Bandung, 2024
“Kalau aja di dunia ini ada ilmuwan yang bisa bikin mesin waktu, gua mau coba dan balik ke tahun duaribu sembilan bulan Januari.”
Kalimat tersebut mungkin sudah diucapkan Theresia Mava sebanyak ribuan kali dalam kurun waktu duabelas tahun lamanya. Bukan tanpa sebab ia tiba-tiba mengatakan kalimat tersebut, dan semuanya disebabkan oleh Arion Sebastian, laki-laki yang menjadi cinta pertamanya ketika di SMA dulu.
Selama duabelas tahun itu Arion menghilang begitu saja tanpa berpamitan pada Mava, serta teman-temannya yang lain. Tidak ada yang tahu tentang keberadaan Arion selama itu. Mencoba menghubungipun tidak bisa, sebab kontak telefonnya sudah tidak aktif, bahkan sampai akun media sosial yang dimilikinya juga menghilang bak tidak pernah ada sebelumnya.
Mava dulu juga penah mencoba menghubungi orangtua Arion, akan tetapi hasilnya sama seperti anak mereka, tidak ada jawaban. Nomor telefon keduanya juga sudah tidak aktif lagi.
Ada beberapa kemungkinan yang sempat terpikirkan oleh Mava mengenai menghilangnya Arion. Pertama, Arion mungkin pindah ke luar negara dan tinggal di sana, lalu memiliki sebuah keluarga kecil. Dan yang kedua, ini adalah kemungkinan yang sangat buruk dan tidak diharapkan Mava terjadi saat ini, yaitu laki-laki dengan wajah manis itu sudah meninggalkan dunia ini, alias meninggal dunia.
“Tapi, kenapa lu pengen balik ke tahun itu? Kenapa gak langsung ke tahun duaribu duabelasnya aja?” tanya Anindita.
“Biar gua bisa cegah Arion kuliah di Yogya,” jawab Mava. “Dia ngilang di Yogya, siapa taukan kalau gua balik ke sana, ya walaupun gak mungkin, gua bisa cegah dia biar gak kuliah di Yogya.”
“Kalau kata gua, mending lu berhenti buat mikirin dia, Va,” ujar Nathanael memberikan saran.
“Gua kali ini setuju sama omongan Nathan,” setuju Radeva. “Apalagi empat bulan lagi lu bakal married sama Ko Levi, jadi emang lebih baik lu stop mikirin dan nyari-nyari Arion lagi.”
Mava terdiam, perkataan dua sahabat laki-lakinya itu memang ada benarnya. Empat bulan lagi ia akan segera menikah dengan tungannya itu, jadi tidak seharusnya ia memikirkan dan mencari-cari keberadaan laki-laki lain.
“Gua tau Ko Levi enggak mempermasalahkan lu yang kadang ngomongin Arion ke dia.” Aurelia yang sedari tadi diam akhirnya membuka suaranya. “Tapi, bukankah lebih baik kalau lu berhenti melakukan itu, Mava?”
“Iya gua setuju sama kalian bertiga,” respons Mava. “Tapi, gua gak bisa berhenti buat mikirin dia.”
“Enggak bisa berhenti, atau lu sendiri yang enggak mau berhenti buat mikirin dia?”
Mava terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “enggak tau ya. Gua juga bingung.” Ia menyeruput es jeruk pesanannya yang masih tersisa setengah.
“Va,” panggil Nathan yang hanya dijawab dengan dehaman Mava. “Gua mau tanya, semisal nih ya, semisal ini mah, kalau lu akhirnya ketemu sama Arion sebelum lu nikah, apa yang bakal lu lakuin?”
Saat ini bukan hanya Nathan saja yang memperhatikan Mava dengan tatapan penasaran, tetapi tiga sahabatnya yang lain juga ikut memperhatikannya.
“Ya gua bakal kasih tau dia kalau gua mau nikah, terus gua juga bakal tanya kontak dia biar nanti waktu gua sebar undangan dia bisa dapet undangannya,” jelas Mava yang justru membuat para sahabatnya menghela napas lega. “Kenapa kalian pada menghela napas? Emang kalian mikir apa?”
“Gua pikir lu bakal batalin pernikahan lu sama Ko Levi, terus milih nikah sama Arion,” jawab Aurel kelewat jujur.
“Gua juga mikir gitu,” sahut Radeva.
“Gila aja gua batalin pernikahan gua sama laki-laki yang bener-bener bikin gua jatuh cinta banget sama dia,” ujar Mava dengan memberikan tatapan sinis pada sahabat-sahabatnya itu.
