"Assalamualaikum, Bunda," sapaku lembut sambil menyalimi tangan bunda yang terasa hangat, dipenuhi kasih sayang.
"Eh, Bagas," jawab Bunda dengan senyum kecil. Jemarinya tetap sibuk menjahit kain di mesin jahit tua yang berdecit pelan. "Gimana, jahitannya sudah diantar semua, kan?"
"Sudah kok, Bun," balasku sembari mengambil posisi duduk di bawah, tepat di samping Bunda. Aku memandang jemarinya yang lincah, menyulam dengan penuh ketelitian.
"Bagas, kamu sudah makan?" tanyanya, suaranya hangat seperti pelukan di musim dingin.
"Sudah, Bundaku sayang," jawabku dengan senyum kecil. Namun, senyum itu tak bertahan lama. Hati ini ragu, pikiranku penuh dengan apa yang akan aku utarakan. Aku terdiam, menatap lantai rumah yang bersih, mendengar deru halus mesin jahit yang seakan bertanya, "Ada apa?"
"Kenapa, sayang?" Bunda menghentikan jahitannya, matanya yang penuh kasih menatapku.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Bun... kali ini Bagas minta tolong Bunda izinin Bagas muncak, ya," ujarku sambil merapatkan kedua tangan, membentuk simbol permohonan. Mataku penuh harap, tapi suara ini sedikit gemetar.
"Muncak?" Bunda mengerutkan kening, suaranya berubah sedikit cemas. "Naik gunung lagi, Bagas? Gunung mana kali ini?"
"Prau, Bun," sahutku, menatap bunda dengan penuh harap.
"Prau? Kamu mau pergi sama siapa, Bagas?" tanya Bunda, suaranya terdengar tenang tapi jelas ada rasa ingin tahu yang mendalam di dalamnya.
Aku tersenyum kecil, mencoba menenangkan gejolak di dada. "Sama orang spesial, Bun," jawabku sambil menunduk sedikit. "Dia memang belum jadi milik Bagas. Enggak tahu nanti, apakah dia bakal ditakdirkan untuk Bagas, atau mungkin Bagas cuma ditakdirkan untuk mengaguminya dari jauh." Aku menarik napas, lalu memandang Bunda dengan mata penuh harap. "Tapi, bolehkah Bagas, anakmu ini, muncak sekali ini saja, Bun? Sekali ini saja."
Bunda terdiam sejenak, jemarinya yang tadi sibuk melipat kain kini terhenti. Wajahnya menatapku dalam-dalam, seperti mencoba membaca isi hatiku yang terdalam.
"Bagas," akhirnya ia berkata, suaranya lembut tapi penuh makna. "Bunda ngizinin kamu muncak, tapi ada syaratnya."
Aku segera menegakkan tubuh, memperhatikan setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Kamu harus janji sama Bunda, jaga diri baik-baik. Dan yang paling penting, jaga orang itu sebaik-baiknya. Kalau dia orang spesial buat kamu, maka tanggung jawab kamu makin besar. Jangan cuma mikirin kesenangan kamu saja, Bagas. Kamu juga harus mikirin tanggung jawab yang ada di pundak kamu."
Aku mendengar setiap kata itu seperti pesan dari hati ke hati. Dengan semangat, aku langsung berdiri tegak, memberikan hormat kecil. "Siap, Bunda! Bagas janji, bakal jaga diri dan orang itu sebaik-baiknya."
Bunda tersenyum tipis, lalu mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang.
***
"Mama ku sayang, dan Papa ku tercinta, dengarkanlah, wahai anak perempuanmu ini," ujarku seraya duduk bersila di hadapan mereka berdua. Aku menatap wajah mereka penuh harap, sambil menggenggam jemari sendiri untuk menenangkan hati.
"Apalagi ini, Artala?" sahut Papa lebih dulu, nadanya datar tapi tegas. Aku tahu beliau pasti sudah bisa menebak maksudku. Mama, yang duduk di sebelahnya, hanya melirikku sekilas, seolah sudah menduga sesuatu sedang kurencanakan.
