Dan tibalah pada fase itu sebuah labirin sunyi yang menjelma menjadi jeruji tak kasat mata, membelenggu perasaan dalam senyap yang menusuk. Ada yang tertahan, ada yang tersangkut di relung terdalam jiwa, seolah semesta sedang bercanda dengan luka yang enggan sembuh. Waktu terasa memanjang tanpa ujung, seperti benang yang terus terurai, namun tak pernah mampu mengikat apa pun yang berarti.
Segalanya terasa membeku, namun tetap membara. Detik-detik yang lewat tak ubahnya embun yang jatuh ke permukaan tanah, lenyap begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Perasaan itu, seperti desir angin yang mendesak rongga dada, mengabarkan pilu yang tiada kunjung reda. Setiap tarikan napas adalah pergulatan, dan setiap helaan adalah pengakuan bahwa luka ini masih betah bersarang.
Betapa rindu tak lagi sekadar kata, tetapi sebuah kerinduan pada kebebasan diri sendiri untuk terbebas dari belenggu yang tak terlihat namun nyata. Perasaan ini seperti daun kering yang terjatuh perlahan, terombang-ambing tanpa arah, hingga akhirnya terdampar di hamparan tanah yang tak peduli pada keberadaannya.
Entah kapan perasaan ini akan menemukan titik akhir. Barangkali, ini bukan perjalanan yang butuh penyelesaian, melainkan sebuah pelajaran yang tak mengenal kata selesai. Dan selama itu pula, jiwa ini akan tetap melangkah, meski tertatih, mencari cahaya yang mampu memulihkan. Sebab bagaimanapun, di balik luka yang membelenggu, selalu ada harapan yang mengintip dari sela-sela kegelapan.
***
"Artala, kamu udah selesai tugas morfologi?" tanya Naska.
"Udah, tapi aku belum paham soal nomor dua," jawab Artala.
"Oh, soal yang ini ya? 'Mengelola' kan? Gini, aku jelasin ya. Dalam morfologi aglutinatif, kita identifikasi morfemnya dulu. Jadi, 'meng' itu adalah prefiks, dan 'kelola' itu adalah bentuk dasar."
"Jadi, morfemnya ada dua, yaitu 'meng' dan 'kelola'."
"Lalu, buat diagramnya, kayak gini: 'Meng' + 'Kelola'."
Artala pun mulai mengerti, dan berterima kasih. "Oh, jadi gitu, makasih ya Nas."
Naska tersenyum lembut, lalu berkata, "Ada lagi yang perlu ditanya?"
Artala kembali ragu, "Iya, ada lagi nih. Soal teori morfologi, bisa jelasin dan bandingin tiga teori utama ini, gak? Yaitu Teori Morfologi Strukturalis, Generatif, dan Distribusional."
Naska mengangguk, lalu mulai menjelaskan dengan sabar. "Oke, gini. Teori morfologi strukturalis itu lebih fokus pada analisis morfem, jadi dia melihat morfologi dengan cara memisah-misahkan bagian-bagian kata. Tapi, dia nggak terlalu memikirkan bagaimana kata itu dibentuk dalam kalimat."
"Lalu, teori generatif yang dikembangkan oleh Noam Chomsky itu lebih kompleks, Artala. Dia bilang, morfologi itu nggak bisa dipisahkan dari sintaksis. Jadi, aturan-aturan sintaksis itu yang membentuk kata-kata baru. Morfem itu muncul karena ada aturan tertentu yang menghubungkan kata dengan struktur kalimat."
"Jadi, menurut Chomsky, morfologi adalah bagian dari sistem bahasa yang lebih besar. Morfologi itu punya aturan yang terstruktur dengan jelas, yang bisa menghasilkan kata-kata baru secara otomatis."
"Terakhir, teori distribusional itu fokus pada bagaimana kata digunakan dalam kalimat. Tapi, dia nggak banyak menjelaskan soal aturan pembentukan kata. Dia lebih ke melihat pola penggunaan kata di dalam kalimat."