“Ya kan dulu lu juga jatuh cinta banget ya ke Arion, kali aja gitu lu malah memilih Arion dari pada Ko Levi,” ujar Dita.
“Enggak,” jawab Mava dengan tegas. “Enggak tau kenapa, tapi setelah Arion ngilang gitu aja, perasaan cinta gua ke dia itu ilang dan—”
“Kalau ilang, kenapa lu masih mikirin dan nyari dia? Malah kalau tiap ada orang yang punya nama sama kaya dia, lu langsung noleh,” goda Nathan bahkan sambil menyikut-nyikut lengan Mava yang kebetulan duduk didekatnya.
Mava terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Saat ini ia merasa seperti sedang dipojokkan oleh sahabat-sahabatnya itu. Karena tak kunjung menjawab pertanyaan yang diajukan Nathan, pada akhirnya ia semakin digoda oleh sahabat-sahabatnya.
Dalam kepala Mava saat ini, ia juga berpikir kenapa dirinya tetap mencari dan memikirkan Arion, walaupun sebenarnya ia sudah tidak suka lagi padanya?
~”~
Bandung, 2008
Walaupun rambutnya pendek, tetapi angin tetap berhasil membuat beberapa helai rambut milik Mava terbang rendah. Gadis Bandung yang akan segera duduk di bangku kelas dua SMA itu mengayuh pedal sepeda merah muda kesayangannya untuk kembali ke rumah, setelah mendapatkan dua bungkus terasi pesanan sang ibu. Sepanjang perjalanan itu Mava menyapa setiap orang yang dilewatinya. Ia memang memiliki sifat yang ramah pada siapapun.
“Cici Mava!”
Sapaan dari seorang anak kecil mengalihkan atensi Mava. Ia menoleh ke belakang—kebetulan ia sudah melewati anak itu saat disapa—lalu melambaikan tangannya, tak lupa juga dengan senyuman yang menghiasi wajah cantiknya itu. Fokusnya kembali pada jalanan di depan sana.
Dengan berani ia sempat memejamkan sebentar kedua matanya, menikmati angin sore yang bertiup lembut membelai wajahnya. Dan ketika ia membuka kedua matanya, ia justru dikejutkan dengan kemunculan laki-laki yang secara tiba-tiba keluar dari salah satu rumah.
Tidak mau membuat anak orang terluka, akhirnya Mava mengorbankan dirinya sendiri. Ia membelokkan sepeda ke kanannya lalu akhirnya terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan setelah terkejut.
“Auw!” pekiknya setelah ia terjatuh. Lututnya berdarah, dan telapak tangan kanannya sedikit lecet. Ia menyesali karena sudah memejamkan kedua matanya tadi, walau hanya sebentar.
“Kamu enggak apa-apa?”
Mava menoleh dan mendapati uluran tangan padanya. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat siapa pemilik tangan tersebut. Bukannya menjawab, Mava justru terdiam memandangi laki-laki berwajah manis itu.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya laki-laki itu sekali lagi. “Bisa berdiri?”
“Nama kamu siapa?”
Laki-laki itu terkejut, tetapi Mava yang lebih terkejut dengan apa yang sudah terlontar dari mulutnya itu. Ia bahkan menutup mulutnya dan merasa bodoh sudah bertanya seperti itu, bukannya menjawab pertanyaan dari laki-laki itu.
“Maksud aku, aku enggak apa-apa,” jawab Mava dengan senyuman menghiasi wajahnya. Sebuah senyuman canggung.
Laki-laki itu membantu Mava untuk berdiri. Ia memperhatikan lutut Mava yang berdarah.
“Maaf ya, karena saya keluar tiba-tiba dari rumah kamu jadi jatuh,” sesal laki-laki itu.
Mava segera menggoyangkan kedua tangannya sebentar. “Bukan salah kamu. Aku juga salah karena tadi sempet nutup mata buat nikmatin angin. Jadi enggak perlu minta maaf.”
Laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya saja. “Lukanya diobatin dulu, nanti infeksi.”
“Nanti di rumah aja. Rumah aku deket sini kok,” tolak Mava sopan. “Terima kasih.”
“Kalau di rumah kamu, nanti lukanya kena debu, terus kotor. Lebih baik diobatin dulu di sini. Atau seenggaknya ditutup dulu pakai perban agar lukanya enggak terkena debu.” Laki-laki itu tetap meminta agar Mava mau mengobati lukanya terlebih dahulu sebelum pulang.
