"Naska, setelah ini kamu mau ke mana?" tanyaku sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja belajar.
"Ke kelaslah, kemana lagi," jawabnya santai sambil mengetukkan ujung pulpen ke meja. "Kamu mau ke gedung seni, ya?"
Aku tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Betul sekali."
"Mau latihan teater lagi?" tebaknya sambil menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, ekspresinya datar tapi matanya terlihat penasaran.
"Iya, sebentar lagi mau tampil." Aku menghela napas, agak panjang, sambil melirik jam tangan. Waktu terasa begitu cepat berlalu akhir-akhir ini, apalagi dengan jadwal latihan teater yang super padat. Dalam satu minggu ini, aku hampir nggak pernah benar-benar bisa duduk tenang di kelas. Kuliah jadi kayak sampingan. Kalau nggak ada izin karena urusan latihan, ya ada rapat panitia buat persiapan pementasan seni besar nanti.
Naska mendengarkan ceritaku sambil sesekali mengangguk, tapi nggak banyak komentar. Aku tahu, dia mungkin nggak terlalu peduli, tapi setidaknya dia nggak menunjukkan kalau dia bosan. Itu yang aku suka dari Naska, dia nggak pernah membuatku merasa ceritaku nggak penting.
"Aku duluan ya," kataku akhirnya sambil berdiri, menyampirkan tas di bahu.
"Oke, hati-hati," jawab Naska singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari buku catatannya. Aku melangkah meninggalkannya, tapi sempat melirik sekilas. Dia tetap duduk di tempatnya, kelihatan tenang, meski sebenarnya aku yakin dia juga nggak bakal masuk kelas. Dari jendela kaca di dekat lorong, aku bisa lihat teman-teman sekelas sudah mulai pelajaran.
Gedung seni nggak terlalu jauh dari sini, tapi setiap langkah yang kuambil terasa berat. Mungkin bukan karena capek, tapi karena pikiranku yang terlalu penuh. Aku suka teater, benar-benar suka, tapi di sisi lain, aku juga mulai merasa terbebani. Setiap hari latihan, diskusi konsep, revisi naskah, belum lagi drama kecil-kecilan di antara anggota tim. Rasanya kayak semua ini sudah menghisap seluruh energiku.
Sampai di depan gedung seni, aku berhenti sejenak, memandangi pintu besar berwarna cokelat tua itu. Aroma kayu bercampur cat masih tercium samar, mengingatkanku pada awal-awal bergabung di klub ini. Saat itu, semuanya terasa begitu menyenangkan. Sekarang? Entah, aku mulai ragu. Apakah aku masih menikmati ini atau cuma bertahan karena tanggung jawab.
"Artala, cepat masuk! Udah pada nungguin!" suara Tika, ketua tim teater, membuyarkan lamunanku. Dia berdiri di ambang pintu, melambai-lambaikan tangan, wajahnya penuh semangat seperti biasa.
Aku tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan rasa lelahku. "Iya, bentar lagi." Aku melangkah masuk, menyapa beberapa teman yang sudah sibuk dengan peran masing-masing. Ruangan itu ramai, penuh dengan energi yang bercampur aduk ada yang cemas, ada yang antusias, ada juga yang terlihat santai.
Latihan dimulai seperti biasa. Sutradara memberi arahan, anggota tim mencoba menghidupkan peran mereka, dan aku? Aku berdiri di tengah panggung, mencoba menghayati naskahku, meski pikiranku melayang ke tempat lain. Sesekali, bayangan Naska muncul di kepalaku. Entah kenapa, aku jadi memikirkan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Masih di meja tadi? Atau sudah pergi ke tempat lain?
"Artala, fokus dong!" teguran Tika membuatku tersentak. Aku mengangguk cepat, mencoba mengembalikan pikiranku ke latihan. Tapi dalam hati, aku tahu, ada sesuatu yang berubah. Aku nggak yakin apa, tapi rasanya aku nggak lagi sepenuhnya di sini.
Latihan terus berjalan, suara-suara dialog memenuhi ruangan, tapi aku seperti berjalan dalam mimpi. Semuanya terasa samar, kabur. Di sela-sela keramaian itu, aku bertanya pada diriku sendiri, "Apa aku benar-benar ingin ini? Atau aku cuma berusaha membuktikan sesuatu?"
"Agh sudahlah pikiran aneh."
Latihan terus berjalan dengan intens. Aku berusaha mengikuti arahan sutradara, mencoba menghayati setiap gerakan dan dialog. Hingga tiba saatnya aku harus melompat sesuai koreografi. Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap... namun tiba-tiba pandanganku mulai berputar. Semua suara di sekelilingku terdengar jauh, samar. Aku kehilangan keseimbangan dan—
"Artala!" terdengar suara panik sebelum semuanya menjadi gelap.
***
Aku terbangun dengan kepala terasa berat dan suara alat medis berdengung di sekitar. Aroma antiseptik memenuhi ruangan, dan aku menyadari kalau aku sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Perlahan aku membuka mata, mendapati wajah Tika dan beberapa teman teaterku memandang khawatir.
"Akhirnya kamu sadar," kata Tika, suaranya terdengar lega.
Aku mencoba tersenyum tipis. "Aku... kenapa?" suaraku lemah, hampir berbisik.
"Kamu pingsan pas latihan tadi. Tiba-tiba aja jatuh waktu mau lompat," jelas Tika, duduk di kursi samping ranjangku. "Kamu kecapekan, Ta. Aku udah bilang, jangan terlalu maksa kalau kamu lagi nggak fit."
Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat kejadian sebelumnya. "Latihan... pementasan... gimana?" tanyaku dengan nada cemas.
"Udah ditunda. Kami nggak mau ngambil risiko kalau kondisi kamu masih kayak gini," jawab Tika tegas.
"Tapi—" aku mencoba bangun, tapi rasa pusing membuatku terhuyung.
"Jangan maksa!" potong Tika sambil menahan bahuku. "Artala, kamu tuh bukan robot. Tubuh kamu punya batas. Kalau kamu terus kayak gini, kamu nggak cuma ngerugiin diri sendiri, tapi juga tim kita."
Aku terdiam, menunduk. Kata-kata Tika menohok, tapi aku tahu dia benar.
"Artala, please," suara Tika melembut. "Kami butuh kamu, tapi kami juga nggak mau lihat kamu sakit kayak gini."