Naska melanjutkan, "Jadi, kalau dibandingkan, teori generatif yang paling kuat, karena dia nggak cuma menjelaskan pembentukan kata, tapi juga menghubungkan morfologi dengan sintaksis. Dengan teori ini, kita bisa lebih memahami bahasa secara keseluruhan."
Artala mengangguk, mulai paham. "Oh, jadi yang kuat itu teori generatif ya."
"Benar," jawab Naska lembut. "Meskipun semua teori punya nilai, teori generatif memberikan pandangan yang lebih luas dan sistematis."
"Thanks ya Nas, kamu selalu sabar menjelaskannya," kata Artala dengan senyum.
"Senang bisa membantu, Artala," balas Naska, sambil melanjutkan membaca bukunya.
Naska adalah sosok yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki cara unik dalam menyampaikan pengetahuannya. Setiap kali Artala merasa kebingungan dengan tugas atau pertanyaan yang sulit, Naska selalu bisa memberikan penjelasan yang jelas dan mudah dipahami, seakan-akan semua pertanyaan itu sudah dia pahami dengan sempurna sejak lama.
Aku selalu merasa ada suatu ketenangan yang membalut hatiku setiap kali Artala mengajukan pertanyaan. Bukan karena pertanyaan itu sederhana atau mudah dijawab, tetapi lebih karena ada sebuah keinginan yang tak terucapkan dalam diriku untuk selalu menjadi tempat yang bisa ia tuju, menjadi jawaban bagi setiap kebingungannya. Ada sesuatu yang memikat dalam melihat matanya yang penuh rasa ingin tahu, seperti jendela yang terbuka lebar menunggu untuk diisi dengan cahaya pengetahuan.
Ketika ia bertanya, seolah dunia menjadi lebih tenang. Suasana di sekitar kami seakan meredup, dan hanya ada aku, Artala, dan pertanyaan yang melayang di udara, menunggu untuk dijawab. Ada sebuah kedamaian dalam proses itu sebuah tarian halus antara pencari dan yang dicari, antara jiwa yang ingin tahu dan jiwa yang telah belajar.
Aku tak pernah merasa terbebani. Justru, setiap kali aku memberikan jawaban, aku merasa seolah diriku tumbuh, mengembang, menambah dimensi baru dalam diri. Setiap pertanyaan Artala adalah ladang yang subur untuk benih pengetahuan yang terus-menerus aku tanam dan rawat. Dan dalam keheningan itu, aku menyadari bahwa setiap jawaban yang keluar dari bibirku bukan sekadar penjelasan, tetapi sebuah pengingat bagi diriku sendiri, bahwa belajar adalah perjalanan yang tak pernah usai.
Aku ingin selalu ada, menjadi seperti angin yang tak tampak namun selalu ada, berhembus lembut membawa pengetahuan yang dibutuhkan, memberi ketenangan dalam kebingungannya. Dan ketika ada pertanyaan yang melayang tanpa jawaban, aku ingin menjadi yang pertama menjawabnya, menjadikan diri ini tempat yang aman bagi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Karena, pada akhirnya, aku tahu bahwa setiap kali aku bisa menjawab, aku juga sedang menggali lebih dalam. Menjadi jawaban bagi kebingungannya adalah sebuah cara bagiku untuk terus belajar, terus berkembang, dan tetap hidup dalam pencarian tanpa henti akan makna-makna yang tersembunyi di balik setiap pertanyaan. Inilah yang menggerakkanku, yang membuat hatiku penuh dengan semangat untuk tidak hanya mengetahui lebih banyak, tetapi juga untuk memberi, untuk berbagi pengetahuan itu, dengan penuh cinta dan ketulusan.
Dan jika suatu saat nanti, Artala menemukan sebuah pertanyaan yang tak ada jawabannya di dunia ini, aku ingin menjadi orang yang mengajaknya untuk terus mencari, untuk terus bertanya, dan untuk terus belajar bersama.