Seharusnya Mava mulai berprasangka buruk atau minimal merasa risih dengan sikap laki-laki asing di depannya, yang terdengar seperti memaksanya untuk mengobati lukanya . Tetapi entah kenapa ia justru merasa gemas padanya, sebab tutur kata laki-laki itu cukup formal dan terdengar seperti seorang anak kecil. Oh satu hal lagi, laki-laki itu memiliki dialek Jawa yang cukup kental.
“Saya enggak ada maksud untuk melakukan hal buruk ya,” ujar laki-laki itu tiba-tiba. “Saya hanya takut luka kamu jadi infeksi kalau enggak segera diobatin. Di rumah juga ada orangtua saya, jadi enggak perlu khawatir.”
Mava tersenyum mendengar penjelasan laki-laki itu. Padahal ia tidak memikirkan hal-hal yang buruk tentang laki-laki itu. “Aku enggak mikir buruk tentang kamu, kok. Tenang aja.”
“Siapa tau kamu mikir buruk, karena saya orang asing buat kamu. Jadi bukan hal yang aneh kalau kamu berpikir buruk ke saya.”
“Biar enggak jadi orang asing lagi, gimana kalau kita kenalan?” Mava menyunggingkan senyuman di wajahnya serta mengulurkan tangan kanannya. “Jadi, nama kamu siapa?”
Jika saat pertama tadi ia menanyakan nama laki-laki itu tanpa ia sadari, kali ini Mava serratus persen sadar dengan pertanyaan yang diajukannya itu. Ia sangat ingin tahu siapa nama laki-laki berwajah manis di hadapannya ini. Tidak hanya itu saja, ia bahkan mengulurkan tangan kanannya.
Tak mendapatkan sambutan tangan dari laki-laki itu, Mava menarik kembali tangannya. “Ah, aku terlalu berlebihan ya nanyain nama kamu?”
“Arion,” ujar Arion yang akhirnya memberitahu namanya. “Nama saya Arion.”
Senyuman lebar menghiasi wajah Mava karena akhirnya mengantongi nama laki-laki berparas tampan di hadapannya. “Namaku Mava!” serunya bersemangat. “Senang bisa kenalan sama kamu.”
~”~
Surabaya, 2024
Suara tangisan yang berasal dari salah satu ruangan sebuah rumah duka, menyambut Mava dan juga Levi sang tunangan yang baru saja tiba di sana. Keduanya datang ke rumah duka bukan untuk melayat pada salah satu keluarga yang sedang berduka, melainkan mereka hendak mengunjungi rumah penyimpanan abu yang juga dimiliki rumah duka tersebut.
Pagi-pagi sekali Mava dan Levi sudah berangkat ke Surabaya dari Bandung dengan memakai pesawat. Setelah mendarat keduanya sempat pulang ke rumah keluarga Levi untuk menyapa, dan setelahnya kembali berangkat menuju rumah duka.
Akhir pekan ini ada pesta pernikahan dari salah satu sepupu Levi, karena itulah Mava datang ke Surabaya. Tidak hanya itu saja, nanti malam juga ia memiliki acara makan malam dengan keluarga besar tunangannya itu.
“Kalau ngedenger orang-orang nangis tuh kadang aku suka ikut pengen nangis,” ujar Mava.
“Wajar, artinya kamu masih punya perasaan,” jawab Levi.
Pria itu usianya lima tahun lebih tua dari Mava. Keduanya bertemu sekitar enam tahun lalu, diperkenalkan adik Levi yang kebetulan saat itu membuat kebaya di butik milik Mava.
“Iya sih,” ujar Mava menyetujui ucapan Levi. “Aneh juga kalau aku malah ketawa disaat orang-orang nangis.”
“Nah kalau itu, kamu bakal dianggap sebagai orang aneh gak punya perasaan sama orang lain.” Levi terkekeh setelah mengatakan hal itu, begitu juga dengan Mava.
Langkah kaki Mava tiba-tiba berhenti, membuat Levi yang sudah berada di depannya beberapa langkah ikut berhenti. Pria berkemeja hitam itu berbalik dan mendapati Mava sedang berdiri di depan salah satu lemari penyimpanan abu.
“Va, kenapa?” Levi berjalan menghampiri Mava.
“Ko…” panggil Mava lirih dengan menunjukkan kedua matanya yang sudah berlinang air mata.
Levi segera berlari kecil mendekati Mava yang menangis. “Kenapa?”
“Arion,” jawab Mava dengan menunjuk lemari yang ada di hadapannya. “Dia ada di sini selama ini, Ko.”