Ziyad dari tadi diem terus entah mengapa kayaknya ada yang aneh dengannya
"Plis lu malah semakin lama semakin pendiam, kemaren mah lu selalu ceria deh, kok sekarang lu enggak sih?!" -Kata temannya
"Gak apa apa" -Ucap si ziyad
"Tapi ini kamu sekarang pendiam banget loh, lagi ada masalah apa sih?!" -Kata temannya
"Ah gak apa apa kok" -Ucap si ziyad
Temannya menatap Ziyad dengan penuh rasa penasaran, tapi Ziyad tetap diam. Ada terlalu banyak hal yang berputar di kepalanya—mimpi-mimpi aneh, suara azan yang terasa begitu nyata, dan perasaan bahwa ia sedang mengalami sesuatu yang lebih dari sekadar perjalanan biasa.
"Serius, Ziyad. Kalau ada apa-apa, cerita aja," ujar temannya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.
Ziyad menghela napas, mencoba mencari cara untuk menjelaskan tanpa terdengar aneh. "Gue cuma… banyak mikir aja. Sejak sampai di Madinah, rasanya kayak ada sesuatu yang berubah dalam diri gue."
"Berubah gimana?"
Ziyad menggeleng, ragu. "Gue ngerasa kayak… ada yang manggil. Bukan suara manusia biasa, tapi sesuatu yang lebih dalam. Dan setiap kali gue dengar azan, rasanya kayak gue balik ke masa lalu."
Temannya menatapnya dengan kening berkerut. "Maksud lu gimana? Lu ngalamin deja vu atau gimana?"
"Lebih dari itu," jawab Ziyad, matanya menatap kosong ke depan. "Kayak gue bener-bener ada di sana. Gue bisa lihat orang-orang zaman dulu, gue bisa dengar suara mereka, bahkan gue ngerasain suasananya."
Temannya terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Wah, lu jangan-jangan kebanyakan nonton film sejarah, ya?"
Ziyad ikut tersenyum tipis, tapi dalam hatinya, ia tahu ini bukan sekadar imajinasi atau efek dari terlalu banyak membaca. Ini nyata.
Saat itu, seorang muazin mulai mengumandangkan iqamah, tanda bahwa salat Isya akan segera dimulai.
Ziyad berdiri bersama jamaah lainnya, tetapi pikirannya masih berkecamuk.
Saat ia mengangkat tangannya untuk takbir, tiba-tiba semuanya berubah lagi.
Ia tidak lagi berada di Masjid Nabawi yang modern, melainkan di sebuah tempat yang lebih sederhana. Cahaya lampu digantikan oleh sinar obor, dan di sekelilingnya, para sahabat Nabi berdiri dalam saf, siap untuk salat bersama Rasulullah.
Ziyad menahan napas.
Ia kembali ke masa itu.
Dan kali ini, ia ingin mencari tahu lebih jauh.
Tidak tahu harus berbuat dan berkata apa meskipun ia tepat berada di posisi nabi Muhamad Saw
Ziyad berdiri kaku, dadanya berdebar hebat. Ia tidak tahu bagaimana bisa berada di tempat ini, tepat di belakang Nabi Muhammad ﷺ yang bersiap memimpin salat. Cahaya obor menerangi ruangan sederhana ini, menampilkan wajah-wajah para sahabat yang begitu khusyuk.
Ziyad ingin berbicara, ingin bertanya apakah ini nyata atau hanya ilusi, tetapi suaranya seakan tersangkut di tenggorokan.
Tiba-tiba, suara lembut namun penuh wibawa terdengar di telinganya.
"Luruskan saf, rapatkan barisan."
Itu suara Nabi ﷺ.
Ziyad hampir tidak bisa bernapas. Ia berdiri di antara para sahabat, di belakang manusia paling mulia yang pernah ada.
Salat pun dimulai.
"Allahu Akbar."
Suara Nabi ﷺ menggetarkan seluruh ruangan. Semua jamaah mengangkat tangan dan memulai salat.
Ziyad mengikuti gerakan mereka, meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungan. Setiap ayat yang dibacakan terdengar begitu merdu, menembus jiwanya. Ia merasa damai, tetapi juga bingung—kenapa ia ada di sini? Apa tujuan semua ini?
Saat sujud, Ziyad merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kedamaian yang begitu dalam.
Namun, ketika ia bangkit dari sujud terakhir, semuanya mulai memudar.
Cahaya obor meredup, suara orang-orang perlahan menghilang, dan tiba-tiba…
Ziyad membuka mata.
Ia kembali berada di Masjid Nabawi, di zaman sekarang.
Ia masih dalam posisi sujud, tetapi imam sudah selesai membaca doa. Jamaah di sekitarnya mulai berdiri dan beranjak keluar masjid.
Ziyad terduduk, napasnya sedikit tersengal.
Mimpi lagi? Tapi kenapa terasa begitu nyata?
Tangannya gemetar. Ia tahu ini bukan sekadar bunga tidur. Ada sesuatu yang sedang terjadi padanya, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Dan ia harus mencari jawabannya.