"Anakmu ini ingin muncak, wahai kedua orangtuaku yang terhormat," jawabku dengan suara lirih tapi penuh keyakinan. "Hanya kali ini saja. Tolong berikan izin pada anakmu yang sudah berjanji untuk ikut muncak."
Papa menghela napas panjang, melipat tangannya di dada. "Kamu mau muncak ke mana, Artala?"
"Ke Prau, Pa," jawabku cepat.
"Papa enggak setuju," ucapnya tegas.
"Dan Mama juga enggak setuju," tambah Mama, nada suaranya seperti sudah final.
Aku menarik napas panjang, mencoba meredam rasa kecewa. "Astaghfirullah, mengapa demikian, wahai kedua orangtuaku? Tolong acc permohonan anakmu ini. Hanya sekali ini saja."
Mama menggeleng pelan. "Kamu belum pernah muncak, Artala. Kalau kenapa-napa gimana?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Tenang saja, wahai Mama Leisya," aku mencoba meyakinkannya. "Anakmu ini akan aman-aman saja, karena dia akan dijaga."
"Enggak usah aneh-aneh kamu, Artala," potong Papa dengan nada keras, wajahnya jelas menunjukkan ketidaksukaan.
"Artala enggak aneh-aneh kok, Pa. Cuma mau muncak doang," balasku, sedikit memelas.
Papa menatapku dalam-dalam, seperti menimbang sesuatu. Mama tampak diam, tapi aku tahu beliau sedang memikirkan kemungkinan lain.
Akhirnya, Mama berbicara. "Kalau kamu janji enggak macam-macam dan benar-benar hati-hati, mungkin Mama bisa pertimbangkan."
Papa mendengus kecil, tapi tidak langsung menolak. "Dan kamu harus kasih kabar setiap saat. Jangan sampai kami khawatir."
"Siap, wahai Papa dan Mama tercinta! Anakmu ini berjanji, akan jaga diri, jaga komunikasi, dan pulang dengan selamat," seruku dengan semangat.
Mama tersenyum tipis, sementara Papa mengangguk kecil, meski masih terlihat berat hati. "Baiklah, Artala. Tapi jangan lupa, ini tanggung jawab besar."
"Terima kasih, wahai orangtuaku! Kalian memang yang terbaik di dunia ini!" Aku langsung bersujud di hadapan mereka, mencium tangan Mama dan Papa dengan penuh rasa syukur.
Aku masuk ke kamar dengan langkah ringan. Setelah perjuangan panjang meminta izin Papa dan Mama, akhirnya mereka luluh juga. Aku duduk di atas kasur, menarik napas lega sambil meraih ponselku. Dengan cepat aku mengetik pesan untuk Bagas.
"Bagas, aku sudah diizinin orang tuaku. Kalau kamu gimana?" tanyaku sambil menggigit bibir, berharap kabar baik juga datang dari dia.
Tak butuh waktu lama, pesan balasan dari Bagas masuk. "Yes, aku diizinin Bunda juga buat muncak!"
Aku tersenyum lebar, rasa lega menjalar di seluruh tubuh. Akhirnya, impian kami untuk muncak bersama perlahan menjadi kenyataan. Jari-jariku kembali menari di layar ponsel.
"Alhamdulillah. Jadi kapan kita fix berangkat, Gas?" tanyaku.
"Dalam seminggu lagi, Tala. Kita butuh waktu buat siapin semuanya. Peralatan, logistik, dan mental," balasnya.
"Setuju. Aku juga harus nge-list barang-barang yang perlu dibawa. Jangan sampai ada yang ketinggalan," jawabku cepat.
Bagas menambahkan, "Aku bakal ngatur urusan teknis. Kamu pastiin aja semua perlengkapan kamu lengkap, ya. Dan jangan lupa bawa semangat!"
Aku tertawa kecil membaca pesannya. "Siap, Kapten Bagas! Kalau ada yang kurang, aku kabarin ke kamu."
Percakapan kami terus berlanjut, membahas detail rencana perjalanan. Mulai dari titik kumpul, jadwal keberangkatan, hingga barang yang akan di bawa, karena aku sama sekali juga tidak tahu