Loading...
Logo TinLit
Read Story - love is poem
MENU
About Us  

Artala, sebuah nama yang terus berputar di benakku. Sesederhana itu terdengar, tetapi bagiku menyimpan keindahan yang tak terlukiskan. Artala Launa, seorang perempuan yang tak hanya memikat dengan wajahnya, tapi dengan caranya membawa diri, dengan tatapan matanya yang seolah menyimpan cerita yang tak pernah habis untuk kucari tahu. Jika aku diminta mendefinisikan kebahagiaan, mungkin jawabanku sederhana: ada dalam sosoknya.

Sore itu, aku kembali menulis surat untuknya. Ini bukan kali pertama aku menuangkan perasaan dalam goresan pena, tapi setiap kali menulis namanya, rasanya seperti pertama kali lagi. Ada getaran, ada rasa gugup, seolah-olah dia benar-benar ada di hadapanku.

Aku tak pernah tahu apakah dia membaca surat-surat ini dengan penuh perhatian atau hanya sekadar melihatnya sepintas, tapi aku tak peduli. Bagiku, kebahagiaan terbesar di dunia ini adalah saat aku menuliskan perasaanku untuknya. Setiap kalimat, setiap kata, seolah menjadi perpanjangan dari hatiku yang tak pernah mampu kuucapkan langsung.

Namun, kenyataan sering kali tak seindah harapan. Aku tahu, mencintai Artala adalah perjalanan yang penuh risiko. Ada banyak kemungkinan yang harus kuhadapi: dia menerimaku, dia menolakku, atau yang paling menakutkan dia kembali kepada orang lamanya.

"Aduh, kalau begini lama-lama aku bisa gila," gumamku pelan sambil menatap surat terakhir yang kutulis. Gila karena menunggu kabar darinya, gila karena hanya bisa tahu tentangnya lewat Haikal. Tapi aku sadar, mencintainya berarti siap untuk menghadapi semua itu.

Jika memang takdirnya dia kembali kepada orang lamanya, aku tak akan melawan. Aku akan merelakannya, meskipun hatiku mungkin hancur berkeping-keping. Mungkin aku akan merayakan hari patah hatiku sendiri, tetapi aku tak akan berhenti mengaguminya. Karena bagiku, mencintai Artala bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang menghargai kehadirannya di dunia ini.

***

Malam itu, aku mendengar Haikal pulang ke rumahnya setelah cukup lama berada di luar kota. Sudah lama kami tidak berbicara panjang lebar, jadi aku memutuskan untuk mampir ke rumahnya. Kami duduk di tepian sawah, tempat favorit kami sejak dulu. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma khas padi yang mengering, ditemani suara jangkrik yang mengisi keheningan.

"Gimana kabar hatimu, Bagaskara?" Haikal membuka percakapan dengan pertanyaan yang membuatku sedikit terdiam. Aku tahu dia sedang membicarakan Artala, tentang kabar yang baru-baru ini kudengar bahwa Artala kembali dekat dengan orang lamanya.

"Baik-baik saja," jawabku ringan, mencoba menutupi apa yang sebenarnya kurasakan.

Haikal menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. "Loh, harusnya kan sakit hati atau sedih melihat Artala."

Aku tertawa kecil, memandang cangkir kopi di tanganku. "Buat apa, Kal? Aku justru bahagia melihat Artala bahagia. Kalau dia senang, aku ikut senang. Kalau dia sedih, aku juga ikut sedih."

Haikal terdiam, seperti mencoba mencerna apa yang baru saja kuucapkan. Aku tahu, baginya itu mungkin terdengar aneh. Tapi bagi hatiku, itu adalah kebenaran yang tak bisa kuingkari.

"Kau terlalu baik, Bagas," ujarnya akhirnya, suaranya pelan.

Aku menggeleng pelan, menatap jauh ke arah sawah yang gelap. "Bukan soal baik, Kal. Aku hanya tahu, mencintai seseorang itu bukan berarti harus memilikinya. Kadang cukup dengan melihat dia bahagia, meskipun bahagianya bukan denganku."

Kami terdiam cukup lama setelah itu. Hanya suara malam yang menemani, diselingi bunyi desiran angin yang menyentuh dedaunan. Aku tahu Haikal ingin mengatakan sesuatu, tapi dia memilih membiarkan keheningan bicara.

Malam itu, kami berbicara banyak hal. Tentang Artala, tentang harapan yang sering kali berakhir berbeda dari kenyataan, tentang perjalanan hidup yang selalu penuh teka-teki. Tapi satu hal yang kutahu pasti: mencintai dengan tulus tak pernah meminta balasan. Dan meskipun hatiku mungkin tak selalu sekuat itu, aku akan terus belajar menerima apa pun yang menjadi takdirku dengan Artala.

Karena mencintainya adalah sebuah kebahagiaan tersendiri, meskipun kebahagiaan itu hanya bisa kurasakan dari kejauhan.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags