Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu hias yang tertempel didinding. Aroma cat minyak dan kanvas basah bercampur dengan bau debu yang mengendap, menciptakan suasana pengap yang menyesakkan. Di tengah kekacauan itu, seorang perempuan duduk meringkuk di lantai, bahunya bergetar menahan isak tangis.
Namanya Senja, seorang pelukis berbakat yang kini kehilangan cahayanya. Di sekelilingnya, berjejer lukisan-lukisan yang belum kering, semuanya menampilkan wajah yang sama: seorang lelaki dengan senyum hangat dan mata teduh. Itu adalah wajah Bintang, tunangannya, yang seharusnya menjadi suaminya satu bulan yang lalu.
Senja mengulurkan tangan gemetar, menyentuh kanvas yang menampilkan potret Bintang sedang tertawa. Jari-jarinya yang biasa lincah menggoreskan kuas, kini terasa kaku dan mati rasa. Bayangan Bintang, sosok yang begitu dicintainya, kini hanya tinggal kenangan yang menghantui setiap sudut studionya.
“Kenapa, Bintang? Kenapa kamu pergi?” bisiknya lirih, suaranya tercekat oleh tangis. Ia merasa seperti kapal pecah yang terombang-ambing di lautan kesedihan, tanpa arah dan tujuan.
Sejak Bintang meninggal karena penyakit jantung yang tak pernah diketahuinya, Senja merasa dunianya runtuh. Ia menyalahkan dirinya sendiri, merasa gagal menjadi pendamping yang seharusnya tahu segala hal tentang Bintang. Hari-harinya dipenuhi penyesalan dan kesedihan yang tak berujung. Ruangan ini yang dulu menjadi saksi bisu cinta mereka, kini berubah menjadi penjara sunyi yang dipenuhi lukisan-lukisan Bintang. Setiap goresan kuas di kanvas adalah upaya putus asa Senja untuk menghidupkan kembali sosok yang telah tiada. Namun, semakin banyak lukisan yang ia buat, semakin dalam pula jurang kesedihan yang menganga di hatinya. .Senja merasa seperti hidup dalam lukisan kelam, di mana warna-warna cerah telah pudar, digantikan oleh abu-abu dan hitam yang menyelimuti jiwanya. Ia merindukan senyum Bintang, sentuhan hangat tangannya, dan suara lembutnya yang selalu menenangkan. Namun, semua itu kini hanya tinggal kenangan yang menyakitkan.
Hari-hari Senja berlalu dalam kabut kesedihan, hingga suatu sore, ibunya datang membawakan sebuah kotak kardus.
“Ini tadi diantar Gojek, katanya buat kamu,” ujar sang ibu, menaruh kotak itu di atas meja.
Senja menatap kotak itu dengan tatapan kosong. Ia tidak ingat memesan apa pun. Dengan enggan, ia membuka kotak itu. Matanya membelalak saat melihat isinya: foto-foto dirinya dan Bintang, kenangan-kenangan manis yang sempat terlupakan. Ada tiket bioskop kencan pertama mereka, sebuah syal rajutan yang pernah ia buatkan untuk Bintang, dan sebuah kotak kecil yang berisi cincin pernikahan mereka seharusnya.
Di antara barang-barang itu, matanya tertuju pada selembar kertas berwarna jingga dengan hiasan bunga matahari. Jantungnya berdebar kencang saat menyadari itu adalah surat. Dengan tangan gemetar, ia membuka lipatan kertas itu dan mulai membaca:
Senja-ku yang terkasih,
Maafkan aku karena tidak memberitahumu tentang penyakitku. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak ingin melihatmu sedih. Aku ingin kamu mengingatku sebagai Bintang yang sehat dan bahagia.
Jangan salahkan dirimu atas kepergianku. Ini bukan salahmu. Kamu adalah anugerah terindah dalam hidupku, dan aku bersyukur bisa mencintaimu.
Senja, aku ingin kamu melanjutkan hidupmu. Jangan biarkan kesedihan merenggut impianmu. Kamu adalah pelukis hebat, dan aku selalu bangga padamu. Aku akan selalu mengawasimu dari atas sana.
Terima kasih telah mencintaiku, Senja. Kamu adalah warna terindah dalam lukisan hidupku.
Selamanya milikmu,
Bintang
Air mata Senja mengalir deras membasahi pipinya. Ia memeluk surat itu erat-erat, seolah memeluk Bintang yang telah tiada. Surat itu adalah pelita yang menerangi kegelapan hatinya. Kata-kata Bintang memberinya kekuatan untuk bangkit.
Perlahan, Senja mulai menerima kenyataan. Ia tidak bisa mengubah masa lalu, tapi ia bisa menentukan masa depannya. Ia ingat mimpi-mimpinya, mimpinya untuk memamerkan lukisan-lukisannya.
Setelah surat Bintang memberinya kekuatan untuk bangkit, Senja merasa ada satu hal yang masih mengganjal: siapa yang mengirimkan kotak kenangan itu? Ia merasa kotak itu adalah petunjuk, hadiah terakhir dari Bintang yang dikirimkan melalui seseorang. Ia ingin tahu siapa orang itu.
Senja memulai pencariannya dengan mengunjungi orang tua Bintang. Mereka terkejut melihat kotak itu, karena mereka sendiri tidak tahu menahu tentang keberadaannya.
“Kami tidak pernah melihat kotak itu sebelumnya, Senja,” kata ibu Bintang dengan suara sedih.
“Tapi kami yakin Bintang pasti punya alasan mengirimkannya padamu.”
Senja kemudian menghubungi teman-teman dekat Bintang, satu per satu. Namun, tak seorang pun dari mereka tahu tentang kotak itu. Ia mulai merasa putus asa. Apakah kotak itu dikirimkan oleh orang asing? Apakah ia tidak akan pernah tahu siapa pengirimnya?.
Suatu hari, saat ia sedang melihat-lihat foto-foto Bintang, matanya tertuju pada seorang lelaki yang selalu ada di samping Bintang di setiap foto: Zayyan. Ia ingat Bintang pernah bercerita tentang sahabat kecilnya itu, yang selalu ada untuknya sejak mereka masih kanak-kanak.
Dengan hati berdebar, Senja menghubungi Zayyan. “Beberapa bulan sebelum Bintang meninggal dia menitipkan sebuah kotak padaku, tapi dia hanya bilang untuk menyimpannya yang nanti akan diambil oleh pemiliknya, dan aku tidak pernah membukanya.”
“Lalu, kenapa kamu mengirimkannya sekarang?” tanya Senja.
“Aku... aku membukanya beberapa hari yang lalu,” kata Zayyan dengan suara pelan.
“Aku penasaran apa isinya, dan aku menemukan foto-foto kalian berdua. Aku langsung tahu kotak itu sangat penting bagimu, dan aku merasa bersalah karena menyimpannya begitu lama. Aku tahu Bintang ingin kamu memilikinya.”
Senja merasa lega akhirnya menemukan orang yang mengirimkan kotak itu. Ia berterima kasih pada Zayyan karena telah menjaga kotak itu dengan baik.
“Bintang pasti sangat menyayangimu,” kata Zayyan. “Dia selalu bercerita tentangmu, Senja. Dia sangat bangga padamu.”
Pertemuan dengan Zayyan memberikan kedamaian bagi Senja. Ia merasa seperti telah menemukan kepingan terakhir dari teka-teki kepergian Bintang. Ia tahu Bintang tidak ingin ia terus terpuruk dalam kesedihan. Ia ingin ia melanjutkan hidupnya, mewujudkan mimpinya, dan menemukan kebahagiaan.
POV Zayyan:
Setelah pertemuan itu, ada sesuatu yang berbeda yang kurasakan. Senja... dia tidak seperti yang kubayangkan. Awalnya, aku hanya tahu dia sebagai tunangan Bintang, gadis yang dicintai sahabatku. Tapi sekarang, aku melihatnya sebagai individu yang kuat, seorang wanita yang telah melewati badai terberat dalam hidupnya.
Matanya, meski masih menyimpan kesedihan, memancarkan ketegaran yang luar biasa. Cara dia berbicara tentang Bintang, tentang lukisan-lukisannya, membuatku merasa seolah-olah Bintang masih hidup. Senja benar-benar mencintai Bintang, dan cinta itu terpancar dari setiap kata yang diucapkannya.
Aku ingat Bintang pernah menitipkan Senja padaku. Katanya, “Jaga Senja, Zay. Dia akan membutuhkanmu.”
Saat itu, aku tidak mengerti apa maksudnya. Tapi sekarang, aku mulai paham. Bintang tahu dia tidak akan bisa menjaga Senja, jadi dia memintaku untuk melakukannya. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak ingin mengkhianati Bintang, meski dia sudah tidak ada di dunia ini. Aku tahu dia ingin Senja bahagia, tapi aku tidak yakin apakah aku orang yang tepat untuk membuatnya bahagia.
Aku akan menjaga Senja, seperti yang diminta Bintang. Aku akan menjadi temannya, pendukungnya, dan melindunginya dari kesedihan. Tapi aku tidak akan pernah membiarkan perasaanku menguasai diriku. Aku akan menghormati cinta Bintang dan Senja, dan aku akan selalu mengingatnya.
Setelah pertemuan itu, aku merasa ada dorongan kuat untuk lebih dekat dengan Senja. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, mengingat aku adalah sahabat Bintang, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Aku ingin memastikan Senja baik-baik saja, dan aku ingin membantunya meraih mimpinya.
Aku mulai sering mengunjungi rumah Senja, biasanya dengan alasan mengembalikan barang-barang Bintang yang masih ada padaku, atau sekadar membawakan makanan. Tapi sebenarnya, aku hanya ingin melihatnya, ingin tahu bagaimana keadaannya.
Setiap kali aku datang, Senja selalu menyambutku dengan senyum tipis. Dia tidak banyak bicara, tapi aku bisa melihat ada sedikit kehangatan di matanya. Aku membawa beberapa buku tentang seni dan pameran, berharap bisa membantunya menemukan kembali semangatnya.
“Zayyan, ada apa?” tanyanya.
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” jawabku. “Dan aku membawa beberapa buku yang mungkin menarik untukmu.”
Senja menerima buku-buku itu dengan ragu-ragu, lalu mempersilakanku masuk. Kami duduk di ruang tamu, dikelilingi oleh lukisan-lukisan wajah Bintang yang indah. Aku memperhatikan Senja, dan aku bisa melihat bahwa dia masih sangat merindukan Bintang
“Senja,” kataku perlahan, “aku tahu kamu sangat mencintai Bintang. Dan aku tahu betapa beratnya kehilangan dia. Tapi Bintang pasti ingin kamu bahagia. Dia pasti ingin kamu melanjutkan mimpimu.”
Senja menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Mimpi? Mimpi apa?”
“Mimpimu untuk mengadakan pameran tunggal,” jawabku. “Bintang sangat bangga denganmu, Senja. Dia percaya pada bakatmu. Aku yakin dia ingin kamu membagikan karyamu dengan dunia.”
“Tapi... aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya tanpanya.”ucap senja dengan menundukkan wajahnya.
“Lukisan-lukisan ini terlalu indah untuk disimpan sendiri. Dunia perlu melihatnya, Senja. Bintang akan bangga padamu.”ucap ku dengan menunjukkan lukisan tentang Bintang.
Senja terdiam, menatap lukisan-lukisannya. Ia dulu memang pernah terpikir untuk mengadakan pameran tunggal. Tapi tidak dengan lukisan tentang Bintang, Ia merasa lukisan-lukisan itu terlalu pribadi, terlalu intim untuk dibagikan kepada orang lain.
“Aku tidak yakin, Zayyan,” kata Senja, suaranya ragu. “Aku takut...”
“Takut apa?” tanya Zayyan, menatap Senja dengan tatapan meyakinkan. “Takut orang-orang tidak menyukainya? Atau takut kamu tidak cukup baik?”
Senja mengangguk, air mata mulai menggenang di matanya.
“Senja,” kata Zayyan, meraih tangan Senja dan menggenggamnya erat. “Kamu adalah pelukis yang luar biasa. Lukisan-lukisanmu penuh dengan emosi, penuh dengan cinta. Orang-orang akan merasakan apa yang kamu rasakan. Mereka akan terinspirasi oleh kisahmu. Aku yakin itu.”
Kata-kata Zayyan menyentuh hati Senja. Ia merasa seperti mendapatkan dorongan semangat yang sangat ia butuhkan. Ia tahu Zayyan benar. Ia tidak boleh membiarkan ketakutannya menghalanginya untuk mewujudkan mimpinya.
“Baiklah,” kata Senja, mengangguk mantap.
“Aku akan mengadakan pameran tunggal.”
Zayyan tersenyum lebar, merasa lega dan bangga. “Itu keputusan yang tepat, Senja. Aku akan membantumu mempersiapkan semuanya.”
Senja tersenyum tipis, tapi kali ini senyumnya lebih tulus. “Terima kasih, Zayyan. Kamu selalu ada untukku.”
“Tentu saja,” jawabku. “Aku berjanji pada Bintang untuk menjagamu.”
Beberapa minggu kemudian, aku mulai membantu Senja mempersiapkan pameran tunggalnya. Kami memilih lukisan-lukisan terbaiknya, menyusun katalog, dan mencari tempat pameran yang cocok. Aku juga menyarankan agar Senja membuat pameran tunggal yang berisi lukisan-lukisan tentang Bintang yang Senja buat.
“Ini akan menjadi penghormatan untuk Bintang,” kataku. “Dan ini akan menjadi cara untukmu berbagi cinta dan kenanganmu dengannya.”
Senja setuju, dan dia mulai melukis dengan semangat baru. Lukisan-lukisannya tentang Bintang penuh dengan cinta dan kerinduan, tetapi juga penuh dengan harapan dan kekuatan. Aku melihat Senja tumbuh dan berkembang, dan aku merasa bangga padanya.
Setiap kali aku melihat Senja tersenyum, hatiku berdebar kencang. Aku tahu aku tidak boleh melupakan Bintang, tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku terhadap Senja. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menahannya. Aku jatuh cinta pada Senja, wanita yang dicintai sahabatku.
POV senja
Akhirnya impianku untuk membuat pameran tunggal terwujud berkat Bintang. Pameran yang aku beri nama “Cahaya Bintang dikanvasku” diadakan di sebuah galeri seni kecil yang hangat dan intim. Senja sendiri yang menata setiap lukisan, memastikan setiap goresan kuas menceritakan kisah cintanya dengan Bintang.
Di malam pembukaan, galeri itu dipenuhi oleh teman, keluarga, dan para pecinta seni. Senja berdiri di depan mikrofon, gugup namun mantap. Ia memulai pidatonya dengan suara bergetar.
“Selamat malam semuanya. Malam ini, saya ingin berbagi kisah cinta... kisah tentang Bintang, lelaki yang mengubah hidup saya.”
Ia menceritakan tentang Bintang, tentang senyumnya, tentang mimpi-mimpi mereka, dan tentang kepergiannya yang tiba-tiba. Air mata mengalir di pipi beberapa pengunjung, merasakan kesedihan yang mendalam dari setiap kata yang diucapkan Senja.
“Lukisan-lukisan ini adalah cara saya untuk mengenang Bintang,” lanjut Senja, menunjuk ke arah lukisan-lukisan yang terpajang.
“Setiap goresan kuas adalah ungkapan cinta dan kerinduan saya. Saya harap, melalui lukisan-lukisan ini, kalian bisa merasakan cinta yang begitu besar, cinta yang tidak akan pernah pudar.”
Setelah pidatonya, pengunjung berkerumun di sekitar lukisan-lukisan Senja. Mereka terpesona oleh keindahan dan emosi yang terpancar dari setiap karya. Zayyan, yang hadir di pameran itu, berdiri di samping Senja, matanya penuh kekaguman.
“Lukisan-lukisan ini luar biasa, Senja,” kata Zayyan, suaranya lembut. “Bintang pasti bangga padamu.”
Senja tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Zayyan. Kamu tahu, aku tidak akan bisa melakukan ini tanpa dukunganmu.”
“Aku hanya melakukan apa yang Bintang inginkan,” jawab Zayyan, menatap Senja dengan tatapan tulus. “Dia ingin kamu bahagia.”
Malam itu, Senja merasa seperti telah menemukan kedamaian. Ia tahu Bintang akan selalu ada di hatinya, tetapi ia juga tahu ia harus melanjutkan hidupnya. Ia memiliki mimpi-mimpi yang harus diwujudkan, dan ia memiliki orang-orang yang mencintainya.
Beberapa minggu setelah pameran, Senja menerima tawaran dari sebuah galeri seni terkenal di Jakarta untuk mengadakan pameran tunggal yang lebih besar. Ia juga mendapatkan banyak pesanan lukisan dari para kolektor seni. Ia merasa seperti mimpi-mimpinya mulai menjadi kenyataan.
Suatu sore, saat Senja sedang melukis di studionya, ponselnya berdering. Ia mengangkat telepon dan mendengar suara yang tidak asing lagi.
“Senja, ini aku, Zayyan,” kata suara itu. “Aku ingin mengajakmu makan malam. Ada tempat baru yang sangat bagus di dekat pantai.”
Senja tersenyum. “Tentu, Zayyan. Aku akan senang sekali.”
Malam itu, Senja dan Zayyan makan malam di sebuah restoran tepi pantai yang romantis. Mereka berbicara tentang banyak hal, tentang lukisan, tentang mimpi-mimpi mereka, dan tentang Bintang.
“Kamu tahu, Senja,” kata Zayyan, menatap Senja dengan tatapan serius. “Aku merasa seperti mengenalmu lebih lama dari yang kukira. Aku merasa ada sesuatu yang menghubungkan kita, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.”
Senja terdiam, menatap Zayyan dengan mata berbinar. Ia merasakan hal yang sama. Ia merasa Zayyan adalah orang yang tepat untuknya, orang yang bisa memahami kesedihannya dan membantunya untuk bangkit.
“Aku juga merasakan hal yang sama, Zayyan,” jawab Senja, suaranya pelan.
Zayyan tersenyum, meraih tangan Senja, dan menggenggamnya erat. “Senja, aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Aku tahu aku tidak akan pernah bisa menggantikan Bintang, tapi aku ingin menjadi bagian dari hidupmu, menjadi orang yang bisa membuatmu bahagia.”
Air mata mengalir di pipi Senja, tetapi kali ini adalah air mata kebahagiaan. Ia tahu Bintang akan merestui hubungan mereka. Ia tahu Bintang ingin ia bahagia. Dan mungkin emang ini yang Bintang inginkan, aku bisa bahagia dengan orang yang dipilihnya.
“Aku juga mencintaimu, Zayyan,” kata Senja, suaranya bergetar. “Aku tahu Bintang akan senang melihat kita bersama.”
Mereka berdua tersenyum, saling menatap dengan penuh cinta. Malam itu, di bawah cahaya bulan purnama, mereka memulai babak baru dalam hidup mereka, babak yang penuh dengan cinta, harapan, dan kebahagiaan.