Jika di alam semesta ini tidak ada yang Amerta, dan apakah kamu juga memilih untuk pergi Artala?
~Bagaskara
Namun, kita bertemu untuk berjodohkan? Bukan untuk sekedar tahu kalau kita ini di semsta yang sama, namun perihal itu hanya takdirlah yang akan menjawab bagaimana alur dari pertemuan kita ini.
Namun, kita bertemu untuk berjodohkan? Bukan untuk sekedar tahu kalau kita ini di semsta yang sama, namun perihal itu hanya takdirlah yang akan menjawab bagaimana alur dari pertemuan kita ini.
Perpustakaan FIB
Buku-buku tertata rapi di rak, berjejer seperti barisan prajurit yang sedang beristirahat. Suasana perpustakaan FIB ini adem, tenang banget, meskipun ada beberapa pengunjung yang bisik-bisik ngobrol di pojokan. Baru kali ini aku jejakkan kaki ke sini, entah kenapa tiba-tiba ada dorongan buat mampir.
Aku jalan mendekati meja penjaga perpustakaan, Kak Heirya. Dia lagi sibuk ngetik sesuatu di laptopnya, kayaknya sih ngisi data buku. Aku berdiri sebentar, nunggu dia nyadar kalau ada aku di depan mejanya.
"Hai, Kak," sapaku sambil senyum kecil.
Dia mendongak, kelihatan kaget lihat aku. "Eh, Arta! Tumben banget kamu ke sini," ucapnya sambil nyenderin badannya ke kursi. Matanya kayak nggak percaya, soalnya dia tahu banget aku jarang banget, atau malah nggak pernah, ke perpustakaan ini.
Aku garuk kepala, sedikit cengengesan. "Iya nih, lagi kepikiran aja. Kali-kali gitu, Kak, nambah pinter," jawabku setengah bercanda.
"Heh, emangnya kamu ke sini beneran mau baca buku? Jangan-jangan cuma numpang nongkrong doang," balasnya, nadanya setengah godain.
Aku ketawa kecil, narik kursi yang ada di depan mejanya. "Beneran, Kak. Sumpah. Ada buku yang mau aku cari. Siapa tahu kan ketemu soulmate... eh, maksudnya buku soulmate," ujarku sambil nyengir.
Dia geleng-geleng kepala sambil ketawa kecil. "Ya udah, mumpung lagi niat, manfaatin aja. Rak-raknya di sana, tinggal pilih. Kalau butuh bantuan, panggil aja aku, ya," katanya sambil balik fokus ke laptop.
"Ahiyap kapten."
Langkahku masuk ke dalam perpustakaan FIB yang adem dan tenang, bikin suasana hati lumayan rileks. Tapi pandanganku langsung tertuju ke seseorang yang nggak asing lagi: Naskah. Dia lagi duduk di salah satu meja, sibuk banget mencatat sesuatu di atas kertasnya, kelihatan serius.
"Naskah," panggilku sambil mendekat ke arahnya.
Dia mendongak, senyum tipis, lalu naruh pulpen di samping kertasnya. "Eh, Arta. Tumben banget kamu ke sini, ada apa?" tanyanya sambil memperbaiki posisi duduknya.
Aku tarik kursi di depannya, duduk dengan santai. "Sebenernya nggak ada keperluan penting sih, cuma lagi nyari buku-buku yang ada hubungannya sama puisi. Lagi kehabisan ide, Nas. Kamu tahu kan event seni sastra minggu depan itu? Aku kebetulan ikut, tapi otakku buntu total," curhatku sambil ngusap-ngusap leher.
Dia senyum sambil nyender ke kursinya. "Pantesan. Kamu yang biasanya anti masuk perpustakaan, tiba-tiba nongol. Kayaknya otak kamu baru ngeh kalau tempat ini sumber inspirasi," candanya sambil ketawa kecil.
"Ya gimana lagi, Nas. Aku udah mentok. Kamu ada rekomendasi buku nggak? Siapa tahu bisa bantu aku buat dapet ide."
Naskah berdiri, meluruskan badannya, lalu mulai jalan ke arah rak-rak buku. "Ayo, aku tunjukin. Ada beberapa buku puisi yang menurutku keren banget. Mungkin salah satunya bisa bantu kamu," ujarnya sambil melambaikan tangan, ngajak aku ikutan.
Aku mengikuti dia, berjalan di antara rak-rak tinggi yang penuh buku. Dia sibuk memilah, jari-jarinya lincah mencari sesuatu di antara judul-judul buku yang berjejer rapi.
"Ini dia," katanya akhirnya, menarik sebuah buku dari rak. Dia menyerahkan buku itu padaku, judulnya Antologi Puisi Tanpa Batas.
"Buku ini bagus banget, isinya dalam dan penuh makna. Aku yakin, kalau kamu baca, ide-ide kamu bakal langsung ngalir," katanya dengan yakin.
Aku menerima buku itu, tersenyum. "Makasih banget, Nas. Kamu penyelamat aku kali ini. Kalau nanti puisiku menang, aku traktir makan es krim deh."
Dia ketawa sambil menggeleng. "Nggak usah lebay, Arta. Aku cuma seneng kalau bisa bantu kamu bikin karya keren. Jadi, baca bukunya, jangan cuma dilihat ya," balasnya sambil kembali duduk di mejanya.
"Siap, Bos!" jawabku, membawa buku itu ke meja yang sama dengan Naska.