Loading...
Logo TinLit
Read Story - love is poem
MENU
About Us  

Aku akan selalu menyukaimu seperti aku menyukaimu kemarin.

~Bagaskara.

Senang sekali rasanya mendengar kabar bahwa Artala telah kembali sehat seperti sediakala. Bagiku, tiada yang lebih penting selain melihatnya tersenyum bahagia. Bahkan, saat ia melangkah ke atas panggung teater kemarin, pesonanya begitu memukau, seolah seluruh dunia berputar di sekitarnya. Penampilan itu adalah bukti nyata dari dedikasinya karya yang penuh cinta dan keindahan.

Sebagai bentuk apresiasi atas usaha dan kerja kerasnya, aku memutuskan untuk mengajaknya keluar. Dalam hati, aku ingin menganggap momen ini sebagai kencan pertama kami. Lagi pula, aku sudah menyiapkan bunga segar dan beberapa hadiah kecil, semuanya dipilih dengan hati-hati agar bisa menyampaikan perasaanku yang selama ini tersimpan rapi.

"Artala, apakah kamu punya waktu hari ini untuk keluar bersama?" tulisku dalam sebuah pesan.

Aku ragu sejenak sebelum mengirimnya. Jari-jariku sempat berhenti di atas layar, dihantui keraguan yang menyeruak tiba-tiba. Bagaimana jika ia menolak? Bagaimana jika aku terlalu berlebihan? Namun, jika aku membiarkan rasa takut ini menguasai, aku tak akan pernah tahu jawabannya, apalagi memiliki kesempatan untuk lebih dekat dengannya. Maka, dengan sedikit keberanian yang terkumpul, aku menekan tombol kirim.

Aku menunggu dengan napas tertahan, seakan waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Di balik layar ponselku, ada sebuah harapan yang mengalir, membayangkan senyumnya ketika membaca pesanku. Ah, Artala... entah bagaimana, ia selalu berhasil membuatku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasakan sebelumnya hangat, gugup, dan penuh harap dalam waktu bersamaan.

"Bagas, maaf ya jika hari ini aku tidak bisa karena aku ada urusan, tapi besok aku bisa. Besok aku libur," balas Artala.

Aku membaca pesannya berulang kali, memastikan tiap kata terekam sempurna dalam ingatanku. Ada nada lembut yang seolah terdengar melalui tulisan itu, dan entah kenapa, rasanya seperti angin sejuk yang menenangkan hati.

"Tak apa," balasku singkat. Namun dalam hatiku, ada percikan bahagia yang membuncah.

Jika benar besok kami bertemu, itu akan menjadi hari yang paling indah dalam hidupku hari yang ingin kuhentikan waktunya, agar setiap detik bisa kunikmati tanpa tergesa. Aku ingin merekam setiap momen bersamanya, menyimpan senyumnya dalam ingatan, dan menjadikannya cerita yang tak akan pernah usai.

Besok adalah harapan, sebuah janjian kecil yang berarti besar bagiku. Dan malam ini, aku akan bermimpi tentangnya, tentang kami, tentang hari yang akan segera tiba, yang semoga menjadi awal dari sesuatu yang lebih indah dari sebelumnya.

***

 

 

"Artala," aku memanggil namanya dengan lembut, suara yang seolah mengalun dari kedalaman hati, penuh dengan rasa yang tak terucap. Perlahan aku mendekat, seikat bunga mawar merah dan tulip kugenggam erat dalam tangan, seolah dunia ini hanyalah sebuah perantara untuk menyampaikan perasaan yang terpendam.

Tangan kuhulurkan, seikat bunga itu terjuntai di hadapanmu, seperti sebuah tawaran penuh harapan. "Ini bukan sekadar bunga," kataku, suara kubergetar seperti rindu yang tak pernah padam, "tapi setiap kelopaknya adalah bagian dari hatiku, setiap warnanya adalah gambaran perasaan yang tak mampu kujelaskan dengan kata."

Matamu yang lembut menatapku, seulas senyum mulai terbentuk di bibirmu, penuh ketulusan yang membuat detak jantungku berhenti sejenak. Kau terima bunga itu dengan tangan yang gemetar, dan dalam tatapanmu aku melihat dunia bukan sekadar langit yang biru atau bumi yang hijau, tapi seluruh alam semesta yang bertasbih dalam keindahan yang tak terhingga.

"Bagas, tapi mengapa kau memberikan ku bunga?" Artala bertanya, matanya memandangku penuh rasa ingin tahu, tetapi senyum tak bisa disembunyikan dari bibirnya.

Aku menatapnya, perlahan menyerahkan seikat bunga itu. "Sederhana saja," jawabku, suara yang tenang namun mengandung makna yang begitu dalam, "itu hanya sebuah perasaan dan perayaan atas teater semalam."

Artala terkekeh pelan, suaranya seperti alunan musik yang menyentuh hati. "Tapi kan aku hanya tampil dalam teater, Bagas. Kau ini, Bagas, aku merasa seperti artis-artis terkenal." Senyum nakal menghiasi wajahnya, seolah lelucon kecil kami memberi warna baru pada momen yang sederhana ini.

Aku tertawa pelan, membalas dengan kehangatan yang mengalir dari dalam. "Ya, begitulah. Kau tidak hanya seorang wanita, tapi seorang bintang. Setiap hal kecil yang ada pada dirimu harus ku rayakan. Dan bagian yang paling aku suka adalah pencapaian kecilmu, sekali pun." Aku menatapnya, melihat bagaimana matanya berkilau saat ia mendengarnya.

Lalu, aku mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang ku bawa, sebuah totebag sederhana yang kugenggam erat di tangan kiri. "Ini juga untukmu," kataku, sambil memberikannya padanya. "Kau bisa membukanya nanti di rumah, mungkin isinya biasa saja untukmu."

Artala menatap totebag itu, lalu memandangku dengan tatapan lembut yang penuh penghargaan. "Bagas," katanya, suaranya pelan namun penuh makna, "aku tidak peduli apa pun isinya. Tapi usaha dan perhatianmu itu yang utama. Itu yang paling berarti."

Aku merasa dadaku menghangat, seperti ada sejuta kata yang tak bisa terucap. Begitulah Artala, selalu mampu melihat hal-hal kecil yang mungkin orang lain lewatkan, dan itu yang membuat hatiku semakin dekat padanya. Di matanya, segala sesuatu menjadi berharga karena adanya niat tulus di baliknya, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan sekadar kata-kata.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags