Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tembung Lakar
MENU
About Us  

Silla memasuki ruang tamu rumahnya. Dengan langkah berat, ia melempar tas jinjingnya dan kunci mobil ke atas meja.

Beberapa kali handphone miliknya berbunyi. Ada pesan notifikasi yang masuk. Silla tak mempedulikannya untuk sesaat. Ia ingin melepas dahaganya terlebih dahulu. Ia meneguk air es yang diambilnya dari dalam kulkas.

Lalu ia mengambil handphone dari saku celana hitamnya. Hampir semua pesan yang masuk mengenai urusan kantor. Ada juga pesan iklan lewat yang tak berguna. Tak ada yang menarik perhatiannya, kecuali satu nama. Yaitu kontak ibunya yang langsung membuatnya membelalak.

“Ya ampun…” gumamnya seraya menyeka keringat dari dahi.

Amat sibuk dan lelah dirinya bekerja seharian di kantor. Hari yang seharusnya sangat penting baginya malah tak ingat. Baru tersadar saat hari sudah hampir berganti petang. Itu juga setelah membaca isi pesan dari ibunya.

 

Ambu:

Wilujeng teupang taun ya, Nak. Ambu tahu Silla sangat sibuk di kota. Jadi Ambu cukup nyelametin lewat pesan saja. Moga di umur ke-26 tahunmu ini diberi Tuhan keberkahan selalu. Moga Silla masih ingat sama Ambu dan Abah di kampung. Kita sangat sayang sama Silla.

 

Sejak tinggal di kota, Silla bekerja sebagai karyawan kantor. Kesibukannya hanya datang bekerja keras dan pulang kelelahan. Sehari-harinya bergulir begitu terus bak robot.

Menjadi budak korporat di perusahaan pemasaran harus dilakukannya demi uang. Silla harus jadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya sakit-sakitan. Sedangkan penghasilan ibunya yang menjual umbi-umbian tak cukup untuk biaya pengobatan ayahnya.

Sudah jadi panggilan jiwa bagi Silla untuk membalas budi kedua orang tua yang merawatnya sedari kecil. Selelah apa pun kehidupannya di Kota Jakarta, pantang baginya untuk mengeluh.

Hanya sesekali ia menanyakan kabar mereka di kampung halaman. Bahkan saking sibuknya, ia lupa dengan hari ulang tahunnya sendiri.

Baru saja ia pulang dari kantor. Langsung ia berbaring di atas sofa ruang tamu. Beberapa saat ia memejamkan mata sambil mendengar deras hujan di luar rumah.

Suara petir yang menggelegar membangunkannya. Saat itulah ia teringat pesan yang dikirim ibunya.

“Ambu…” gumamnya, menatap termenung pada layar handphone. “Apa kabarnya, ya?”

Sudah lama ia tak mendengar suara beliau. Rasanya ia ingin melepas rindu dengan menanyakan kabar. Lalu ia berinisiatif menelponnya.

Nada dering tunggu berlangsung lama. Matanya kembali terasa berat lagi. Lama-lama tak sadar ia sudah memejamkan mata.

Deras hujan dan petir saling bergemuruh. Mengaburkan suara ibunya yang baru menerima panggilan teleponnya, “Halo… Silla? Halo…”

Tak kuasa menahan kantuk, Silla tertidur lelap. Bahkan sudah tertidur pun, rasa lelahnya tak benar-benar bisa sirna. Mimpi-mimpi buruk selalu datang menghantuinya.

Ia selalu dihantui kenangan buruk mengenai adiknya. Dalam kenangan mimpi itu, ia melihat adiknya bersenandung sendirian. Senandung yang selalu membuatnya merinding.

Suatu kidung yang memberikan nuansa lembut—tapi juga menyeramkan. Bagai dapat mendatangkan bangsa yang tak kasat mata. Semakin lama, semakin terasa kelam.

Sosok adiknya yang berperawakan kurus itu masih duduk seorang diri dalam kegelapan. Senandungnya terdengar pelan namun fasih.

“Mutia…” akhirnya Silla menegur, “kenapa kamu selalu nyanyiin lagu itu?”

Adiknya berhenti bersenandung. Kini ia menengok pada kakaknya yang berdiri di seberangnya. Ia hanya tersenyum hening.

“Kenapa?” tegur Silla lagi. “Jawab aku!”

Sekedar senyuman yang ditunjukkan sang adik. Tak menjawab rasa penasaran Silla sama sekali.

Sekali lagi Silla membentaknya, “Jawab!”

Namun sang adik tetap tersenyum misterius. Rasa amarah dan kesal bercampur aduk dalam hati Silla. Hanya penjelasan saja yang diinginkannya. Ia tak mau dibayang-bayangi mimpi buruk ini terus.

Pada hari yang lain, mimpi buruknya terus berulang. Entah bakal sampai kapan. Misteri itu belum juga terpecahkan.

***

14 tahun yang lalu.

Dua anak kecil saling berlarian di sawah desa. Mereka saling kejar-mengejar demi memenangkan permainan. Gelak tawa dan canda di antara keduanya mengisi keheningan sandekala. Yaitu waktu petang, di mana matahari berlahan menenggelamkan rupanya.

               “Kak Silla!” seru sang adik. Ia berhenti tepat di depan rumah bambu yang kosong.

               “Mutia!” balas kakaknya seraya terengah-engah. “Jangan jauh-jauh mainnya!”

Silla menghampirinya dan hendak menariknya pulang. Mutia lalu mengejeknya dengan ekspresi wajah yang menjengkelkan.

“Yang kena yang kalah!” seru Mutia. “Sekarang gantian aku yang ngumpet!”

“Udahan saja deh. Aku sudah capek nih,” ujar Silla, menolaknya. “Lagian langit sudah mau gelap. Kita harus pulang sekarang.”

Mutia langsung cemberut seraya menyilangkan kedua lengannya di dada.

Silla lalu mengingatkannya, “Nanti dimarahin Abah dan Ambu loh.”[1]

“Bodo’ amat!” balas Mutia, tak mempedulikan. “Permainan kita belum selesai!”

Mutia berlari masuk ke dalam rumah bambu. Silla segera mengikutinya.

“Mut, enggak boleh nakal! Ayo kita pulang—”

“Enggak mau!” teriak Mutia, geram.

Silla lalu berdiam diri, beristirahat sejenak untuk menenangkan ritme nafasnya. Lalu ia memperhatikan seisi ruangan kosong di rumah kecil ini.

Biasanya petani menyimpan hasil tanaman bumi di sini. Jenis rumah seperti ini tidak hanya ada satu. Rumah-rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan padi dan jagung ada banyak di kampung ini. Oleh karena itu, desa ini terkenal dengan sebutan Kampung Jinem.

“Main petak umpet sekali lagi!” ujar Mutia, memaksa kakaknya. “Aku janji deh bakal pulang setelah ini.”

“Benar, ya?” tegur Silla. “Tapi jangan jauh-jauh ngumpetnya.”

Mutia mengangguk-angguk dengan wajah cerianya.

Permainan akan dimulai lagi. Silla bersiap menghitung mundur.

Baru hitungan pertama diucapkan, tiba-tiba masuk seorang pria paruh baya. Pria berperawakan kurus krempeng itu mengejutkan mereka. Apalagi datang seperti orang linglung. Kemeja putih beliau terlihat lusuh dengan celana pendeknya.

“Pak… Samir?” sapa Silla yang mengenalinya.

Bapak itu menatap mereka keheranan seraya bertanya, “Maraneh nuju naon di dieu?”[2]

Mutia segera bersembunyi dibalik punggung kakaknya.

Suara Silla terbata-bata, “Ki… kita lagi…”

Bapak itu lalu menegur keduanya, “Mulih enggal ditu. Murangkalih pamali kajabi waktos sonten kieu.”[3]

Silla mengangguk-angguk gugup. Lalu berkata, “Ki… kita mau pulang kok.”

“Enggal mulih ditu!”[4] seru Pak Samir.

Silla segera menarik tangan adiknya. “Mu… Mutia, ayo—”

Bapak itu mendadak mengerang seperti orang kerasukan. Kepalanya menengadah sambil membelalak ke atap rumah. Silla dan Mutia sontak berdiri mematung saat menyaksikan sikap anehnya.

Mutia semakin kencang memeluk punggung kakaknya. Samar-samar ia berbisik ngeri, “Pak Samir kenapa, Kak?”

Silla menggeleng gugup. Ia sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan bapak-bapak berkulit sawo matang itu.

Erangannya pelan namun menakutkan. Lalu bapak itu menunduk terdiam.

“Pak?” sapa Silla, cemas. “Bapak kenapa?”

Senandung yang dinyanyikan Pak Samir saat itu membuat keduanya ngeri. Bapak itu memejamkan matanya sambil menembangkan lantunan lembut.

Silla pernah dengar orang-orang suka menyanyikannya saat ada ritual khusus di desa. Entah mengapa Pak Samir mendadak melantunkannya di sini.

Lantunan itu terdengar syahdu awalnya. Namun lama-kelamaan terdengar mistis. Malah seakan terdengar seperti mantra. Apalagi disenandungkan pada waktu petang begini. Membuat bulu kuduk kedua anak kecil itu jadi merinding.

“Kak, Mutia takut,” bisik adiknya.

Lalu Pak Samir menatap mereka seperti orang yang setengah kehilangan kesadaran.

“Jaman dulu ada dewi yang datang ke desa kita,” tutur beliau bak orang melantur. “Dewi agung yang berpakaian serba emas.”

Silla dan Mutia menatapnya diam kebingungan.

“Namanya…” suara Pak Samir terdengar pelan, namun tegas. “Sanghyang Asri.”

“Kak… aku takut,” bisik Mutia lagi. Sedangkan Silla masih berdiri mematung mendengarkan dongengan aneh dari bapak itu.

“Terkutuk mereka yang tidak menyembahnya! Sanghyang Asri yang menyelamatkan kita semua dari keterpurukan!” suara bapak itu menggelegar bak petir. Emosinya menggebu-gebu kala menyebut nama sang dewi.

“Terkutuk?” gumam Silla, semakin bingung dibuatnya.

“Padi-padi sudah tidak layu. Hasil bumi kita semuanya tumbuh subur!” seru Pak Samir, kini tersenyum lebar.

Mengingat Pak Samir seorang petani di desa; apakah beliau memang tengah membicarakan hasil panennya? Silla bertanya-tanya sendiri dalam batinnya.

“Kak, ayo pulang,” ajak Mutia, sudah tidak tahan melihat sikap aneh bapak itu.

Silla hendak mengikuti langkah adiknya. Namun tiba-tiba, Pak Samir menjerit, “Jiwa kuring ngan haturan Sanghyang Asri!”[5]

Keduanya sontak menengok kaget. Bapak tua itu meringis dan tertawa-tawa sendiri. Setahu Silla, sehari-harinya bapak ini terlihat seperti orang normal pada umumnya. Lantas mengapa kini bersikap bak orang gila?

Pak Samir terus menerus meneriakkan nama sang dewi. Mengulang-ngulang ucapannya sendiri, “Jiwa kuring ngan haturan Sanghyang Asri! Jiwa kuring ngan haturan Sanghyang Asri!”

Mata Silla mengikuti gerak tangan Pak Samir yang mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. Ketika melihat pisau dapur yang dikeluarkannya, kedua anak kecil itu membelalak takut. Semakin aneh saja sikap bapak-bapak itu.

Pak Samir berteriak dengan emosi yang menggebu-gebu, “Jiwaku hanya untuk Nyi Pohaci Sanghyang Asri!”

Pak Samir lalu menusuk dirinya sendiri dengan pisau. Darah bercucuran akibat sayatan hebat pada lehernya. Detik berikutnya, Pak Samir tergeletak jatuh tak bernyawa.

Kejadian begitu menegangkan, membuat Silla dan Mutia menjerit ketakutan. Sontak mereka berlari sekencang mungkin, meninggalkan rumah bambu yang telah terkutuk.

 

[1] Abah dan Ambu: Panggilan ayah dan ibu di daerah Jawa Barat (Suku Sunda)

[2] Maraneh nuju naon di dieu?: Kalian sedang apa di sini? (Sunda Halus)

[3] Mulih enggal ditu. Murangkalih pamali kajabi waktos sonten kieu: Pulang cepat sana. Anak kecil pamali keluar saat sore begini. (Sunda Halus)

[4] Enggal mulih ditu!: Cepat pulang sana! (Sunda Halus)

[5] Jiwa kuring ngan haturan Sanghyang Asri!: Jiwaku hanya untuk Sanghyang Asri! (Sunda Halus)

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
F I R D A U S
737      489     0     
Fantasy
Mapel di Musim Gugur
457      327     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Kembang Sukmo
1694      674     4     
Horror
P.S: Buku 1 dari serial horror Kembang Sukmo. Edisi hardcover bisa Pre-Order di One Peach Bookstore via Shopee dan Tokopedia. Atau dm Instagram penulis @keefe_rd (++dapet gift pouch batik dan surat penulis). Tersedia juga di Google Play Books. Kunjungi blog penulis untuk informasi selengkapnya https://keeferd.wordpress.com/ Sinopsis: Teka-teki kelam dari masa lalu mulai menghantui Samara Nad...
Premium
Whispers in the Dark
3377      554     7     
Fantasy
A whisper calls your name from an empty room. A knock at your door—when you weren’t expecting company. This collection of bite-sized nightmares drags you into the the unsettling, and the unseen.
SOLITUDE
1689      668     2     
Mystery
Lelaki tampan, atau gentleman? Cecilia tidak pernah menyangka keduanya menyimpan rahasia dibalik koma lima tahunnya. Siapa yang harus Cecilia percaya?
JURANG
1007      497     5     
Short Story
Adikku memang orang yang aneh. Adikku selalu beri pertanda aneh untuk kehidupanku. Hidupku untuk siapa? Untuk adikku atau calon suamiku tercinta?
The Investigator : Jiwa yang Kembali
2004      831     5     
Horror
Mencari kebenaran atas semuanya. Juan Albert William sang penyidik senior di umurnya yang masih 23 tahun. Ia harus terbelenggu di sebuah gedung perpustakaan Universitas ternama di kota London. Gadis yang ceria, lugu mulai masuk kesebuah Universitas yang sangat di impikannya. Namun, Profesor Louis sang paman sempat melarangnya untuk masuk Universitas itu. Tapi Rose tetaplah Rose, akhirnya ia d...
Little Riding Hood Alternative Universe
421      285     1     
Short Story
Little Riding Hood yang harus dihadapkan pada sebuah perintah. Ia tak mampu berkutik untuk melawan karena ia hanya anak pungut, namun perintah yang sederhana itu adalah sebuah ketakutan yang tak mampu digambarkan dengan kata-kata. Pic Source : -pexels.com/@stacey-resimont-183655 -rs9seoul Edited with : -Picsart Cerita ini diikutsertakan untuk mengikuti thwc18
13 AGUSTUS
601      405     0     
Short Story
Mimpi & Co.
822      559     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?