Loading...
Logo TinLit
Read Story - love is poem
MENU
About Us  

Jika boleh aku menyatakan secara langsung, Artala di pandanganku adalah lukisan langit yang tak akan sirna, seperti keindahan yang menjelma dalam puisi yang tak sanggup dilukis oleh kata-kata. Wajahnya yang tenang menyusuri malam, pesona Artala memang tidak ada tandingan. Ah, jika cinta memiliki nama, pastilah ia tersurat dalam dirimu, wahai Artala.

Sudah empat hari terakhir ini, rumah Artala selalu tertutup rapat. Tidak seperti biasanya, saat aku mengirim surat ke tempatnya, paling tidak jendelanya terbuka. Namun kali ini tidak ada satu pun tanda kehidupan. Semoga saja Artala baik-baik saja. Aku mencoba menenangkan pikiranku, mungkin saja ia sedang liburan, atau orang tuanya ke luar kota. Tapi tetap saja, rasa khawatir yang bersemayam dalam hati ini jauh lebih besar dari segala logika yang ku buat-buat.

"Haikal," gumamku pelan. Selesai memasukkan surat ke kotak pos di depan rumah Artala, aku segera menghubungi Haikal untuk menanyakan kabarnya.

"Ada apa, wahai Bagas?" sahut suara khas Haikal di ujung telepon.

"Ngomong-ngomong, beberapa hari ini rumah Artala kok tutup terus, ya? Kamu tau sesuatu?" tanyaku langsung.

"Oh, kamu belum tau, ya?" jawabnya dengan nada datar yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.

"Tau apa? Jangan bikin aku tegang, Haikal."

"Artala... masuk rumah sakit," ucapnya tanpa basa-basi.

Aku terdiam. Ucapannya seperti gemuruh petir di tengah langit yang mendadak gelap.

"Kamu serius?" tanyaku, setengah berharap ia hanya bercanda.

"Lah, buat apa aku bohong? Dia dirawat di Rumah Sakit Tirta Sada," jawabnya tegas.

Aku mencoba mencerna informasi ini. Rumah sakit? Artala? Ini terasa seperti mimpi buruk yang mendadak hadir tanpa permisi.
"Yaudah, nanti aku mampir ke sana.
Kebetulan aku ada di kota," ujarku setelah beberapa detik hening.

"Di kota? Ngapain kamu di kota?" tanya Haikal, suaranya terdengar penasaran.
"Kamu lupa? Aku masih menjalankan misiku, Haikal," jawabku singkat.

"Oh iya, aku hampir lupa. Bagas dan surat-suratnya untuk Artala," katanya sambil tertawa kecil.

Haikal tidak salah. Setiap hari aku selalu menulis surat untuk Artala, meskipun jarak desaku ke kota memakan waktu hampir satu jam perjalanan. Tapi entah kenapa, aku senang melakukannya. Rasanya seperti aku bisa berbicara langsung dengannya meski lewat kertas.

"Aku akan ke sana. Kamu jaga dirimu juga, Kal," ucapku sebelum menutup telepon. Kini hanya ada satu hal di pikiranku melihat Artala dan memastikan ia baik-baik saja.

"Eh, mau aku temanin nggak ke sana?" tanya Haikal, suaranya sedikit ragu.

Aku menarik napas panjang, berpikir sejenak. Tawaran itu terdengar tulus, tapi aku merasa perjalanan ini lebih baik aku lakukan sendiri. "Tidak perlu," jawabku singkat. "Aku nggak mau merepotkan kamu. Lagi pula, aku bisa sendiri. Aku ingin bertemu langsung dengan Artala. Semoga saja rindu ini terobati," lanjutku dengan nada pelan, hampir seperti berbicara pada diriku sendiri.

"Kamu yakin, Gas?" Haikal kembali memastikan. "Rumah sakit Tirta Sada itu jauh, dan kamu tau kan jalanan kota sering macet. Kalau kamu butuh apa-apa, kabari aku ya."

Aku mengangguk meski Haikal tak bisa melihatnya. "Iya, Kal. Terima kasih," jawabku akhirnya.

Setelah menutup telepon, aku memandang kotak pos di depan rumah Artala. Surat yang baru saja kutitipkan di dalamnya terasa begitu hampa sekarang. Rasanya percuma menulis surat jika aku bahkan tak tahu kapan ia akan membacanya. Langkahku berat meninggalkan rumahnya, seperti ada yang menahan, tapi aku tahu apa yang harus kulakukan.

Perjalanan menuju Rumah Sakit Tirta Sada terasa lebih lama dari biasanya. Angin sore yang berhembus lembut tak mampu mengusir kekhawatiran yang menggumpal dalam dadaku. Apa yang terjadi pada Artala? Kenapa dia tidak memberi kabar? Pikiran-pikiran buruk terus berputar di kepalaku, meskipun aku mencoba mengusirnya dengan alasan-alasan logis.

"Semoga dia baik-baik saja," gumamku, menggenggam erat surat terakhir yang kutulis untuknya. Surat itu tak pernah sempat kukirim. Aku ingin menyerahkannya langsung, melihat bagaimana ia tersenyum seperti biasa saat membaca kata-kataku.

Saat aku tiba di depan rumah sakit, langkahku terasa semakin berat. Aku berdiri sejenak di depan pintu masuk, menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Ini bukan sekadar kunjungan, ini adalah pertemuan yang telah lama kurindukan. Semoga saja aku bisa melihat senyum Artala lagi, meskipun di balik keheningan ruang rumah sakit.

Begitu tiba di rumah sakit, aku segera menuju meja resepsionis. Langkahku cepat, tetapi hatiku tetap dipenuhi keraguan. Aku mencoba menenangkan diri sebelum bertanya.

"Permisi, Bu. Bisa saya tahu di mana kamar atas nama Artala?" tanyaku dengan nada hati-hati.

Suster yang berjaga memandangku sejenak, lalu membuka catatan di depannya. Jemarinya bergerak lincah mencari nama yang kumaksud. "Artala, ya?" katanya memastikan. Aku hanya mengangguk, tak ingin membuang waktu dengan basa-basi.

"Dia dirawat di lantai satu, kamar kelas VIP," ujar suster itu sambil tersenyum tipis.

"VIP?" gumamku pelan, nyaris tak percaya. Aku tak pernah tahu Artala dirawat di ruangan yang begitu istimewa. "Terima kasih, Bu," ucapku sebelum beranjak.

Langkahku menuju lantai satu terasa berbeda. Ada perasaan lega karena akhirnya aku tahu di mana Artala, tetapi juga ada sedikit keraguan. Kenapa dia di ruang VIP? Apakah keadaannya separah itu?

Sesampainya di depan kamar yang dimaksud, aku berdiri sejenak. Kamar itu begitu sunyi, bahkan dari luar tak terdengar suara apa pun. Aku menggenggam surat di tanganku erat-erat, mencoba mengumpulkan keberanian. "Artala, semoga kamu baik-baik saja," gumamku sebelum mengetuk pintu dengan pelan.

"Permisi," aku mendorong pintu masuk ke dalam.

Ketika aku membuka pintu kamar dengan hati-hati, pandanganku langsung tertuju pada sosok Artala yang terbaring di ranjang rumah sakit. Tubuhnya terlihat lemah, tangan kirinya terpasang infus yang menggantung di sisi tempat tidur. Wajahnya pucat, tak seperti biasanya. Jantungku terasa mencelos melihat keadaannya.

"Eh, ada tamu," suara lembut seorang wanita membuatku tersentak. Aku menoleh, dan di sudut ruangan kulihat seorang wanita yang kukenali sebagai Mama Artala. Senyum ramahnya menyambutku. "Ayo, silakan duduk," katanya seraya menunjuk kursi di dekat ranjang.

"Terima kasih, Tante," jawabku pelan sambil melangkah mendekat. Kutarik kursi itu dan duduk perlahan, mataku masih tertuju pada Artala yang tertidu

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags