Pertama, Tamara terlalu materialistis. Silvi pernah memergoki saldo ATM putranya yang menipis drastis. Karena apa? Karena Tamara merengek meminta dibelikan tas hermes terbaru yang bahkan Silvi-pun sayang untuk membelinya.
Kedua, Tamara terlalu berpakaian terbuka dan tak mengenal situasi. Saat Tamara makan malam di rumah bersama Silvi dan Revan, ia hanya memakai dress di atas lutut dan tanpa lengan. Bisa dibayangkan, kan, bagaimana reaksi Silvi? Begidik ngeri.
"Kamu pasti akan mendapat yang lebih baik, sayang," lanjut Silvi. "Sekarang, tidurlah. Kamu capek kan habis manggung?"
"Iya, Ma. Revan ke kamar dulu ya." pamit Revan.
Silvi tersenyum, dan mengangguk. "Nggak perlu Mama bacakan dongeng lagi, kan?" ledeknya.
"Nggak, lah, Ma.. Hahaha.."
"Nah, gitu dong.. Tertawa lah, nak.. Mama di sini, ingin yang paling baik untuk kamu. Begitupun Papa, di surga sana, juga ingin yang terbaik untuk anaknya," ucap Silvi, sebagai kalimat pengantar tidur Revan, agar Revan tak terlalu larut dalam patah hatinya.
*
Asdfhfhkdfjkl!
Revan begitu terkejut ketika merogoh saku dan menemukan dua ponsel iPhone 5s Gold. Ah, Revan tau. Pasti ini milik gadis yang ia peluk tadi.
Siapa namanya? Ah, Nina!
Bagaimana cara Revan mengembalikannya?
Revan membuka aplikasi line dan memulai chat dengan Aira, adik tingkat yang kini menjadi sahabat terbaiknya, yang baru saja mengundang band-nya menjadi bintang tamu.
Me : Aira!
Aira :Iya?
Me : Sialan. Hape temen lo ada di gue. Kebawa
Aira : Hah? Iya lah hp kalian sama! Lo nggak teliti, dia teledor. ya udah deh.
Me : Lo malah katain gue-_- gimana nih
Aira : Yaudah balikin gih.
Me : Ogah, tau rumahnya aja nggak.
Aira : Cieeee berharap tau, ya?!?! inget..... ada tam-tam.
Me : Hm... Gue udah putus sama Tamara barusan. Kata-kata lo bener.
Aira : Sumpaaah???? lo lihat sendiri???? ceritain please!
Me : Bsk aja di kampus.
Aira : Ok, ok. Karena lo lg patah hati... biar gue yang ambil hp Nina di rumah lo. Tapi mgkn bsk ya.
Me : Sip.
Aira : Hape sohib gue jgn lo apa-apain!
Me : Ogah. Emang isinya apaan, males bgt gue.
Aira : Dia tuh polos. Isi hp nya kayak hp gue jaman smp. Semua lagu one-direction sama 5sos. Foto-foto personilnya.....
Me : Hahahaha. Masa sih?
Revan tidak menyangka, calon guru seperti Nina memiliki selera yang.... Kekanak-kanakan, sangat. Berkebalikan dengan Aira, gadis paling difavoritkan, yang bersahabat dengan ragam logo barang mewah
Dan tak kusangka, seorang Aira yang jago clubbing dan ketagihan dengan dunia malam, bahagia bersahabat dengan si calon guru yang polos dan memiliki selera layaknya bocah SMP.
*
Dengan terburu-buru, usai kelas, Nina langsung melejit ke Fakultas Ekonomi untuk mencari Aira. Nina berniat mengambil ponselnya yang terbawa oleh Revan, lelaki yang baru saja ditimpa patah hati.
Huh.
Untung fakultas Nina berjarak tak terlalu jauh dengan fakultas Aira. Jadi jalan kakipun tak akan terlalu bermasalah. Coba kalau seperti ke fakultas hukum atau sastra dimana Tata dan Mutia menjadi penghuninya, kaki Nina bisa patah sebelum sampai sana.
Bagai penyusup, Nina--yang notabene adalah mahasiswi fakultas pendidikan--masuk tanpa malu-malu ke dalam fakultas ekonomi yang berisi para lelaki dan gadis dengan penampilan super-keren, berbeda dengan Nina yang hanya mengenakan
kemeja putih dan rok panjang, bagai karyawan toko.
"Nina!"
Nina menoleh ke sumber suara, dan menemukan Aira berjalan ke arahnya. Pantas saja, Aira sangat cantik, dan tanpa make-up pun, ia sudah layak disandingkan dengan mahasiswi ekonomi yang cantik-cantik lainnya.
"Kok lo yang kesini? Harusnya gue yang jemput lo ajaaaa," ucap Aira, setibanya ia hadapan Nina.
Nina meringis. "Jam gue juga udah selesai. Jadi ya udah gue ke sini aja.. Hehehe."
Sembari mengobrol singkat, kedua gadis cantik tersebut berjalan ke arah parkiran. Sambil berjalan ke arah mobil, Nina menatap seluruh yang ada di fakultas tempat Aira berkembang ini. Sungguh mewah. Banyak mobil berderet, mahasiswa cantik dan tampan bertebaran, gedungnya pun bagus!
Ya, seorang seperti Aira dan Revan sangat cocok menjadi mahasiswa di fakultas ini. Fakultas yang dipenuhi manusia dengan wajah 'enak dipandang'.
"Gue setres tau tanpa HP gue!" gerutu Nina.
"Kenapa? Ga bisa dengerin lagu One Direction lagi?" lirik Aira, yang sensitif tiap kali mengungkit band kesukaan Nina.
"Itu salah satunya. Lagian nih ya, lo sama Revan kan satu fakultas. Kenapa lo gak suruh dia ke kampus aja bawa hape gue? Huh."
Aira menekan sebuah tombol di kunci mobilnya, sehingga terbukalah pintu mobil Aira. "Ya karena dia sama gue jadwalnya beda.. Masa iya hape lo dititipin di satpam? Ilang malah jadinya."
Iya juga sih?
"Huh. Untung dia sohib lo," kata Nina, memendam kesal.
"Ya emang kalo bukan, lo mau ngapain?"
Nina meringis lagi. "Ya ga ngapa-ngapain sih. Hehehe."
"Oiya, tadi malem Revan cerita. Katanya dia putus sama Tamara ya? Berarti pas Revan mergokin Tamara sama Reno, ada lo disana?"
Nina mengangguk. "Gue jadi saksi waktu Revan nangis karena lihat pacarnya--"
"Mantannya," ralat Aira.
"Oh iya! Maksud gue... Gue jadi saksi waktu Revan nangis karena lihat mantannya lagi di kamar sama selingkuhannya mantannya."
Aira mendecakkan lidahnya. "Sumpah ya! Kosakata lo sebagai calon guru bahasa indonesia tuh masih sampah banget tau ga! Bikin puyeng. Apaan coba 'lagi di kamar' terus 'mantannya sama selingkuhan mantannya'. Nggak efektf, tau."
"Hmm harusnya lo aja yang jadi guru ya?"
"Ogah. Gua aja gak sabaran sama makhluk tua kayak lo. Gimana sama bocah?"
Nina terkekeh. Kadang ia membayangkan bagaimana nasib anak dan suami Aira kelak. Pasti akan jadi suami takut istri!
"Kenapa lo senyum-senyum?" tanya Aira, yang ternyata mengemudi sambil melirik ke arah Nina.
"Pede lo! Hahahaha."
Sungguh, membuat Aira marah adalah part termenyenangkan dalam hidup persahabatan mereka, bagi Nina.
"Ngeselin lo!" timpal Aira.
Dan selanjutnya, Nina menikmati perjalanan dengan melantunkan lagu Best Song Ever milik One Direction dengan suara kalengnya, yang tentunya membuat sahabat yang merangkap sebagai supir di sebelahnya marah-marah dan menutup telinganya dengan headset.
*
"Nih rumahnya. Yuk turun," ajak Aira.
Berhubung Aira bukanlah sosok sahabat yang romantis dan mau membukakan pintu untuk sahabatnya, jadi dengan cepat Nina membuka pintu untuknya sendiri dan segera berlari menyusul Aira yang telah mendahului masuk ke rumah yang sangat megah itu.
"Ra? Ini rumah apa kerajaan ya? Gede banget!"
"Lebih gede dari rumahnya Harry Styles atau Zayn Malik, kan?"
Nina mengendikan bahu. "Mana gua ngerti. Kalo gue udah jadi isterinya mereka nah gue tau."
"Ya udah, lo nyicil aja dulu jadi istrinya Revan! Kan mirip-mirip tuh kayak Liam Payne mukanya," balas Aira.
Nina menaruh senyuman ejekan kepada Aira. "Ihiiiiii, lo mulai suka One Direction ya? Tuh hafal nama-namanya!" Nina menunjuk wajah Aira dengan telunjuknya.
Aira menghela nafas, kesal. "Gimana gua gak hafal. Tiap hari lo ngomongin itu mulu!"
Entah bagaimana, tiba-tiba mereka sudah sampai di depan pintu kayu berwarna putih yang sangat besar, yang menghiasi rumah elegan bergaya semi-modern itu.
Ting Tong....
"Nah makanya, lo cepet cari pacar biar gak tergila-gila sama tokoh fiksi mulu!" Sambil menunggu pintu terbuka, Aira dan Nina masih saja berdebat.
"Hih apaan, mereka gak fiksi, mereka tuh nyata! Lo tau bedanya fiksi sama nyata gak sih? Ka--"
Tiba-tiba, ucapan mereka terhenti karena pintu itu sudah terbuka. Dan kini tampaklah seorang ibu muda yang sangat cantik, yang keluar dari rumah itu.
Dan tanpa canggung, Aira langsung bersalaman dan memeluk wanita itu. "Siang, tante Silvi."
Dengan sigap juga, wanita yang ternyata bernama Silvi itu langsung menyambut Aira dengan pelukan hangat. "Halo, Aira.. Halo, eh, siapa namanya?"
"Saya Nina, tante," ucap Nina, sambil menyalami tangan wanita itu.
