Loading...
Logo TinLit
Read Story - love is poem
MENU
About Us  

Aku ingin memuji Artala dengan berbagai puisiku.

Tidak terasa sudah masuk puisi ke 30 ku, puisi untuk seorang perempuan yang membaca surat ini

Aku ingin mencintaimu dengan perlahan

seperti sungai yang mengalir

Aku tak ingin jatuh cinta dengan terburu buru

Sebab nanti aku sendiri yang akan jatuh

Jatuh ke dalam ekspentasiku

Harapanku

Barang kali perasaan ini

Akan terbalas oleh takdir

Semga saja tuhan sedang tidak mempermainkan takdir itu.

Hari ini, aku mengirim surat lebih cepat, seperti ada dorongan tak terjelaskan yang memaksaku untuk melakukannya. Surat-surat itu, yang selalu datang tanpa nama, tanpa tanda pengenal. Seperti sebuah rahasia yang hanya bisa aku simpan dalam hati.

"Selalu ada seseorang yang mengirim surat untukku, tidak ada nama, seperti sebuah rahasia," kataku pelan, sambil memegang surat yang berada di tanganku. Langkahku ringan saat aku memasuki kamar, menutup pintu dengan lembut.

Kali ini, surat itu sudah yang ke-30. Sebuah angka yang sudah cukup untuk membuatku bertanya-tanya, mengapa orang itu tidak pernah menyerah? Aku tak pernah membalas puisi-puisi yang diberikannya, bahkan tak pernah berani untuk menulis sepatah kata pun. Sebagian puisi itu kutempelkan di sudut kamar, seolah-olah aku ingin menjaga rahasia itu tetap hidup dalam diam.

Aku selalu terpesona dengan setiap kata yang tertulis, seperti ada aliran halus yang mengalir dalam kalimat-kalimatnya. Penggunaan diksi yang begitu tepat, kata-kata yang tersusun begitu rapi, seolah-olah tak ada celah untuk meragukan keindahannya. Setiap puisi bagiku adalah sebuah karya seni yang tak terjangkau oleh kata-kata biasa.

Namun, meski begitu, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak bisa membalas dengan cara yang sama. Aku merasa terperangkap dalam dunia penuh kata-kata indah, tapi aku tak bisa memberi jawaban yang setara.

Dan hari ini, seperti yang selalu terjadi, surat itu ada lagi di tanganku. Tanpa nama, tanpa petunjuk. Seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan.

"Artala," suara Bi Inem terdengar pelan dari luar kamar, membuyarkan konsentrasiku yang tengah berkutat dengan tumpukan surat di atas meja. Aku mendesah pelan, setengah enggan merespons.

"Ada apa, Bi?" sahutku setengah malas, mataku tetap terpaku pada selembar surat yang sudah kusobek amplopnya, tetapi belum sempat kubaca isinya.

"Den Kenzo datang, Neng. Dia lagi di luar, nyariin kamu."

Nama itu. Hanya mendengarnya saja sudah membuatku mendesah panjang. Kenzo, lelaki yang entah mengapa selalu membuatku ingin menghindar, seolah kehadirannya adalah gangguan yang tak pernah kuminta.

"Bi, bilang aja aku capek banget. Lagi nggak enak badan. Aku nggak bisa keluar buat nemuin dia," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari surat-surat yang berserakan.

"Baik, Neng," sahut Bi Inem. Aku bisa mendengar langkahnya menjauh, diiringi gumaman pelan.

Tak lama kemudian, suara Bi Inem kembali terdengar, kali ini dari arah teras rumah.

"Maaf ya, Den Kenzo. Non Artala lagi istirahat. Dia juga baru sembuh, jadi belum bisa nemuin Den Kenzo sekarang."

Aku menajamkan pendengaran, meski berusaha tetap tampak acuh.

"Oh, begitu ya, Bi? Artala sakit apa? Aku boleh jenguk dia nggak?" suara Kenzo terdengar penuh perhatian, seperti biasa.

Aku hampir bisa membayangkan wajahnya yang selalu menampilkan senyum hangat itu, namun entah mengapa justru membuatku merasa ingin menjauh.

"Aduh, Den, sebaiknya jangan deh. Enggak enak. Soalnya, Non Artala lagi di kamarnya. Nyonya juga lagi nggak ada di rumah. Takutnya nanti malah jadi salah paham," Bi Inem menjelaskan dengan nada hati-hati.

"Ya juga sih, Bi. Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu. Titip salam buat Artala, ya. Semoga dia cepat sembuh," kata Kenzo akhirnya, suaranya terdengar sedikit kecewa, tapi tetap sopan seperti biasa.

"Iya, Den. Nanti Binik sampaikan."

Aku mendengar suara pintu pagar ditutup pelan, diikuti langkah-langkah yang perlahan menjauh. Rasanya seperti mengangkat beban yang menekan dadaku.

Aku kembali menatap surat-surat di meja, mencoba fokus, tetapi bayangan Kenzo justru memenuhi pikiranku. Apa yang dia mau? Mengapa dia selalu berusaha mendekat, sementara aku hanya ingin menjauh, lagi pula Kenzo hanyalah orang lamaku, aku bahkan tak ingin terlibat apa pun dengannya.

Namun, alih-alih menemukan jawaban, aku justru menghela napas panjang dan melanjutkan membaca surat-surat itu, mencoba melupakan perasaan campur aduk yang entah dari mana datangnya

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags