Ada banyak kisah yang menjadi potongan drama dalam hidup.
Dan, itu normal.
Ada banyak peristiwa yang menjadi momentum kelam atau bahagia dalam hidup.
Itu juga normal.
Lalu, apakah dua kutub di dalam diriku normal?
Ya, itu normal.
Normal karena kehadiranmu .
Malam semakin larut. Udara dingin mendominasi ruangan kamar berukuran tiga kali lima meter. Aku mengecilkan suhu AC kamar menjadi suhu 28 derajat celsius. Kedua mataku beralih menatap dua gadis kecil yang tengah terlelap nyaman. Lembut mengusap kepala keduanya seraya mengecupnya secara bergantian. Kedua mataku kini beralih menatap layar ponsel. Aku masih terjaga di tengah semua manusia telah berada di alam bawah sadarnya.
Jam menunjuk pukul 02.00 dini hari. Namun mataku seolah tiada penat. Sejatinya aku tidak hanya menatap layar untuk sekedar berselancar di dunia maya. Lebih dari itu, saya tengah mencari sebuah cara untuk terapi healing, yaitu dengan menulis. Sebuah tulisan yang mengawali perjalanan hidup dalam melewati segala rintangan hidup. Sebuah kisah nyata, yang aku tulis teruntuk mereka yang saat ini mengalami kondisi yang sama denganku.
'Dua Kutub (Perjalanan Menggapai Waras dalam Cinta)'
Sebuah buku yang aku dedikasikan bagi mereka untuk para penyintas. Terutama sebagai memoar dalam kehidupan. Ingatanku berlabuh pada masa-masa sulit itu. Masa di mana aku belum memahami kondisi serius ini. Kutuahi senyuman.
“Sudah sejauh ini Ya Allah,” ucapku seraya meneteskan air mata.
Ya, sudah sejauh ini aku melangkah hingga sampai pada tahap stabil secara emosional. Namun, masih banyak yang harus kuperbaiki. Dan, aku tak boleh puas sampai di sini.
Batam, 2019
Roda taksi bergulir menyusuri jalan yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Suasana malam yang membuat pandangan semakin buram menatap setiap sudut kota. Pandanganku tertuju pada sebuah gapura perumahan, dilengkapi oleh hiasan lampu yang menjadikan tulisan pada gapura tersebut tampak jelas dan indah oleh kerlap kerlipnya. Cipta Asri, sebuah tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Sebuah takdir ajaib dalam hidupku bisa sampai di titik ini.
Sesuatu dibalik mata berontak ingin tumpah. Bulir kristal itu pun kubiarkan jatuh. Segenap haru menjadikan dadaku sesak. Mengingat betapa panjang perjalanan yang kutempuh untuk bisa sampai dititik ini.
Masih kuingat pesan Ibu tatkala itu.
“Nak! Jaga anak Ibu, ya! Dia agak lelet. Bahkan enggak tahu bumbu dapur.” Pesan Ibu diiringi isak tangis.
Suasana yang harusnya haru, menjadi penuh lelucon kala itu. Untuk kali pertamanya aku melihat Ibu menangis. Wanita yang terlihat kuat selama ini, bahkan dikala janji suci itu terlontar dari mulut menantunya, ia masih tampak kuat menahan air mata. Ibu berkilah bahwa ia tak menangis, karena memang tabiatnya demikian. He he, Ibuku memang wanita yang unik.
Kukenang sosok Ayah. Sosok yang dalam kaca mataku adalah orang yang lembut. Bahkan tak pernah sedikit pun meninggalkan jejak luka di hatiku atas setiap perkataannya. Saking semua yang terlontar isinya nasehat. Yang membuatku sedih, ia tak hadir dalam momen keberangkatanku. Ya, bukan ia tak ingin, Ayah harus mendahului pekerjaannya karena itu perihal yang wajib bagi seorang suami.
Aku tak tahu untuk apa sisa umurku akan kuhabiskan. Sejatinya aku bingung dengan tangis yang hadir saat ini. Ia hadir dengan sendirinya. Entah haru atau memang sedang dilanda stres. Jujur, aku tak paham dengan gerimis yang memberi nuansa sedih dalam hatiku.
Aku Laras, gadis dua sisi. Ya, sisi gelap dan terang. Hanya aku yang tahu betapa gelapnya duniaku. Dan, kamu boleh tahu bagaimana aku mewarnai gelapnya dengan cahaya terang benderang bak mentari di siang hari.
Maaf ya, aku rada random. Aku pun heran, mengapa sifatku begitu membingungkan. Kamu tahu, saat ini aku merasa bimbang. Apakah ragaku masih bersamaku, atau jangan-jangan kakiku tak menapaki jalanan? Karena tubuh ini seolah tengah ambang dan terasa tak nyata. Mungkin karena aku baru saja melewati sebuah fase baru dalam hidup. Yaitu, menjadi seorang istri. Apakah yang kualami ini normal? Aku tak tahu, yang kutahu saat ini ...
“Berhenti di sini pak! Kita sudah sampai.”
Mataku memandang lingkungan sekitar. Sebuah Komplek perumahan yang dindingnya menyatu dengan tetangga sebelah. Al hasil, kamu akan bisa mendengar segala pernak pernik rumah tangga mereka.
Kedua mataku kini beralih memandang rumah berwarna jingga itu. Jingga bagus ya? Iya, kalau di langit senja, sambil duduk-duduk santai sama si dia. Jingga itu bagus, kalau buat langit. Namun, untuk rumah? Ya, alhamdulillah, yang penting bisa berteduh. Manusia satu ini memang suka mengeluh.
Aku Laras, gadis, maksudku gadis di mata suamiku. Wanita berparas cantik, tinggi semampai, badan aduhai. Namun ya, kamu sudah tahu kan penjelasannya? Agak kurang waras. Ketidakwarasanku berkurang saat berada di dekat suamiku tersayang. Sst!! Maklum pengantin baru. Ini ceritaku, yang akan kuawali dengan kisah manis, bersama lelaki baik, yang in syaa Allah akan Allah menjaga rumah tanggaku selamanya. Hingga surga kelak menjadi tempat kami memadu cinta kembali.
Mari menyelami kisahku bersama...