Aira tersenyum ramah, "Gini tante, jadi semalem habis dari acara saya, Revan nganterin Nina pulang.. Nah karena ponsel mereka sama, jadi ponsel Nina kebawa deh. Nah ini kita mau ambil."
"Oh gitu.. Ya udah, mari masuk."
*
Silvi menyuruh Aira dan Nina untuk duduk, dan beberapa menit kemudian Silvi datang membawa dua gelas orange juice dan beberapa cemilan kecil untuk di santap.
"Silakan di nikmati.."
Aira dan Nina mengangguk serta mengucapkan terima kasih.
"Oh iya, Revan ada di kamarnya tuh. Sanah, Ra, susul aja. Tante males ke atas manggil dia."
"Oke, tante, bentar ya!" ucap Aira, disusul hilangnya ia dibalik pilar.
Kini tinggallah Nina dan Silvi duduk dengan canggung di ruang tamu. Maklum, mereka belum saling mengenal. Tapi entah mengapa, ada sesuatu di hati Silvi yang membuatnya suka pada Nina.
"Nina ya?"
"Iya tante.."
"Kamu sudah lama kenal sama Aira dan Revan?"
Ya... Nina merasa, sesi interview akan segera dimulai.
"Kalo sama Aira udah dari SMA, tante.. Kita satu geng gitu ibaratnya. Jadi, aku dulu satu SMP sama sahabatku namanya Tata. Terus Aira satu SMP sama sahabatnya namanya Mutia--"
Emily memotong, "--dan ketika kalian SMA, kalian bersahabat?"
"Bener banget tante! Hehehe."
Tuh kan? Silvi menyukai Nina karena dia heboh, polos, dan apa adanya.
"Kalau Revan, aku baru kenal tadi malem. Ada insiden gitu, tan.. Jadi aku pusing gara-gara salah minuman. Ya gitu deh pokoknya.."
Silvi mengernyit. "Salah minuman gimana?"
"Aku gak bisa minum alkohol tante, hehehe. Meskipun dikit, pasti selalu pusing."
Silvi tertawa lantang. Entah mengejek atau entah lucu karena kepolosan gadis di depannya. Ya, begitulah memang Nina, terlalu polos. "Hahahaha aduuuh. Ya sudah, malahan bagus kan? No alcohol, sudah bisa dipastikan no drugs, no smoke?"
Nina menjentikkan telunjuk dan ibu jarinya. "Bener, Tante. Aku harus jadi guru idaman!"
"Oh, kamu calon guru?"
"Amiin, tante."
Calon isteri yang baik buat Revan, ya yang seperti ini, pikir Silvi.
"Tante akrab sama Aira ya?"
Silvi mengangguk. "Akrab. Aira anaknya easy going gitu."
Buset, gaul banget nih emak-emak, kata Nina dalam hati. Ngerti aja kata easygoing.
"Dan Aira kan juga sahabatnya Revan. Dia pintar, baik, cantik.. Jadi tante suka-suka aja sih.."
Nina mengangguk-angguk. "Jadi tante nggak suka sama anak yang wawasannya biasa-biasa aja ya? Misal cuman ngerti One Direction gitu.." Duh, gue ngomong apa sih!
"Hahahaha, itu kamu kan? Tante tadi denger obrolan kamu sama Aira waktu mau masuk rumah.." Silvi menghela nafasnya. "Tante juga suka sama kamu. Kamu baik, cantik, berhati mulia.. Dan tante juga yakin, kalo kamu pasti anak pintar yang berwawasan luas."
Taunya darimana kalo wawasan gue luas?
"Tuh, tante lihat novel-novel yang kamu baca aja, novel tingkat tinggi. Itu novel sastra kan, dimana yang membaca harus benar-benar paham?"
"Iya."
"Dan kamu suka?"
"Suka, tante."
"Nah, itu menjelaskan kalo wawasan kamu juga terbuka."
Wah, rupanya novel Bumi dan Manusia karangan Pramoedya dan Saman karangan Ayu Utami, membawa sisi positif. Tidak seperti kebanyakan orang yang memandang bacaan sastra adalah hal membosankan, Silvi menganggapnya sebagai sesuatu yang menakjubkan.
"Lo juga, udah dibilangin gak usah pacaran sama Tamara, eh lo keras kepala!" Terdengar suara Aira. Sepertinya mereka sedang menuruni tangga.
"Namanya juga cinta, Ra."
"Tapi lo cowok, pake logika dong!"
"Iya iya. Gue juga udah berniat move on kok. Cape gue dimainin mulu. Ya, meskipun sebenernya gue masih cinta banget sih.
"Makan aja tuh cinta!"
"Lo kok sahabat tapi pedes banget ngomongnya!"
"Habis lo gak bisa dibilangin sih! Udah deh, cepetan lo move on!"
"Gak segampang itu. Cari cewek buat move on i--"
"Sama Nina aja! Dia kayaknya orang yang cocok buat lo!"
Nina yang mendengar percakapan mereka hanya bisa menelan ludah, sambil menatap Silvi yang tengah tersenyum padanya penuh arti.
*